Delapan Pemandangan dari Tokyo: Mendengar Dazai Osamu Bercerita
Gagasan yang muncul terhadap cerita-cerita milik Dazai.
Words by Whiteboard Journal
Dazai duduk di dalam kamar asramanya yang tidak terlalu luas. Berukuran empat setengah tatami dan saat itu dalam keadaan kotor. Dia menyiapkan minuman keras untuk diminum sendirian setelah mengetahui istrinya, H, menyeleweng dan gagal melakukan bunuh diri bersama. Seteguk demi seteguk sampai minumannya habis, Dazai terus mengingat hal menyedihkan tentang dirinya. Dia ingat saat mabuk di waktu yang lain, dia berjalan keluar dan bersandar di sebuah gapura sambil menggumamkan puisi yang tidak karuan.
“Berdiri di gapura, kuucapkan selamat tinggal kepada dunia; pinus-pinus bergeming, dan sawah-sawah kering yang diterangi cahaya bulan merangsek ke dalam benakku.”
Mungkin, nama Dazai Osamu tidak lebih terkenal di Indonesia jika dibandingkan dengan penulis asal Jepang lain seperti Haruki Murakami di “Norwegian Wood” atau Yasunari Kawabata dengan kumpulan cerita pendeknya dalam “Daun-Daun Bambu”. Namun untuk pembaca yang menyukai cerita dengan kisah yang tidak menyenangkan, pesimistis, tentang merendahkan diri sendiri, nama Dazai Osamu bisa dimasukkan dalam daftar kalian. Beruntungnya bagi pembaca yang tidak terlalu mahir membaca dalam Bahasa Inggris seperti saya, beberapa ceritanya dikumpulkan dalam buku “Delapan Pemandangan dari Tokyo” dan sudah diterjemahkan oleh Muhammad Al Mukhlishiddin yang diterbitkan oleh Penerbit Trubadur pada tahun 2018.
Berbeda dengan judulnya, buku ini sama sekali tidak bercerita tentang gunung yang indah atau bunga sakura yang mekar saat musimnya. “Delapan Pemandangan dari Tokyo” menghadirkan pergulatan Dazai Osamu dalam berbagai hal, seperti hubungan dengan keluarganya yang tidak terlalu baik, relasi sosialnya dengan lingkungannya yang buruk, masa studi yang berantakan, rumah tangga dan keuangan yang membuatnya seperti orang gila, sampai hal yang paling buruk dan konyol yaitu kegagalan berulang saat mencoba bunuh diri.
Cerita dalam buku ini ditulis dengan gaya I-Novel atau watakushi shōsetsu yang berkembang pada awal abad ke-20 di Jepang. Menurut situs britannica.com, genre seperti ini ditandai dengan narasi mengungkapkan diri, dengan penulis sebagai karakter sentral sebagai tokoh “Aku”. Hampir seperti surat wasiat yang diterbitkan, ketika seorang penulis berani untuk mengungkapkan sisi gelap dirinya dan memaknai peristiwa di sekitarnya secara lebih dalam.
“Delapan Pemandangan dari Tokyo” adalah cerita yang tidak menyenangkan, kelam, menyedihkan, dan berisi tentang persoalan dalam menjadi manusia. Salah satu ceritanya yang memiliki judul yang sama dengan buku ini dibuka dengan sapaan dari Dazai dengan kalimat “Untuk orang-orang yang menderita” yang menandai buku ini sarat dengan kesedihan untuk pembaca yang sedang merasa skeptis tentang hidupnya. Lalu, cerita dilanjutkan dengan kisah Dazai yang lain tentang saudara-saudaranya, tetangga yang menyebalkan, hingga kampung halamannya dalam judul yang berbeda-beda. Total ada lima cerita yang memenuhi buku setebal 134 halaman ini.
