Konteks dalam Film bersama The Mo Brothers
Amelia Vindy (V) berbincang dengan Timo dan Kimo dari The Mo Brothers (M).
V
Apa yang memicu ketertarikan Timo dan Kimo pada dunia film?
M
Timo: Pertama, kami sama-sama suka film. Kedua, nampaknya dari dulu kami memang sudah ingin menjadi filmmaker saja kali ya. Ironisnya Kimo yang pertama kali terlihat memiliki ketertarikan pada dunia film dengan membuat banyak film pendek saat dia masih kecil. Kimo banyak menunjukan home video dengan naratif-naratif buatannya dan menjadikan orang-orang rumahnya dia sebagai cast, dari saudara-saudaranya hingga supir dan pembantunya.
Kimo: Iya, saya dari kecil memang sudah suka sih, dari umur 9 tahun.
V
Pertemuan Timo dan Kimo diawali saat kalian sama-sama sedang menekuni studi di Sydney di tahun 2002. Apa yang akhirnya, membuat kalian memutuskan untuk bersama-sama menggarap film di bawah nama The Mo Brothers?
M
Kimo: Itu karena saya memang suka sama film dari dulu, sayangnya saya tidak mendapatkan izin dari ayah saya untuk memilih studi tersebut. Akhirnya saya mengambil sekolah bisnis namun tetap membuat film-film independen sebagai sampingan, dan di situlah saya bertemu dengan Timo. Saya merasa sangat cocok dengan Timo karena kami menyukai satu pola yang sama. Dari situ, kami mulai kerja bareng dan mulai membuat film pendek. Berawal dari film pendek, barulah sedikit-sedikit mulai jadi besar, akhirnya kami buat feature film sama-sama – sampai sekarang sudah memiliki tiga feature film.
Kali ini saya coba bantu Timo dari segi producing, supaya kami benar-benar konsentrasi pada peran kerja masing-masing. Ini adalah kedua kalinya saya menjadi produser dan Timo sebagai sutradara. Pertama, Safe Haven (2013), yang di dalamnya terdapat dua sutradara yakni Timo dan Gareth Evans, tapi kali ini saya benar-benar hanya mau Timo yang menjadi sutradaranya dan saya produsernya. Jadi, tahun ini saya mau coba untuk fokus pada producing dan Timo directing.
Kenapa The Mo Brothers, sebenarnya hanya karena biasanya di ending credits ada tulisan nama kan, kadang-kadang atas dan bawah, kiri kanan. Nah dari pada menentukan nama siapa yang mesti ditulis duluan akhirnya kami kepikiran kalau kami menyatukan nama kami sebagai sebuah brand, sepertinya akan lebih mudah untuk diingat. Akhirnya kami memperkenalkan diri sebagai The Mo Brothers.
Timo: Dan sejak kami bikin film pendek Dara, kami sudah tahu bahwa memang untuk buat film genre, tidak akan bertahan jika hanya di Indonesia, jadi kami memang sudah memikirkan bagaimana seandainya kami buat sesuatu juga untuk kalangan internasional. Nama saya dan Kimo bisa dibilang tidak begitu mudah diingat di lidah orang, beda kalau nama kami cuma Budi dan Tono, mungkin dengan nama itu akan lebih mudah diucapkan. Jadi, bagaimana caranya biar orang-orang lebih mudah mengingatnya, ya kami buatlah nama itu. Intinya agar lebih mudah diingat saja.
V
Apa arti film bagi Mo Brothers, dan bagaimana kalian memposisikannya?
M
Kimo: Kalau buat saya, film is my passion. Saya lebih suka melakukan storytelling; dibanding yang lainnya, sebagai jalan hidup saya.
Timo: My passion and lust. Jujur passion juga. Kimo punya Production House (PH) namanya Merah Production yang juga berfungsi sebagai yang membuat company profile, iklan dan lain sebagainya, saya pernah mencoba ranah tersebut namun pada akhirnya saya sadar bahwa saya tidak cocok di dunia itu. Bahkan saya pernah mencoba untuk membuat video perkawinan kala itu demi sesuap nasi. Karena saya tidak tahan dan hal tersebut cukup membosankan, kemudian saya sadar bahwa apa yang dari dulu bisa saya unggulkan adalah membuat film.
