Apakah Ada Berkah Ramadan untuk Kita yang Ragu Berbenah?
Dalam submisi column ini, Aburizal Khatami merenungkan keinginannya untuk dapat memperbaiki diri di bulan suci meski menyambutnya sudah tidak seantusias di masa kecilnya.
Words by Whiteboard Journal
Saya masih mengingat-ingat kapan terakhir kali saya merasa senang menyambut Ramadan. Mungkin ketika umur saya masih delapan atau sepuluh. Sebab, selain aktivitas berpuasanya, saya tahu di akhir Ramadan nanti akan dapat banyak uang, meski uangnya sebagian akan lenyap ke kantung ibu. Tapi, perasaan saat itu masih terjaga dari bagaimana saya menginginkan Ramadan segera tiba untuk tahun berikutnya.
Dewasa ini, saya masih sedikit lamban bersikap saat menyangka Ramadan sudah ada di sini. Menyambutnya tidak sebahagia dulu. Mungkin ketidaksiapan saya akan satu hal ini perlu dicari alasannya, mengingat saya takut hati dan keyakinan saya meluntur. Hmm, apa sudah meluntur?
Di masa kecil, saya ingat punya teman bernama Dani. Kami memiliki kadar kecanduan warnet yang sama. Suatu hari, ibu menyuruh saya pergi membeli takjil di pasar yang jaraknya kurang lebih tujuh ratus meter dari rumah, sehingga harus menggunakan sepeda motor dan mungkin tidak akan lama. Tapi, Dani menghadang di perjalanan, mengajak saya pergi ke warnet, bermain Point Blank lagi. Saya lupa apa yang terjadi setelahnya. Tapi saya ingat, bencana besar menyambut saat saya kembali ke rumah: ibu menyambut saya dengan penuh amarah karena saya lupa membeli apa yang harus dibeli.
Setiap Ramadan datang, Dani selalu mengajak saya menginap di musala bersama kawan yang lain. Usai tarawih, biasanya kami mengaji terlebih dahulu, sambil mengonsumsi kue dan gorengan yang dibawakan oleh ibu-ibu pengajian. Selesai mengaji, biasanya kami membuat video parodi menggunakan gawai Nokia C3-00. Ada satu video yang kalau ditonton kembali hari ini dapat membuat saya malu dan menyumpahi diri. Ada juga video ketika kami menjahili setiap orang yang sudah terlelap lebih dulu dengan mengoleskan sedikit Autan di mulutnya. Di beberapa malam, Dani juga membawa korek untuk menjahili orang tidur dengan menyundutkannya saat sudah panas ke kulit mereka. Tentu ada yang kesal dan marah. Ada yang pulang dan bergumam lebih baik tidur di rumah saja supaya tidak diusik.
Bagi kami saat itu, Musala malah jadi taman bermain. Dalam seminggu, kami bisa menghabiskan dua sampai tiga malam untuk menginap di sana. Kalau sedang ramai yang menginap, kami akan bermain perang sarung. Kami selalu merasa keren seperti Alejandro Murrieta dalam film The Mask of Zorro saat berhasil mengenai teman kami. Hal yang juga lumrah biasanya kami lakukan adalah bermain petasan di sekitar lingkungan musala. Kami juga hampir mewujudkan buku A.A Navis, karena saat itu api petasan hampir mengenai jendela dan plafon musala. Untung saja tidak.
Rasa-rasanya Ramadan adalah bagian yang benar-benar saya tunggu saat itu. Saya bukan hanya ingin mencari pahala lebih banyak, namun juga suka sekali aktivitas selama Ramadan: mengilhami makna Ramadan dan meninggalkan sejumlah kenangan baik di dalamnya. Saat saya beranjak masuk SMA, perasaan itu mulai pudar. Saya sibuk menjadi seorang yang obsesif pada pendidikan dan menaruh banyak ambisi di sana. Oleh karenanya, banyak salat tarawih yang saya lewatkan saat itu.
Setahun kemudian, Dani melanjutkan pendidikanya ke Pondok Pesantren. Kami tidak kaget, mengingat orang tuanya ingin sekali menyekolahkan anaknya di jalur keagamaan. Tapi, saya menduga Dani akan tetap menjadi orang yang sama: nakal dan enggan patuh.
