Kukira Lagu Bernadya, Ternyata Kisah Nyata
Dalam submisi Open Column ini, Rinaldi Fitra Riandi menuliskan bagaimana lagu Bernadya bisa menjadi titik mula yang baik untuk kita memahami cara menghadapi patah hati, dan pentingnya cuti patah hati.
Words by Whiteboard Journal
Bernadya menjadi buah bibir di jagat maya. Penyebabnya adalah para warga berbondong-bondong mencari pelaku yang telah menyakiti hati perempuan yang akrab disapa Nadya tersebut.
“Siapa sih yang nyakitin hati lu? Biar gue bikin tahu geprek,” cuit seorang warganet di platform X yang diikuti oleh komentar-komentar lainnya.
Perburuan itu berlangsung usai Bernadya mengeluarkan album perdananya, Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan. Tapi, kita semua tahu perburuan itu hanya pepesan kosong belaka. Siapa pun sosok pelakunya—tentu bukan saya—hanya Tuhan dan Nadya yang tahu kisah sesungguhnya.
Terlepas dari drama warganet di jagat maya, karya-karya Bernadya mendapat sambutan hangat dari seluruh pecinta musik di Indonesia. Sebelum album perdana meluncur ke telinga kita, solois perempuan muda yang bernaung di bawah label Juni Records, berhasil membuat banyak insan korban ghosting dan putus cinta ambyar berkat lantunan sendu nomor “Apa Mungkin” dan “Satu Bulan.” Tak tanggung-tanggung, saking masyhurnya, nomor “Apa Mungkin” telah diputar sebanyak 84,9 juta kali, sedangkan nomor “Satu Bulan” telah diputar sebanyak 37,9 juta kali di layanan aplikasi musik streaming Spotify pada Juni 2024.
Hal itu barangkali membuat Bernadya menjadi musisi yang patut diperhitungkan secara prestasi lagu di industri musik populer tanah air. Mengingat karya-karya miliknya banyak digemari dan relevan bagi banyak orang. Hmmm… pantas saja, banyak orang rela menjadi loyalis garis keras Bernadya yang siap pasang badan untuk melindungi sang biduanita dari segala marabahaya.
Bernadya, Penyambung Lidah Kaum Pesakitan
Tepat 24 Juni 2024, pukul 00.00 WIB. Album Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan resmi dirilis dan beredar di pelbagai layanan aplikasi musik streaming.
Total terdapat delapan track lagu di dalam album tersebut. Uniknya, Bernadya—dan jangan lupakan kerja-kerja tim promosi Juni Records—membagi kedelapan lagu tersebut ke dalam tiga fase yang jamak dijumpai oleh kita dalam babak kandasnya hubungan asmara.
Fase pertama, Heartbreak, fase ketika pengorbanan cinta yang sia-sia dan kita berpikir untuk mengakhiri hubungan yang tersirat di nomor “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”, “Kata Mereka Ini Berlebihan,” “Lama-Lama,” dan “Kita Kubur Sampai Mati.” Fase kedua, Self Doubt, fase ketika kita mulai mempertanyakan keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan yang tersirat dalam nomor “Ambang Pintu” dan “Berlari.” Fase ketiga, Realization, fase ketika kita mulai menerima dan memahami bahwa seseorang bukan ditakdirkan sebagai jodoh kita yang tersirat di nomor “Kini Mereka Tahu” dan “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan.”
Sangat brilian, ketiga fase atau—lebih tepatnya panduan mendengar album—ini seperti semakin mempersonalisasi pengalaman pendengar karya-karya Bernadya atas kisah cintanya yang kandas. Dengan beragam testimoni yang muncul, seperti: “An***, relate semua lagi lagunya sama gue,” atau “kukira lagu, ternyata kisah cintaku.”
Bernadya tampak tahu tema cinta merupakan hal universal dan pengalaman personal yang hinggap di hampir setiap sanubari seseorang. Bahwa cinta tak melulu ihwal memelas ingin dikasih atau sedih tak berujung belaka. Tetapi ada pula unsur emosional seperti merelakan, merayakan, kegamangan, hingga kemuakan di setiap fase kehidupannya.
Hal itulah membuat album Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan relevan dan digemari banyak orang. Karena seluruh nomor album tersebut merekam beragam rasa dan testimoni yang dialami para pendengar Bernadya.
Tentu saja, apiknya album ini tak akan hadir tanpa kepiawaian menulis lirik dan menjadi pendengar curhatan hati yang baik.
“Bukan cuma cerita aku, tapi dari cerita temen-temen aku juga,” ujar Bernadya menceritakan inspirasi dalam menulis lirik lagu pada sebuah siniar.