Kimo: Tadinya Merah Production memproduksinya hal-hal selain film, namun sekarang sudah tidak lagi. Kalau saya sih melihatnya, selain passion menjadikannya bisnis juga ada lah ya ke arah sana, karena tanpa itu kayanya kurang menyatu saja. Akan lebih menyenangkan apabila kita bisa menghasilkan uang dari apa yang menjadi passion, agar bisa saling mencukupi.
V
The Mo Brothers menyatukan dua kepala menjadi satu. Bagaimana peran masing-masing individu saat proses kreatif pada penggarapan atau produksi film?
M
Timo: Kalau menurut saya, yang satu menggunakan logika, satunya lagi berimajinasi. Di sini Kimo lah yang saya lihat sebagai individu realistis. Sedangkan saya semakin tua, semakin seperti anak-anak. Jadi bagi saya, Kimo selalu mampu mengerti cara menahkodakan saya ibaratnya. Dalam membuat film, kami dihadapkan dengan realita dan ekspektasi. Realitanya dalam arti kata, kami mencoba untuk membuat sesuatu yang berhubungan dengan seni tapi tidak bisa menghindari hal-hal seperti bisnis, waktu, pengeluaran dan segala macamnya. Jadi, elemen itu yang biasanya suka tertabrak, dan kenapa di sini banyak orang yang akhirnya tidak bisa melaju terus, ya karena itu, ada yang mimpinya terlalu besar sedangkan realita dia hanya dikasih segitu aja. Istilahnya kamu mau bersihin satu gudang, tapi kamu hanya diberi sapu lidi.
Ada juga yang terlalu business-minded banget, sampai akhirnya filmnya tidak ada artinya, dan akhirnya jadi sesuatu yang aneh, membosankan dan segala macamnya. Perpaduan saya dan Kimo bisa dibilang bagus karena kami berdua punya mimpi yang sama. Kimo selalu bisa mengingatkan bahwa kami harus bertahan di Indonesia, juga soal selera penonton yang sulit ketebak dan hal-hal lainnya yang harus diperhatikan.
Kimo: Proses awalnya, biasanya memang dimulai dari ide ya, awalnya pasti ide ya, yang biasanya selalu apa yang kami berdua suka. Saya tahu Timo sukanya seperti apa dan juga sebaliknya, sehingga biasanya kami memilih ide yang bisa mewakili keduanya. Kemudian ide itulah yang akan dikembangkan. Beberapa projek terdahulu Timo lah yang menulis cerita dan script-nya. Setelah selesai, barulah diajukan ke studio atau perusahaan film, karena sayangnya perusahaan saya tidak memiliki kapasitas untuk mendanai biaya produksi film-film saya dan Timo suka. Intinya, berawal dari ide yang dikembangkan lalu kami mencari cara bagaimana bisa untuk merealisasikan shot itu dan menayangkannya di layar lebar, karena proses ke arah sana detailnya juga banyak, mulai uang, pendistribusian dan lain-lainnya. Jadi tidak semudah “Oke, ayo buat film, lalu setelah itu apa lagi ya”, pasti akan selalu ada persoalan dibalik layar yang tidak enaknya tuh banyak sekali.
Timo: Mau bagaimana pun juga kami kan tinggal di negara Indonesia, jadi terkadang untuk menemukan keseimbangan antara apa yang bisa diterima di sini dan tidak mungkin diterima, itu garisnya sangat tipis.
Kimo: Film terakhir saya sama Kimo, Headshot (2016) menurut kami tidak begitu sadis. Saat menayangkannya di Film Festival Toronto pun tidak ada yang berkomentar bahwa film ini terlalu sadis sehingga membuat saya tidak enak, sedangkan di Indonesia setelah nonton film itu, komentarnya bilang bahwa film itu sangat sadis, sampai ada yang tidak kuat.
Timo: Padahal sudah disensor dan hanya untuk orang dewasa mulai dari umur 21 tahun ke atas.
V
Karakter film-film The Mo Brothers selalu identik dengan scene-scene sadis yang didominasi oleh darah. Apakah ini merupakan penanda karakter atau ada pesan yang ingin disampaikan?
