Hannah Al Rashid Berbicara Tentang Perempuan dan Aktivisme
Ghina Sabrina (G) berbincang dengan Hannah Al Rashid (H).
G
Anda dikenal oleh publik sebagai seorang aktris, namun alasan utama untuk pindah ke Indonesia adalah justru untuk bekerja di UNDP (United Nations Development Programme). Apa latar belakang di balik keputusan Anda?
H
Basically I have a bachelor in Indonesian and development studies. Jadi, saya mempelajari bahasa, sastra Indonesia dan perkembangan negara, mulai dari ekonomi, politik, antropologi, sampai sisi sosialnya. Basically learning about why you have the theories of development. Hal-hal seperti itulah yang berurusan dengan World Bank hingga IMF. Jadi saya sudah sangat tertarik dengan isu itu, mungkin saya juga besar di Inggris, tapi ayah saya sangat patriotic, very Indonesian. So I keep abreast of current affairs of Indonesia.
Pada saat itu saya ingin sekali untuk bekerja dengan UNDP terutama untuk posting di Ambon atau Poso, karena saya ingin ke daerah konflik. Tetapi memang ketika saya datang, area itu juga situasinya sudah lebih membaik, dan akhirnya saya pindah saja ke sini. Saya berharap bisa bekerja dengan UNDP, tapi saya tidak bisa mendapatkannya karena baru lulus grad school. Saya terlalu optimis, terlalu naif. Mungkin sekarang full circle karena saya menjadi salah satu ambassador UN, jadi rasanya seperti full circle, to work with them without having to be stuck in the bureaucracy of the organization, which is possibly lebih bagus juga sih dan I can now marry my current work and the platform I have with issues of development and activism. Jadi buat saya memang seharusnya seperti itu.
G
Di dunia entertainment sendiri, hal-hal seperti apa yang pernah Anda lakukan untuk terus mengedepankan nilai dan pemikiran, seperti pemilihan karakter, naskah, atau kolega?
H
Buat saya sih pemilihan karakter sangat penting. Saya merasa saya punya tanggung jawab untuk mematahkan stereotypes. Yang saya lihat perempuan Indonesia di industri ini, stereotipenya pemanis saja, begitu. Jadi, antara saya mendukung hal itu dengan menjadi pemanis saja dalam film atau saya dapat menunggu peran yang lebih ada substansinya. Maksudnya seharusnya aktor jadi apa saja mau, tapi saya sangat sadar bahwa ada stereotype pada aktor berdarah campuran dan biasanya mereka tidak diberikan peran bersubstansi. Dan sebagai aktor, bagaimana saya bisa mempelajarinya jika saya mengambil peran tersebut? Maka dari itu, saya selalu mencoba untuk memainkan beragam peran.
Mungkin karir saya mendapat momentum yang pas ketika sedang heboh film “The Raid”, film laga, yang lama-lama trennya action dan juga akhirnya membutuhkan female heroine juga, perempuan yang bisa berantem atau membela diri. Jadi film ketiga saya adalah film pendek action yang membuat saya kemudian mendapat tawaran film serupa dan saya sesungguhnya sangat menikmati bisa melihat karakter perempuan yang badass di film Indonesia. Itu sesuatu yang saya sendiri tidak pernah lihat.
Saya mungkin generasi “AADC?” kali ya, dan saya belum lihat kok perempuan yang action-nya segitunya, apalagi melawan laki-laki. Saya belum pernah melihat hal seperti itu, jadi karena memiliki latar belakang silat dan mendapat tawaran untuk berperan di film action, saya dengan senang hati melakukannya dengan harapan saya bisa menunjukkan bahwa ini ada aktris badass seperti laki-laki. Pemilihan karakter tentu penting.
Soal bekerja dengan orang lain atau kolega tertentu, saya sampai sekarang belum dengar hal buruk dari seseorang sampai saya tidak mau bekerja dengan mereka. Saya rasa saya masih harus mencicipi tiap Production House (PH), produser, dan sutradara. Kalau tidak, bagaimana saya bisa belajar jika terus di dalam zona nyaman, seperti kepompong? Tapi tidak tahu juga ya, mungkin suatu saat akan ada waktu di mana sesuatu terjadi dimana saya harus memikirkan prinsip saya. Seperti misalnya kita lihat saja skandal Harvey Weinstein di Hollywood, yang ada aktris yang tidak mau kerja dengan orang ini kalau terlibat dalam hal-hal seperti itu. I don’t want to put any negativity on anyone, but at this moment I haven’t yet needed to use my principle that much towards specific people, melainkan lebih kepada peran dan film secara gambaran besar berdasarkan apa yang sebenarnya ditawarkan film ini.
G
Tahun lalu, muncul gerakan #MeToo, di mana perempuan dari seluruh dunia akhirnya memberanikan diri untuk speak up tentang pengalaman mereka menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagai sosok yang berkecimpung di dunia entertainment, pernahkah Anda merasa dilecehkan atau direndahkan atas status perempuan?
