Apakah Jaksel Memang Seistimewa Itu secara Historis?
Dari letak geografis yang strategis hingga pembebasan lahan yang cukup mudah, Ariz Rahman Hasraf menjelaskan sejarah popularitas Jakarta Selatan menggunakan perspektif sosio-spasialnya dalam submisi Open Column ini.
Words by Whiteboard Journal
Pernah mendengar istilah “adidas banget lo”? Bukan adidas merek loh ya, tetapi plesetan Anak Disko dari Selatan. Istilah tersebut disematkan oleh masyarakat Jakarta untuk menggambarkan betapa modernnya Jakarta Selatan tempo dulu, sekitar 1970-an. Dahulu, Jakarta Selatan bisa dikatakan pusat modernitas, khususnya bagi anak muda, karena memiliki daya tarik untuk menghabiskan waktu dan uang di sana, khususnya di pusat perbelanjaan modern.
Menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), jumlah pusat perbelanjaan di Jakarta mencapai 96 per 16 Januari 2023. Jakarta Selatan menempati peringkat teratas dengan total 28 pusat perbelanjaan modern. Beberapa di antaranya bahkan padat di satu tempat, seperti kawasan Blok M yang pernah memiliki 5 pusat perbelanjaan modern (Blok M Plaza, Blok M Mall, Blok M Square, Melawai Plaza dan Pasaraya). Di balik menjamurnya pusat perbelanjaan modern di Jakarta Selatan, apa yang menjadikan latar belakang penentuan lokasi pusat perbelanjaan?
Utamanya, Jakarta Selatan dianggap memenuhi persyaratan sebagai pusat perekonomian
Pada dasarnya, penentuan lokasi suatu pusat perbelanjaan harus memperhatikan aspek jarak karena akan mempengaruhi pilihan konsumsi masyarakat. Lokasi terbaik bagi pusat perbelanjaan adalah lokasi yang dapat menghasilkan penjualan tertinggi. Dalam buku 4 Langkah Penting dalam Manajemen Pusat Perbelanjaan Asia, Cassaza dan Spink mengatakan bahwa idealnya lokasi pusat perbelanjaan harus dekat dengan sarana transportasi publik, arus lalu lintas ramai, dan dikelilingi wilayah tangkapan luas. Jakarta Selatan memiliki semua alasan tersebut dan melewati proses panjang penyeleksian pemekaran wilayah.
Pasca kemerdekaan pada 1948, Jakarta memerlukan pemekaran untuk mengantisipasi penduduk yang semakin membludak. Menanggapi hal tersebut, pemerintah khawatir akan kekurangan lahan perumahan. Oleh karenanya, pemekaran diperlukan guna memperluas kawasan perumahan karena akan menampung tidak hanya penduduk lokal, tetapi juga menghadapi urbanisasi Pegawai Negeri Sipil.
Pemekaran ke arah Selatan menjadi pilihan tepat yang difungsikan sebagai pusat perekonomian. Letaknya strategis dekat pusat kota (Jakarta Pusat) dan wilayah pinggirannya, seperti Tangerang, Depok, maupun Bogor.
Pemerintah merencanakan pusat kota difokuskan sebagai pusat pemerintahan saja, maka pusat perekonomian sengaja digeser agar tidak tumpang tindih secara fungsi. Konsep ini mirip dengan situasi sekarang, di mana pemerintah membangun Ibu Kota Nusantara yang ditujukan sebagai pusat pemerintahan dan Jakarta menjadi pusat perekonomian negara. Faktor ini mereka anggap penting karena jika salah satu kota lumpuh, maka negara masih dapat berdiri tegak, menghindari pusat pemerintahan dan perekonomian menjadi satu.
Selain itu, Jakarta Selatan dianggap lebih istimewa secara geografis
Mengapa bukan ke arah Timur, Barat, atau Utara yang dekat dengan lautan?
Pembangunan ke arah Utara dan Barat dirasa tidak tepat karena masih banyak rawa-rawa sehingga menyulitkan pembebasan lahan. Proses pengeringan rawa akan memakan biaya besar, sedangkan pusat perekonomian perlu cepat direalisasikan. Kemudian, pembangunan ke arah Timur dianggap terlalu jauh dan tidak ingin terlihat sebagai wilayah pinggiran di masa mendatang atau pintu gerbang masuk Jakarta.
Pemekaran kota ke arah Selatan dianggap cocok karena saat itu lingkungan udara masih sejuk dan harga tanah masih murah. Faktor lainnya yang menguntungkan yaitu tanah lebih tinggi, sehingga risiko banjir dinilai akan lebih rendah. Pada 1948, laporan mengatakan bahwa tinggi tanah di Selatan mencapai 50 meter di atas laut. Selain itu, pembebasan lahan ke arah Selatan cukup mudah karena sebagian besar merupakan area perkebunan, banyak lahan kosong karena jarang perumahan, dan rendahnya jumlah penduduk.
Pembangunan Jakarta Selatan dimulai dari Kebayoran Baru
Pembebasan lahan dalam membangun wilayah Selatan, dimulai dari pembangunan Kebayoran Baru sebagai kota satelit. Pembangunan kota baru ditata langsung oleh arsitek lokal, M. Soesilo pada 1948. Beliau merupakan lulusan Planologi Institut Teknologi Bandung. Pembangunan kota baru menerapkan konsep kota taman, belajar dari kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Maklum, kawasan Menteng telah jauh berkembang dari segi tata kota.