M
Timo: Tidak ada pesan yang ingin di sampaikan sebetulnya, kenapa buat film harus ada pesan moralnya? Kami pun juga tidak perlu bertanggung jawab terhadap pendidikan di dunia kan? Kami sebagai pembuat film seharusnya menyukai prosesnya dan berharap para penontonnya bisa mendapatkan sesuatu seusai menontonnya, entah itu mereka suka atau tidak, takut atau tidak. Terkadang sadis yang terlihat pada layar itu ada nilai positifnya, masa kalian mau nonton Evil Dead (2013) tapi tidak ada darahnya?
Kimo: Ketika kami membuat sebuah adegan kekerasan, pasti ada alasan dibalik hal itu. Bukan dalam artian kami ingin membesarkan kekerasan tersebut, sehingga tidak membuat orang bertanya kenapa adegan kekerasan itu terjadi. Contoh, ada salah satu scene di film The Night Comes for Us (2018) di mana ada seseorang ingin melarikan diri dari sebuah situasi. Kebetulan di sekitarnya hanya ada tulang. Untuk bisa melarikan diri satu-satunya cara adalah melumpuhkan lawannya dan tulang tersebut bisa membantunya dan ya, kami mengemasnya dengan lebih cool saja.
Timo: Lebih tepatnya, bukan kami suka kekerasannya tetapi suka depresinya saat adegan-adegan menemukan jalan untuk keluar dari sebuah situasi. Sekarang kan banyak, film laga dan horror tidak akan lepas jauh dari unsur kekerasan, dan kami melihat bahwa kebanyakan film laga tidak memperlihatkan dampak atau akibat dari kekerasan yang terjadi. Misalnya film superhero, ada yang scene menghancurkan kota, tapi tidak diperlihatkan detail-detail seperti banyak orang yang akibat hal tersebut, sehingga buat saya rasanya seperti tidak bertanggung jawab. Ketika menceritakan sebuah situasi yang logikanya akan ada adegan yang membuat banyak kehilangan nyawa, ya perlihatkan saja seperti apa dampaknya. Jadi buat saya, ketika membuat film, seperti ini lho dampaknya jika mati tertembak, akan seperti ini lho akibatnya jika dipukul di kepala. Walaupun terkadang kami mendramatisirnya, tapi hal itu merupakan bagian dari membuat film, yakni memberikan hiburan atau menghibur.
V
Banyak yang melabeli The Mo Brothers sebagai sutradara yang idealis, bagaimana The Mo Brothers menanggapi hal itu? Bagaimana pandangan kalian terhadap sebuah idealisme dalam membuat sebuah karya?
M
Timo: Idealis dalam konteks apa? karena sepertinya kami tidak idealis. Contohnya Headshot (2016), buat kami film ini merupakan salah satu karya yang idealis karena kami berkerja sama dengan sebuah PH yang lumayan paham keinginan mereka dari A sampai Z-nya dan memberikan kondisi apa yang harus kami lakukan dan kami pun mencoba untuk melakukannya. Saya punya opini personal untuk para kebanyakan pembuat film di Indonesia, mereka yang kebanyakan sudah berhasil ketika membuat sebuah film dengan satu genre tertentu akan kemudian membuat hal yang serupa karena dapat membaca pasar dan pasar menyukainya. Sedangkan saya dan Kimo, kami ingin menikmati apa yang kami buat sesuai genre kami, terlepas dari respon pasar terhadap film kami. Kami berusaha untuk menyesuaikan dan membuat sesuatu yang idealis namun masih bisa dinikmati dan memiliki pasar untuk film itu.
Kimo: Yang idealis mungkin dari segi standar dan cara bagaimana kami menyampaikan ceritanya. Tujuan kami adalah membuat sebuah keseruan yang tidak bisa dirasakan di film-film lainnya, juga coba dapat bersaing dengan seluruh pembuat film lain dari seluruh dunia. Supaya apa yang kami buat bisa disamakan levelnya dengan para pembuat film lainnya, sehingga kami selalu konsisten dengan genre yang kami sukai, laga, horror dan thriller, dan bergelut dengan orang-orang yang memang suka dengan genre tersebut. Mungkin idealisnya di situ, mempertahakan sesuatu dengan standar yang kami tentukan dan harapkan.
