Ide dan Film bersama Lola Amaria
Amelia Vindy (V) berbincang dengan Lola Amaria (L).
V
Dari modelling, bagaimana Lola menemukan identitas baru di dunia seni peran?
L
Semuanya melalui proses. Ketika saya memutuskan untuk menjadi orang yang bekerja di belakang layar, pasti ada alasan yang membuat saya beralih. Entah karena passion atau karena memang menyukai pekerjaan tersebut, atau kalau kata anak zaman sekarang “Gue banget.” Ya intinya, pasti ada proses menuju ke sana.
Ketika masih muda atau saat kuliah, siapa sih yang tidak ingin jadi model? Tapi sayangnya kita tidak bisa bergantung pada profesi tersebut selamanya, karena profesi seperti itu ada umurnya. Setiap tahun pasti ada wajah-wajah baru yang lebih fresh dan unik. Kalau sudah tidak ada sesuatu yang menarik lagi, orang akan dengan mudah menggantinya. Jadi mungkin, sesuai dengan bertambahnya umur, saya ada pikiran untuk mencari arah jati diri saya sebenarnya. Proses itulah yang membuat saya sampai sekarang akhirnya memilih profesi ini.
V
Jadi sekarang sudah tak lagi menerima pekerjaan sebagai model?
L
Sebenarnya waktu itu model itu bukan pilihan profesi, tapi karena memang pernah memenangi salah satu ajang model sampul majalah, yaitu Wajah Femina. Jadi, secara tidak langsung dan tidak disengaja jadilah seorang model, meskipun itu bukanlah cita-cita utama. Lebih ke ya sudah, jalani saja. Lalu sekarang ketika ditanya masih terus lanjut atau tidak, saya tidak tahu. Model yang seperti apa dulu ini konteksnya? Misalnya, apakah model iklan, atau model catwalk, karena ada banyak jenisnya. Kalau catwalk dari dulu juga sudah tidak mungkin buat saya, kalau iklan saya hanya menerima produk yang sesuai dengan pribadi saja. Saya sudah umur segini, tidak mungkin bersaing dengan model muda. Contohnya, saya menerima endorse kamera, karena memang cocok dengan profesi saya, atau misalnya cream anti aging juga bisa, ya pokoknya yang sesuai saja. Sebatas itu saja. Hanya saja sekarang ini saya tidak lagi memberikan statement bahwa saya itu model.
V
Setelah tampil memukau di Ca-bau-kan, Lola memilih jalur yang tak biasa, di mana Lola justru terasa hanya mau bermain di film yang sesuai ideologi diri dalam hal sosial dan budaya, daripada bermain di film-film populer. Apa yang mendasari keputusan ini?
L
Saat itu tahun 2000, belum banyak ada film Indonesia. Hanya ada film Ada Apa Dengan Cinta (2002), Jelangkung (2001), dan Antonio Blanco kalau tidak salah – dan Ca-bau-kan salah satunya. Waktu itu tidak ada saingan, artinya ketika saya di panggil casting, saya mau saja. Karena ini adalah tawaran main film, siapa yang pada saat itu tidak mau bikin film?. Ternyata perannya cukup berat, tapi ya sudah dilakoni saja. Toh, nanti pasti akan ada waktu untuk persiapan yang matang, baik itu workshop, latihan dan mengenal tim satu sama lain.
Saya senang bisa mendapatkan kesempatan tersebut. Sempat bingung juga kenapa saya yang dipilih. Artinya kalau sudah dipilih, tidak boleh mengecewakan sutradara atau produsernya. Berarti itu merupakan tanggung jawab untuk saya, bukan berarti karena sudah dipilih jadi sombong atau senang-senang saja dan berpikir kalau kita pasti bisa semuanya. Saat itu, ada nama-nama seperti Alex Komang dan Ferry Salim, juga nama-nama besar lainnya yang terlibat dalam film tersebut, jadi saya harus belajar banyak.
Saat casting, saya belum tahu peran seperti apa yang akan saya perankan. Ketika saya datang ke tempatnya, teh Nia Dinata memberikan saya buku, naskah pun belum jadi. Saya lalu menyelesaikan bukunya dalam 2 hari. Kemudian barulah dipanggil lagi dan mereka bertanya kepada saya berdasarkan buku yang saya baca, film ini bercerita tentang apa, seperti apakah peran-perannya, juga bagaimana pendapat saya mengenai peran wanita pada zaman itu. Nah, di situ ada diskusi, yang memang jarang sekali saya lihat ada proses film seperti itu. Sekarang ini; kebanyakan, proses persiapan dua minggu ambil gambar, bulan depannya tayang, sama seperti sinetron. Walaupun tidak semua film seperti itu, tapi at least untuk meminimalisir budget produksi, jadi mereka tidak mau ada proses yang bertele-tele.
