Tren Ramah Lingkungan dan Bagaimana Kita Mengembangkannya
Berbincang tentang fenomena sustainability dalam gaya hidup masyarakat Indonesia menurut creative director, skincare specialist sampai fashion designer.
Words by Emma Primastiwi
Desain: Kania Thea
Hari ini, topik seputar sustainability, gaya hidup sehat dan ramah lingkungan merupakan salah satu topik penting yang semakin banyak menjadi bahasan. Ini penting karena meskipun Financial Times mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memimpin inisiatif ramah lingkungan. Realitanya, sebagian besar dari sampah tersebut berupa sampah plastik – tepatnya 6.2 ton, 1 ton dari sampah tersebut terbuang ke laut. Belum lagi posisi Indonesia yang duduk di peringkat ketiga sebagai penyumbang polusi terbesar di dunia. Melihat fakta tersebut, kami berbincang mengenai topik ini bersama pecinta lingkungan, dari creative director, skincare specialist sampai fashion designer, tentang perkembangan tren ini dan bagaimana menjaga agar gerakan ini terus ada.
Astri Puji Lestari
Co-Founder of Daur Bunga
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Soal tren anti sedotan plastik yang meningkat tentu baik jika dilihat dari sudut pandang pengurangan sampah plastik. Tapi soal tren reusable straw yang meningkat sementara kita sebetulnya bisa langsung minum dari gelas tanpa bantuan sedotan adalah hal yang berbeda (satu-satunya keadaan saya merasa butuh sedotan adalah ketika minum kelapa langsung dari batok kelapa karena tidak ada gelas). Plastik mungkin bukan masalah utama untuk lingkungan, daya produsen memproduksi barang didukung segala advertising-nya yang membuat kita merasa “butuh” dan daya konsumsi manusia yang tidak terkontrol mungkin salah dua yang lebih berbahaya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Sejujurnya saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya. Tapi setahu saya beberapa saat terakhir memang semakin banyak orang yang peduli dan menyuarakan opininya. Semakin banyak yang peduli tentu hal yang baik. Kita semua memang butuh lebih banyak orang baik yang peduli dan melakukan hal yang benar namun tetap manusiawi.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Mungkin analogi ini mirip dengan ada beberapa negara yang terkenal religius dan punya banyak tempat ibadah tapi juga punya angka kriminalitas yang tinggi, or vice versa. Menurut saya artinya satu lingkup belum tentu bisa mendeterminasi keadaannya secara makro. Yang saya implementasikan di dalam keseharian selama beberapa tahun terakhir ini memang masih terhitung sederhana kok. Utamanya saya sebisa mungkin mengurangi dan mengontrol konsumsi dan tanggung jawab terhadap limbahnya. Plastik mungkin adalah salah satu penemuan visioner di tahun 1800an. Buat saya pribadi plastik itu bisa jadi tidak salah, yang salah mungkin produsen dan kita sebagai konsumen yang tidak tanggung jawab.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Setahu saya, pemerintah menargetkan 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah. Jika dilihat dari Banjarmasin, Balikpapan dan Bali yang sudah berhasil melarang plastik lalu disusul oleh Bandung, Jakarta dan kota-kota lain yang sedang dalam tahap pelarangan juga, tentu artinya pemerintah melakukan upayanya terhadap 30% pengurangan, yang mungkin lebih perlu diapresiasi dan didukung penuh oleh kita semua daripada dikritik atau disalahkan terus.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Buat saya ada banyak sekali cara untuk bisa diterapkan untuk hidup yang lebih ramah lingkungan. Bisa dengan mengurangi produksi limbah, mengganti single use plastic dengan opsi reusable, mencoba memisahkan sampah dan mendaur ulang ke tempat daur ulang terdekat, membuat kompos dan banyak hal lainnya. Semuanya dimulai dari yang termudah, sedikit-sedikit dan tidak ditunda-tunda, tetap dalam time frame yang kita bisa.