Timo: Keidealisan dalam berkarya penting. cuma ya balik lagi idealis yang seperti apa? Apakah tidak komersil? Contohnya ada beberapa pembuat film yang membuat karya namun hanya dia yang bisa mengerti filmnya, kalau itu yang dibilang idealis kami tidak seperti itu. Idealis yang kami coba terapkan adalah di saat sedang maraknya genre tertentu, ya kami coba membuat sesuatu yang lain, karena pada akhirnya kami tidak ingin penonton Indonesia terutama, untuk menjadi monoton. Kami mencoba untuk memberikan hal segar kepada para penonton, dan memperlihatkan bahwa “Guys, di Indonesia tuh yang seru tidak hanya yang menye-menye doang lho”.
Kimo: Karena idealis itu macam-macam, terkadang sebagai pembuat film yang mendapatkan label “Ah idealis banget lo” mungkin artinya juga di saat orang lain tidak bisa berkolaborasi dalam konteks menyesuaikan ceritanya ke pasar. Contohnya seperti yang sudah Timo sebutkan tadi, soal membuat film tapi hanya dia seorang yang mengerti, berbeda dengan apa yang saya dan Timo buat. Kami paham pasar suka nih yang seperti ini, mari kami mengkolaborasikannya, antara yang kami suka dengan apa yang pasar suka. Bagaimana sih kami bisa membuat sesuatu yang seru, misalnya dalam titik logika, ya orang kalau tertusuk pasti ada darah dong, masa orang tertusuk tidak ada darahnya? Mungkin juga kami mencoba untuk mempertahankan idealisnya di sana. Bisa dibilang sisi idealis kami terletak di saat penggarapan, sedangkan konsep, jalan dan alur cerita, kami menyesuaikan agar bisa diterima oleh pasar. Karena itu, kami rasa sangat mungkin untuk kami berkolaborasi dengan produser siapapun itu.
Timo: Asal mereka punya taste yang selevel sama kami. Seperti yang kami tahu, di sini ada beberapa PH membuat film dengan terus mengulang hal yang itu-itu terus, dan memang sudah ketahuan bahwa misalnya kami bilang “Sekali-sekali, coba dong buat yang seperti A, contohnya.” Lalu mereka akan menjawab “Ah di Indonesia tidak mungkin orang-orangnya akan suka itu.” Nah itu, sudah susah, karena mereka sudah punya pasar tertentu yang tidak mau mereka ubah lagi. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, bukan seharusnya sebagai pembuat film kami harus bisa memberikan tantangan kepada penonton supaya mereka terbiasa, bahwa di Indonesia nih kami juga bisa bikin yang beraneka ragam, karena identitas kami tidak hanya ada satu tapi banyak sekali. Mengingat Indonesia memiliki banyak keanekaragaman, kenapa kami mesti buat yang itu-itu melulu.
V
Sempat menerima tawaran untuk membuat film laga, adakah perbedaan khusus saat mengerjakan film laga dengan film horror/thriller? Karena walaupun membuat film laga, Headshot (2016) masih sangat kental dengan karakter kalian yang bersimbah darah.
M
Kimo: Perbedaan tentu ada, dari skala produksi juga teknis, levelnya sudah berbeda. Film laga cenderung harus memilki kemampuan teknis yang lebih besar dan sulit dibanding film horror. Namun jika kami membicarakan film horror slasher, itu hal yang berbeda, karena sama-sama memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan yang tinggi. Mungkin kalau di film laga harus ada kemampuan khusus untuk berkelahi, karena ya memang film laga sangat identik sekali dengan perkelahian dan ledakan contohnya, sedangkan di film horror tidak sejauh itu. Jadi horrornya kami, awalnya karena kami berangkat dari horror yang dikategorikan sebagai horror slasher, secara teknis memang sudah rumit. Sangat berbeda dengan film horror yang berbau hantu, supernatural atau spirit-spirit seperti itu, yang memang tidak membutuhkan sebuah teknis yang items-nya sebanyak film horror slasher atau bahkan film laga.
