Lingkaran Pertemanan: Rasa Keegoisan, Pengorbanan dan Kehilangan
Pada submisi column kali ini, Firdaus Aulia Rahman menulis tentang dinamika dalam sebuah lingkaran pertemanan yang terpengaruh oleh waktu.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan banyak muncul quotes atau statement: semakin bertambahnya umur semakin minim lingkaran pertemanan. Untuk saya pribadi itu tidak berlaku, menagapa? Sebelum menginjak usia dewasa pun saya sudah minim pertemanan atau persahabatan, sedikit flashback, sangat sedikit orang-orang yang saya anggap “teman”, atau mungkin ini hanya perasaan minder yang menjalar dalam diri saya, terutama saat TK, SD, SMP, dan SMA sampai jenjang kuliah sekalipun. Untuk mendefinisikan kata “teman”masih menjadi misteri bagi saya. Semua datang dan pergi, tinggal menunggu waktu saja.
Beberapa kenangan pertemanan yang saya ingat adalah masa TK, dengan salah seorang teman, hampir setiap pulang sekolah kami selalu berlari untuk sampai dirumah dan salam terlebih dahulu. Seperti luka yang membekas. Ingatan tentang perjalanan masa kecil yang mulai tumbuh dan perlahan dewasa, takut dengan gejolaknya. Beranjak ke SD saya masih saja dekat dengan teman yang TK, karena kebetulan rumah kami hanya berjarak sepelemparan batu, kami masuk di SD yang sama. SMP, saya masuk sekolah yang menerapkan Boarding School, saya berpisah dengan teman saya yang di TK dan SD, merasa kehilangan? Pasti.
Jenjang SMA menjadi puncak dari pemahaman saya tentang arti pertemanan memudar, sekadar masuk kelas dan menyapa “halo” menjadi template yang cukup membosankan, sisi kekecewaan paling dominan, karena di SMA inilah yang saya jalani bukan dari hati saya, keinginan masuk SMA tersebut murni dari pihak keluarga, bisa dikatakan saya hanya menggugurkan satu jenjang pendidikan demi keluarga, bukan diri sendiri.
Gap year selama empat tahun, saya melalang buana seperti manusia pada umumnya, bekerja dari satu tempat ke tempat lain. 2018 saya putuskan untuk kuliah, ini satu perjalanan penuh kejutan, sebelumnya saya tidak berpikir untuk kuliah. Di bangku kuliah saya lebih bisa membuka diri untuk lebih bisa berdapatasi dengan lingkungan maupun orang, sebagai orang Jawa yang kuliah di Makassar tentu banyak hal baru sekaligus tabu, mulai dari kultur budaya, kuliner, sampai cara komunikasi. Mulai dari nol untuk belajar.
Keegoisan
Selain fase pertemanan di pendidikan formal tersebut, ada lingkaran pertemanan di luar dugaan yang turut membentuk diri saya, pendemi. Situasi ini membuat saya masuk ke salah satu grup WhatsApp mulai dari grup volunteer penanganan Covid, sembako untuk terdampak, pembagian masker dan sekup pertemanan kecil di grup yang hanya beranggotakan delapan orang, berlanjut nongkrong bareng, di rumah, cafe, warung, atau tempat mana saja yang kami singgahi.
Hampir dalam satu pekan pasti ada saja yang mengajak dari grup tersebut, sampai pada satu waktu yang sudah saya sepakati dengan teman-teman saya, ternyata terluput dari tugas saya untuk mengantar pulang-pergi ibu saya dari tempat beliau mengajar, ini penyesalan yang sangat berarti bagi saya, di bangku tongkronganpun saya hening dari obrolan dan membatin: inikah pertemanan yang saya dulu inginkan? Membuat saya menjadi egois.
Dalam satu acara press screening film “Nussa”, Asri Welas yang juga menjadi pengisi suara karakter Bibi Mur mengatakan, “Aku merasakan film ini punya nilai-nilai yang bisa diaplikasikan di duniaku, bahwa cita-cita orang tua itu mau sampai mana tapi jangan sampai melupakan cita-cita anak.” Jika polanya dibalik, saya terlalu mengejar apa yang saya inginkan, sampai lupa harus ada porsi yang seimbang untuk keluarga, terutama ibu.
Pengorbanan
Suata hari, salah seorang teman perempuan di grup kecil itu menghubungi saya, meminta untuk menemaninya mengurus pajak motor, dan saya iyakan karena perjalanannya cukup jauh. Saya lupa kalau ternyata ada jam tambahan kuliah. Benak hati pun berbicara: atas dasar suka, atau rela saya mengantar dia. Perihal kuliah seharusnya mengambil konsentrasi penuh, harus saya lakukan di jalan, menjalani kuliah online dengan duduk di meja dan menatap layar ponsel atau laptop pun susah, justru saya lakukan di perjalanan, tidak masuk akal, walaupun mendengar dosen menjelaskan materi, tetapi kosong yang didapatkan. Alih-alih saya pikir megurus di birokrasi bisa cepat selesai ternyata lain cerita, dia beli motor bukan di kabupaten yang sekarang kami tempati, anjuran dari pihak terkait harus ke kabupaten di mana motor itu dibeli.