Dan Mitchell
Creative Director – Potato Head Family
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Yes it has and it’s a great start. We’ve been using a blend of Bamboo, paper and steel straws over the past 4 years and it’s great to see the momentum picking up globally. I feel generally the plastic issue is becoming so well publicised on a mainstream level now in the media people are really taking notice and want to join the movement to ban single use plastics. It’s an issue lots of people are passionate about standing up for. The more that business say ‘no’ to plastic straws or any kind of single use plastic it then translates to customers and hopefully will create more awareness on the issue.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
I think it’s great. People really do care and indonesia is the second worst offender of plastic waste – so we all have a responsibility to fight this as individuals or within your local business or organization. We can see the trash getting worse both beach side and around rivers and the streets. We all know something has to be done and to see the community coming together to stand against this is really great. We are seeing more and more people sign up to the ‘Komitmen’ Pledge to eliminate single use Plastics in Indonesia – an initiative we helped facilitate with One Island One Voice last year. It’s been incredibly moving to see how many business are signing up and genuinely do care and want to make a difference. In bali the movement is really picking up and we are seeing more and more people joining the fight. Over 4 years ago we at Potato Head really started to change our systems and worked hard to educate our staff and create awareness to our guests. Also, working closely with suppliers in order to ensure nothing was sent to us in single use plastic. We are also seeing lots of companies developing alternatives to plastic from seaweed, algae, bamboo fibers and so on.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Despite the fact that Indonesia is one of the highest offenders in plastic pollution, I feel there’s so much positive action happening here. You can see around the island business starting to implement green initiatives. Bali is home to green school which is a fantastic green school we are supporting through their change maker program. green school is very inspiring and really are out to make a serious change and Melati Wijsen a graduate of Green School who is a green activist making waves locally and internationally in her fight to keep the world plastic free. There’s local organizations like MPH and hundreds of local business implementing plastic free in their daily operations. Here at Potato Head We launched Ijen a zero waste restaurant last year. We really worked hard for years to ensure we could do this confidently and successfully to go truly zero waste. We accompanied that with our Sustainism lab which is a lab created to repurpose waste into valuable products. Both plastic and food waste are being crafted into valuable material. The interest in what we are doing has been great.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
I think all governments need to do more so I wouldn’t single out just indonesia. But as Indonesia is one of the biggest offenders of plastic waste, more needs to be done yes. Im sure the government are now backing green initiatives and have bigger plans in place and we will be In full support to help those plan become implemented effectively.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
You can start at home. By reducing single use plastic or event better ban single use plastic in your household. Composting for organic matter and separate waste to send to local recycling company. If you have the capabilities then solar at home to reduce energy and rain water harvesting to save water. 5 Rs of sustainability: refuse, reduce, reuse, recycle, rot.
Tiza Mafira
Initiator of Gerakan Diet Kantong Plastik
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Gaya hidup apapun yang berhasil menjadi tren, memberikan kesempatan bagi pelakunya untuk mengubah gaya hidupnya secara permanen. Awalnya mungkin coba-coba karena temannya melakukan atau karena ngilu melihat video kura-kura sekarat tersedak sedotan. Tapi kalau sudah dijalankan barulah kita sadar betapa hidup ramah lingkungan itu ternyata tidak sesulit itu.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Semakin banyak grassroots movement yang bermunculan, dan ini bagus. Mungkin ini dipermudah oleh platform social media, mungkin juga memang masyarakat Indonesia sudah semakin menyadari bahwa di sebuah negara demokratis, suaranya benar-benar bisa membuat perubahan. Bentuk kampanye juga semakin kreatif dan memanfaatkan visualisasi yang efektif. Tetapi jangan lupa bahwa sesuatu yang viral belum tentu impactful, oleh karena itu para environmentalist muda tidak boleh lupa untuk selalu mengukur impact dari kegiatannya.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Hampir setiap hari saya ada saja rapat di kantor pemerintah untuk membahas berbagai program pengurangan sampah plastik. Kini di kebanyakan kantor kementerian atau Pemda yang saya datangi, sudah tidak lagi ada suguhan minuman dalam gelas atau botol plastik. Suguhan makanan pun mulai konsisten tidak menggunakan yang dibungkus plastik (misalnya nasi bogana di bungkus daun pisang). Kemudian dalam rentang waktu yang sama saya rapat di beberapa kantor swasta, masih saja disuguhi air dalam kemasan plastik, lengkap dengan sedotannya. Saya tergelitik saja karena banyak orang beranggapan swasta atau korporasi pasti lebih progresif dan terdepan membuat perubahan. Ternyata tidak selalu demikian.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Usaha pemerintah untuk mengatasi krisis sampah plastik relatif baru dimulai, dan demikian pula kebanyakan negara lain di seluruh dunia, bahkan negara maju sekalipun. Fakta bahwa ada krisis sampah plastik di laut yang darurat, baru mencuat lima tahun belakangan, sehingga penanganannya pun baru benar-benar intensif beberapa tahun belakangan. It’s still too early to say we’ve done enough.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Saya sudah menjalani transformasi dari yang tadinya hanya melakukan perubahan gaya hidup pribadi dengan selalu membawa tas belanja dan menolak sedotan/gelas plastik, kemudian mengkampanyekan perubahan itu ke masyarakat, dan kemudian sekarang bekerja mendorong adanya kebijakan pemerintah untuk mewajibkan hal tersebut. Semua ini saya lakukan sejak 5 tahun lalu dan masih saya jalankan secara sukarela sampai sekarang. Masing-masing orang bisa berkontribusi dengan caranya sendiri, asalkan konsisten dan berani melawan arus.
