Anak-Anak Perlu Musik bagi Tumbuh Kembangnya, tapi Bukan Lagu Viral TikTok
Dalam submisi open column ini, Anggita Ayunda Sakuntala mengkaji pengaruh musik “viral” terhadap perkembangan anak, pentingnya kehadiran lagu anak-anak untuk menunjang fase tumbuh kembang mereka, hingga implikasinya kepada perilaku generasi belia.
Words by Whiteboard Journal
Saya meyakini di kehidupan kita saat ini musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rutinitas kita sehari-hari. Baik ketika bekerja, berkendara di dalam mobil, atau sekadar mengisi waktu luang dengan rebahan. Seolah kita selalu dicekoki dengan musik di mana pun dan kapanpun, kala menghabiskan waktu untuk sekadar ngobrol atau mengerjakan tugas di kedai-kedai, hampir semuanya menyediakan musik—baik dalam bentuk live music maupun melalui audio yang diputar dari platform-platform musik yang ada. Musik dan kehidupan manusia memang seolah kesatuan yang nyata. Beberapa orang terdekat saya bahkan ada yang mengatakan bahwa musik yang mereka dengar di pagi hari akan mempengaruhi mood mereka sepanjang hari.
Musik sendiri memiliki ragam genre yang begitu banyak dan terus berkembang hingga hari ini. Di Indonesia sendiri, penyanyi-penyanyi pendatang baru terus bermunculan dengan single-singlenya. Hampir setiap minggu atau beberapa hari sekali keluar single baru dari musisi-musisi tanah air, baik musisi pendatang baru maupun yang sudah senior. Sudah sepantasnya hal ini diapresiasi dan dinilai sebagai sebuah kegiatan seni yang positif. Sebab, itu menandakan musik Indonesia masih bisa eksis. Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal dalam benak saya. Bukan sebagai seorang pemusik, melainkan sebagai pendengar dan penikmat musik. Bagiku, saat ini kita berada dalam fase krisis untuk kategori musik anak. Hal ini bukan berarti tidak ada lagi anak-anak yang bernyanyi, melainkan tidak ada lagu yang dinyanyikan untuk anak. Tentu dua hal ini bukan suatu yang sama, karena pada dasarnya memang berbeda maknanya.
Beberapa hari yang lalu sebuah konten Tik-Tok tak sengaja lewat di beranda fyp saya. Isinya berupa sebuah wawancara dengan seorang anak-anak mengenai musik apa yang mereka sukai. Jawabannya tentu sangat luar biasa. Jangan harap yang ia sebutkan adalah judul-judul lagu anak-anak, yang ada justru lagu-lagu orang dewasa yang bahkan mereka sendiri tak paham maknanya dan juga isi dari tiap penggalan lirik-liriknya. Lantas, kalau sudah begini salah siapa?
Bicara soal salah atau benarnya hal ini sangatlah rumit dan membingungkan. Bagaimanapun perkembangan teknologi saat ini bergerak dengan sangat cepat. Semua orang bisa mengakses apapun, kapanpun, dan di mana pun—termasuk anak-anak. Siapa yang bisa menjamin mengenai hal apa yang akan diakses oleh anak-anak melalui gadget yang ada di tangannya?
Meski tidak ada batasan untuk terkait hal-hal yang dapat diakses, tentu ada orang tua yang berkewajiban untuk mengontrol anak-anaknya. Tapi, kembali lagi, apakah cukup hanya dengan kontrol dari orang tua? Nah, kira-kira begitulah kerumitan yang akan kita hadapi apabila membahas salah-benar mengenai hal ini.
Terlepas dari salah atau benar, anak-anak sangat layak untuk memperoleh musik yang sesuai dengan usianya. Bagaimanapun manusia memiliki fase dalam hidupnya dan tentunya setiap fase memiliki dimensinya masing-masing. Fase anak-anak adalah saat di mana mereka perlu belajar, bereksplorasi, dan mengenal rutinitas sehari-hari. Apabila kita menengok 20 atau setidaknya 15 tahun yang lalu, lagu anak-anak sangat menggambarkan fase yang ada pada diri mereka. Saya sendiri bersyukur pernah mengalaminya.
Sebagai manusia yang kini berada di fase quarter life, saya masih ingat sekali ketika dibelikan kaset-kaset lagu oleh orang tua saya waktu masih kecil. Lagu-lagu itu dinyanyikan dengan irama yang riang jenaka, dengan komposisi nada yang sederhana. Lirik-liriknya pun cukup relate dengan fase kanak-kanak. Sebut saja lagu-lagu seperti “Bangun Tidur” yang menggambarkan aktivitas anak-anak. Lagu itu tentu berisi pesan moral yang baik mengenai apa yang harus dilakukan oleh anak-anak sehabis bangun tidur. Lagu “Du Di Dam”, bila dicermati berisi pesan moral yang baik juga mengenai makan, bagaiamana seharusnya anak-anak makan, masih kecil makan disuap, mau mimik mama yang buatin, sudah besar harus bisa bantu mama.