H
Apakah saya pernah menjalankan peran film di mana sutradara dan produser mementingkan tampilan saya daripada substansi karakter yang saya mainkan? Ya, itu mungkin general sexism saja kali ya, cara kita memandang perempuan. Maksudnya, biarpun misalnya film “Warkop”, mungkin banyak teman feminis yang paling terkejut dengan keputusan saya mengambil film “Warkop”, karena film ini mungkin untuk banyak orang identik dengan perempuan seksi, yang hanya di film digunakan sebagai pemanis. Justru saya mengambil peran di situ, saya ingin menunjukkan keseksian yang berbeda. Karakter yang tidak menggunakan badannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Kalau dia cantik, ya dia tidak menganggap itu. Dia sepolos dan se-innocent itu. She doesn’t feel like that’s what she needs to get by, tapi dia semangat, dia pintar, dia bisa bergaul dengan tiga orang laki-laki dan merasa nyaman dan tidak terintimidasi.
Di film itu juga baju saya tidak ada yang overtly sexy, karena memang itu pilihan sendiri. Saya mau dia seperti itu, sempat bentrok dengan sutradara waktu lihat referensi dia untuk karakter ini, saya seperti “Wah ini mah seperti porno,” sedangkan saya banyak bicara dengan Pakde Indro, dan Pakde juga setuju bahwa kita harus menawarkan Warkop angels yang sesuai dengan generasi sekarang, yang versi baru, di mana keseksian itu tidak perlu dilihat lagi dari baju yang dia pakai atau bentuk badan, tapi bisa dilihat dari intelektualitas. And that’s what I tried to do.
Saya juga pernah mengalami pelecehan on set. Maksudnya, ada banyak hal tidak pantas yang bisa terjadi on set, mau itu dari joke sexist biasa yang dianggap hal sepele, tapi sebenarnya kalau dibiarkan terus seperti itu menjurus ke sesuatu yang bisa lebih kejam. I think that’s what happened in Hollywood. It’s just a touch in the shoulder, and then it turns into a hug, and then it turns into something else. Di Indonesia, dasar seksisme itu banyak. Digoda oleh pemain senior, dikomentari bentuk badan oleh lawan main, atau memang ada beberapa yang berusaha untuk berbuat tidak pantas. Basically trying to do things they shouldn’t be doing, itu sudah pernah saya alami.
Begitupun dengan tipikal-tipikal, saya rasa tidak beda jauh dari predator Hollywood, cara mereka memojokkan perempuan. Tidak cuma dengan saya saja tapi dengan orang lain, mungkin dengan kru perempuan juga. I think sexual predators have the same way of thinking. Pada akhirnya, semua adalah tentang power. Dan saya merasakan itu di sini. Walaupun pada saat itu, saya sempat cerita ke sutradara dan produser saya kala itu yang keduanya memang saya percaya, dan mereka juga sadar akan isu ini, tapi juga berusaha untuk handle it in the most appropriate way without considering the fact that we actually don’t have the support system or the legal system in place to protect women in the workplace.
Jadi saya masih bersyukur bahwa sutradara dan produser saya berusaha untuk setidaknya melihat isu ini. Mereka tidak pernah yang, “Ah nggak percaya,” mereka selalu percaya terhadap perempuan yang berani bicara tentang isu ini dan mereka juga berusaha untuk mendorong perempuan ini untuk membuat pernyataan. Cuma kalau dari kami sendiri, nanti dulu, dengan pernyataan ini, apa yang akan terjadi? Orang ini akan dipecat? Akan dapat Surat Peringatan? Terus nanti kalau dia mau balas dendam, kalau dia posisinya lebih powerful, dan karir saya akan dihentikan di situ saja? Karir teman saya yang kru juga? The system is not in place to protect women, so we have to stop thinking about that kind of stuff sih menurut saya.
Saya orang yang berkoar-koar soal speak up, saya juga pernah di posisi di mana saya memikirkan power struggle itu. Kalau saya bilang, bagaimana hal ini akan mempengaruhi karir saya? Mungkin posisi saya di industri ini belum kuat untuk berbicara tapi tetap mempertahankan pekerjaan saya. Jadi ada banyak pertimbangan yang harus saya pikirkan. Coba kita lihat Weinstein. Berapa dekade ia telah melakukannya? Bagaimana dengan Woody Allen? Dan ia masih berkarya. Ini menarik. Orang seperti Justin Timberlake yang menyatakan bahwa “I’m also a Time’s Up supporter,” tapi kemudian ia bekerja dengan Woody Allen. Ya itu, mungkin sekarang kita akan lihat siapa yang benar-benar pegang omongan dan prinsip mereka, dan siapa yang tidak.
Tapi kalau di sini, saya lihat mungkin situasinya tidak separah di Hollywood, mungkin ya. Tapi, jangan sampai kita sudah di level pertama, jangan sampai kita progress lagi, karena that’s how it started in Hollywood. You start from somewhere and it becomes a snowball. Jangan sampai itu terjadi. Kasihan perempuan-perempuannya. Di sini cenderungnya masyarakat lebih kejam terhadap perempuan yang mengalami pelecehan seksual, cenderungnya lebih victim blaming lagi, jadi jangan sampai terjadi karena kasihan korbannya.
G
Di Hollywood ini juga sedang ada kampanye yang menuntut kesetaraan gaji untuk aktris dan aktornya, bagaimana Hannah melihat peristiwa ini? Apakah relevan juga jika diterapkan di Indonesia?