Ambil contoh: “Ku batalkan setiap janji / Hanya karena takut tiba-tiba kau butuh aku di sisimu,” dalam interlude lirik “Kata Mereka Ini Berlebihan” yang membuat banyak orang kembali mengingat pengorbanan untuk orang terkasih.
Lalu, simak bagian verse ini: “Ingin sempurna di matamu / Hanya itu yang aku mau / Namun tampaknya sempurna tak cukup / Bila ternyata aku bukan yang kau perlu,” seketika membuat perasaan kita terhenyak dan segera menyadari bahwa kita sudah tidak dibutuhkan sang pujaan hati. Di momen itu pula, Bernadya membiarkan kita meneteskan air mata untuk meresapi rasa sakit yang menancap di dada.
Di nomor-nomor berikutnya, lagu yang digubah pun tak kalah menakjubkan dan bikin hati bergetar hebat. Penasaran? Coba saja dengar sendiri di kamar di saat suasana hatimu patah hati dan hujan mengguyur bumi di malam hari.
Dengan kelugasan Bernadya bertutur di setiap lagunya, dan aransemen musik ciamik gubahan sang produser Petra Sihombing dan Rendy Pandugo yang menggawangi urusan musik. Maka tak berlebihan, jika menasbihkan Bernadya sebagai penyambung lidah kaum pesakitan yang menjadi korban kandas dalam hubungan asmara berkat karya-karyanya yang mewakili perasaan mereka.
Urgensi Cuti Patah Hati
Asmara ibarat dua sisi mata pisau. Jika asmara kadung melekat di hati, adrenaline dipastikan akan meninggi. Secara disadari atau tidak, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan. Contoh: Memakai parfum, mengenakan setelan baju rapi, mendaki gunung Himalaya, hingga mengarungi ombak samudra. Intinya, apa saja akan dilakukan demi meraih perhatian sang pujaan hati.
Tetapi masa emas itu akan berbalik sekejap mata kala cinta tak berbalas dan pujaan hati meninggalkan kita. Dunia kokoh yang kita bangun terasa runtuh seketika. Jennifer Kelman, seorang pekerja sosial klinis berlisensi dan pelatih kehidupan di AS, mengatakan bahwa patah hati dapat menyebabkan perubahan nafsu makan, kurangnya motivasi hidup, penurunan atau kenaikan berat badan, makan berlebihan, sakit kepala, sakit perut, hingga gejala tidak enak badan.
Saya tidak meragukan lagi apa yang dikatakan Kelman. Saya sudah merasakannya beberapa bulan sila. Patah hati membuat hidup seperti di neraka, seolah kehidupan tak lagi memiliki makna saat pujaan hati tak memiliki perasaan yang sama.
Sebetulnya dalam nomor Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan yang juga menjadi tajuk di album perdananya. Bernadya menuturkan beratnya hari-hari seseorang saat hati sedang dilanda lara:
Ini yang takkan kau tahu
Betapa beratnya malamku tanpamu
Betapa ‘ku berharap
Setiap malam jadi yang terakhir
Sekali lagi angkat topi untuk Bernadya karena sudah menyampaikan keresahan para kaum pesakitan. Sebagai fans berat pun saya ikut bahagia dengan pencapaian sang idola. Namun, ada beberapa hal yang mengganjal pikiran saya saat melihat testimoni warganet terhadap karya-karya Bernadya. Komentar-komentar seperti: “Aku lagi di fase lagu itu malahan,” “aku masih di fase buat lupain dia,” hingga yang paling pedih “aku masih trauma sama hubunganku yang dulu,” berseliweran di linimasa media sosial.
Sebuah studi yang dipublikasikan Journal of Neurophysiology menjelaskan bahwa pemutusan hubungan romantis dan kehilangan menyebabkan depresi klinis. Bahkan dalam beberapa kasus-kasus ekstrim dapat menyebabkan kasus bunuh diri (Fisher et al, 2010). Tentu saja, perkara hati tak bisa dianggap sepele.
Nahasnya, saat kita mengalami patah hati, kehidupan terus berjalan. Tak ada kompromi untuk hati yang tengah terluka. Terlebih untuk para buruh seperti kita, kita harus pandai menutup rapat-rapat rasa sakit yang amat pedih akibat patah hati. Atas nama profesionalitas pekerjaan, target produksi dari majikan pemilik perusahan harus tetap terpenuhi. Persetan dengan patah hati yang membuat hati menjadi pilu.
