Pentingnya Pemikir Desain di Kota Desain
Menyambut Bandung Design Biennale
Di Bandung, ada dua profesi yang mudah ditemukan (terutama di kalangan anak muda): musisi dan desainer. Bukan tanpa alasan, dua profesi itu tumbuh subur di kota yang berpenduduk hampir 3 juta orang ini. Tiap tahunnya ribuan sarjana muncul dari banyaknya jurusan seni rupa dan desain yang tersebar di seantero perguruan tinggi negeri dan swasta dan melahirkan banyak seniman dan desainer untuk kebutuhan industri desain interior, produk, dan grafis.
Kota Bandung punya perjalanan yang panjang dalam melahirkan pemikiran dan pergerakan di bidang seni dan desain. Usianya hampir sama dengan perjalanan republik ini. Dimulai dari lahirnya Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar pada tahun 1947 (yang kemudian berubah menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), munculnya sebuah mazhab pemikiran yang dikenal sebagai Mazhab Bandung*, hingga warisan pemikirannya menyebar melalui kolektif Decenta** yang berupaya merumuskan identitas ke-Indonesiaan pada pertengahan 1970-an.
Dalam ranah desain Bandung menjadi istimewa karena kehadiran sentra kerajinan yang banyak tersebar di penjuru kota. Sentra sepatu Cibaduyut sudah berdiri sejak tahun 1920-an dan terhitung lebih lama dari keberadaan perguruan tinggi. Sentra-sentra kerajinan itu muncul secara informal dengan pengetahuan dan keterampilan turun temurun dan bukan hasil mengenyam pendidikan tinggi. Sentra-sentra kerajinan seperti sentra sepatu di Cibaduyut, sentra rajut di Binong, sentra tekstil di Cigondewah, sentra jahit dan jeans di Tamim, hingga sentra lukis dan kerajinan di Jelekong telah menopang pula industri-industri seni dan desain yang hadir di kota ini. Munculnya industri kreatif (clothing dan distro) pada pertengahan 1990-an merupakan contoh nyata bagaimana interaksi antara pengetahuan yang hadir di perguruan tinggi dengan para pelaku kerajinan di sentra-sentra tersebut.
Desain menjadi bagian dari pertumbuhan pembangunan ekonomik, sosial, dan budaya di kota ini. Industri desain membuka lapangan kerja baru dan menyerap ribuan pekerja muda yang berprofesi sebagai desainer. Juga dari sektor informal muncul permintaan-permintaan yang mendatangkan potensi pasar baru (new market). Desain menjadi lokomotif yang saling menghela berbagai sub-industri lainnya, seperti music dan fashion. Di Kota Bandung pertumbuhan industri musik tentu tak bisa dilepaskan dari hadirnya industri desain, karena memudahkan proses produksi poster, leaflet, ilustrasi album, hingga merchandise kaus.
Ekosistem yang sudah tumbuh dan berdampak nyata itu menjadi salah satu modal pembangunan yang menjadi wajah Bandung hampir selama dua dekade terakhir. Geliat distro dan clothing company menjadi contoh rill dari pertumbuhan industri desain yang ada. Mayoritas para pengusaha distro merupakan mereka yang punya akses terhadap pengetahuan di perguruan tinggi seperti ITB dan Itenas, mereka muncul dari beragam subkultur skateboard dan musik independen, dan kemudian menciptakan produk-produk fashion untuk anak muda. Fenomena distro dan clothing membuat pemerintah tersadar bahwa ada potensi kapital luar biasa dari gairah dan kreativitas anak muda ini.
Pada 2015 lalu Kota Bandung kemudian mendapatkan gelar dari UNESCO sebagai “Kota Desain”. Dengan anugerah tersebut Bandung diterima bergabung dengan jaringan UNESCO Creative Cities Network. Penunjukan Kota Bandung disampaikan Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova yang mengumumkan penunjukan 47 kota dari 33 negara sebagai anggota baru dari Unesco Creative Cities Network. Penghargaan yang sama pernah didapatkan Kota Pekalongan yang terdaftar dalam bidang “Craft and Folk Art”.
Ancaman
Namun, dibalik semua fenomena yang saya sebutkan di atas, Kota Bandung sendiri menyimpan berbagai ancaman yang berdampak pada sektor desain. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah hingga orientasi pembangunan yang ada di kota ini sendiri. Dalam tulisannya, Andrej Vltchek sudah mengemukakan “borok-borok” Kota Bandung sehingga tak layak disebut sebagai “Kota Desain” dari UNESCO*** – perdebatan ini sempat menjadi alot ketika Ketua Bandung Creative City Forum Fiki Satari juga menimpali pernyataan Vltchek. Masih maraknya pembajakan, taman-taman kota yang disorientasi dan kotor, belum adanya ruang seni dan budaya adalah beberapa poin yang disampaikan Vltchek.