Kalau soal peran, bukan karena saya memilih, tetapi karena memang pada saat itu, tidak ada pilihan film populer atau tidak populer. Karena pada saat itu jarang ada yang bikin film, ketika ada tawaran buat saya, kenapa tidak.
V
Apakah latar belakang sebagai aktris membantu saat Lola berperan sebagai sutradara di kemudian hari?
L
Yang jelas setiap saya berada di lokasi shooting, entah itu sebagai pemain, produser atau apapun, bagi saya itu adalah tempat belajar. Saya bukan lulusan dari sekolah film yang output-nya struktural – segala sesuatunya dipelajari di sekolah. Saya melakukan semua ini secara otodidak. Saya ingin sekali masuk ke sekolah film, tapi orang tua saya menentang, karena pada waktu itu, mereka menganggap buat apa jadi orang film, mau jadi seniman? Mau makan dan dapat uang dari mana? Karena di otak mereka, pekerjaan orang film tidak jelas, dan buat mereka seniman itu sebuah profesi yang tidak perlu ditekuni.
Tapi semakin ke sini, zaman semakin berkembang dan orang-orang kemudian memerlukan digital audio visual, desain, dan hal-hal yang tidak pernah kita perkirakan ternyata maju dan perkembangannya pesat. Bidang kreatif itu sekarang gila sekali, bahkan secara upah juga sangat mahal. Karena saya tidak boleh mengambil sekolah film, saya memutuskan untuk meneruskan studi di Interstudi Public Relation, sembari tetap bergaul dengan orang-orang film setiap kali ada pemutaran film, diskusi, workshop. Bahkan saya sampai magang sana-sini agar bisa menambah pengetahuan dan wawasan perfilman saya, saking ingin sekali belajar film. Jadi, walaupun saya tidak mengambil studi film, saya bisa membuat film pertama saya berdasarkan naluri, artinya bukan seperti kebanyakan anak-anak sekolah film yang harus struktural, harus begini dan begitu.
Karena saya tidak belajar di sekolah film, saya tidak merasa apa yang lakukan salah atau benar, karena saya hanya mengikuti naluri. Secara personal, saya ingin membuat film yang saya mampu dan bisa. Karena kedekatan saya dengan tema-tema yang berdasarkan naluri, pemikiran saya sendiri dan didukung dengan tim yang kuat, jadilah seperti sekarang ini. Dengan kata lain, sebagian film yang pernah saya perankan atau tidak, itu menjadi media pembelajaran buat saya.
V
Di Hollywood, mulai ada isu mengenai ketidaksetaraan posisi perempuan dan lelaki, terutama mengenai upah kerja, bagaimana keadaan di industri film lokal?
L
Sebenarnya tidak hanya di Hollywood, tapi karena patokan film kita itu Hollywood, makanya kita selalu membandingkan dengannya. Bahkan sebenarnya tidak hanya masalah upah, tetapi juga termasuk jumlah pekerja film perempuan yang masih sangat sedikit di sana, dibandingkan pekerja laki-lakinya, yang saya sendiri tidak tahu alasannya mengapa. Sedangkan di Indonesia, belum ada pembahasan mengenai jenis kelamin, maksudnya di sini pembuat film perempuan punya hak yang sama dengan pembuat film lelaki. Secara tema-tema juga lebih kuat, dan secara jumlah pelaku juga lebih banyak dibanding sutradara film di Hollywood. Yang artinya, kita bisa jadi lebih terbuka dan menyampaikan apa yang menjadi inspirasi dari sisi perempuan.
Kemudian kalau masalah upah, saya tidak tahu berapa tepatnya standar besar upah untuk sutradara, karena pasti kan ada kelas-kelasnya. Tidak mungkin semuanya sama, tidak mungkin Riri Riza sama dengan honor saya misalnya. Pasti jomplang ‘kan? (tertawa). Makanya, upah dari sisi apa dulu, parameternya apa? Kalau dari pengalaman, ya jelas yang lebih senior akan jadi lebih besar, atau patokannya box office. Ada sutradara yang selalu mencetak box office dan honornya tinggi, tapi mungkin filmnya biasa, ada juga yang mungkin dia tidak mencetak box office tapi filmnya menang di festival, itu mungkin juga agak beda perlakuannya.