Pooja Bhansali & Monica Tarunadjaja
Fashion Designer / Co-Owner of Stain Label
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
We think that the anti-plastic straw trend gained its popularity through social media. We have seen increasing images and environmental-related content on social media lately. Maybe it’s trendy or maybe people want to portray an image to the public to seem more conscious about the environment. #IAmNotPlastic. That’s what got the ball rolling on the conversation of single use plastic. The viral image of the turtle with a straw jammed up its nose and the picture of the whale that had 13 pounds of plastic in its stomach were heartbreaking to see. With more people adhering to eco-conscious trends and choosing to lead a more mindful lifestyle, they have slowly started to replace their needs with sustainable products. Many individuals are taking small steps to make a change, influenced by the content on social media and the wide range of sustainable products that small businesses have to offer. However, in order to live more sustainably in a long-term sense, people should want to get educated and start being more mindful about the small decisions they take in their daily lives. Whether it’s from saying no to plastic straws, cutlery and bags, to saying no to buying fast fashion. Sustainability started out as a trend a few years ago, but it should not be a trend, it should be the way people live their lives and respect the planet they live on. No one is perfect, but there are little things that everyone can do to make a difference.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Indonesia has so much natural beauty that needs to be maintained and taken care of, it’s one of the most amazing things about this country. On the other hand, it’s also one of the most wasteful countries in the world. There is also that mindset that if you don’t directly see it or if its not directly affecting you, you don’t think about it. It’s all about education and raising awareness, which we think is happening around us. As a sustainable brand, we also made a conscious decision when we started this business to be mindful about what we are putting out into the world. We do our part to try to raise awareness and educate our customers on sustainability. There are great people in Indonesia who are actively taking steps to becoming more sustainable. From businesses to individuals, people are using less plastic, implementing zero waste, and using more and more natural ingredients and materials. NGOs are also raising awareness by engaging and empowering people through education. Recently, it was announced that single use plastic would be banned in Bali in 2019, we thought that it was a huge step in the right direction. Even though Indonesia is far from perfection, it’s heading in the right path.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Once you’re aware of the problem, you try to do as much as you can to be more careful and mindful about the decisions you make in your daily life. We’re only human and we cannot change everything all at once, but just the effort and making the conscious changes everyday is already a step in the right direction. Personally, the changes I have made include switching most of my store- bought products to natural products such as shampoos, soaps and my toothbrush. 70% of my wardrobe does not consist of any fast fashion items. By purchasing my clothes from smaller businesses, I invest money in quality clothes and shoes that will last me longer. I’m slowly trying to become 100%, but it takes time. We have seen a lot of companies in Indonesia that switched over to using bio-cassava bags and PLA products, even signs in coffee shops that say “we do not provide plastic straws, if you would like one you need to ask”. A lot of the changes we have seen has been in the food and beverage industry, but we think people tend to forget that fashion is just as big of a problem when it comes to waste, land and ocean pollution.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Not at all, there is more that can be done. We fly under the radar even though we are one of the biggest emitter of greenhouse gases. There is always more that can be done.