H
Saya rasa melihat bahwa ada banyak perempuan yang mengerjakan hal sama seperti laki-laki di segala industri tapi dibayar lebih rendah adalah travesty. Yang kita lihat juga, tidak cuma perempuan, tapi perempuan juga per sectionnya berbeda. Perempuan berkulit putih dibayar lebih besar daripada yang berkulit gelap, tapi mereka juga dibayar lebih daripada perempuan Latin. Lalu perempuan Latin ini dibayar lebih besar daripada perempuan pribumi. Jadi itu tidak sesederhana perempuan melawan laki-laki, tapi juga isu ras. Tentu jika seseorang melakukan pekerjaan sama dengan yang lain, orang itu harus mendapat bayaran yang sama.
Ada sebuah video tentang 2 anak kecil di Swedia (perempuan dan laki-laki) – orang Skandinavia selalu terdepan dalam kesetaraan gender – dan mereka melakukan pekerjaan yang sama tapi ketika dibayar kok berbeda? Yang paling asik dari video itu, anak laki-laki masih mau membela anak perempuan. Logika mereka masih, “Ya kan kita kerjanya sama. Tidak adil.” Jadi mereka yang bagi. Jadi bayangkan, anak kecil saja tahu kalau diajarkan tentang kesetaraan gender dari awal.
Kalau di industri kita sendiri, di Indonesia, saya belum tahu ya, karena selama ini saya juga tidak kebagian informasi siapa dapat berapa. Jadi saya tidak bisa berkomentar untuk di sini. Saya yakin hal ini terjadi. Ini adalah isu global, apakah Indonesia anomalinya? Sepertinya tidak. Tapi yang saya lihat, yang paling gila menurut saya isu dalam Netflix, “The Crown.” Seri ini berbicara tentang kisah ratu Inggris, dan Claire Foy adalah pemeran The Queen, ia juga melakukan lebih banyak scene daripada aktor yang memainkan Prince Phillip tapi dibayar lebih rendah. Menurut saya itu gila. Sekarang kabarnya Netflix sudah berkomitmen kepada aktris baru yang menggantikannya, bahwa Netflix akan membayarnya secara adil. “Oh that’s nice, maybe you give Claire a bonus?” You know what I mean. Kalau untuk di sini sih saya belum tahu. Tapi kalau kita lihat secara universal, mungkin sama saja.
G
Kehadiran Women’s March tiap tahun di Indonesia seakan memberikan harapan bahwa publik sadar akan isu yang terjadi pada perempuan. Apakah Anda melihat perubahan signifikan dari publik Indonesia?
H
Perubahan signifikan dari march tahun lalu dan tahun ini adalah, satu, jauh lebih banyak orang yang ikut. Dua, jauh lebih banyak ibu-ibu dan jauh lebih banyak anak-anak, anak remaja. Jadi buat saya, itu sesuatu yang quite mindblowing in a very positive way. Saya tidak menyangka akan ada banyak ibu-ibu, sih. Karena kalau kita lihat norma kultural kita, mungkin yang paling vulnerable tapi juga paling disuruh diam, mungkin ibu-ibu. Jadi melihat ibu-ibu ke luar dengan poster-poster itu, saya senang sekali. Mungkin perbedaan terbesarnya itu.
As far as the reception dari masyarakat, ya dari satu sisi bagus, dari satu sisi buruk banget. Kita kan yang ikutan Women’s March banyak yang dihujat habis dari cyber army. Collective accounts yang memang menggunakan poster kami, foto kami, untuk agenda mereka yang jahat. Evil masterplan menurut saya. Saya lihat dari akun-akun ini, mereka di satu sisi berhasil karena, wah, saya dihujat habis. Satu foto bisa dapat 5000 komentar dan semuanya menghujat saya. Tapi di sisi lain saya percaya bahwa ini adalah alasan kenapa kita harus terus berjuang. Kita justru harus menjangkau orang-orang ini.
Satu hal yang saya paling heran kemarin, betapa netizen bisa kelewatan poin. Mereka hanya melihat satu hal dan penafsirannya jauh sekali, tapi inti dari poster saya sendiri jangan victim blaming perempuan karena baju yang dia pakai. Orang tidak menangkap itu sama sekali. Orang malah pembelaan “Ya memang salah anda. Salah baju yang anda pakai.” This is coming from a dark place, this is coming from ignorance, this is coming from lack of education, tapi yang paling utama, hal ini datang dari minimnya empati. Empati sepertinya sudah hilang dari netizen zaman sekarang.
Tentunya ada hal baik dan buruk. Ada baiknya juga Jokowi endorse march ini lewat post untuk merayakan perempuan yang turun ke jalan. Menurut saya itu adalah sesuatu yang sangat bagus. Tapi, kita juga butuh lebih banyak dari pihak pemerintah, setidaknya advokasi ke pihak pemerintah untuk benar-benar membuat perubahan secara legal pada sistem kita guna melindungi perempuan dan menanggulangi isu perempuan terus-menerus terjadi. Tapi saya sangat senang melihat Jokowi mendukung march dan juga banyaknya perempuan yang hadir saat itu, kita perlu beliau untuk mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Kita juga perlu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang adil serta tidak menkriminalisasi perempuan dan anak-anak. Saat ini, bilang, “yay, go women!” saja tidak cukup. Kita butuh bantuan pemerintah dan decision makers untuk menerjemahkan harapan dan niat kita untuk melawan serta turun ke jalan. Kita butuh direct action dari pemerintah. There’s only so much you can scream and shout, and then you look across the globe and same thing is happening everywhere!
