Kenalilah Dirimu Sendiri agar Lebih Bahagia
Dalam submisi column ini, Fajar Shabana Hafiiz menulis cerita tentang kesederhanaan dan bagaimana hidup bergelimang harta benda sering kali membuat manusia berjarak dari hal yang paling fundamental dalam memperoleh kebahagiaan, yakni “dirinya” sendiri.
Words by Whiteboard Journal
Dulu, mungkin, ibu dan bapakmu tidak gampang tegoda dengan beberapa barang yang mereka idam-idamkan. Biarpun tak punya uang, mereka tetap sabar menabung dan berusaha mencari uang hingga terkumpul sejumlah harga barang yang mereka ingin beli. Mereka jaga uang itu baik-baik sampai ke depan kasir sebuah toko dan sambil riang menggenggam barang yang diimpikannya datang.
Bapak dan ibumu pandai mengelola keuangan. Kendaraan, rumah, bahkan tabungan pendidikan untuk kakak dan adikmu saja sudah mereka rencanakan dan mereka mulai kumpulkan dari masa awal percintaannya. Mereka pandai mengelola nafsu, bapakmu bukan penghisap rokok, peminum alkohol, pecandu judi, apalagi wanita. Bapakmu pekerja keras, tak ada pengeluaran yang ia keluarkan selain bensin literan.
Ibumu wanita dewasa yang pandai mengatur perekonomian keluarga. Ia juga tak banyak mau, gincu merah hasil pemberian bapakmu saja masih awet sampai dua kali lebaran. Bedak yang membuat ibumu cantik jelita pun masih awet ditaruhnya di meja perhiasan, di sebelah laci dekat tumpukan buku pengasuhan anak yang ia pelajari sebelum menikah. Ibumu selalu membelanjakan lauk pauk terbaik dan sayur mayur yang segar untuk keluarganya. Ia tahu, kebutuhan pangan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Tak ayal, bapakmu cepat naik jabatan, dan punya penghasilan yang cukup banyak untuk ditabung. Ibumu tambah senang dan tambah cantik saja senyumnya.
Bapak dan ibumu berhasil punya rumah mewah, kendaraan yang nyaman, serta pekerja rumah tangga yang baik serta sopan untuk membantu ibumu merawat anak-anaknya, yang sekarang semakin tumbuh besar dan lincah. Bapakmu setiap hari bekerja dengan penuh semangat dengan penuh ambisi, demi menabung untuk keberlangsungan anak dan cucunya nanti. Ibumu selalu memberikan pola asuh yang baik serta memasak hidangan yang sehat dan bergizi, agar suami dan anak-anaknya makin nyaman untuk pulang ke rumah.
Keluargamu hidup bahagia seperti potret keluarga yang digambarkan di baliho-baliho program kontrasepsi yang digaung-gaungkan pemerintah sejak Orde Baru. Tapi hidup tak selamanya indah, kamu tumbuh dewasa dengan rasa kebingungan. Kamu sendirian menghadapi masa dewasa yang cukup suram. Kamu lupa dan tak mengenal diri sendiri. Kamu tak bisa menentukan benar atau tidaknya hal yang kamu lakukan. Kamu tak tahu apa yang kamu inginkan dan kamu butuhkan. Kamu menjalankan hari-hari tak berarti. Kamu mencari apa itu kebahagiaan. Kamu masih terjebak dengan masa lalumu yang penuh kegemilangan. Kamu sering terjebak dengan kebahagiaan fana yang sebenarnya menjadi bumerang bagi dirimu sendiri.
Kamu tersadar hanya bekerja untuk membeli gadget-gadget tercanggih dan ternama saat ini. Tiap September, kamu pamerkan smartphone-mu dengan gaya berfoto di depan kaca sebuah mall ternama di Ibukota. Kamu juga kerap bergonta-ganti alas kaki. Tiap harinya mesti saja harus berganti sesuai dengan tema dandananmu yang sering mendapat pujian di dunia nyata dan media sosial.