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Take the time to think of the products you are buying. As mentioned earlier, people tend to have the mindset that when you don’t directly see it or if its not directly affecting you, then you don’t think about it. We can start by asking ourselves questions and reflecting on the decisions we make. Questions like, do I really need that plastic fork and spoon when I order Go-Food? Is a plastic straw really necessary? There are other alternatives such as stainless steel and bamboo straws that are widely available and easy to use and wash. There is always a more eco-friendly alternative to everything. Aside from single use plastic, people need to know about is the consequences of buying fast fashion. Fast fashion is known for quick trendy products made at low prices with low quality material. Polyester, nylon and acrylic is the most used fabric in fast fashion. When these garments are washed, micro-plastic particles get released from the fabrics and pass through sewage that end up in the ocean. Small creatures eat these micro-fibers and then make its way up the food chain. When these garments are discarded, they end up in landfills that pile up, unable to biodegrade because the components of these materials are made of plastic. The longevity of a garment that uses any form of plastic is short and then becomes waste. The cycle of buying low quality garments to have something instantly has long-term consequences. Take the time to think of the products you are buying. Support smaller and local businesses, purchase with a purpose and take into consideration quality over quantity. Most natural materials or products have the notion of being more expensive, but it’s just better for you. Better quality and longer lasting products, better for the environment, everyone wins.
Helga Angelina
Co-Owner of Bugreens
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Menurut saya trend ini bagus, terutama untuk menyentuh orang-orang yang sama sekali belum sadar lingkungan (sebagai contoh, mama dan mertua saya sekarang ikut tidak memakai sedotan dan minta dibelikan reusable metal straw) dan juga menyadarkan orang-orang yang cinta lingkungan namun belum mengambil aksi yang sejalan dengan cinta mereka. Saya sendiri sudah tidak memakai sedotan sejak 5 tahun lalu dan menerapkannya di Burgreens – namun saya melihat banyak sekali teman-teman saya yang educated, datang dari upper middle class, dan bisa dibilang cukup cinta lingkungan, belum berhenti memakai sedotan plastik sampai tren belakangan ini naik. Saya melihat tren anti sedotan plastik ini juga sebagai pembuka ringan pembicaraan lebih dalam tentang tanggung jawab kita sebagai individu untuk mulai memilih gaya hidup ramah lingkungan – karena kita dan anak cucu kita lah yang akan menuai apa yang kita tanam (gaya hidup). We only have one earth, it’s our duty to take care of our only home.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Saya melihat cukup baik (finally people start talking about eating less meat and using less plastic for environment), namun perkembangan nya kurang cepat dan sistematis.
Meskipun cukup banyak komunitas pecinta lingkungan dengan area fokus yang berbeda, kebanyakan gerakannya masih sporadis sporadis dan bersifat non-profit. Resikonya, bila sumber dana habis atau ada perpecahan di inisiator gerakan, bisa mati komunitasnya.
Area fokus yang banyak terdengar beberapanya adalah berkebun, diet kantong plastik, gaya hidup zero waste, gaya hidup plant-based dll. Sayangnya, kadang para aktivis lingkungan ini ribut karena beda idealisme dan prioritas (myself included).
Alangkah baiknya kalau gerakan-gerakan ini mulai berkolaborasi untuk saling mengamplifikasi gerakan masing-masing, dan eksplorasi untuk membuat gerakan ini menjadi bisnis sosial sehingga gerakannya sustainable dan bisa di scale-up secara sistematis. Menurut IPCC, kita hanya punya 12 tahun untuk menyelamatkan bumi dari “point of no return” saat bumi sudah memanas 3 derajat celcius. Setelah 3 derajat, pemanasan bumi akan terakselerasi ke 6 derajat – dan itu adalah akhir dari kehidupan bumi. We don’t have much time. Generasi kita sekarang lah yang bisa membawa perubahan. An Indonesian climate change scientist, mas Jalal Ramelan, once said, “To be effective humanitarians, we need to care about the environment too”. Saya sangat setuju, karena dengan semakin memanasnya bumi, akan lebih banyak bencana alam dan perubahan iklim – dan orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan lah yang paling terdampak.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Jujur, saya melihat bangsa Indonesia itu sangat lemah di area implementasi. Banyak orang tau kita adalah polutor ke-3 terbesar di dunia, tapi banyak dari masyarakat (termasuk orang-orang educated) belum connecting the dots bahwa sampah dan isu lingkungan lain di Indonesia adalah hasil dari gaya hidup kita sendiri. Apa yang kita buang hanya hilang dari pandangan kita tapi akan berakhir di laut, dan akan masuk ke air dan makanan yang kita konsumsi.
