Aku Pun Menunggu Dikabarkan
Puisi untuk menghormati 12 tahun Aksi Kamisan, dan untuk seluruh perjuangan atas nama kemanusiaan.
Words by Whiteboard Journal
Dari tempat ini, di mana semua serba tak tahu. Di mana semua serba tak mengerti. Dan di mana semua tak perlu lagi sembunyi, aku menunggu dikabarkan.
Aku, dan semua yang bernasib sama denganku, tahu apa yang kalian perjuangkan. Kami bisa melihat dari tempat ini. Satuan, puluhan, hingga ratusan payung hitam menagih kabar tentang kami. Ratusan kali kami melihat, ratusan kali pula kami tak dapat bersuara. Teriakan kami mati. Bekas sepakan sepatu mereka saat pagi.
Aku sendiri sudah tak bisa apa-apa. Bahkan aku sendiri tak mampu mengganti bajuku. Ini baju yang kupakai saat melawan mereka dulu. Masih sama. Mungkin ibu mengingatnya.
Dari tempat ini pula, aku bisa melihat bibit-bibit perjuangan baru. Mereka yang tak mau diadu, lalu tunduk di bawah sepatu. Membelaku, dan kawan-kawanku.
Dari tempat ini pula, diammu menyemangati. Tiada lelah menanti harap kembali. Rentetan tanya seperti belati. Menghujam masuk dari kanan dan kiri. Sajak-sajak Wiji kurasa sudah menusuk nurani. Hingga rambutmu memutih dan langkahmu tak sesigap dulu, darah tak kunjung keluar dari celana mereka. Tapi apakah sajak-sajak itu masih ada? Masih sebagai panji perjuangan, atau hanya jadi retorika belaka?
Tapi di sini, sajak-sajak itu abadi. Aku, lalu pria kurus dari Solo, ada pula pejuang tangguh dari Malang dan kawan-kawan lainnya melihat perjuanganmu. Kami mengintip dari celah kecil di tumpukan awan, yang kebetulan mengarah langsung ke depan gerbang megah itu. Kami tahu.
Dan untuk ibu, jangan lelah mempertanyakanku. Hadang mereka yang hanya janji melulu. Hati-hati dengan mereka yang menyiksaku, menghilangkanku, dan membunuhku. Hingga saatnya kalian semua tahu.
Dari tempat ini, kami pegang erat tali perjuangan kalian. 12 tahun ini, dan jika perlu untuk 12 tahun lainnya. Kalian menunggu kabar kan? Aku pun menunggu dikabarkan.