Bulan Maret ini, semua orang hanya bisa teriak dan marah dan sedih hingga menangis di jalan karena anak kecil terbunuh atas peraturan senjata api. Jangan sampai itu terjadi di sini. Tapi, fakta bahwa anak-anak berumur 16 tahun harus turun ke jalan dan beradvokasi agar didengar pemerintah, itu gila sih. Memang, saya rasa semua orang di mana pun kecewa dengan sistem politik negaranya dan saya pikir kekuatan saat ini ada di tangan masyarakat, advokasi, dan aktivisme.
Kita harus terus bergerak. Tapi adanya aksi ini, tentu akan mendapat respon kebencian, interestingly enough. Padahal kita berjuang untuk mereka juga. Maksudnya, semua orang yang menghujat saya kemarin, saya berdoa kepada Tuhan agar perempuan di hidup mereka tidak mengalami hal serupa. Karena kalau mereka mengalami pelecehan, dan otak kalian sebagai keluarganya seperti itu, kasihan sekali orang-orang ini. Mereka mau ke mana untuk dapat support system, jika orang tuanya adalah orang yang menganggap bahwa perempuan lah yang salah karena baju yang dia pakai? God forbid their children experience it. Saya tidak peduli saya dihujat. Saya sedih dengan itu semua, memikirkan keluarga mereka, anak perempuan mereka.
G
Bicara tentang isu perempuan, konteks menjadi hal penting yang menyebabkan perbedaan tindakan maupun persepsi publik. Sebagai seseorang yang mengalami dan memiliki perspektif kultur Barat dan Timur, bagaimana Anda melihat isu ini?
H
Ah, isu-isu di sini saya lihatnya dari kacamata banyak orang. Pertama, tidak memikirkan konteks. Kedua, tidak pernah riset atau tidak punya pengalaman dalam isu ini, tapi beropini banyak. Ada yang berkata pada saya, “Ah kamu orang Barat, kamu memotivasi perempuan untuk membuka bajunya.” Saya bisa bilang bahwa saya pernah tinggal di Barat, saya besar di Barat. Sekarang, saya menghabiskan 30% hidup saya di Indonesia. Saya pernah tinggal di kedua tempat dan saya katakan pada kalian, tempat di mana saya mengalami pelecehan terbanyak adalah di Indonesia, bukan Barat. Tempat di mana saya mengalami judgement dari menjadi seorang perempuan, di sini, bukan di Barat.
Jadi ya itu, saya rasa banyak orang mengklaim dirinya opinionated, tapi sesungguhnya mereka ignorant. Kita tahu bahwa dalam pembentukan opini, kita harus melakukan riset terlebih dahulu, dan riset itu tidak cuma lihat post Instagram tidak jelas, lalu beropini. Kita harus membuat riset yang banyak. Saya selalu coba sebisa mungkin apapun opini yang saya sampaikan di media sosial saya sudah ada riset atau setidaknya pengalaman di baliknya. Saya tidak mau post sesuatu yang saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang itu. Saya bertanggung jawab terhadap followers saya. Saya tidak mau menjadi an agent of propaganda when I know nothing about it. Jadi sangat penting. Sering kali ketika saya membicarakan pelecehan, saya sendiri pernah mengalami. Hal itu berangkat dari pengalaman, itulah mengapa saya membicarakannya.
Ketika berbicara mengenai perbedaan Barat dan di sini, hal itu karena saya telah tinggal di kedua tempat tersebut. Saya tidak membicarakan hal itu untuk pamer. Saya bicara tentang itu karena saya pernah 20 tahun di Inggris dan 10 tahun di sini. Jadi, pengalaman saya itu valid, tanpa terdengar arogan ya. Seseorang tidak bisa datang ke saya dan bicara tentang Barat ini itu, sedangkan ia tidak pernah meninggalkan kotanya. Saya sudah meninggalkan kota saya dan datang ke sini. Oke, fine, mungkin memang perspektif saya tentang tempat ini banyak yang datang dari pandangan orang yang hidup di Barat. Itu wajar, itu normal. Tapi, saya tidak membiarkan ke-Barat-an saya menghalangi cara saya hidup di sini. Saya adalah orang Timur. Sebenarnya, itulah keindahan ras campuran. Saya punya keduanya. Saya bisa memilih yang terbaik dari keduanya, dan meninggalkan yang jelek dari keduanya. Itu keistimewaan saya sebagai orang mixed.