Untuk mengimplementasi solusi tentang isu sampah sebenarnya cukup simple:
1 Membuat gerakan (yang kalau bisa didorong dengan regulasi dan penalti denda) untuk semua rumah mengolah sampah organiknya sendiri.
60-70% sampah di kota-kota besar adalah sampah makanan. Bila kita bisa membuat setiap rumah meng-kompos sampah organiknya sendiri, kita sudah mengurangi lebih dari setengah volum sampah yang perlu dikelola negara
2 Kantong plastik wajib dibuat berbaar dan dengan harga yang signifikan
Menurut saya pribadi minimal Rp 2.000 – 5.000 supaya benar2 membuat orang malas bayar dan membawa kantong belanjanya sendiri. Perusahaan-perusahaan yang sudah masuk kategori besar pun harus diwajibkan untuk menggunakan alternatif kantong singkong yang jauh lebih ramah lingkungan
3 Larang penggunaan sedotan plastik, styrofoam, dan alat makan plastik sekali pakai.
Secara bertahap, hal ini perlu dilakukan dan dibarengi oleh pemberdayaan UMKM untuk menyediakan packaging alternatif ramah lingkungan. Sudah mulai banyak cutleries kayu yang bisa dikompos, sedotan dari sari pati jagung, dan kotak makan dari bagas yang jauh lebih ramah lingkungan.
We talk about it, but we barely do anything about it. It’s time for us to really walk the talk kalau memang ingin anak cucu kita tinggal di dunia yang masih sehat, aman, dan hijau.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Masih jauh dari cukup, Yang saya lihat (dan saya sadar apa yang saya lihat dan mengerti cukup terbatas), pemerintah yang bertanggung jawab untuk lingkungan hidup kesulitan menurunkan pemahaman makro mereka tentang isu lingkungan di Indonesia ke action plan yang praktikal dan efektif untuk didorong ke masyarakat. Dalam interaksi saya dengan beberapa orang di KLHK, saya melihat banyak dari mereka terlalu sibuk mengurus birokrasi dan berargumentasi tentang isu, sehingga upaya implementasi solusi kurang diperhatikan. Saran saya sih KLHK perlu menggaet dan memberdayakan komunitas-komunitas grassroot pecinta lingkungan dan komunitas wirausaha untuk bekerja bersama untuk menanggulangi masalah lingkungan di kita. Gerakan anti korupsi juga perlu terus dilakukan supaya meminimasi adanya izin-izin aneh untuk pembukaan hutan lindung atau pengalihfungsian area serapan.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Menurut IPCC, ada 4 hal paling efektif yang bisa dilakukan individu untuk membantu memperlambat dan mereverse perubahan iklim:
1 Be vegan atau minimal mengurangi konsumsi daging dan produk susu sampai 90%
2 Have fewer family
3 Travel using public transport
4 Travel less with planes
Saya sendiri sudah berkontribusi dengan menjadi vegan, memakai alat transportasi publik, dan berencana memiliki keluarga kecil (maksimal 2 anak). Selain itu, saya membuka bisnis restoran organik plant-based yang menyediakan alternatif makanan sehat dan ramah lingkungan, mengurangi penggunaan minyak sawit dan plastik sekali pakai, dan memilih produk skincare & personal care dari bahan alami untuk mengurangi polusi air setelah digunakan. Saya juga sebisa mungkin memilih bahan lokal dan organik untuk makanan. Saat saya pindah ke rumah dari apartemen, saya dan suami berencana meng-kompos sampah organik kami, yang akan digunakan untuk pupuk kebun sayur di rumah. Melalui bisnis saya, kami juga memiliki campaign Green Monday dan Live Greener dimana kami kampanye ke kantor-kantor dan sekolah-sekolah untuk mengedukasi publik mengenai pola makan sehat & ramah lingkungan.