Pembangunan kota dimulai dari pembebasan lahan. Pada 1948, tanah Kebayoran Baru terbilang murah. Harganya 2 gulden per meter dan setiap orang mendapat sekitar 10.000 gulden. Alat tukar masih menggunakan gulden karena pemerintah bekerja sama dengan pengelola asal Belanda. Saat itu, nilai jual sebanding dengan setiap orang dapat naik haji menggunakan kapal laut. Kemudian, mengapa bisa dikatakan murah? Karena pemerintah mendapatkan tanah yang luas.
Berbeda dengan sekarang, tanah di Kebayoran Baru menjadi wilayah termahal ketiga di Jakarta, setelah Sudirman dan Menteng. Selain itu, mahalnya tanah tidak sebanding dengan luas tanah. Harga tanah berkisar Rp50-100 juta per meter. Mahalnya tanah di Kebayoran Baru bukan tanpa alasan. Faktor penunjang kawasan ini seperti kawasan perkantoran dan banyaknya pusat perbelanjaan modern menjadi alasan kuat mahalnya tanah di Kebayoran Baru.
Melihat perkembangan sekarang, pemerintah berhasil mencapai tujuan membangun wilayah Selatan sebagai perekonomian. Kawasan ini ditata sedemikian rupa sejak awal agar memenuhi syarat perkotaan modern yang memiliki banyak ruang terbuka hijau. Lebih hebatnya, kawasan ini dibagi dalam beberapa kawasan blok sesuai dengan fungsinya. Setiap blok diberi nama berdasarkan alfabet, dimulai dari Blok A hingga S. Hal ini tentu memudahkan bagi siapapun untuk menghafalnya.
Blok M sebagai kawasan ramai pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan
Sebagai pusat perekonomian, Kebayoran Baru menempatkan Blok M sebagai sentral pusat perbelanjaan modern di Jakarta Selatan. Lokasinya tepat di tengah perkotaan. Sesuai dengan teori zona konsentris milik E. W. Burgess terkait pusat kegiatan ekonomi yang berada di zona sentral atau zona satu sebagai pusat kegiatan kawasan. Kawasan ini juga memiliki akses yang memadai karena dekat dengan jalur utama yang mempunyai intensitas arus lalu lintas tinggi.
Pusat perbelanjaan modern di Blok M menjadi salah satu daya tarik masyarakat Jakarta Selatan menghabiskan akhir pekan. Pada masanya, terdapat lima pusat perbelanjaan modern yaitu Aldiron Plaza (1978), Pasaraya, (1981), Melawai Plaza (1983), Plaza Blok M (1990), dan Mall Blok M (1992). Di sana tumbuh pusat modernitas dengan adanya westernisasi seperti diskotek (Lipstick Disco Skate) yang menyajikan nuansa berbeda, bermain skating ditemani musik disko. Fenomena lainnya seperti Lintas Melawai juga ramai pada masanya sebagai salah satu aktivitas remaja bersantai di sepanjang jalan, dari Gereja Blok B sampai Melawai Plaza. Pusat perbelanjaan modern telah mengakomodasi sebuah kombinasi, aktivitas bersantai dan mengonsumsi.
Periode 1990-an menjadi masa ketika para perusahaan swasta berlomba dalam membangun pusat perbelanjaan modern di DKI Jakarta, khususnya Jakarta Selatan. Pada 1991, Pondok Indah Mall berdiri dengan luas bangunan megah seluas 30.000 meter persegi, di kawasan pemukiman kelas atas Pondok Indah. Pondok Indah Mall (PIM) dibangun sebagai pengalih pusat perbelanjaan modern lain seperti Kebayoran Baru (Blok M) dan Senayan. Pembangunan ini menyebabkan Plaza Blok M yang luasnya 11.355 menjadi tidak ada artinya lagi.
Tidak hanya di PIM, pusat perbelanjaan modern lain seperti Kalibata Mall (1991), Plaza Senayan (1995), dan Mall Ambassador (1997) turut meramaikan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta dan perlahan menutup kejayaan kawasan Blok M sebagai kawasan pusat perbelanjaan modern. PIM menyajikan suasana meriah dengan gaya arsitektur menara dan bendera di dalam bangunan agar tampak meriah, Plaza Senayan menerapkan gaya internasional, dan Mall Ambassador menyatukan pusat perbelanjaan dengan apartemen. Dalam perkembangannya, pusat perbelanjaan modern memang perlu berinovasi agar tidak ketinggalan zaman.
Sejak dahulu, Jakarta Selatan dikenal sebagai tempat menjamurnya pusat perbelanjaan modern. Maka sekarang tidak perlu heran, sesuai dengan visi pembangunan, kebanyakan pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan berada di dekat kawasan pemukiman yang padat. Oleh karena itu, banyak bisnis properti atau ritel berani membangun pusat perbelanjaan modern di Jakarta Selatan. Sekarang, pusat perbelanjaan modern tidak hanya sebagai pusat perekonomian, tetapi sebagai tempat untuk mencari hiburan, interaksi, bahkan gengsi.