Ramadan berikutnya, saya dalam persiapan masuk kuliah. Saya sedang butuh-butuhnya amunisi kebatinan untuk keberuntungan saya. Meski sudah banyak ikhtiar, saya juga perlu banyak memohon kepada Tuhan untuk memberikan jalan terbaik. Saya merasa kalian akan melakukan hal yang sama jika ada di situasi seperti ini. Persetan Albert Camus yang berkata bahwa rebel itu prinsip hidup, berlindung dan mengumpat ke instansi seperti agama dan komunitas adalah bentuk kegagalan manusia. Ia memaknainya sebagai bunuh diri secara filosofis eksistensial. Tapi, Camus tidak hidup di Asia, ia tidak tahu apapun yang kami lakukan harus berlandaskan agama. Dan pengaruh filsafat Al Ghozali dan Muhammad Iqal sangat besar di sini, ketimbang teori Absurdism miliknya. Ia tidak merasakan kegelisahan hidup di negara berkembang, apalagi menjadi miskin.
Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Dani di persimpangan menuju musala. Saya terkejut juga senang. Bukan cuma dari raut mukanya yang kini sedikit kelihatan adem. Ia mengenakan jubah panjang dan sorban.
“Assalamualaikum!” Dani menyapa saya.
Saya kira sisa-sisa bebal dahulu tidak lagi terbenam di sana. Ia kini menjadi seorang yang lain, saya menarik kembali perkataan saya saat itu. Pelbagai hal yang pernah kami lakukan dahulu terasa pudar dan menjadi Dani yang baru. Kami bertukar kabar dan cerita, saya bercerita tentang kegelisahan saya karena khawatir tentang hasil kelulusan perguruan tinggi. Dani bercerita, kini ia sedang proses menghafal juz keenamnya. Sebuah pencapaian yang membuat saya ternganga. Wahyu dan ilham apa yang ia dapat?
Keheranan saya tidak habis sampai di situ. Sebab saat memulai salat, Dani mengimami kami semua dan memberi tausiah sebelum tarawih di laksanakan.
Puluhan tahun berlalu, saya masih mengingat bagiamana kegembiraan saya ketika menyambut bulan suci kala itu. Saat ini, saya sedang mencoba menamatkan novel Tin Drum milik Günter Grass di kamar kost ketika Ramadan sudah datang kembali. Aroma sore masih sama meski tahun berganti. Samar-samar suara pengajian menjelang magrib terdengar, banyak orang membuat usaha baru dengan sedikit improvisasi untuk menjual takjil. Saya, yang kini tinggal di Jakarta dan membawa semua mimpi ke sini, malah terlempar ke pekerjaan dengan aktivitas yang statis dan rute bekerja yang itu-itu saja.
Pada satu pagi yang sunyi, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan muncul menguat ke permukaan. Saya tersadar bahwa Ramadan sudah di sini, namun saya tidak menyambutnya dengan baik. Ketika saya pulang ke rumah dan bertemu kembali dengan Dani belum lama ini, ia sudah berkeluarga. Pengetahuan tentang Islam juga pasti sudah jauh ia selami. Meski hidup ini pilihan, tapi rasa-rasanya, menjauh tanpa menimba luasnya ilmu agama akan membuat kita selalu waspada dan khawatir hidup di dunia ini.
Meski banyak orang bilang bahwa Al-Ghazali menjadi salah satu penyebab kemunduran peradaban sains Islam. Tapi, saya mengamini salah satu argumennya di kitab Al-Ghazali yang berbunyi seperti berikut:
“Kesadaranmu di Alam barzakh sama dengan kesadaranmu sewaktu bangun tidur. Jangan-jangan hidup ini adalah mimpi, sebagaimana kamu sadar dari mimpi, tiba-tiba menangis, kesal, atau gembira karena ternyata kita alami cuma mimpi. Dan satu saat, setelah kamu mati dan dibangkitkan di alam barzakh kamu baru sadar, bahwa dunia yang sebesar dan kau kejar ini hanya sebuah mimpi.”
Tulisan ini adalah cerita klise yang mungkin kamu dapati dari cerita banyak orang tentang keinginan seorang yang menjadi lebih baik. Tapi, pertanyaan saya masih sama di Ramadan tahun ini: apakah saya masih berjuang dan senang-senang meraih dunia yang tak kekal ini, sementara jubah terakhir saya, yaitu kain kafan, sedang asyik ditenun dan dipersiapkan jauh di sana menanti dikenakan.