V
Bagaimana The Mo Brothers menerapkan karakter sebagai pembuat film horror di film laga?
M
Kimo: Kalau di film horror itu ada isyarat “beat” yang sudah sangat identik, itu salah satu hal yang coba kami tanamkan di film laga. Ya masa film action tidak memiliki ketegangan? Horror pasti selalu bicara soal ketegangan. Kurang lebih, secara teknis itu lah yang coba kami terapkan dari film horror ke film laga.
Timo: Misalnya film action tidak dikemas dengan suatu build-up bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Biasanya penonton akan “Oh oke, jadi ini nanti ada orang berantem, kita sudah tahu”. Contohnya film superhero, film ini lebih seru ketimbang menegangkan, karena kita sudah tahu bahwa jagoannya tidak akan mati dan mereka berkelahi dengan kostum dan kekuatan super mereka. Tetapi kami sebagai pembuat film cenderung ingin memperlihatkan bahwa manusia itu lemah tapi pada saat yang bersamaan bisa jadi brutal juga, jadi mungkin lebih dari sisi itu kami melihat ada cara untuk menggabungkan horror dan laga. Kenapa kami banyak darah, lebam sana-sini, tulang patah, ya karena memang itulah yang kami cari. Faktor x itulah yang ingin kami tonjolkan dan balik lagi seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa setiap pukulan, tendangan dan lain sebagainya akan mengakibatkan sesuatu terhadap badan manusia.
Kimo: Horrornya di situ sih.
Timo: Dan juga seperti yang Kimo bilang, menegangkannya seperti “Ada apa sih dibalik tirai itu? Ada seseorang yang menunggu kah?” Kalau di horror kami ganti hantu, sedangkan laga kami ganti dengan ada orang yang menggunakan shotgun tidak kira-kira. Juga bisa karakter yang kami sayang tiba-tiba ditembak mukanya sampai hilang gitu.
Kimo: That’s horror.
V
Kalau begitu bisa tidak diaplikasikan dengan film genre lain atau memang khusus hanya digabungkan dengan laga saja?
M
Timo: Bisa aja, misalnya drama.
Kimo: Drama bisa banget, drama percintaan kalo berujung dengan tragis. Nah momen tragis itu kan bisa horrifying banget.
V
Sebagai seorang pembuat film, terlebih dengan karakter film sadis, bagaimana tanggapan The Mo Brothers mengenai sensor di Indonesia?
M
Kimo: Menurut saya kami tidak sadis sih, karena buat saya pengertian sadis itu adalah memperlihatkan hal-hal di luar ceritanya, tetapi selama masih di dalam konteks ceritanya saya rasa itu bukan hal yang bisa dikatakan sadis, karena kami memang harus menceritakan itu. Misalnya kami mencerikan seorang psycho killer, ya kami harus menceritakan karakternya si Nomura ini, ya dia memang sadistic.
Timo: Jika dibilang kami sadistic, mungkin lebih seperti contohnya karakter Julie Estelle di film Rumah Dara sedang menginterogasi Arifin Putra yang diikat di kursi lalu dari bawah selangkangannya digunting-gunting. Nah itu sadistic kan, karena yang tadinya karakter dia pahlawan kok jadi melakukan hal tersebut tanpa ada build-up-nya. Sedangkan kami memperlihatkan kekejaman dan kekerasan sebagaimana porsinya.
Saya agak menyerah dengan lembaga sensor di Indonesia karena mereka naif, dalam arti kata bahwa hitam adalah hitam dan putih adalah putih, tidak ada area abu-abu buat mereka. Buat saya sendiri, saya melihat bahwa negara kami sangat keras, kami bukan Denmark yang semuanya terlihat bahagia, atau Singapura. Kalau di Singapura, saya mengerti kenapa sensornya sangat ketat karena negara mereka memang berusaha untuk menjadikan negara mereka seperti itu.
Sedangkan Indonesia setiap hari ada orang yang terbunuh, diperkosa, diculik, banyak kecelakaan dan sikap lembaga sensor seolah ingin memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang tentram? Buat saya itu adalah pandangan yang sangat naif. Alasan mengapa Indonesia sangat luar biasa karena dalam konteks memperlihatkannya lewat film, karena sebagai negara yang penuh dengan kekerasan dan konflik bisa terlahirlah cerita yang bagus. Bukan melulu soal percintaan saja.