Di samping banyak cerita dari pengalaman Dazai yang tidak memotivasi, namun membaca “Delapan Pemandangan dari Tokyo” memberi pengalaman yang menarik. Selain memberi pengetahuan baru tentang genre I-Novel serta mengobati minimnya karya Dazai yang diterjemahkan, kumpulan cerita dalam buku ini menjadi salah satu kumpulan karya sastra yang jujur dimana Dazai bisa menceritakan banyak hal yang menyedihkan lewat cara yang menyenangkan. Tidak ada bagian tentang cerita roman yang berakhir bahagia. Jadi, jangan berharap setelah membaca buku ini kalian mendapatkan ketenangan, yang ada hanya kalian seperti sedang berhadapan dengan manusia menyebalkan yang terus bercerita tentang hidupnya di dalam kamarnya yang kotor, penuh botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas meja. Oleh sebab itu, buku ini menjadi layak dibaca karena memberi banyak pelajaran lewat pertarungan psikologis tokoh “Aku” dengan dirinya sendiri yang berjuang dan mempertanyakan hidupnya.
Seperti dalam kebanyakan ceritanya, Dazai Osamu yang memiliki nama asli Shūji Tsushima memiliki latar kehidupan yang menyedihkan. Dia berteman dengan hal-hal yang pada umumnya dianggap negatif seperti kecanduan obat, alkohol, dan kondisi mental yang tidak stabil. Selama hidup, menurut sebuah artikel berjudul “Black Illumination: the disqualified life of Osamu Dazai” yang diterbitkan oleh japantimes.com, Dazai tercatat pernah empat kali melakukan percobaan bunuh diri. Pertama, dilakukan di malam yang dingin pada Desember 1929 dengan overdosis obat tidur sebelum ujian sekolahnya. Kedua, di tahun 1930 di sebuah pantai di Kamakura bersama seorang wanita yang baru saja dikenal, yang akhirnya perempuan ini kehilangan nyawa. Ketiga, di apartemennya yang sepi pada musim semi tahun 1933 dengan gantung diri. Keempat, di musim gugur tahun 1936 bersama istrinya saat kehidupan rumah tangga mereka hancur. Tetapi, semua percobaannya itu gagal dan dia menceritakan salah satunya dalam buku ini. Pada musim panas tahun 1948, mayat Dazai ditemukan tenggelam bersama seorang perempuan di kanal Tamagawa dan meninggalkan novel yang belum selesai berjudul “Goodbye”.
Di balik semua kelakuannya, ada perjuangan yang bisa dimaknai lebih dalam pada setiap kisah Dazai. Latar belakang hidupnya yang tragis membuat setiap tulisan ini bukan hanya omong kosong dan tidak hanya menarik untuk dibaca, namun dimaknai sesuai pengalaman pembacanya masing-masing jika berkenan. Buku ini tidak terlalu tebal, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk membacanya, tetapi butuh waktu lama untuk memikirkannya. Seperti Dazai yang memikirkan apa yang dilakukan manusia tentang kebiasaan, norma masyarakat, yang di dalamnya terdapat ego manusia dan kebebasan untuk menikmati hidup mereka dengan caranya sendiri-sendiri. Bagaimana dia melihat setiap manusia mempunyai sisi baik dan melakukan hal buruk ketika harus mempertahankan diri.
Dazai selalu menceritakan setiap kesedihannya dengan bangga. Dia merendahkan dirinya dihadapan orang lain melalui kumpulan cerita singkat “Delapan Pemandangan dari Tokyo”. Dia merasa diasingkan dari kehidupannya sebagai manusia, menganggap dirinya adalah pemeran orang yang menyedihkan yang selalu kalah dengan orang lain. Baginya, hidup adalah serangkaian tanda koma, seperti ceritanya yang terkesan menggantung tanpa titik. Sama seperti manusia yang hidup untuk tujuannya masing-masing, menjalankan apa yang seharusnya dilakukan dan mencoba menjadi yang terbaik demi kepentingannya. Semua dilakukan dan berlalu begitu saja dari hari ke hari dari waktu ke waktu, lalu bagaimana menjadi manusia itu? Tidak ada yang tahu. Selamat Dazai, untuk kali ini, kamu menang.