Lagu-lagu pop anak pada saat itu juga banyak memiliki pesan moral yang cukup baik. Tidak sedikit juga yang mengajarkan kasih sayang dan nilai-nilai. Lirik “Andai Aku Besar Nanti” —salah satu lagu favorit saya yang dinyanyikan Sherina ketika masih kanak-kanak—senantiasa memacu diri saya untuk memiliki harapan baik sewaktu kecil dulu, supaya ketika dewasa harus bisa membanggakan ayah dan bunda. Tengok juga lagu “Libur Telah Tiba” yang dinyanyikan Tasya, bukankah lagu itu sangat mampu menggambarkan atau mengekpresikan segala yang ada dalam kehidupan anak-anak?
Berbanding terbalik dengan fase kanak-kanak yang saya alami. Saat ini banyak anak-anak yang tidak tahu apa makna lagu yang mereka dengarkan. Mereka mendengarkan lagu sesuai apa yang saat ini viral, meskipun seharusnya patut dipertanyakan apakah mereka seharusnya mereka pantas mendengarkan lagu-lagu tersebut. Sebut saja seperti lagu “Ajojing Ala-ala Ajojing”, kemudian “Mangku Purel” yang liriknya sangat tidak layak untuk didengarkan oleh anak-anak. Ada juga lagu “Ojo Dibanding-Bandingke’, yang saking viralnya sampai diwajarkan para orang tua untuk dinyayikan oleh anak-anak. Mungkin, karena sempat dinyanyikan oleh seorang anak-anak, di depan Presiden pula. Tapi, apakah sejatinya lagu ini pantas untuk diperdengarkan kepada anak-anak? Saya yakin apa yang ada dipikiran kalian sama dengan apa yang ada di pikiran saya. Lagu ini tidak salah untuk diciptakan, hanya saja tidak tepat untuk dijadikan sebagai lagu yang wajar untuk didengarkan oleh anak-anak.
Perlu diketahui sebelumnya dalam tumbuh kembang balita hingga anak-anak terdapat periode Golden Age atau usia emas. Pada tahapan ini, anak-anak akan mengalami kemampuan motorik dan kognitif yang berkembang dengan pesat dan akan menentukan pada perkembangan selanjutnya. Maka, periode ini sangatlah penting untuk dipahami oleh setiap orang tua. Perlu untuk mengarahkan anak-anak untuk mencapai kehidupan yang semestinya. Misalnya, mengenalkan mereka pada alam serta hal-hal baru yang baik untuk perkembangannya, termasuk memperhatikan musik apa yang seharusnya diperdengarkan.
Melansir dari beberapa sumber, musik diyakini mampu berperan hingga 30% dalam merangsang kemampuan sensorik, motorik, juga kognitif pada anak. Namun, jenis musik yang diperdengarkan kepada anak-anak tentu akan menghasilkan output yang berbeda-beda, seperti apabila anak-anak mendengarkan musik klasik, kartun, maupun musik yang saat ini banyak viral. Musik klasik mampu menurunkan energi negatif sehingga outputnya anak-anak akan lebih tenang dan sensitif. Anak-anak yang mendengarkan lagu-lagu kartun maupun lagu pop anak akan memiliki perilaku yang ceria. Sedangkan, mari kita lihat bagaimana perlakuan anak-anak yang mendengarkan lagu ataupun musik yang tak sesuai dengan umurnya. Tidak jarang anak-anak berperilaku kasar dan berkata-kata tidak pantas. Bukan karena mereka menyadari makna kalimat yang mereka keluarkan, melainkan karena kalimat itu sering mereka dengar.
Musik memang memiliki banyak fungsi bagi anak-anak. Salah satunya adalah untuk meningkatkan kemapuan berpikir, daya ingat, mengembangkan keterampilan, mengajarkan hal baru, serta meredakan stress. Kembali lagi dalam hal ini, orang tua sangatlah perlu untuk memilih dan memilah musik apa yang harus diperdengarkan kepada anak-anaknya. Sehingga, tidak timbul lagi permasalahan musik anak yang terancam punah dan juga anak-anak yang kehilangan jati dirinya. Sebab, musik sendiri juga bisa membantu orang tua dalam memberikan pelajaran terhadap anak, seperti mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris untuk menambah kosakata mereka, mendengarkan lagu-lagu religi untuk mengenalkan mereka kepada Tuhannya, dan tentunya memberikan mereka lagu-lagu yang sesuai umurnya.
Sejatinya, lagu-lagu anak di desain supaya mereka mampu mengenali fase yang ada pada diri mereka. Hal ini tentu juga menjadi PR seluruh kalangan. Lagu anak-anak tidak akan ada kalau tidak ada musisi yang berkeinginan untuk menciptakannya. Lagu-lagu tersebut juga tidak akan hits dan sampai pada anak-anak kalau yang diberikan adalah lagu-lagu viral di media massa—yang tidak seluruhnya di desain untuk mereka. Maka, perlu kesadaran banyak pihak untuk mengembalikan musik yang semestinya didengar oleh anak-anak, sebab anak-anak berhak untuk memperoleh musik yang semestinya.