Kimo: Kalau sensor itu menurut saya karena sudah pernah berhubungan langsung. Mereka sebenarnya diletakkan di lembaga tersebut dengan berat hati, karena merekapun tidak mau melakukan hal itu, namun mereka dituntut harus melakukannya. Juga mereka beranggapan bahwa klasifikasi penonton yang sudah ditetapkan oleh exhibitor-nya, belum bisa menjamin bahwa pentontonnya itu masuk sesuai dengan yang seharusnya ditonton. Jadi negara kita mencoba untuk mengatur itu.
Timo: Bayangkan, mereka bilang film untuk umur 21 tidak boleh ditonton oleh anak umur 17 tahun, yang sebenarnya apa bedanya? Seakan-akan mereka yang berumur 21 tahun baru bisa menyaksikan adegan kekerasan. Seandainya boleh jujur, anak-anak di sini umur 15 tahun pun sudah bisa menyaksikan adegan vulgar lewat internet. Jika mereka mau memfilter ya sudah telat, karena kami sudah berada di dunia baru di mana semua hal sudah bisa diakses. Dibanding kami dilarang untuk menampilkannya, kenapa tidak lebih baik di edukasi saja bahwa ini yang baik dan ini yang tidak. Sangat disayangkan kami masih terjebak untuk menutup-nutupi mata orang.
Kimo: Menurut saya, karena kami juga film yang berbahasa Indonesia dan mencoba untuk mendistribusikannya di Indonesia, jadinya mau tidak mau harus mengikuti aturan tersebut. Tapi seandainya kalian ingin melihat karya kami tanpa potongan dari lembaga sensor, kami harus mendistribusikannya di luar negara ini, yang akhirnya itu selalu menjadi target kami. Karena kami ingin menunjukan bahwa inilah karya yang kami sukai.
V
Sempat merasakan diundang ke berbagai festival pemutaran film internasional, seperti apakah perbedaan antusias penonton nasional dengan penonton internasional? Lebih membanggakan mana, disanjung oleh masyarakat negeri sendiri atau negeri orang?
M
Timo: Kalau soal apresiasi sebenarnya sama saja, tapi saya lebih menghargai orang yang mau membayar untuk melihat film kami, terus terang. Sekarang misalnya begini, salah satu yang membuat saya kepikiran adalah bukan karena tidak diapreasi tapi ketika ada orang dari luar negri yang ingin nonton film kami misalnya karena karya kami yang berkolaborasi dengan Iko Uwais, mereka akan sangat berusaha untuk bisa menonton film tersebut. Ada yang rela menyetir 2 jam dari tempat mereka untuk menghadiri limited-release theater, sedangkan di negara sendiri malah bilang “Kita tunggu aja nanti download-an Torrent”, itu yang membuat saya benar-benar kesal. Ada unsur di mana ketika sebenarnya saya membuat film buat Indonesia, malah seperti diremehkan. Sudah nontonnya download terus komplain pula kalau mereka tidak suka.
Kimo: Kalau ditanya soal membanggakan, saya pribadi menilainya seperti ini semakin banyak kami diterima di planet ini, saya semakin senang. Saya tidak pernah membedakan akan lebih senang diapresiasi di sana atau di sini. Karena menurut saya, secara apreasiasi, itu semua sama, on the same level. Mungkin lebih suka diapreasiasikan di sini adalah dari segi penjualan kali ya, karena kalau dalam segi sale, di sini pasti akan lebih cepat. Tetapi jika menggabungkannya dengan keseluruhan penjualan di dunia itu akan lebih bagus lagi.
V
Bagaimana pendapat kalian mengenai penonton dewasa yang kerap membawa anak ketika menonton film dewasa? Bukankah hal tersebut yang justru menimbulkan permasalahan? Apakah jika hal tersebut lebih diperhatikan, sensor menjadi tidak perlu terlalu galak seperti sekarang?
