Apa yang Direncanakan Hidup Untukku?
Pada submisi column kali ini, Imamatul Silfia menulis tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang jalan hidup yang tidak ternyata sesuai dengan keinginan.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan ini, didukung dengan kebijakan pembatasan sosial, aku jadi memiliki banyak waktu untuk menemukan hobi baru, dan hobi yang kali ini ku temui adalah: mempertanyakan hidup.
Sekarang, aku sedang berada di usia produktif kerja, tapi belum lama menyandang gelar sarjana. Ini kali pertamaku bekerja, dan sebenarnya pekerjaanku ini selaras dengan program studiku saat kuliah. Seharusnya ini bukan pekerjaan yang sulit bagiku karena aku sudah ditempa ilmu bertahun-tahun untuk bisa berkarir di bidang ini — seharusnya.
Namun sayangnya, sejak dulu pun aku memiliki kesulitan beradaptasi dengan bidang ini. Aku selalu meyakini keberadaanku di jurusan ini merupakan situasi terdampar.
Saat menjelang kelulusan SMA, aku dihadapi situasi sulit memilih antara dua opsi: prodi impian atau hobi. Mungkin bagi sebagian orang itu terlihat seperti pilihan yang mudah, tapi hobiku yang itu terlalu berharga untuk aku lepaskan (dan pada akhirnya, hobi itu yang membuatku menemukan diriku sendiri).
Menyerah mencoba menentukan pilihan sendiri, akhirnya aku bertanya pada Yang Maha Kuasa, aku meminta diberikan petunjuk atas pilihan yang lebih baik untukku. Kemudian jawaban yang diberikan Tuhan adalah: aku diberikan kesempatan melanjutkan hobiku, namun dengan kompensasi aku harus menjalani hidup di prodi yang memberikanku gelar sekarang.
Aku sempat membenci kehidupan perkuliahanku. Dulu di semester pertama, aku berusaha menghancurkan nilai-nilaiku demi bisa menunjukkan ke orang tua bahwa aku tidak cocok berada di prodi tersebut. Namun, Tuhan berkata lain, sepertinya dosen yang ku temui di semester 1 kebanyakan memiliki sifat dermawan. Indeks prestasiku di semester tersebut nyaris sempurna. Bagaimana aku bisa mengatakan aku gagal jika nilaiku didominasi oleh A?
Dari situ aku menyadari, ada risiko yang harus aku jalani dari setiap pilihanku. Baiklah, setidaknya aku akan menyelesaikan apa yang sudah ku mulai. Aku akan menyelesaikan tanggung jawab perkuliahanku dengan lulus dari prodi tersebut.
Setidaknya saat itu, yang ku pikirkan hanyalah akan menjalani hidup di bidang ini sampai perkuliahanku berakhir. Tak pernah terlintas di pikiranku untuk melanjutkan hidup di bidang ini.
Akan tetapi, hidup punya caranya sendiri mematahkan pikiranku.
Pada semester 7 dan 8, aku mengikuti program magang. Semester 7 memang mewajibkan mahasiswa menjalani magang, namun di semester 8 aku hanya berusaha mengisi waktu luang. Menariknya, di dua kesempatan tersebut, aku selalu menjalani magang dengan posisi yang mutlak sesuai dengan jurusanku.
Kala itu, meskipun ada beberapa hal yang tetap memberatkan, namun setidaknya progres pengembangan diri yang telah ku upayakan bertahun-tahun membantuku menjalani kegiatan magangku dengan lebih ringan. Setidaknya aku cukup bisa menikmati prosesnya.
Namun kemudian, pandemi menyerang.
Berbulan-bulan mengurung diri di rumah, memiliki interaksi yang sangat minimal dengan orang-orang luar, pada akhirnya aku kembali memiliki kesulitan untuk melakukan interaksi sosial — ya, ini progres pengembangan diri yang ku maksud sebelumnya. Sementara apabila aku ingin melanjutkan pekerjaan sesuai dengan bidang jurusanku, aku harus banyak berinteraksi dengan manusia.
(Ku tekankan sekali lagi: ‘banyak’.)
Aku yakin kita semua setuju jika ku katakan pandemi memberikan masa sulit bagi kita, termasuk aku. Persoalan kesulitan berinteraksi ini benar-benar bukan perkara yang mudah buatku. Aku tahu dengan mental seperti itu, aku tidak akan sanggup menjalani pekerjaan di bidang ini. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak melamar pekerjaan ke posisi apapun yang terkait dengan bidang ini.
Lalu, tahu apa yang terjadi? Aku menganggur nyaris setahun.
Jujur, aku tak terlalu terpuruk menjalani hidup sebagai pengangguran, karena saat itu tujuan yang ingin ku capai adalah: menikmati hidup sebelum memasuki dunia orang dewasa, yang katanya, waktu luang adalah harta karun yang berharga. Untuk itu, aku ingin memanfaatkan waktu senggangku untuk menikmati hidup.