Contoh yang paling jelas, waktu Women’s March, saya dituduh menyuruh perempuan buka aurat dan jalan telanjang di jalan. My poster and my face were put against feminists in France, yang buka baju. Ini sinting sih. Saya ingin bilang pada orang-orang ini, perempuan Indonesia sebelum Belanda datang, telanjang dada semua. Yang menyuruh perempuan Indonesia untuk memakai baju siapa? Itu bukan Islam dan ajaran Islam yang datang ke sini. Itu orang Belanda yang datang dan menyuruh kalian untuk menutup badan. Di mana buku sejarah kalian?
Kenyataan bahwa Islam dapat menyebar dengan cepat dan mudah di Indonesia adalah karena ia bisa bercampur dengan segala kebudayaan berbeda yang sudah ada. Itulah mengapa, ketika seseorang menikah di sini, ia tidak hanya menikah secara Islam, tapi juga secara Bugis, Jawa, Medan, karena Islam dapat bercampur dengan kebudayaan yang sudah ada. Islam dulu sangat toleran, sangat menarik, sangat berwarna. Sekarang kok kita mengarah ke Wahabism? Orang Saudi saja ingin lepas dari Wahabi, kok kita yang menerimanya? Ini sangat menarik.
G
Belakang ini Anda mengoptimalkan fungsi media sosial; tepatnya Instagram, sebagai alat untuk meresonansi perspektif tentang isu perempuan kepada publik. Apa yang memutuskan Anda ingin mengeksplorasi platform ini?
H
I’ve pretty much stopped using Facebook, I still have my account but I’m not active on it anymore, because I’m really started to be disappointed in Facebook’s global take over in privacy, gitu. Maksudnya mereka menjual informasi pribadi kita kepada semua orang dan saya sudah mulai tidak nyaman dengan itu. Cuma kenapa saya belum deactivate karena memang banyak kontak teman di negara lain adanya di Facebook, jadi saya tetap aktif tapi tidak post apapun.
Hmm kalau Twitter, mungkin karena saya orangnya lebih ke visual seperti kebanyakan orang, jadi gambar adalah sesuatu yang easy to identify with. Jadi bagi saya, Instagram adalah platform yang saya memang suka, karena selain kita bisa foto tapi kita juga bisa memakai caption yang cukup panjang dan layoutnya enak lah. Tapi sebenarnya saya aktif di Instagram agak telat. Saya mulai buat akun karena salah satu teman baik saya aktif di Instagram, dan orang ini suka hilang (tertawa). Jadi, saya bisa track teman baik saya di London lewat Instagram. Ia tidak punya WhatsApp, nomor telepon, dia suka off the radar. Jadi, kalau saya lihat Instagram dia ada foto, walaupun mungkin itu bukan foto dia, tapi foto graffiti, saya berpikir, “He’s alive, He’s good”. So, my original thing for Instagram was that.
Lalu saya mulai menyadari bahwa Instagram sekarang menjadi marketing penting untuk kerja, tapi saya tidak mau melulu bahas kerjaan, dan memang dari dulu sepertinya saya kurang pintar (tertawa), I’m not smart in making my Instagram all about me, memang pada dasarnya agak jijik juga dengan konsep itu. Pada dasarnya saya bukan orang yang seperti ‘selfie kind of person’. Saya bukan tipe orang yang punya konten pribadi, jadi Instagram saya ya itu. Mungkin saya mencoba untuk menemukan titik keseimbangan antara marketing sebagai aktris yang harus publikasi kegiatan, cuma saya tidak sampai kegiatan saya sehari-hari. Yang perlu saja.
Kedua, sekarang saya dapat platform untuk advokasi. Mau advokasi untuk kesetaraan gender sebagai duta UN atau mau advokasi tentang penjedaan kanker serviks, yang merupakan kampanye yang juga saya ikuti sebagai salah satu duta KICKS. Pokoknya saya punya platform untuk advokasi, saya juga punya platform untuk menjelaskan pada followers bahwa dunia luas lho. Dunia tidak cuma ini lho. You know if there’s news stories yang menarik, saya akan post itu.
Saya selalu post kotak hitam dengan gambar broken heart kalau misalnya ada kejadian di Palestina, Syria, atau kejadian apa yang memakan korban banyak. Saya sering melakukan itu. Lalu kemudian ada masa di mana banyak hal buruk terjadi, saya jadi sadar, gila timeline saya banyak kotak hitam. Lalu di lain sisi, saya ingin highlight isu ini, tapi saya juga merasa, mungkin ada baiknya juga untuk bahas hal positif, as opposed to focusing on the negatives.
Tapi saya rasa penting bagi kita untuk aware dengan hal negatif yang terjadi layaknya menawarkan motivasi. So I guess I’m trying to do that a bit more. Even in my advocacy. Mungkin ke depan, saya ingin melakukan banyak cerita inspiratif. People who have gotten over this kind of issues. Melihat media sosial adalah tempat yang negatif, saya pikir ini semakin perlu ada hal positif dalam konten, mungkin ya.
Jadi, mungkin Instagram lebih mudah dan it’s a visual thing juga ya. I think it’s an easier platform and now it’s become my main platform.
G
Salah satu interaksi yang Anda buat di akun Anda adalah polling tentang pelecehan seksual perempuan yang akhirnya menjadi wadah untuk para korban untuk menceritakan kisahnya. Ketika membuatnya, apakah Anda mengira akan menjadi viral dan mendapat banyak respon?
