
Bagaimana Album Tigapagi menjadi Rumah di Saat Kita Mengingat Duka Kolektif
Dalam submisi Open Column ini, Raffyanda Indrajaya mengingat bagaimana lagu-lagu Tigapagi mampu merangkum memori personalnya kala jauh dari rumah, sampai korban persekusi yang dibuat jauh dari rumah masing-masing—sejarah yang dirawat dalam Roekmana’s Repertoire dan Rukiah’s Suites.
Words by Whiteboard Journal
Pagi itu, Oktober berkabut, sesekali diisi gerimis singkat.
Selasa, 28 Oktober 2025. Saya melaju dengan motor melewati bukit dan pilar-pilar bumi, dari Padalarang hingga Puncak, kembali meninggalkan Bumi Parahyangan. Demi melawan kantuk, saya bernyanyi ria di atas motor, dan lagu yang pertama muncul di kepala adalah “Alang-Alang”, lagu dari band asal Bandung yang dikenal dengan “melodi Sunda” mereka, Tigapagi, yang dinyanyikan oleh mendiang Ade Paloh.
Lagu yang tergolong paling “pop” dari album pertama band tersebut, Roekmana’s Repertoire. Sebuah album yang transisi antar lagu di dalamnya disusun sedemikian rupa sehingga jadi satu kesatuan padu tanpa terputus.
“Alang-Alang” menjadi lagu pembuka yang menggaet siapapun pendengarnya untuk duduk diam, dan mendengarkan secara utuh satu album penuh soal kehilangan, kesedihan, keputusasaan, dan penerimaan. Semuanya dalam konteks tematik kegaduhan monumental menjelang dan pasca 1965.
Menyaksikan Tigapagi Pada Pukul Delapan Malam
Bukan tanpa alasan “Alang-Alang” jadi lagu yang pertama terbesit di pikiran. Tiga hari sebeliumnya, saya baru saja menyaksikan Tigapagi tampil di Bandung Design Biennale (BDB) 2025 yang diadakan di Laswi Heritage, bangunan tua bersejarah bekas gudang perkeretaapian negara yang kini telah dipugar.
Bermain tanpa adanya setlist kaku, dengan sesekali bertanya pada penonton untuk request lagu. Tigapagi mengawali pertunjukan mereka dengan “Alang-Alang.” Cuaca Bandung yang kala itu hujan menambah rasa sendu. Rasanya kaki seperti dilem saat menyaksikan mereka tampil, chorus “Anganku hilang tak kembali” yang kemudian berubah menjadi “Anakku hilang tak kembali”, menekan pendengarnya untuk tidak hanya menikmati ini semua sebagai sekedar pertunjukan musik, melainkan juga sebagai momen untuk mengenang apa-apa yang hilang.
Selepas lagu pembuka, pertunjukan lanjut dengan beberapa lagu dari album pertama Tigapagi, Roekmana’s Repertoire, seperti “Pasir” dan “Vertebrate Song (The Maslow),” kemudian disusul dengan beberapa lagu dari album terbaru mereka, Rukiah’s Suites, yang rilis 30 September 2024 lalu—kurang lebih 11 tahun sejak album pertama mereka.
Lagu demi lagu berkumandang, menggetar kuping dan imajinasi saya yang sebenarnya hanya pulang ke Bandung untuk mengambil motor dan membawanya ke Jakarta, sebelum dikabarkan teman bahwa Tigapagi akan tampil dadakan di BDB 2025.
Saat lagu “Piala Kosong” dimulai, saya teringat lagi kamar-kamar kosong di rumah orang tua yang ditinggal anak-anaknya untuk merantau. Sesekali kamar tersebut diisi kembali, terutama ketika orang tua sudah rindu hingga mengontak kami untuk pulang, setidaknya untuk sehari atau dua hari saja.
Piala ini sudah kosong / Ruangan pun kini jadi kosong / Dan gelak yang tadi panas / Kini dingin tak terdengar lagi
Kini Babak Siti Rukiah
Sebagai album kedua, Rukiah’s Suites saya rasa lebih matang di sisi produksi dengan instrumental yang tergolong lebih kaya bila dibanding Roekmana’s Repertoire. Namun keduanya tetap sama-sama membekas untuk saya.
Secara tema, keduanya juga serupa. Sama-sama menjelajahi trauma dan duka mendalam yang pernah—atau mungkin masih—mendekam di Priangan. Keduanya sama-sama disusun dengan transisi tanpa putus pada setiap lagunya, seakan menjaring memori kolektif akan kesunyian dari tanah Pasundan bagi bangsa yang sejarahnya tidak pernah jauh dari kesedihan.
Jika nama album Roekmana’s Repertoire terinspirasi dari nama budayawan Sunda Agus Roekmana. Kali ini Rukiah’s Suites terinspirasi dari karya prosa sastrawan Sunda Siti Rukiah Kertapati, tokoh seniman dan pergerakan asal Purwakarta yang aktif pada dekade-dekade awal kemerdekaan hingga harus berhenti setelah peristiwa ‘65. Maka bisa dibilang bukan kebetulan semata album ini rilis di tanggal kramat 30 September.
