Siasat Apa yang Bisa Kita Lakukan dalam Menghadapi Krisis Iklim?
Dalam submisi column ini, Sekar Banjaran Aji Surowijoyo melihat kegigihan dan keunikan upaya orang-orang dalam memerangi krisis iklim, baik dalam level individual maupun kolektif.
Words by Whiteboard Journal
Tidak ada kata menyerah, sebab kita manusia harus terus bertahan dalam krisis. Barangkali semangat itu yang hari ini kita harus hidupi. Kata-kata tersebut saya dapatkan saat diskusi dengan Mentari (nama samaran), mahasiswa salah satu kampus negeri di Depok. Ia mengeluhkan rambutnya yang mudah lepek karenasemakin panas dan tingginya polusi di area Jabodetabek. Dia baru menginjak awal 20 tahun dan sudah frustasi mencari produk sampo yang mampu menolong rambutnya.
“Meskipun sulit tapi saya yakin akan ada solusi untuk rambut lepek ini. Aku yakin semakin tua akan semakin banyak frustasi yang harus aku hadapi, nggak mungkin dong aku nyerah gitu aja,”ujarnya.
Hendrikus “Franky” Woro, salah satu pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, punya frustasi yang sama dengan Mentari. Franky merupakan pemimpin marga Woro–bagian dari Suku Awyu. Marga Woro mendiami Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel. Sebuah suku yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Menurut Franky, hutan adat adalah rekening abadi bagi seluruh masyarakat adat Awyu. Sebab, hutan adalah tempat mereka mencari sumber pangan, obat-obatan, dan penghasilan ekonomi. Fauna endemik seperti burung cenderawasih pun hidup di sana.
Pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT Indo Asiana Lestari (IAL) yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat Suku Awyu. Izin lingkungan PT IAL diperkirakan bakal memicu deforestasi di area seluas 26.326 hektare. Hilangnya hutan akan memperparah ancaman krisis iklim. Suku Awyu khawatir perusahaan sawit akan merusak hutan adat mereka. Selain itu, izin PT IAL diduga melanggar prosedur karena tak melibatkan masyarakat adat suku Awyu sebagai pemilik tanah adat. Franky Woro juga tak mendapat informasi tentang rencana operasi PT IAL. Ia sudah mencari tahu ke sana-sini, tapi pemerintah terkesan seperti menutup informasi. Bukan cuma melanggar aturan, penerbitan izin perusahaan sawit juga tak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim.
Dalam laporan Greenpeace ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’ mencatat, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektar sejak 2017. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia All Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah di bawah bendera perusahaan East West One.
Menyiasati frustasi atas informasi yang tak pasti, lantas Franky mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura pada Senin, 13 Maret 2023 lalu. Gugatan ini menyangkut izin PT Indo Asiana Lestari yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Papua. PT IAL mengantongi izin perusahaan sawit seluas 39.190 hektar di Boven Digoel–kini Provinsi Papua Selatan. Konsesi tersebutlah yang akan mencaplok hutan adat milik suku Awyu.
Litigasi Iklim yang dipilih Franky sebenarnya punya makna yang luas, sebab digunakan dalam sengketa terkait perubahan iklim—seperti langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, maupun litigasi untuk mengkatalisasi perubahan sosial, hukum, dan kebijakan dalam isu perubahan iklim. Siasat litigasi iklim merupakan pilihan yang cukup kompleks mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan. Selain argumen hukum, ia juga harus memastikan kesiapan komunitas penggugat, termasuk pengetahuan soal krisis iklim dan kesadaran komunal untuk menyiasati krisis iklim.
Keresahan Franky pada krisis iklim sama seperti keresahan kita, bahwa krisis ini bukan keresahan tunggal melainkan keresahan ragam. Keresahan tersebut meliputi ketakutan akan banyak kehilangan banyak hal seperti hutan, ruang hidup, pengetahuan lokal, budaya adat, tradisi, hingga identitas. Hal-hal tersebut memburunya setiap hari hingga membayangkan kepunahan sebagai manusia Awyu begitu mudah terbayang di dalam kepalanya. Memilih litigasi iklim sebagai siasat adalah pilihan melawan untuk bisa bertahan dan eksis dalam simulakra krisis.
Kita selalu punya keresahan-keresahan kita sendiri dalam gempuran krisis iklim tapi akan selalu ada caranya. Hari ini Mentari memilih mencari shampo terbaik, Franky memilih gugatan litigasi iklim, dan saya memilih untuk menulis tulisan ini. Lantas, apa siasatmu?