M
Timo: Itu bukan hal yang buruk, buat saya regulasi itu diperlukan. Karena sekali lagi, hal yang membuat saya keberatan adalah perbedaan antara anak 17 dan 21 tahun. Bagaimana cara membedakannya? Karena sangat dekat.
Kimo: Saya setuju dengan Timo, masih agak rancu membedakan 17 dan 21 tahun. Akan lebih efektif jika 10-13 tahun yang terkategorikan sebagai teens, dan memang banyak juga di negara lain yang menerapkan regulasi tersebut. Seharusnya di Indonesia, regulasinya diatur, ada klasifikasi sudah benar menurut saya, tapi dengan tidak memotong adegan yang sudah kami inginkan di dalam layar.
Jika memang menurut mereka terlalu sadis, lebih baik sekalian tidak usah diperbolehkan untuk tayang saja, dibanding harus memotong adegan yang sebetulnya banyak orang tidak setuju dengan hal tersebut. Kenapa harus dipotong? Berdasarkan apa? Jadi maksudnya, bukan saya setuju akan sensor, tetapi soal regulasinya dan peraturan yang jelas tentang penonton yang boleh masuk bioskop atau tidak. Jika sudah ada peraturan jelas dari pemerintah terkait hal tersebut, saya rasa mereka akan perlahan-lahan akan mengikuti aturan itu.
Timo: Begini, menurut saya tidak akan seorang anak lantas menjadi seorang psycho hanya karena menonton film tentang kekerasan. Saya dari kecil sudah menonton film-film sadis, ya walaupun memang tidak ideal dan tidak merekomendasikan anak saya untuk melakukan hal serupa. Tetapi saya belum pernah mendengar ada kasus seorang anak yang menonton film sadis kemudian menjadi psikopat. Kecuali dari kondisi atau lingkungannya sudah tidak sehat. Kita sebagai makhluk sosial kan terbentuk dari lingkungan kita, bukan dari apa yang kita tonton.
V
Film horror yang cenderung sadis mengurangi kemungkinan jumlah penonton karena ada batasan umur, bagaimana tanggapan The Mo Brothers terhadap hal tersebut. Tertarik kah untuk membuat film yang bisa dikonsumsi oleh semua umur?
M
Timo: Menurut saya agak menyedihkan. Misalnya seperti Headshot diberi klasifikasi umur 21 tahun, sedangkan film Logan diberi klasifikasi umur 17 tahun padahal sadisnya sama atau seperti Evil Dead (2013) dan Don’t Breathe (2016).
Kimo: Itu dia yang saya protes. Mereka bilang bahwa film Hollywood bisa berhasil melewati sensor begitu saja, tapi tidak untuk film lokal. Saya tidak mengerti kenapa, memangnya orang luar itu bukan manusia ya? Karena saya tidak melihat mereka kulit putih, kulit hitam atau matanya sipit, saya tidak melihat itu, mereka sama-sama manusia. Mungkin bahasanya saja yang berbeda, tapi apakah itu membuat mereka jadi berhak melakukan itu? Artinya apa? Berarti mereka memilik standar yang double, yang seharusnya dipertanyakan. Seharusnya mereka bisa memberlakukan yang sama dong kepada film Logan, berikan untuk umur 21 tahun. Kenapa film Logan bisa melewati sensor untuk umur 17 tahun?
Timo: Sebelumnya kami sudah pernah mendapatkan pengalaman yang sama, dulu saya ingat ketika pertama kali kami memasukan film pendek Dara ke lembaga sensor dan banyak sekali adegan salah satunya ketika Danish membacok-bacok orang dan membuat film itu akhirnya tidak layak tayang karena isu yang kami rasa absurd. Kami bertanya kenapa, lalu mereka menjawab bahwa wanita Indonesia tidak seharusnya melakukan hal tersebut. Gila.
Kimo: Kenapa harus dibedakan antara film Hollywood dan lokal? Sehingga kami sebagai produser yang membuat konten jadi melihat seperti ada sesuatu antara lembaga dengan exhibitor atau yang di sana. Saya tertarik membuat film yang bisa dikonsumsi oleh semua umur.
Timo: Saya juga tertarik. Apalagi saya dan Kimo adalah orang tua, kami juga ingin buat sesuatu yang bisa ditonton oleh anak-anak kami. Buat saya mungkin bukan sekarang, kami pun bukan sadistic yang maunya darah melulu juga kali.