Pada kenyataannya, memang dibalik riuh rendah Bandung sebagai “Kota Desain”, ancaman itu kian nyata tiap harinya. Praktik ekonomi liberal yang muncul berakibat pada masuknya brand-brand asing seperti H&M, Zara, dan Uniqlo yang kita temui di mall-mall besar bukan tidak mungkin berdampak pada sektor clothing dan distro yang tentu saja kalah secara kapital. Belum lagi masih maraknya pembajakan yang seolah belum menemukan titik terang solusinya. Masih minimnya ruang-ruang publik yang berorientasi seni dan budaya, hingga taman-taman kota dan gedung (seperti gedung Creative Hub) yang masih belum dioptimalkan penggunaannya sehingga terkesan mubazir. Belum lagi ancaman MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) lewat industri-industri asing yang akan berdampak pada industri manufaktur lokal, hingga persoalan regenerasi perajin di beberapa sentra yang kini sudah mulai ditinggalkan oleh anak mudanya. Beberapa yang saya kemukakan merupakan “secuil” persoalan yang muncul dari ranah desain.
Pentingnya Pemikir Desain
Tiap tahunnya di Kota Bandung akhirnya hanya memunculkan ribuan “desainer”, tapi “belum” (atau malah tidak) memunculkan “pemikir desain” (design thinker). Tentu saja dua hal ini adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Bagi saya pribadi, desain haruslah terlepas dari persoalan techne (keterampilan) dan sudah seharusnya memandang desain dari beragam sudut pandang; sosiologi, antropologi, sains, komunikasi, hingga teknologi.
Bagi saya, dari perjalanan panjang desain di Kota Bandung sudah seharusnya kota ini melahirkan kembali para pemikir desain yang mampu melihat secara holistik dan komprehensif. Bandung dikenal memiliki wacana yang kuat, apalagi ditopang dari banyaknya perguruan-perguruan tinggi yang ada. Kita bisa bercermin bagaimana lewat tulisan-tulisan Sanento Yuliman perdebatan, polemik, dan kontroversi muncul pada masa 1970-an ketika seni dan desain (seni terapan) menjadi wadah intelektual.
Namun, hal ini kini kemudian menjadi paradoks. Kebutuhan industri desain yang tinggi, berakibat orientasi-orientasi pendidikan desain pun berkiblat pada “pasar”. Desain kemudian menjadi sesuatu hal yang diajarkan secara praktis, pragmatis, dan berujung pada kebutuhan industri. Desain sudah berpaling dari perannya sebagai wadah pemikiran di masyarakat. Padahal saya pikir di tengah kompleksitas pembangunan dan masyarakat saat ini, sinergi desain sebagai sebuah pemikiran menjadi hal yang urgensi dibutuhkan.
Tanggung jawab akhirnya kembali lagi kepada perguruan tinggi. Bagaimana caranya melahirkan para pemikir desain dan intelektual-intelektual bidang desain yang berpihak pada masyarakat. Tapi saya harapkan dengan kehadiran Bandung Design Biennale wacana itu mulai muncul.
Footnotes:
* Mazhab Bandung adalah sebuah aliran seni rupa yang mengarah pada gaya melukis seniman Bandung yang mengutamakan prinsip-prinsip formal seni, seperti bentuk, warna,garis. Mazhab Bandung ini juga merupakan awal perkembangan seni rupa Indonesia yang saat itu masih menganut sistem yang bersifat tradisional. Aliran ini pertama kali berkembang pada akhir tahun 1950-an, para pelukis Seni Rupa ITB melakukan penyimpangan pada cocok Realisme. Bisa dibilang, aliran ini meniadakan unsur tradisi dan menggantinya dengan unsur Abstrak dan Kubistik yang dibawa oleh Ries Mulder. Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri Mazhab Bandung adalah lebih mengutamakan detail bentuk, warna, dan garis. Juga bisa berbentuk Abstrak dan Kubistik. (dikutip dalam laman blog https://senirupasmasa.wordpress.com/2013/09/18/achmad-sadali-mazhab-bandung/)
** Decenta berkembang sebagai sebuah perusahaan desain. Decenta banyak dipercaya oleh institusi negara ataupun partikelir untuk menggarap perancangan dan eksekusi elemen estetik seperti relief, monumen, dan lain-lain. Decenta juga menggarap perancangan interior dan grafis. Terkecuali Adriaan Palar, para anggota Decenta tersebut, adalah seniman sekaligus pengajar di Departemen Seni Rupa ITB. (dikutip dalam blog http://dgi.or.id/read/news/dari-dgi-talk-4-berkaca-pada-decenta.html)
*** Kritik Andrej Vltchek disampaikan dalam tulisan ini https://dissidentvoice.org/2016/02/insane-un-claim-bandung-is-a-creative-city/)
“Pentingnya Pemikir Desain di Kota Desain” ditulis oleh:
Idhar Resmadi
His writings are most often focused on music and culture. He is also active as a researcher, speaker, moderator, and lecturer in various music and cultural forums. His publications include Music Indie Label Records (2008), Like This: Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010 Jakartabeat (2011), NU-Substance Festival (2013) and Based on a True Story Pure Saturday (2013). He has written for numerous media outlets in Indonesia.