Bagi saya sebagai pembuat film, uang memang penting, tetapi ketika saya mendapatkan tawaran dengan budget yang kurang masuk standar saya, tapi saya suka dengan idenya, pasti akan saya ambil untuk kemudian saya olah sedemikian rupa. Saya tahu bagaimana mengolahnya, atau caranya supaya filmnya tetap bagus, dengan budget yang tidak besar. Misalnya, apakah menggunakan kru kecil, atau semua kebutuhan diminimalisisasi. Semua ada caranya. Tak harus selalu uang patokan utamanya.
V
Bagaimana Lola melihat industri film lokal secara umum? Apakah ada kritik atau masukan bagi perkembangan industri film lokal ke depan?
L
Kalau bicara soal industri, sangat berjalan. Tapi mari kita lihat support system-nya. Support system itu ada media, kritikus, penonton dan tempat pemutaran. Bayangkan kalau itu semua tidak ada, tidak ada tempat pemutaran, tidak ada yang menonton, tidak ada yang mengulas, lantas mau bagaimana? Itulah yang dimaksud dengan support system. Masalahnya bukan di film-filmnya, karena ya kalau film jenisnya ada banyak, mulai dari komedi, horror, drama, laga, keluarga, anak-anak – semua ada. Masalahnya kita bersaing bukan hanya dengan pembuat film lokal, tetapi juga dengan pembuat film luar, artinya ada peran pemerintah juga.
Di Indonesia tempat pemutarannya cuma punya satu lho, dan kadang-kadang satu minggu itu ada empat atau tiga film Indonesia dirilis, dan di saat yang bersamaan ada film Hollywood box office. Jadi, misal saja satu bioskop punya empat studio, tiga di antaranya diisi film Hollywood, nah satu studio dibagi untuk tiga film lokal, ini kan tidak adil sebenarnya. Tapi mau bagaimana? Begitu memang jalannya bisnis mereka, dan itu sah-sah saja. Tapi itu juga menunjukkan tidak ada keberpihakan pada film lokal.
Kalaupun ada keberpihakan, baru pada film box office dengan penonton di atas satu juta, film yang demikian pasti diprioritaskan, karena ada jaminan pasti menguntungkan. Kalau film yang dinilai tidak menguntungkan, contohnya sehari hanya dapat 800-1000 penonton, pasti akan langsung tergeser. Seolah mengabaikan fakta bahwa membuat film itu susah dan mahal sekali. Kalau mereka tahu passion kita di situ, setidaknya berilah kesempatan dengan dua minggu minimal, bukannya hari ketiga karena penontonnya sedikit langsung diganti semua, jadi tidak adil rasanya. Cuma ya kami bisa apa? Karena memang cuma satu, sistemnya sudah jelas, dan hukumnya ada.
Sekarang begini, saya tidak membicarakan media, kritikus dan penonton, di sini mari sebut saja pihak bioskop. Kalau film keluar di hari Kamis, dan di hari itu sepi, Jumat berkurang, dan Sabtu lebih berkurang lagi, sekarang apakah semua orang punya waktu untuk pergi ke bioskop hari Kamis? Bagaimana kalau yang kerja? Baru pulang sore, Kamis hari kerja dan besok pun masih tetap harus ke kantor atau kalau ada meeting sampai malam, intinya tidak sempat.
Biasanya kemudian orang-orang banyak yang menunggu akhir pekan, karena tidak dikejar waktu dan besoknya tidak mesti pergi bekerja. Tapi ketika ada kesempatan untuk menonton, filmnya sudah tidak ada. Sekarang kalau seperti itu mau bagaimana? Di saat ada penonton yang mau mendukung, filmnya sudah tidak ada di hari kedua atau ketiga. Media sudah mendukung dengan promosi dan ulasannya, tapi kalau di tempat pemutarannya sendiri seperti itu, kami tidak bisa berbuat banyak. Ini menjadi masalah yang banyak dirasakan oleh pembuat film.
V
Sebagai sosok yang mendapat apresiasi saat berkarya di dunia film bioskop dan non bioskop, bagaimana Lola melihat perkembangan film non bioskop sekarang?
L
Saya lebih setuju mengenai perkembangan di film non bioskop, karena mereka lebih punya semangat yang bebas, artinya bisa tanpa sensor, lebih independen tanpa intervensi. Kapanpun ada komunitas yang minta, filmnya akan diputar. Jadi tidak akan ada yang namanya kadaluarsa. Kalau bioskop kan paling seminggu turun, selesai. Komunitas independen ada banyak di mana-mana, bahkan bisa sampai keliling Tanah Air, sehingga lebih bisa bertemu dengan publiknya.