Soraya Cassandra
Co-Founder of Kebun Kumara
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Namanya tren itu kadang heboh lalu surut – boom & bust – jadi yang harus dipikirkan bagaimana sebuah tren bisa menggelitik kita untuk semakin sadar akan isu yang ada di baliknya lalu sedikit demi sedikit merangsang kita untuk memperbaiki gaya hidup. Terjadinya tren ini sangat bagus, apalagi jika pemain-pemain besar ikut ambil andil, tidak hanya konsumen tapi produsen dan juga tempat-tempat yang menjual minuman dan acara-acara besar yang menyediakan minuman – dengan begitu pesan dibalik tren ini memiliki ruang yang semakin luas untuk tersebar lebih jauh. Namun ini baru sedotan saja. Gaya hidup ramah lingkungan tidak harus dimulai apalagi berhenti disitu. Sedotan plastik bahkan bisa dibilang cuma isu kecil. Idealnya, kita semua harus bercermin pada pola perilaku diri dalam keseharian dan konsumsi masing-masing. Idealnya, kita semua mau jujur dengan hal itu dan mengkritik sisi diri yang berlebihan atau kurang peka. Semua dimulai dari yang kecil dan jika memang sedotan bisa menggelitik rasa empati pada alam, silahkan ditelusuri lebih dalam.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Tergantung yang dimaksud dengan kata ‘environmentalist’ di atas ya. Pertanyaan ini cukup luas. Kalau boleh mempersempit dan melihat dari pola hidup yang lebih lestari, jelas sudah banyak sekali informasi yang bisa didapat mengenai hal ini. Lalu sudah banyak juga orang-orang yang dengan penuh komitmen menjalankannya sehari-hari yang mau berbagi kisah mereka dengan orang lain. Mau tidak mau gerakan ini akan semakin keras terdengar karena isu lingkungan tidak akan pernah terselesaikan jika semua berjalan seperti apa adanya sekarang. Seperti yang terlalu sering dikatakan, bumi tidak butuh manusia, manusia yang butuh bumi. Jadi semakin parah manusia memperlakukan alam, semakin sulit hidup manusia itu sendiri. Semakin kesini semakin terasa, dan mudah-mudahan karenanya semakin banyak yang peka.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Kebetulan keseharian saya bekerja di sebuah kebun belajar, Kebun Kumara – dimana sampah merupakan isu yang begitu kami perhatikan. Yang kami lakukan sehari-hari berkaitan dengan sampah bukan hal baru dan tidak harus memiliki kebun untuk melakukannya. Kami meng-kompos yang organik, mencoba untuk menolak plastik sekali pakai dan jika masih menggunakannya maka akan kami upcycle dengan membuat ecobrick. Jenis plastik lainnya (yang tidak bersifat sekali pakai atau residu) kami pilah dan salurkan kepada pemulung untuk mereka jual ke pabrik daur ulang. Yang kami lakukan jauh dari sempurna. Masih terlalu banyak plastik yang kami gunakan. Secara perlahan kami coba kurangi. Saat ini, kami berusaha sekuat mungkin untuk bertanggung jawab atas apa yang kami konsumsi, termasuk residu atau sisa bekas pakainya.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Saya pikir pertanyaan seperti ini jawabannya akan selalu: jelas bisa lebih baik! Tapi hal itu berlaku bagi semua yang terlibat, tidak hanya pemerintah. Yang jelas regulasi yang mendorong kegiatan ramah lingkungan yang mampu diimplementasikan penuh disiplin akan selalu baik adanya.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Saya suka pertanyaan ini karena inilah yang paling masuk akal – semua dimulai dari sendiri. Yang saya bisa lakukan saat ini adalah merawat kebun. Dengan merawat kebun, saya bertekad untuk menghadirkan ekosistem yang baik, sebuah cara untuk memuliakan alam. Saya begitu percaya dengan merawat alam, kita bisa memuliakan manusia yang ada di dalamnya. Jadi saya mulai dengan merawat tanah saja, lalu benih, lalu bibit, lalu aneka tanaman yang tumbuh dan segala kehidupan yang turut mewarnai.