Ketika para pengurus publik di Indonesia mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menyerahkan secara bulat-bulat urusan cuti buruh pada majikan pemilik perusahaan dengan meniadakan ketentuan waktu cuti dalam pasal 79 Perppu Ciptaker. Jadi yang berhak menentukan cuti adalah majikan, dan negara tidak akan ikut campur dalam urusan perburuhan. Dalam kasus ini, seringkali majikan dengan sengaja memperpanjang jam kerja dan tidak memperbolehkan buruh mengambil jatah cuti.
Pang Dong Lai, perusahaan ritel di Provinsi Henan, China, justru memberlakukan kebijakan “The Unleave Happy” atau cuti tidak bahagia di tempat kerja. Para buruh yang tengah dilanda kesedihan dapat mengambil cuti tambahan selama 10 hari per tahunnya. Tentunya jatah cuti ini terpisah dengan jatah cuti tahunan sebanyak 40 hari.
Sang pemilik dan pendiri perusahaan, Yu Dong Lai mengatakan bahwa cuti ini sangat penting agar para buruh mendapat mendapatkan kehidupan yang sehat. “Setiap orang memiliki saat-saat di mana mereka tidak bahagia, jadi jika Anda tidak bahagia, jangan datang ke tempat kerja.”
Hal ini berbanding sangat kontras dengan budaya kerja “996” yang melelahkan dan lazim diterapkan sebagian besar perusahaan di China. Buruh diharuskan masuk jam 9 pagi hingga jam 9 malam setiap 6 hari kerja dalam sepekan. Menurut survei tahun 2021 tentang kecemasan di tempat kerja di China, lebih dari 65 persen karyawan merasa lelah dan tidak bahagia di tempat kerja.
Kita patut mengapresiasi dengan apa yang dilakukan oleh Yu Dong Lai di China. Namun, saya menduga lahirnya kebijakan cuti tidak bahagia ini tidak datang atas kebaikan hati sang majikan. Tentu ada andil gerakan buruh dan serikat-serikat yang getol menggeruduk ruang manajemen hingga kantor-kantor pengurus publik untuk memperjuangkan jam kerja layak.
Agaknya, wacana cuti patah hati cukup terdengar utopis lantaran lekatnya maskulinitas di lingkungan sosial kita. Simak saja dalam percakapan di kehidupan sehari-hari, bila ada kawan atau kita sendiri yang terkena symptom patah hati. Pasti selalu ada saja orang yang memberikan komentar—bahkan tanpa diminta—seperti “alaah gitu aja lebay,” “jangan cengeng dong,” “kan kamu bisa cari lagi, emang cuma dia doang,” dan komentar bernada nirempati lainnya
Belum lagi, persoalan lainnya, kita terganjal aturan perusahan yang ogah memberikan hak cuti. Karena waktu cuti hanya dianggap menambah beban perusahaan dan mengurangi tingkat produktivitas oleh majikan yang tak mau pundi-pundi keuntungannya berkurang satu rupiah pun.
Padahal dalam urusan patah hati, setiap orang memiliki cara menghadapi lukanya masing-masing. Ada yang lebih cepat maupun lebih lambat untuk pulih. Kita tentu membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dan menepi sejenak dari rutinitas pekerjaan. Selama cuti, banyak hal yang bisa kita lakukan seperti melakukan hobi baru, bertemu teman-teman dekat, beribadah, hingga berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Tapi, sekali lagi, wacana cuti patah hati haruslah didengungkan di seluruh tempat kerja, tongkrongan, dan hunian-hunian buruh. Karena kita berhak untuk memiliki tubuh dan jiwa yang sehat. Toh, ketika tubuh dan jiwa kita dilanda sakit, kita tak akan bisa memutar kembali waktu ke masa lampau.
Dari album baru Bernadya, Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan, akhirnya kita belajar bahwa urusan personal semacam patah hati juga merupakan persoalan politis, dan kebijakan “cuti patah hati” harus diperjuangkan bersama.
Untuk kamu yang masih berjuang untuk sembuh dari patah hati. Jangan patah arah, ceritakan kesedihanmu kepada orang yang dapat kamu percaya. Lukamu valid, dan kami percaya akan hal itu.
Namun jika patah hati merenggut senyum manismu itu, dan mengganggu hari-hari di hidupmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan konseling psikologis, dan menghubungi lembaga penyedia layanan bantuan psikologis di bawah ini:
Yayasan Pulih (Jakarta dan sekitarnya) : www.yayasanpulih.org
Rifka Annisa (Yogyakarta dan sekitarnya): www.rifka-annisa.org
Savy Amira (Surabaya dan sekitarnya): www.savyamirawcc.com
Hidupmu sangatlah berharga. Kami selalu menantikan senyum manis itu terulas di pipimu lagi. Semoga lekas sembuh! 🙂