Siti Rukiah saat itu jadi salah satu seniman Sunda yang mengalami persekusi politik pasca bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Rukiah dan Suaminya, Sidik Kertapati, bisa dibilang berada di tengah-tengah gemuruh G30S. Rukiah yang merupakan anggota Lekra, menjadi tahanan politik sepanjang tahun 1967–1969. Sedangkan suaminya yang merupakan pejuang kemerdekaan, anggota PKI, dan juga sempat menduduki kursi sebagai anggota parlemen, harus mengasingkan diri ke Tiongkok—kemudian Belanda. Rukiah dan suaminya tidak pernah bertemu lagi setelah 1965. Rukiah hidup dengan anak-anaknya di Purwakarta dan meninggal tahun 1996, sedangkan Sidik baru dapat kembali ke Indonesia setelah Reformasi, dan meninggal tahun 2007. Biografi singkat Rukiah, juga karya-karya puisinya yang digubah Tigapagi menjadi lagu, dapat kita temukan pada buku antologi puisinya yang berjudul Tandus.

Siti Rukiah. (Image via British Library)
Trauma akan segala huru-hara tersebut membuatnya hiatus berkarya hingga akhir hayat, tidak ada lagi puisi, cerpen, novel, atau pun cerita-cerita anak—yang mana menurut salah seorang teman saya yang telah membacanya, tergolong progresif untuk zamannya. Namanya “dilupakan” sejarah karena afiliasinya dengan Lekra.
Memang benar bahwa di Jawa Barat tidak terjadi pembantaian massal dengan skala seperti yang terjadi di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur, seperti yang dinyatakan oleh Benedict Anderson, “Di Jawa Barat tak terjadi pembantaian.” Meski begitu, persekusi yang dihadapi oleh mereka yang terafiliasi—atau sekedar dituduh—dengan PKI tidak kalah massif nya. Sebagian besar dari tokoh-tokoh kesenian Lekra di Jawa Barat ditahan atau menghilang begitu saja dari radar lingkar kesenian, dengan mayoritas dari mereka berhenti berkarya.
Track kedua sebelum akhir dari album ini, “Pohon Sunyi” sekiranya jadi rangkuman dari sentimen yang hinggap di hati para pendengarnya.
Kapan lagi / Engkau pergi? / Dan apa yang / Akan datang? / Kapan lagi / Engkau pergi? / Dan apa yang / Akan datang?
Di Antara Gemuruh Masa Lalu, Dan Kabut Di Depan
Sudah terlalu banyak tulisan analisis dari album atau single dari Tigapagi. Saya tidak akan menambah kerumitan itu dengan menambahkan satu lagi tulisan apa adanya perihal band ini. Di sini saya mau bagi respon personal, seorang pendengar, bukan jurnalis, bukan juga kritikus musik.
Di Jalan Raya Puncak saya terbang, secara literal—karena lubang jalan yang tak terlihat—dan figuratif. Bawaan saya seringkali sendu saat mendengar Tigapagi, eksplorasi akan duka kolektif suatu tanah dan mereka yang bermukim padanya entah mengapa selalu mengusik saya. Lebih tragisnya, tema-tema historis yang menjadi fondasi karya Tigapagi—sejarah kelam bangsa—selalu terulang hingga kini. Bisa dibilang karya-karya Tigapagi tidak hanya membicarakan yang sudah lalu, tapi juga terikat dengan konteks masa kini: Tergerusnya keadilan dan demokrasi.
Belum selesai masalah kita dengan tragedi demi tragedi yang dikubur—mohon baca Dari Dalam Kubur (2020) karya Soe Tjen Marching. Beberapa waktu belakangan kita dihadapkan dengan fenomena penangkapan massal para aktivis dan demonstran pasca demonstrasi massal Agustus lalu. Hingga kini banyak yang belum dibebaskan, dan beberapa lagi mungkin menyusul. Berita kehilangan, yang seharusnya jadi sejarah, terus menjadi realita yang jaraknya tak jauh dari kita.
Jika masa lalu wujudnya gemuruh, dan hari ini tampak bagai badai, masa depan hanya mampu saya raba sebagai kabut di depan mata.
Namun mungkin ini semua bukan hanya perihal duka. Tigapagi tidak hanya membahas trauma historis, dan Demonstrasi bukan dilakukan untuk “makar”. Ini juga soal pencarian akan “Rumah”. Rumah yang seperti apa? Rumah yang hangat, rumah yang memeluk penghuninya, membiarkannya tenang, menjadi pelindung dari dingin maupun terik matahari, jadi tanah yang subur untuk penghidupan, jadi pendengar yang baik, jadi tempat yang terbuka untuk rekonsiliasi dengan masa lalu.
Saat ini saya duduk di depan laptop, menyusun tulisan ini sambil kembali mendengarkan Rukiah’s Suites. Saya rasa seseorang tidak harus jadi partisipan aktif politik, aktivis, atau korban persekusi untuk merasakan apa yang saya rasakan. Perasaan kalut yang diiringi keinginan akan perubahan.
Sepanjang perjalanan saya dari Bandung hingga Jakarta, menyaksikan petani menggarap sawah, pedagang asongan yang menjajakan barang dagangan di pinggir jalan, truk-truk dengan muatan batu dari bukit yang setengahnya sudah habis, dan fotografer di tiap kelokan Puncak Pass, pertunjukan dari Tigapagi yang saya saksikan beberapa hari sebelumnya terus berputar di kepala.
Kala itu angin jalanan tampak bertanya pada saya, “quo vadis?” (ke mana Engkau pergi?)
Dan saya jawab, ke rumah. Rumah yang mana? Kita lihat nanti, kita usahakan yang baik.




