Aku Memerlukan Sahabat dengan Kasih Tak Bersyarat, Bukan Polisi Moral
Dalam submisi open column ini, Christian Situmorang membagikan kisahnya menempuh jalan panjang untuk menemukan kasih tak bersyarat di tengah lingkungan yang kerap mendemonisasi identitasnya sebagai seorang queer.
Words by Whiteboard Journal
Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kumpulan kelompok sosial itu, terjadi “klik” ketika satu manusia merasa dirinya cocok dengan manusia yang lain. Mereka bersahabat. Mereka berbicara tentang banyak hal. Mereka pergi ke banyak tempat. Mereka tertawa sepanjang perjalanan. Mereka bersedih bersama. Mereka menyimpan banyak kenangan, entah itu dalam telepon genggamnya atau—bagi yang senang menciptakan sesuatu—mereka membuat kumpulan foto-foto kenangan mereka.
Aku adalah bagian dari makhluk sosial itu. Aku berhak nge-“klik” dengan orang-orang di sekitar kami. Kami berhak memiliki sahabat. Aku berhak membicarakan banyak hal. Kami berhak diajak pergi bersama-sama ke banyak tempat, tertawa sepanjang jalan, menangis bersama, dan berhak menyimpan banyak kenangan. Sayang, aku mengingat salah satu tulisan di sebuah blog milik sahabatku dengan sangat jelas.
Dia masih bermimpi menjadi diri sendiri.
Aku hidup di tengah masyarakat biner yang gemar mencampuradukkan dogma agama, jati diri, dan pilihan hidup. Pekerjaanku pula mengharuskan aku untuk menjadi seorang yang digugu dan ditiru di hadapan murid. Maka, dengan segenap kekuatan, aku harus menjaga diri dan perilaku agar anak-anak mendapatkan hal-hal 000baik dari pengajaranku. Belum lagi dengan berbagai tugas administratif yang ada. Di tengah berbagai kelelahan itu, sahabat adalah pohon yang rindang dan sejuk. Ia tempatku berteduh.
Tak banyak keinginan yang kusematkan pada diri setiap orang yang hendak menjadi sahabatku. Ia haruslah pribadi yang menerimaku dengan utuh. Ia pun juga tidak menjadi Tuhan atas hidupku. Aku hanya ingin temanku menjadi tempat untuk menggumuli setiap keluhan dan keresahan yang kurasakan. Ia tidak menjadi hakim atas pilihan hidupku. Dua puluh delapan tahun aku hidup di dalam penolakan. Aku hanya ingin diterima dengan utuh. Aku tak memaksa kawan-kawanku untuk berpikiran terbuka. Aku hanya meminta mereka untuk mendukung pilihanku. Aku tidak menolak saran demi perbaikan diri di sini.
Lalu, pengalaman hari-hari ini menyentak seluruh kesadaranku. Bersahabat dengan orang yang mengharapkanku untuk bertobat justru bukan hal yang menyenangkan. Mereka hanya menerima aku, tetapi tidak dengan perbedaanku dengan mereka. Mereka kerap memaksakan aku untuk bersikap selayaknya seorang laki-laki pada umumnya. Aku melihat laki-laki pada umumnya tidak memiliki sesuatu yang istimewa, dari cara berjalan, cara berbicara. Mereka memintaku bersuara bariton. Mereka memintaku berjalan selayaknya laki-laki dengan dalih berikutnya selain sayang, yaitu tidak menganggap kesalahan sebagai hal lazim.
Kemudian, luka lama berdarah kembali;
Diejek “bencong” oleh teman-teman semasa kecil;
Disebat dengan ikat pinggang oleh ibu sendiri karena ketahuan diejek;
Dirundung dengan diikat sampai tidak bisa berjalan;
Puting dada selalu kena raba hanya karena gemuk;
Belum lagi yang terbaru: di-body shaming sahabat sendiri.
