Apakah Aplikasi Kencan Sebuah Keniscayaan?
Pada submisi column kali ini, Daniel Melville menuliskan mengenai percintaan modern, betapa akrabnya generasi kita dengan aplikasi kencan, serta risiko eksistensial yang melingkupinya.
Words by Whiteboard Journal
Seorang teman bercerita, setelah ada pandemi Covid-19, dia cukup yakin jika aplikasi kencan merupakan suatu keniscayaan. Perempuan yang sudah berkarir sebagai jurnalis selama empat tahun itu bahkan sampai pada kesimpulan: aplikasi kencan seolah menjadi satu-satunya model dari ‘cinta modern’. Musababnya, dia menganggap bahwa dia tidak memiliki kesempatan di luar dunia virtual untuk kenal atau bertemu dengan seseorang akibat lingkungan kerja yang sempit dan pertemanan yang itu-itu saja.
Aplikasi kencan sebenarnya sudah sangat lumrah bahkan jauh sebelum era pra-pandemi. Namun kondisi sosiologis di masa yang serba dibatasi, memicu kenaikan angka pengguna aplikasi. Menurut studi Match’s 2021 Singles in America seperti dilansir TIME, 53% lebih banyak pengguna aplikasi pada saat ini memprioritaskan pencarian asmara mereka dibanding era sebelum pandemi. Jumlah tersebut muncul dari survei 5.000 orang lajang di Amerika Serikat pada Agustus 2021. Statistik terbaru mungkin saja bisa lebih tinggi. Studi yang sama menemukan, 58% pengguna aplikasi kencan makin selektif dalam memproses hubungan asmaranya, dan 69% pengguna lebih jujur dengan calon pasangan mereka. TIME tidak menyebutkan pengguna aplikasi mana dari studi tersebut yang telah diteliti.
Untuk kecenderungan pemakaian pengguna aplikasi kencan di Indonesia, saya belum bisa menyiginya secara independen. Namun, di lingkaran pertemanan, dua pertiga dari mereka menganggap mekanisme kencan online sebagai sesuatu yang tidak asing lagi.
Teman lain, yang juga merupakan seorang pengguna aplikasi kencan mengatakan, praktik geser layar kanan-kiri memang bisa menjadi salah satu cara dalam mencari jodoh saat ini. Namun, dia tidak habis pikir dengan kebiasaan sembarang gantung pengguna lain dan representasi diri semu yang kerap disajikannya. Dia juga tidak puas dengan tawaran hubungan tanpa ikatan, sekadar menghabiskan waktu bersama, atau obrol-obrol sensual saja. Laki-laki berusia 26 tahun itu, mengaku sudah ingin mencari teman hidup dan lelah dengan hubungan sesaat tanpa cinta.
Filsuf Marxis asal Prancis, Alain Badiou, dalam bukunya In the Praise of Love (2008), mengatakan, secara filosofis ada tiga interpretasi atas cinta yang paling sering dipahami. Pertama, cinta sebagai ekstasi romantik. Kedua, cinta sebagai kontrak legalistik. Ketiga, cinta sebagai ilusi skeptis. Aplikasi kencan, paling tidak dibangun dengan basis tafsir cinta yang kedua. Badiou memperingatkan bahayanya aplikasi kencan sebab sistemnya berpotensi besar mengsubstraksikan setiap peluang dan risiko manusia yang meng-ada.
Slavoj Žižek, seorang Hegelian dan Psikoanalis asal Slovenia, berbagi gagasan dengan Badiou soal ini. Dia menyebut, ada alasan mengapa cinta identik dengan frasa ‘jatuh cinta’. Ketika jatuh cinta, menurut Žižek, seseorang merasakan ketidakseimbangan dalam hidupnya sebagai sebuah event atau peristiwa eksistensial. Pertemuan ,dengan yang lain selalu diharapkan dapat menghasilkan perubahan hidup. Dengan aplikasi kencan, Žižek merujuk asumsi yang mengatakan bahwa kita hampir hidup lagi di zaman pra-modern karena menerapkan sistem itu. Bedanya, dahulu koneksi percintaan dan pernikahan dijembatani oleh keluarga atau kanselir kerajaan, namun sekarang dengan algoritma agensi kencan.