H
Saya tahu bahwa ada beberapa perempuan yang mengalami hal yang sama tapi saya tidak menyangka akan sebanyak itu, dan saya tidak menyangka ternyata akan se-common itu. Saya mengalaminya dua kali di Jakarta. Hal ini menarik. Itu pertama kali saya buat poll, maksudnya saya iseng juga bikinnya. Awalnya candid banget, ah sharing nih, “What the hell is this poll thing, okay let’s try it”, gitu. But when I started to get this kind of domino effect of messages, I was shocked. I was really shocked. Sampai saya akhirnya mulai mengumpulkan semua cerita. Sangat sederhana, seperti misalnya ia sedang di sekolah, saat itu ia berumur 6 tahun. Lalu seorang laki-laki mengekspos dirinya kepada sang anak di depan sekolah, dan segala macam. Tapi tak ada yang menolong sang anak. Sangat singkat. Mungkin kalau dikumpulkan ada 450 dan itu belum selesai karena saya kemarin sempat ada musibah. Jadi saya tidak melanjutkan, tapi berencana untuk melanjutkannya.
Mengapa saya mau melakukannya? Karena saya mau membuat semacam data tentang followers saya. Dan menariknya, saking banyaknya, dan waktu saya compile, saya sudah bisa lihat motif-motif. Menurut pengalaman followers saya, sering terjadi siang. It’s not a dark place, alleyway at night issue. It’s broad daylight. Sering terjadi ketika mereka SD, SMP, dan SMA, sering laki-laki yang naik motor, di transportasi umum. Mereka tidak dibantu oleh orang sekitar, dan kebanyakan dari mereka tidak pernah menceritakannya ke orang lain. Saya mendapatkan pesan, “Kakak, kamu adalah orang pertama yang aku ceritakan tentang ini.” Bisa dibayangkan? Berat lho untuk saya membaca itu.
Saya membaca ratusan pesan dalam 5 hari dan emosi saya goyang karena siapa saya menerima informasi setragis ini, tapi berharga dari orang lain. Tapi bagi saya, hal ini mendorong diri saya, ya sudah mungkin selama ini yang saya bicarakan di media sosial mungkin memang bisa menyentuh orang, maybe it’s working. Faktanya orang-orang datang ke saya. Mungkin saya harus melanjutkan apa yang saya buat dan saya merasa punya tanggung jawab terhadap perempuan-perempuan ini. It was really sad, tapi di satu sisi, saya mengekspektasikan bahwa akan ada banyak respon, tapi tidak menyangkan akan sebanyak ini. It did blew my mind.
And I think when I started talking about my own story, banyak laki-laki terutama, “Ah, sakit jiwa aja kali tuh orang.” Ya memang kelainan jiwa secara general ya jika ia melakukan hal tersebut. Tapi, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang kita lihat pada umumnya. Mereka mungkin tidak secara jelas memiliki mental health issues. Mereka tukang ojek, mereka pria berbaju kantor di dalam angkot, you know, they’re relatives of victims, they’re teachers of victims, ordinary men in our society, so they cannot tell me this is a mental health issue. Walaupun, oke, secara general, jika ia melakukannya, berarti ia punya mental health issues. Tapi ini datangnya dari laki-laki normal di dalam masyarakat. Dan yang membuatnya semakin jelas kalau misalnya begini, saya saja dapat informasi ini saya mau menjadikannya data untuk tujuan tertentu. Pilihannya antara saya menulis artikel atau saya menyebarkan, this is what I found on your stories.
Seharusnya ada kebijakan lewat data kan? Selama ini kita punya statistik. Di Indonesia setiap 2 jam ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual – 1 in 3 experience violence, apapun bentuknya. Kita punya semua statistik yang menunjukkan betapa buruknya situasi di sini, tapi kenapa kebijakan masih ada di meja dan tidak ditandatangani? Sebuah peraturan untuk menghentikan kekerasan seksual dan melindungi perempuan. Tapi kenapa hukum kita sekarang masih lebih melindungi pelaku dari pada korban?
Jadi kita harus bertanya pada diri sendiri. Why are the people in power not doing anything? Apakah mereka cuma akan melakukan sesuatu saat anak perempuan mereka mengalami ini? Saya sih tidak mengharapkan begitu ya, cuma kemudian coba pikir ada berapa banyak perempuan dalam pemerintah yang peduli akan hal ini? Kita juga punya beberapa perempuan badass di pemerintahan tapi ternyata mereka mungkin adalah perempuan yang sudah menyuarakan opini-opini yang tidak sejalan dengan pemikiran banyak teman-teman aktivis sih.
Contohnya berita terkini mengenai Ibu Susi Pujiastuti yang mengomentari perempuan yang lama saat dandan, wah itu kecewa banget. Saya paham sih logika dia. I shouldn’t have to keep talking about being a woman, I should just do. That’s your privilege as someone who has done. Tapi there is a systematic failure of how we treat our women, and how we give them opportunities, you are the anomaly. Not everyone is like you. So the fact that she says something like that, it undoes so much work yang teman-teman aktivis sudah lakukan, and that’s a shame. I also understand, memang if you want to talk about gender equality you shouldn’t have always to talk about men and women. Ya, tapi begini, laki-laki dan perempuan di sini, kalau mau diratakan, either ini turun, atau ini naik. Ini kan tidak mungkin turun, jadi ya sudah yang kita harus fokuskan, naikkan perempuan dulu. Memang sudah seperti itu.