Tapi, yang menurutku lucu, ketika akhirnya aku memutuskan untuk melamar ke pekerjaan yang terkait dengan prodiku, aku diterima bekerja. Setelah berupaya selama setahun menghindari pekerjaan ini, pada akhirnya aku dipertemukan dengan bidang ini. Betapa hidup senang sekali menertawakanku.
Tapi, tentu saja, aku tidak bisa terus-terusan menganggur. Terlebih, aku malas jika harus menghadapi pertanyaan wawancara, “Apa saja yang Anda lakukan selama waktu jeda itu?” Jadi akhirnya, aku resmi menjadi pekerja dengan posisi yang merupakan prospek utama lulusan jurusanku.
Namun, aku tetaplah aku. Hal yang membebaniku tak akan hilang begitu saja dalam waktu singkat. Aku kembali menghadapi masa sulitku. Aku tidak menikmati pekerjaanku, yang kemudian membuatku tidak bisa mengembangkan potensi dalam diriku.
Aku tidak pernah merasa buang-buang waktu ketika menjadi pengangguran, tapi aku merasa sangat membuang-buang waktu menjalani pekerjaan di bidang ini. Kenapa? Karena tujuanku bekerja ialah ku ingin meningkatkan kompetensi diriku. Tapi, keseharianku hanya mengeluhkan pekerjaanku. Mempertanyakan apakah aku benar-benar ingin menjalani hidup di bidang ini — yang seringkali langsung ditolak mentah-mentah oleh pikiran dan batinku. Aku tidak menemukan apa yang harus aku kejar di bidang ini. Aku kehilangan diriku.
Berkali-kali aku berpikir ingin menyerah, tapi banyak perdebatan batin yang terjadi di pikiranku. Aku tak ingin menghilangkan raut bahagia orang tuaku yang bangga dengan pekerjaanku. Aku juga tak ingin membiarkan diriku menyerah di tengah jalan. Setidaknya, aku ingin menyelesaikan perjanjian kontrak kerja yang telah aku tanda tangani. Aku ingin menuntaskan apa yang sudah aku mulai.
Akhirnya, aku memutuskan untuk bertahan.
Tapi ternyata, bertahan tidak semudah itu.
Aku bukan tipe orang yang mudah menangis, namun suatu waktu aku menangis di tengah malam dalam doaku. Kembali menyerah mencoba menentukan pilihan sendiri, aku meminta petunjuk kepada Yang Maha Esa. Pertanyaanku sederhana: kalau memang bidang ini baik untukku, mohon bantu aku menjalani hari-hariku dengan ikhlas; namun apabila bidang ini tidak baik untukku, mohon tunjukkan jalan yang lebih baik untuk diriku.
Beberapa hari setelah doaku itu, mentalku membaik. Bahkan, aku kembali diingatkan dengan kesukaanku yang hampir ku lupakan: menulis dan belajar bahasa. Aku kembali dipertemukan dengan rasa bahagiaku menjalani dua kesukaanku itu. Sehingga, setidaknya hingga sejauh ini, aku merasa jawaban Tuhan adalah: bidang ini yang baik untukku.
Aku selalu bertanya-tanya apa alasan Tuhan memberikan bidang ini untuk diriku. Sejak dulu di masa SMA, hingga sekarang, Tuhan seolah tidak mengizinkanku untuk keluar dari bidang ini. Memangnya apa yang akan diriku lakukan di masa mendatang yang membuat Tuhan menempatkanku di bidang ini? Apakah aku akan melakukan sesuatu yang memiliki dampak besar untuk banyak orang — atau setidaknya untuk diriku sendiri?
Tentu saja aku tahu pertanyaan-pertanyaan ini tak akan ku temukan jawabannya sekarang. Aku harus menjalani hidupku di bidang ini untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.
Dari banyak cerita yang ku temui, aku selalu diingatkan bahwa aku yang akan menentukan nilai dari hidupku sendiri. Aku yang memiliki hak penuh menentukan bagaimana aku ingin membangun arti hidupku. Aku akan bisa meminimalisir penyesalan dalam hidup jika aku terus melakukan yang terbaik terhadap apa yang ada di depan mataku. Jadi sepertinya, aku harus fokus menjalani hidup di bidang yang aku tempuh sekarang — pada akhirnya, momen ini juga yang akan membentuk diriku di masa yang akan datang.
Lagi pula, masa depan senang menentukan sendiri ukiran kisah hidup kita bahkan tanpa persetujuan kita, kan?
Jadi, baiklah, aku akan mencoba menjalani bidang ini dan menunggu sampai aku bertemu dengan jawabannya. Aku akan berusaha mempersiapkan diriku, agar setidaknya ketika aku berhadapan dengan jawabannya nanti, aku akan menemuinya dengan versi diriku yang telah berkompeten.