Berbeda dari klaim rekan saya, pihak Tinder mengatakan kepada The New York Times, saat ini pengguna aplikasinya menjadi lebih jujur dan transparan tentang batasan pribadinya. Saat membahas masa depan aplikasi kencan, Tinder juga memprediksi bahwa para daters akan terus menjadi lebih jujur dan otentik ketika pandemi berakhir. Sementara, pendiri aplikasi kencan Three Day Rule Talia Goldstein menyatakan, superfisialitas penggunanya sekarang semakin berkurang. Menurut dia, beberapa waktu lalu pengguna lebih suka menysipikan atribut seperti tinggi badan atau kekayaan di profilnya. Sekarang lebih banyak orang disebut memprioritaskan kualitas psikologis, seperti humor atau pola pikir yang berkembang.
Dalam posisi ini, sejauh mana pernyataan para petinggi aplikasi itu sahih, belum bisa diverifikasi secara langsung. Akan tetapi, aplikasi an sich sukar membuat manusia lebih otentik sebab ada sistem yang berfungsi sebagai match maker atau mak comblangnya. Persis seperti kritik yang disampaikan oleh Žižek atau Badiou. Kencan online dinilai selalu menjanjikan romansa, cinta bebas risiko yang berada dalam varian dari hasrat dan hedonisme sesaat. Badiou mewanti-wanti, ketika ada pra-anggapan atas diri kita yang hendak kita tampilkan dalam sistem, di saat itulah kita harus berhati-hati. “Saya pikir ini sudah bertentangan dengan definisi dari cinta. Sebab tidak ada elemen pengalaman, tidak ada juga risiko yang diambil. Kepuasan mutual harus terjamin, seakan ada kontrak bisnis. Saya bahkan cenderung berpikir, ini merupakan suatu ancaman terhadap cinta,” katanya.
Badiou sendiri secara prinsip menolak tiga interpretasi mengenai cinta seperti dipaparkan di atas. Cinta, bagi Badiou, adalah sebuah usaha pencarian kebenaran. Penemuan dua dalam satu dan perjumpaan yang dimaknai sebagai proyek eksistensial dalam dunia yang dialami, dikembangkan, serta dijalani dari sudut pandang perbedaan, bukan identitas. Tapi gagasan ini menjadi alasan bahwa filsafat seharusnya membahas cinta. Kita mencintai sebab kita mencintai kebenaran.
Gentrifikasi ke realitas virtual ditengarai telah membuka komodifikasi dan objektifikasi cinta secara lebih masif. Masalah sosial akibat sesaknya ruang digital secara umum sering diperbincangkan banyak orang. Film Dokumenter Netflix ‘The Social Dilemma’ garapan Jeff Orlowski yang rilis pada 2020 misalnya, dengan baik memaparkan dampak sosial media dan gejala-gejalanya yang telah nampak di masyarakat, seperti kesehatan mental, polarisasi, sampai diskriminasi. Dokumenter itu menunjukkan, perusahaan teknologi besar yang mempersatukan, juga memecah, memisah, sampai mengambil untung dari kita. Semua tata komunikasi kita sudah retak bahkan sebelum pandemi, dan saya menganggap hal itu juga berpengaruh sama pada aplikasi kencan. Tidak ada yang gratis dalam platform daring itu, “jika anda tidak membeli produk, maka anda lah produknya.” Surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan, seperti dirumuskan oleh Shoshana Zuboff, telah merenggut otonomi manusia modern sampai pada level yang paling eksistensial.
Sepakat dengan Badiou, kita harus menemukan kembali, atau jika perlu, mempertahankan cinta. Bagi dia, cinta merupakan salah satu persaan subjektif terkuat yang ada. Cinta yang menjadi kekuatan pendorong dalam setiap bentuknya. “Anda harus menaruh minat pada semua yang nampak, sebagai hasrat besar kemanusiaan,” kata Badiou. Saya berusaha tidak terjebak pada lirisisme romantis dan bernyanyi ‘cinta telah mati’ atau menyarankan siapa pun untuk tidak bermain aplikasi kencan. Namun, perlu digarisbawahi, dialektika cinta dan realitas menuntut manusia memahaminya secara menyeluruh.
Alih-alih pasrah dengan keadaan yang memaksa tunduk pada pasar, kita bisa terus menakar cinta dan hubungannya dalam upaya manusia mencari kebenaran. Memahami cinta sebagai sebuah proses berkelanjutan yang melaluinya kebenaran fundamental tertentu diketahui. Meraih cinta yang membebaskan kita dari segala belenggu kekuasaan. Sampai mempertahankan cinta yang secara radikal mengubah keberadaan kita di dunia, di sini dan sekarang.