Ditambah lagi, makin banyak saja orang yang gemar menempelkan gagasannya kepadaku. Bukannya gagasan baik yang ia tempelkan, tetapi gagasan-gagasan tentang sikap dan laku seorang laki-laki pada umumnya di dalam masyarakat atas nama mengingatkan dan sayang. Semua seperti sebuah paksaan kepada diriku. Kurang lebih, bunyinya, “Kalau kau mau berteman denganku, kamu harus jadi seperti yang kami inginkan. Kami sayang kepadamu. Kami tidak ingin kau celaka.”
Pada akhirnya, aku mengobrol dengan konselorku melalui WhatsApp. Ia memintaku untuk memetakan dan mengukur pengetahuan mereka soal queer. Lalu, ia memintaku juga mempertimbangkan kelayakan satu demi satu sahabatku untuk menjadi tempat curhat. Ia pun menugaskanku untuk menuliskan berbagai hal positif di dalam diriku. Untuk menuliskan hal positif, memang mudah saja mendaftarnya. Akan tetapi, dayaku serasa hilang entah ke mana ketika mempertimbangkan satu demi satu orang terkait “kelayakannya”. Terlalu banyak saat manis yang kukenang bersama sahabat-sahabatku.
Satu pesan WhatsApp kemudian muncul di layar telepon genggamku: Jangan menggenggam sesuatu yang jelas membuat tanganmu berdarah.
Lalu, aku paham bahwa ini sudah masuk ke daerah pribadiku. Orang-orang yang berani meringsek daerah pribadi ini “tidak boleh seenaknya datang mendekat walaupun kita belum siap” karena “tidak mudah mempertahankan ruang pribadi kita dan tetap tenang.” (Jeong, 98) Maka sebagai langkah pencegahan, aku benar-benar akan mengambil jarak yang sangat jauh dengan orang-orang ini dalam waktu lama.
Ini bukan masalah membalas dendam. Tetapi, aku tidak ingin perkataan demi perkataan itu membuatku memendam makin banyak kepahitan. Judith Butler, yang perkataannya sudah bersemayam di dalam tubuhku sejak 2018, menyatakan dengan tegas bahwa kitalah yang berhak menentukan diri kita. Aku ingin berperilaku wajar karena diriku sendiri. Aku ingin menjadi yang aku kehendaki karena itu adalah kehendakku. Aku sudah punya Tuhan yang menjadi Penguasa atas diriku, dan Ia mengasihiku seperti adanya diriku. Ini adalah afirmasi yang harus aku tanamkan.
Setelah menanamkan afirmasi itu, aku lalu harus benar-benar menguji kelayakan itu dengan pengetahuan orang-orang di sekitarku soal queer. Aku tidak boleh sembarangan bercerita, kalau tidak ingin hatiku sakit kembali. Walau mereka mendengar, tetapi belum tentu mereka benar-benar memahami yang menjadi masalah bahkan sakit hatiku. Inilah jalan panjang itu. Bertemu orang demi orang sama seperti memasuki rumah: mengetuk pintu, mengucapkan salam, lalu menjadi tamu. Belum tentu engkau akan diterimanya. Kalau kau dianggap tidak layak masuk rumahnya, ia akan mengusirmu. Aku belum sampai pada tahap mengusir orang itu. Aku hanya sampai pada menerimanya menjadi tamu. Tidak lebih.
Aku hanya boleh bercerita dengan orang-orang yang sudah kutentukan. Aku tidak memaksa mereka untuk membalas. Aku benar-benar menanyakan kesediaan mereka untuk mendengarkan ceritaku. Akan tetapi, aku hanya akan benar-benar bercerita kepada mereka.
Lalu, yang terakhir, semua kemudian mengarah pada kemampuanku memperbesar daya lenting. Daya lenting di sini adalah caraku menguasai diri dari masa-masa yang tidak menyenangkan. Selain itu, ia juga merupakan kemampuan untuk memperkirakan besar daya yang dibutuhkan untuk bersama dengan orang-orang yang tidak menyenangkan, yang justru akan membuat luka lama berdarah kembali.
Semoga jalan panjang itu membuatku menemukan pelanginya, yaitu mereka yang kasihnya tak bersyarat.