Selama ratusan tahun, perempuan jadi nomor 2. Jika kita mau mendapati kesetaraan dengan laki-laki, kita harus memprioritaskan perempuan. Tentu saja hal ini melawan kesetaraan. Kita seharusnya terlihat setara, tapi kita tidak bisa mendapat hal itu tanpa secara aktif mengangkat subjek yang dipandang sebelah mata. Contohnya, di Inggris atau Amerika. Adanya ketidaksetaraan antara orang kulit putih dalam hal pekerjaan, upah, mendapatkan pekerjaan, bersekolah atau kuliah dengan orang berkulit gelap. Tapi di sana ada jaminan hak. Harus. It’s not good because you shouldn’t get in because you’re people of color, you should get in on your merit. Mungkin itu yang dibutuhkan dulu untuk mengubah perspektif orang setidaknya. Dan perspektif orang kuat lho. Our country is in the state that is now because the perception of people. Ahok masuk penjara karena persepsi publik. Banyak hal seperti itu terjadi di negara ini dengan cara yang terlihat innocent, but it’s actually is quite detrimental dan anti Pancasila sih sebenarnya.
G
Melihat publik Indonesia yang sebagian besar waktunya dihabiskan dalam dunia maya dan aktif dalam media sosial, apakah banyaknya respon publik terhadap isu yang Anda angkat, menjadi suatu pembelajaran baru bagi Anda tentang maraknya pelecehan seksual di Indonesia?
H
It’s become a learning experience for me. It’s also reminded me of my privilege. In a sense that, ya saya bersyukur saja saya punya support system, saya bersyukur saja saya adalah orang yang agak gila karena saya nekat, jadi saya samperin orangnya atau saya melawan. Saya pernah dipegang ketika saya sedang jalan kaki main handphone, lalu ada 2 orang naik motor datang dan pegang dada saya. Mereka tidak mengincar handphone sama sekali. Kemudian mereka balik lagi dan mencoba melakukannya lagi, tapi saya tarik lengan mereka. Tapi ya sudah, mereka gas dan cabut. Cuma untuk saya, saya adalah tipe orang yang saat kejadian saya kejar, saya maki-maki. Semua hal yang terjadi mengingatkan saya akan privilege bahwa saya dibesarkan dengan karakter yang diajarkan untuk melawan. Saya dibesarkan oleh orang yang selalu mendukung saya, apapun yang saya ceritakan kepada mereka.
Saya juga beruntung kenal orang yang bisa membantu saya secara legal maupun emosional atau apapun, jika sesuatu terjadi. Lalu saya membaca ratusan pesan dari perempuan yang tidak memiliki hal tersebut, jadi hal itu mengingatkan saya akan privilege yang saya punya sehingga menimbulkan empati kepada mereka. Membuat saya ingin berjuang lebih demi mereka. Itu sih yang paling saya ambil. Kalau soal seberapa sering dan betapa prevalent hal ini, ya konfirmasi saja bahwa memang ini adalah isu yang sehari-hari sebenarnya, isu yang serius dan isu yang dicuekin oleh banyak orang.
Antara perempuan memilih tidak angkat bicara atau mereka tidak berani untuk bicara atau karena tiada orang yang menganggap. “Lo di grepe? Itu biasa.” Seorang laki-laki menggesek badannya ke perempuan? Oh itu normal. So, power.
G
Butuh keinginan dan inisiatif untuk mengenal lebih dalam tentang isu perempuan yang seringkali dipandang dari segi permukaan saja. Melihat kondisi yang terjadi sekarang, apakah Anda optimis, publik Indonesia bisa revolusioner dalam menyikapi isu perempuan?
H
If I’m honest, I’m not optimistic. Hujatan yang kita dapat dari Women’s March kind of prove that for me. Di mana mereka hanya mendengar apa yang mereka mau, dan hanya mau melihat yang mereka mau. Mereka datang dengan pre-judgement, mereka tidak mau mendengar opini orang lain, tidak mau mengedukasi diri, tidak mau melakukan riset sendiri. Jadi saya sangat tidak optimis. Saya optimis terhadap anak muda, terutama perempuan. Saya optimis bahwa perempuan akan menemukan suaranya dan keberanian. Mereka juga akan menjaga kampanye ini dan berjuang terus. Saya optimis terhadap perempuan Indonesia, tapi kalau secara keseluruhan saya tidak optimis.
Maksudnya, ya kita lihat saja media. Media kita, masih fokus pada tampilan, tapi mungkin sekarang tampilannya berbeda dan tampilan ini tiba-tiba menilai orang lain, because it’s a look that is linked to the way you dress, the way you cover up, or the way you do not cover up. Maksudnya, ada konservatisme dalam negara ini yang sebenarnya tidak apa-apa selama Anda menghargai hak orang untuk memakai apapun yang mereka mau. You want to cover up? That’s fine. Saya akan membela perempuan yang mau memakai hijab atau niqab untuk cover up sampai mati. Tapi saya harap mereka juga bertindak sama walau saya tidak mau melakukan hal serupa. Dan dalam pengalaman saya, yang saya lihat selama ini dengan netizen, mereka mau banget dibela tapi tidak mau membela orang lain.