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Menurut aku, usaha mengurangi sedotan sudah bagus tapi masih belum cukup walaupun beberapa restoran sekarang sudah tidak memakai sedotan plastik lagi. Perihal plastik sekarang kalau aku ke Indomaret / supermarket untuk beli 2 item misalnya itu, sama mbaknya juga langsung dikasih plastik. Jadi untuk upaya pengurangan limbah plastik sudah lumayan tapi masih kurang. Secara individu, kesadaran untuk membawa kantong/tas belanja sendiri juga akan sangat membantu. Mengelola plastik itu lebih mahal daripada plastiknya sendiri. Alangkah baiknya kalau gerakan ini bisa didukung oleh pemerintah juga. Selanjutnya adalah edukasi ke konsumen untuk mengurangi waste.
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Perkembangan gerakan environmentalist sudah mulai ada – seperti membersihkan pantai dll. Tapi menurut saya awareness-nya masih belum banyak. Alangkah baiknya kalau bisa dibuat campaign yang lebih besar untuk raise awareness ini.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Kalau saya sendiri sebagai bisnis, kita juga struggling dengan berusaha to be more conscious environmentally. Contohnya – saya sedang mencari tahu bagaimana cara mengelola sampah plastik, ternyata ini cukup mahal biayanya. Jadi contohnya,
1 Biaya untuk collect plastik dari konsumen dan balik ke kita.
2 Biaya untuk kirim plastik ini ke tempat pengelola.
3 Biaya untuk mengelolanya
Saat ini belum ada fasilitas di Indonesia (yang setahu saya) yang bisa mengelola plastik supaya bisa digunakan kembali sebagai consumer products. Misalkan pun ada, karena biayanya cukup besar, problem nya lebih ke siapa yang akan absorb cost ini? Konsumen indonesia cukup sensitif dengan faktor harga, jadi kalau cost dibebankan kembali kedalam harga produk – apakah bisa diterima oleh pembeli? Bahkan untuk mengelola botol kaca, misalkan saya adakan program untuk menerima balik botol kaca tersebut, proses sanitasinya itu tidak mudah. Saat ini saya juga belum menemukan tempat yang bisa membantu proses sanitasi tersebut, karena kalau tidak disanitasi dengan baik, botol yang di reuse itu malah lebih membahayakan konsumen karena kita tidak tahu di dalamnya ada mikroba apa saja.
Menurut Anda, apakah usaha pemerintah Indonesia telah menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Menurut saya usaha pemerintah indonesia belum cukup untuk menyikapi krisis lingkungan.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Secara individu, kontribusi saya di mengurangi sampah plastik sehari-hari. Dan juga memisahkan sampah yang bisa di recycle terutama botol-botol plastik.
Gamal Nasser
Founder of Ewazte
Tren anti sedotan plastik telah meningkat popularitasnya beberapa tahun ini, menurut Anda bagaimana tren ini dapat merangsang keinginan publik untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan?
Selayaknya sebuah tren, terkadang hanya sementara saja. Untuk menjaga keberlangsungan tren harus dilakukan secara konsisten dengan melakukan penyebaran informasi yang masif, edukatif, dan menarik, tentunya dengan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Setelah kesadaran terbangun akan pentingnya manfaat dari lingkungan yang bersih, udara segar, dan manfaat lainnya, perlu ditingkatkan aktivitas eco-friendly di area publik sehingga memaksa masyarakat menggunakan bahan-bahan non-plastik, misal menggantikan sedotan plastik dengan sedotan bambu atau stainless steel. Dengan tidak menggunakan sedotan plastik dan menggantinya dengan sedotan dari logam atau bambu dalam jangka panjang dapat menurunkan sampah plastik yang dihasilkan. Penggunaan sedotan plastik digunakan untuk sekali pakai dapat mengakibatkan peningkatan sampah plastik. Sedotan plastik yang digunakan meskipun hanya memiliki panjang 10 cm namun untuk terurai memerlukan waktu 500 tahun. Gerakan anti sedotan plastik merupakan salah satu gerakan yang positif untuk mengurangi penimbunan sampah plastik
Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan environmentalist di Indonesia saat ini?