Kami berpindah lokasi, memakan waktu satu sampai dua jam ke kabupaten tersebut, saya lanjutkan kuliah online diaatas motor dengan mengendarai motor matic demi perempuan yang di belakang saya, masih bertanya-tanya apa motif hati saya membantu?
Jauh di lubuk hati yang dalam, rasa ikhlas atau pengorbanan itu yang berusaha saya tekankan pada diri, walaupun bayang-bayang ketertarikan hati menghantui. Mengendalikan perasaan sebisa mungkin profesional, untuk tidak mengungkanpakan atas dasar pertemanan atau persahabatan. Pada praktiknya ternyata omong kosong belaka. Mendistraksi perhatian dengan apapun adalah langkah dan upaya untuk menghilangkan rasa tersebut. Sampai pada titik pergolakan hati, ini pengorbanan atau kebodohan.
Kehilangan
Menyadari bahwa semuanya akan berpisah dan kehilangan satu persatu. Karir, keluarga, serta egoisme menjadi hal paling vital untuk seseorang berpisah, tidak mungkin kita bersama terus dari TK, SD, SMP, SMA dan kuliah. Mereka semua akan bermuara pada pilihan masing-masing, hanya ada beberapa yang bisa bertahan bersama, dan itu mustahil untuk semua yang kita inginkan, manusia memang rakus dari segala aspek, kecuali mereka yang berpikir bijak untuk kehidupan yang dinamis. Saya punya teman sewaktu SMP, dia sering menjadi bahan bully beberapa teman. Belum satu pekan kami menjalani Masa Orientasi Siswa (MOS) dia meninggal karena tenggelam saat berenang di waduk. Banyak yang kita bisa ambil dari semua pertemanan, kecendrungan saya lebih besar berteman dengan yang sering di-bully karena saya merasa kita semua sama dan layak mendapatkan yang sama. Merenungkan arti kehilangan bukan hanya saja kematian, kita berpisah dengan seseorang pun bisa di katakan kehilangan.
Selaras dengan pernyataan Kubler-Ross, “Penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu menerima kenyataan bahwa yang dicintai secara fisik pergi atau menghilang dan menyadari bahwa kenyataan baru bersifat permanen daripada hanya menyerah bersikap menyerah pada tidak adanya harapan.”
Tentu tidak semua orang langsung menerima kenyataan tersebut, ada tahap mengalami Penyangkalan (denial), Marah (anger), Tawar Menawar (bargaining), Menerima (acceptance). Kelima hal tersebut tentu mengalami proses panjang. Tidak semudah membalik telapak tangan, seperti layaknya kesembuhan orang yang menjalani opersi penyakit dalam. Mengalami perbaikan yang sakit dan proses pemulihan secara rutin.
Sampai detik ini, grup kecil yang ada di WhatsApp masih ada, walau hanya tersisa tujuh orang. Satu orang keluar karena larangan keras dari pasangannya, beberapa keegoisan yang sudah dibuat dan komit dia langgar sendiri, beberepa yang sudah dia korbankan berujung petaka, beberapa keping kehilangan harus ditelan karena ulah yang dilakukan. Terlepas dari semua itu, dia sudah meminta maaf kepada semuanya, tapi kami semua merasa kehilangan walau hanya keluar grup, hal asing pun mulai terasa. Hubungan pertemanan kami mulai renggang, satu fokus menjadai perawat dan mengabdikan diri di masyarakat, satu menjadi guru dan menjalani kesehariannya dengan hal yang penuh unsur-unsur pengulangan, satu menjadi fotografer freelance dan mengeluhkan kebosanan, bukan pada pekerjaannya, tapi aktivitasnya, satu mulai merambah ke peternakan sedikit demi sedikit mulai menikmati.
Sampai pada akhir tulisan ini saya ketik, entah berapa kali saya putar langgam dari Tulus yang berhudul “Monokrom”. Kebimbangan mencari makna pertemanan sedikit terwakilkan dari langgam tersebut. Terkhusus pada lirik, “Dimanapun kalian berada, Kukirimkan terima kasih, Untuk warna dalam hidupku, Dan banyak kenangan indah, Kau melukis aku”. Saya mendengarkan versi live. Sebelum Tulus memulai lagu tersebut dia mengatakan, “lagu ini adalah cara saya mengungkapkan terima kasih. Dan tulisan ini adalah bentuk ucapan termkasih saya untuk semua fase pertemanan yang saya alami di hidup ini.”