Selama media, terutama media mainstream, ya maksudnya lihat saja acara-acara yang ratingnya paling bagus deh, atau lihat saja talent show sekarang. Apa sih yang dibahas dalam acara-acara itu? Kamu cantik malam ini, baju yang kamu pakai bagus, penampilan kamu ini. Seberapa sering kita bicara tentang penampilan perempuan dan apa yang dapat mereka kontribusikan di TV? Berapa banyak presenter TV yang tidak hanya bermodalkan tampilan, tapi juga substansi? Berapa banyak perempuan berani yang bicara melawan norma di TV? Tidak ada. Berapa banyak tema sinetron yang empower perempuan daripada menggambarkannya sebagai sosok pasif? Jarang.
Yang saya lihat, harapan saya di industri film mungkin. Mungkin karena perfilman berbeda dalam segi mereka tidak bergantung pada rating dan segala macam walaupun itu juga soal uang dan bisnis. Mungkin orang film lebih bisa mengeksplor tema-tema seperti itu, perempuan-perempuan yang kuat, perempuan-perempuan yang overcoming adversity. Ya kita lihat saja tahun lalu, film “Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak”. Itu adalah salah satu contohnya. Bahkan film “Posesif” sebenarnya membahas isu kekerasan.
Film seperti “Galih dan Ratna” juga. Setidaknya Ratna digambarkan memegang prinsip dia. Ia mau menjadi musisi, pergi kuliah dan melakukannya. Maksudnya hal-hal sekecil itu sebenarnya punya pengaruh besar. Belum lagi peran perempuan dalam film action. Gila, saat saya lihat Julie Estelle jadi ‘Hammer Girl’ di “The Raid 2” semangat gila. Mindblowing kan? Kemudian sekarang semakin banyak perempuan melakukan hal action. It’s amazing. Saya berharap untuk menjadi salah satu dari mereka yang kemudian menginspirasi saya untuk memilih film action. Saya rasa, saya punya harapan dalam film, tapi tidak pada TV dan media mainstream serta bagaimana kita melihat perempuan secara keseluruhan – secara mainstream.
Maksudnya seperti ini, everyone likes to use the examples, seperti kita kan sudah punya menteri perempuan, kita sudah pernah punya presiden perempuan, memang Anda pikir dengan itu sudah cukup perjuangan kita? Selama ada menteri perempuan, ada presiden perempuan, ada CEO perempuan, tapi perempuan Indonesia masih banyak yang tertindas, masih banyak yang tidak punya akses untuk health care, untuk edukasi. Indonesia ada di nomor 7 di dunia dalam daftar negara yang memiliki child marriage lho. Di beberapa daerah, 1 dari 4 anak perempuan menikah sebelum umur 18 tahun. Jadi, untuk apa kita punya presiden perempuan kalau dia tidak ada memperbaiki masalah-masalah perempuan? Untuk apa juga kita punya menteri perempuan, walaupun saya mengerti kementerian kita tidak ada urusannya dengan perempuan. Oke fine, tapi setidaknya Anda bisa menjadi contoh yang baik dan Anda bisa, setidaknya solider dengan perempuan.
Jadi, jawabannya tidak (tertawa). Tapi saya optimis terhadap perempuan muda yang berani bicara. Saya sangat optimis akan hal itu dan buat saya march kemarin membuktikannya. Faktanya Women’s March tahun ini digelar di 12 atau 13 kota di seluruh Indonesia. Tahun lalu cuma satu kota, Jakarta. There’s a movement growing, everyone better watch out. Saya merasa mungkin itu yang kita butuh sekarang. Sekarang yang saya lihat, sejak Women’s March itu, dari tahun lalu, women are leading the revolution. Jadi mungkin itu yang kita butuh untuk get people in general involved. Lead by example. Gitu sih.
G
Apa rencana untuk proyek ke depan?
H
Saya sebenarnya sedang mulai reading untuk film baru. Sebuah drama, tapi akan cukup lucu. Saya akan menyebutnya adult road trip foodie movie. Film ini berdasarkan novel tapi menyenangkan sekali. I’m looking forward to that one.
Lalu di musim panas ini saya ada 2 film yang akan dirilis, sekuel “Jailangkung” dan “Buffalo Boys”. Semoga film action “The Night Comes for Us” yang saya perankan 2 tahun lalu akan tayang tahun ini. I’m waiting for it. Paling proyeknya itu sih. Sama saya masih mencoba untuk mengadvokasi kesetaraan gender dan isu lain yang menurut saya penting.
Kalau dari segi kampanye, dari UN sendiri saya masih menunggu mereka ada proyek apa tahun ini. Cuma dari saya sendiri, saya memang ingin membuat konten YouTube lagi. Tahun lalu saya buat “16 Days of Activism” dan saya merasa diterima dengan cukup baik. Jadi, saya berharap, saya bisa terus membuat konten berbau advokasi seperti ini.