Saat ini gerakan environmentalist di Indonesia berkembang semakin pesat. Gerakan lingkungan di Indonesia tampaknya tidak hanya menjadi milik para aktivis lingkungan saja tetapi sudah menjadi hal yang lazim yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, sebagai bentuk perubahan sosial untuk penyelamatan lingkungan hidup, bahkan sampai pada tingkat anak-anak, yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kegiatan gerakan lingkungan tidak hanya dilakukan di sekolah, namun juga di kampus-kampus, instansi pemerintah serta swasta.
Gerakan-gerakan sosial dan lingkungan yang ada sampai saat ini di Indonesia adalah bentuk dari perubahan sosial, gerakan lingkungan hadir menjadi bagian dari proses menuju kesejahteraan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman serta analisa kritis terhadap fenomena gerakan lingkungan yang ada saat ini di Indonesia perlu terus di transformasikan. Namun yang terjadi saat ini adalah banyaknya tindakan represif terhadap aktivis lingkungan. Komitmen pemerintah dipertanyakan karena tidak menjalankan amanat Undang-Undang dan melindungi perusahaan yang melakukan pencemaran serta perusakan lingkungan.
Bagaimana Anda melihat kesadaran lingkungan ini diimplementasikan dalam lingkungan sekitar Anda?
Membuang sampah pada tempatnya saja sudah merupakan hal yang paling mudah dan mendasar dalam hal penanganan sampah. Tetapi dari hasil pengamatan kami di lapangan, bahwa masih banyak rumah, kantor, bahkan kantor pemerintah yang tidak punya atau minim tempat sampah di kota tersebut. Karena minimnya tempat sampah, akhirnya mereka menimbun, membakar bahkan membuangnya ke sungai atau laut. Penanganan yang berbeda ketika di kota besar seperti Jakarta yang rata-rata setiap rumah, kantor dan gedung lainnya mempunyai tempat sampah yang memadai namun Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tidak dapat menampung besarnya sampah yang melampaui 7000 ton/hari. Dari kondisi tersebut, Ewazte berupaya memberikan edukasi ke masyarakat akan pentingnya memilah sampah dengan memberikan insentif serta bimbingan ke masyarakat. Penanganan sampah yang kami upayakan lakukan merupakan ilmu tertinggi dalam hal penanganan sampah. Karena memilah sampah adalah hal yang tidak lazim, disamping itu juga tidak banyaknya gerakan, atau himbauan pentingnya gerakan memilah sampah. Kami berusaha mengimplementasikan kesadaran lingkungan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya dengan tidak hanya membuang sampah pada tempatnya namun melakukan pemilahan sampah antara organik dan non organik. Kami juga berupaya untuk membudayakan penggunaan tempat minum sendiri.
Menurut Anda, apakah upaya pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan ini sudah cukup?
Usaha pemerintah Indonesia untuk menyikapi krisis lingkungan masih perlu terus diupayakan, tidak hanya berupa jargon namun juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya dengan melakukan daur ulang sampah. Selain itu kebijakan pemerintah untuk terus meningkatkan perekonomian harus selalu diimbangi dengan kebijakan dalam lingkungan.
Secara individu, bagaimana anda bisa berkontribusi terhadap gerakan ramah lingkungan?
Dari pengalaman kami, setiap membeli barang di supermarket/minimarket, kami usahakan selalu membawa tas belanja sendiri. Apabila kami tidak membawa tas tersebut, biasanya kami lipat, dan simpan dengan rapi di rumah. Begitupun juga dengan pembelian air minuman dalam kemasan yang selalu dikumpulkan dalam satu tempat sendiri, sehingga sampah rumah tangga yang dihasilkan minimal hanya sampah organik. Saat ini masyarakat tidak hanya harus dibiasakan membuang sampah pada tempatnya, namun juga harus ditanamkan kebiasaan untuk mengurangi sampah yang dihasilkan dengan program reduce, reuse dan recycle. Dengan program tersebut, sampah yang dihasilkan tidak hanya dibuang yang pada akhirnya mencemari lingkungan, namun dapat memberikan nilai tambah. Kami berusaha memberikan edukasi mengenai pemilahan sampah dan kesadaran masyarakat bahwa sampah yang dihasilkan dapat memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis tidak hanya memberikan dampak pencemaran lingkungan.