21 Tahun Kemudian
Kejadian di bulan Mei 1998 yang diceritakan 21 tahun kemudian.
Words by Whiteboard Journal
Usia masih menginjak tujuh saat kerusuhan 1998 berlangsung. Saya yang biasanya tak pernah peduli dengan jam pulang ayah yang variatif, merasa khawatir. Ada perasaan tak menentu pada suatu malam ketika saya menunggu ayah pulang dari tempat kerjanya di Sudirman. Di pandangan mata saya, raut muka ibu terlihat resah. Suasana di sekitar rumah juga terlihat lebih waspada dari biasanya. Mencekam.
Siangnya, bel pulang sekolah berbunyi lebih awal. Para guru meminta kami pulang dengan terburu-buru. Di depan pagar sekolah, jemputan saya telah menunggu. Dari boncengan sepeda yang dikayuh lebih cepat dari biasanya, muka-muka orang terlihat kabur. Namun meski begitu, saya bisa melihat jelas rasa khawatir di antara raut mereka.
Ternyata, suasana gelisah ini ada hubungannya dengan sosok yang mukanya dipajang di ruang-ruang kelas kami. Keluarga kami menjulukinya sebagai “Si Mbah”. Yang saya tahu, ia adalah presiden, sosok yang terpilih untuk memegang kekuasaan tertinggi di negara. Sebagai sosok terpilih, beliau pasti adalah yang terbaik dalam hal kenegaraan. Setidaknya begitu yang diajarkan kepada saya saat itu.
Saat itu; di usia tujuh tahun, isi kepala saya masih dipenuhi dengan kekaguman pada komik Sailor Moon. Komik dengan kertas berwarna itu ibarat harta karun untuk saya. Sebagai anak semata wayang, saya dimanjakan oleh ayah yang selalu membelikan komik baru Sailor Moon setiap bulannya.
Sebagai anak kecil, saya melihat profesi presiden sangat adiluhung. Bayangkan, wajah kita bisa muncul di manapun, di dinding rumah, hingga ruang-ruang sekolah. Semua orang tunduk padamu. Melihat orang tua, keluarga besar hingga tetangga memberi dukungan terhadapnya, saya ikut-ikut saja. Ditambah melihat senyum “Si Mbah” menghiasi uang pecahan lima puluh ribuan hingga perangko, rasa kagum semakin berkembang. Nampaknya nikmat sekali duduk di kursi presiden.
Di luar kekaguman saya, ternyata “Si Mbah” punya banyak tangan yang merupakan perpanjangan dari kuasanya. Pelan-pelan, borok “Si Mbah” muncul, kekuasaannya mulai digoyang. Mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat bergerak, menuntut “Si Mbah” lengser. Demonstrasi kemudian berlanjut ricuh. Dan seperti api, kekacauan merembet cepat ke beberapa titik di Jakarta. Salah satunya Sudirman – daerah kantor ayah saya. Ketika kabar tersebut sampai ke kuping, saya hanya membayangkan kerusuhan itu sebatas demonstrasi mahasiswa. Kalau pun besar-besaran, saya pikir Ayah pasti tetap aman di jalan pulang.
Kerusuhan tersebut turut diikuti penjarahan yang terjadi di banyak titik di Jakarta. Mendengarnya, saya membayangkan betapa berantakannya pusat kota. Semua orang masuk paksa ke dalam toko dan mengambil apapun yang mereka mau tanpa izin. Saat itu saya jadi tahu kata “jarah” adalah hal yang tidak baik dilakukan. Tapi bagaimana pihak berwajib menangkap para penjarah? Pertanyaan itu muncul di kepala saya cukup lama setelah menyimak beritanya. Di saat saya sibuk memikirkan jawabannya, orang tua dan orang dewasa sekitar saya sibuk menutupi ketakutannya dari anak-anak dan mencari perlindungan serta berdoa kerusuhan segera reda.
Hari-hari antara tanggal 13 hingga 15 Mei 1998 tentu punya arti berbeda bagi banyak kepala. Tapi bagi saya, hari itu akan saya ingat sebagai saat di mana saya dengan khawatir menunggu ayah pulang kerja. Tanggal 15 Mei 1998, ayah sampai di rumah saat hari sudah malam. Ia membangunkan saya dari tidur dan memberikan edisi terbaru komik Sailor Moon. Beberapa hari kemudian, “Si Mbah” turun dari kursinya pada tanggal 21 Mei 1998.