V
Di Indonesia film horror juga merupakan salah satu film yang sering diproduksi, namun tidak terlalu banyak film dengan genre ini yang berkualitas. Dari segi tema atau penggarapannya, sering kali memperlihatkan atau mengaitkan dengan seksualitas sehingga terkadang membuat tidak nyaman. Bagaimana The Mo Brothers melihat industri film horror Indonesia yang cenderung diproduksi demi keuntungan semata?
M
Kimo: Selama masih dalam konteks storyline, I don’t have any problem with that.
Timo: Kalau boleh jujur sebenarnya tidak ada masalah dengan itu. Saya tidak mau menjadi orang yang membela adanya adegan kekerasan di layar sesuai umur, tetapi saya mengatakan bahwa seks itu dijual. Kalian tahu tidak kalau di Perancis para pembuat film boleh memperlihatkan kevulgaran dan anak umur 12 tahun sebenarnya boleh menontonnya. Maksud saya, memang itu regulasi Perancis sebagai negara liberal, tapi harapan kami sebagai orang Asia tidak semestinya membedakan antara seksualitas dan kekerasan.
Beda cerita seandainya ada perempuan seksi yang sedang cuci mobil kemudian dengan sengaja memperlihatkan bagian-bagian intim dengan adegan hubungan suami istri yang memang ada di storyline-nya. Kita masih terperangkap dengan stigma orang Timur, yang menganggap bahwa seks adalah sesuatu yang tabu.
Kimo: Jika memang ada film-film yang memperlihatkan seksualitas di luar storyline, menurut saya ya tidak bagus. Contoh film horror yang menggunakan bintang porno sebagai cast, buat apa? Itu kan menjadi suatu pertanyaan, kenapa? Yang seakan-akan jadi terlihat ingin menjual poin tersebut. Kecuali memang dalam ceritanya, dia adalah bintang porno yang dikejar-kejar atau mau dibunuh, barulah tidak ada perlu lagi dipertanyakan. Itu pun masih “mungkin” tidak apa-apa.
Timo: Itu namanya marketing gimmick. Sebenarnya tidak apa-apa juga seandainya itu terjadi, hanya saja yang membuat saya cukup depresi adalah seandainya film seperti itu laku karena memperlihatkan bahwa penonton kita ternyata cetek. Dengan gimmick yang seperti itu saja, mereka mau membayar untuk melihat itu, padahal mereka bisa melihatnya sendiri di internet secara gratis (tertawa).
Kimo: Menurut saya membuat film yang itu-itu saja nyatanya tidak menguntungkan. Karena genre itu sudah mati sekarang. Genre-genre tersebutlah yang merusak jalan kami, karena true fans film horror tidak mau melihat itu. Mungkin hanya bertahan selama beberapa tahun saja.
Timo: Sebagai pembuat film horror, saya tidak akan pernah mengatakan bahwa seksualitas dan horror tidak bisa disatukan, karena nyatanya sebenarnya hal itu sangat bisa disatukan. Ada sesuatu yang menarik dari seks dan kekerasan jika bergabung. Bukankah hal tersebut yang membuat kita segan melihat tapi penasaran? Dan dua hal ini sudah ada sejak sebelum Masehi, rasanya.
Kimo: Kami sih tidak protes, hanya saja jika memang kalian bisa membuat film tersebut jadi keren banget, dengan nilai artistik yang tinggi kenapa tidak, pasti akan luar biasa.
V
Rencana apa yang sedang dipersiapkan The Mo Brothers ke depannya?
M
Kimo: Kami ingin terus aktif saja sih sebagai The Mo Brothers, individu, juga sebagai pembuat film. Masih akan terus gabung juga sama Timo untuk mengerjakan beberapa proyek selanjutnya. Jika waktu mengizinkan, mungkin akan bisa menyutradarai sendiri juga dan Timo demikian. Maunya sih mungkin direct proyek dari luar. Itu sih rencananya, cuma saat ini kami masih menjalankan ide kami, itu yang pasti – dan genrenya masih stay di situ.
Timo: Ya kurang lebih seperti itu.