Kamu kira kamu bahagia dengan bolak-balik melihat komentar dan menghitung banyaknya orang yang menyukai unggahanmu?
Bila menengok lemari pakaianmu, mungkin dua keluarga yang memiliki lima anak saja, masih kebanjiran dengan koleksimu yang semakin hari semakin banyak saja. Padahal, pekerjaanmu hanya menuntut memakai pakaian yang itu-itu saja setiap harinya. Kamu selalu mengeluhkan tidak memiliki pakaian atau baju yang cocok, setiap kalinya kamu akan berkencan dengan lawan jenis yang kamu idam-idamkan.
Kepalamu semakin sakit, hatimu semakin rapuh, dan pikiranmu tambah meracau mencari sesuatu yang hilang dalam hidupmu. Sesuatu yang dulu pernah hadir di keluarga kecilmu dengan penuh kebahagiaan.
Kamu tertidur seharian di kamar kostmu yang menumpuk banyak barang kenangan. Dari surat pertama cinta monyetmu, sampai surat pemberitahuan pemecatan ayahmu yang tertuduh pencucian uang perusahaan. Kamu masih menyimpan ujian matematikamu yang mendapat nilai sempurna. Kamu juga masih menyimpan name tag kepanitiaan semasa kuliah dulu. Di sisi kanan pun, sudah menumpuk peralatan olahraga yang tak pernah kamu pakai lagi, tumpukan action figure yang sudah berdebu karena tak pernah dirawat lagi olehmu.
Rasanya kamu perlu melakukan sesuatu. Kamu pernah mendengar seseorang berkata, “Agar lebih bahagia, kenalilah dirimu sendiri. Kenalilah apa yang kamu mau, apa yang kamu butuhkan, apa yang kamu cintai, dan apa yang kamu benci.”
Sedikit demi sedikit, kamu mulai mempelajari kalimat itu, merefleksikan kedalam kesehariaanmu yang sering kali membuatmu kepayahan. Kamu mulai mempertanyakan tentang makna kehidupan yang kamu jalani.
“Untuk apa aku bekerja?”
“Apa hanya untuk digaji?”
“Untuk apa aku digaji?”
“Yah pastinya untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari dong”
“Hmmmm apa semua kebutuhanku benar-benar terpenuhi yah?!”
“Atau ini kebutuhan atau hanya sekedar ambisiku saja yah membeli, barang-barang, yang semestinya tak perluku miliki”
“Apa aku kurang bersyukur?”
Nampaknya kamu mulai menemukan jalan yang tepat untuk membenahi hidupmu. Kamu mulai berpikir tentang betapa dahsyatnya konsep syukur dan menghargai segala sesuatu yang nyaris luput dari pandanganmu selama ini. Kamu mulai mengidentifikasi dirimu sendiri, tumbuh dewasa dengan banyak harapan untuk bisa lebih baik lagi. Kamu mengurangi ekspektasi dan ambisi terhadap dunia yang tak akan pernah berhenti berputar.
Kamu mulai melihat dunia sekitar, masih banyak orang yang tak seberuntung kamu saat ini. Masih banyak di luar sana yang setengah mati susahnya mendapatkan fasilitas yang selama ini kamu anggap remeh. Kamu mulai melakukan aksi, memilah barang elektronik yang tak lagi kamu pergunakan. Kamu mulai membuang barang kenangan yang sebenarnya sudah tak ada manfaatnya lagi, hingga menaruh box besar untuk pakaian dan sepatumu yang mungkin ada baiknya jika diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.
Sekarang kamar kostmu tampak lebih lega, pandanganmu begitu luas. Bajumu hanya itu-itu saja. Barangmu sedikit tapi cukup untuk kebutuhan hidupmu saat ini. Kamu lebih bahagia, lebih mengenal dirimu sendiri. Kamu sudah meninggalkan perlombaan yang tak pernah usai. Kini kamu berjuang dengan dirimu sendiri untuk selalu konsisten bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan selalu berikan. Kamu lebih banyak menolong daripada meminta, kamu menjadi manusia seutuhnya.