Saya pernah melakukan itu saat saya membuat film pertama dan kedua. Tapi sekarang saya sudah tidak punya energi untuk melakukan itu, karena makan waktu. Artinya kalau saya sedang tidak banyak kegiatan lain, saya akan dengan senang hati berkeliling. Bertemu langsung dengan penonton film saya, melakukan diskusi, bisa memberikan kritik dan saran tanpa melalui blog, email atau apapun, sehingga menjadi timbal balik buat saya untuk ke depannya. Saya jadi bisa menilai, film seperti apa yang disukai oleh penonton dan sebesar apakah antusias mereka terhadap karya saya. Tapi kadang di usia saya, dengan pekerjaan yang banyak juga, kadang saya tidak punya waktu untuk hal tersebut.
V
Selain buat film Lola sibuk apa?
L
Saya punya restoran, dan usaha yang sedang saya jalankan ini bukan hanya membuat film, tetapi juga buat konten viral dan video klip. Artinya tidak semuanya soal film.
V
Dengan segala kendala yang tadi disebutkan, apakah Lola tidak tertarik untuk membuat film pendek saja?
L
Film pendek itu secara kreativitas mungkin oke, tapi tidak semua orang bisa membuat film pendek. Medianya apa? Maksudnya kita membuat film tetap dihitung sebagai sebuah bisnis. Pemain dibayar, kru dibayar, walaupun cuma film pendek. Kemudian jika hanya film pendek, jualnya ke mana? Kan harus tetap kembali modalnya. Kalau ke bioskop lebih jelas, oke pertama kita harus lulus sensor, ya akan kita urus, walaupun selalu dengan uang. Tapi memang kita membuat film untuk apa? Ya untuk mendapatkan uang. Bohong seandainya ada orang membuat film ya karena ingin membuat film saja. Tidak mungkin. Pasti ada keinginan untuk balik modal, untung, bahkan dapat bonus.
Sebut saja film seperti AADC atau film buatan Raditya Dika dan Ernest Prakasa yang mungkin di luar dugaan bisa menguntungkan berkali-kali lipat. Tapi berapa kasus dari sepuluh film yang bisa seperti itu dalam setahun? Artinya bisa balik modal saja sudah bagus, supaya bisa membuat film lagi. Tidak usah memikirkan dapat untung berjuta-juta misalnya. Apa kabar sutradara seperti saya dan teman-teman lainnya? Jangankan balik modal, setengahnya saja tidak sampai.
V
Hampir semua film yang digagas oleh Lola Amaria tajam mengangkat isu sosial, tentang perempuan di Betina, hingga korupsi di Negeri Tanpa Telinga. Apa yang ingin disampaikan dengan gaya yang demikian?
L
Sebenarnya membuat film itu kan untuk jangka panjang, karena sayang sekali rasanya jika membuat film hanya untuk sekarang saja – setelah diputar selesai. Misalnya begini, film-film karya Usmar Ismail itu walaupun dibuat tahun 50 atau 60an, kalau ditonton lagi sekarang, kasusnya masih berhubungan dengan apa yang terjadi hari ini, bahkan tidak pernah selesai. “Lewat Djam Malam” (1954) pun masih relevan. “Darah dan Doa” (1950) juga, tentang orang diculik pun masih ada juga kan sampai sekarang. Kemudian kasus korupsi di film “Si Mamad” (1973) karya Sjuman Djaya pun masih terjadi hingga hari ini – bahkan mungkin sekarang lebih parah. Saya menganggap bahwa film itu adalah investasi jangka panjang, karena film itu penanda zaman, sebagai arsip dan bukti otentik ketika generasi yang berikutnya tidak tahu apa-apa tentang sejarah sebelumnya.
Jadi ketika saya membuat “Minggu Pagi di Victoria Park” (2010), saya bercerita tentang TKI di Hong Kong tahun 2010. Jangan-jangan 10 hingga 20 tahun lagi masih akan seperti itu, masih belum berubah kasusnya. Itu kan jadi penanda zaman bahwa “Oh, di tahun 2010 TKI di Hong Kong jumlahnya sekian, kasusnya begini.” Begitupun tentang kasus buruh perempuan atau “Negeri Tanpa Telinga” (2014) mengenai korupsi, kekuasan dan seks yang terjadi di tahun 2014.
Kita tidak tahu apakah 20 sampai 40 tahun lagi keadaan akan lebih baik atau jangan-jangan lebih buruk dari 2014. Jadi film yang saya buat, diharapkan bisa menjadi arsip atau penanda zaman atau untuk generasi yang nanti 30 tahun kemudian ingin mencari tahu tentang korupsi dan keadaan Indonesia lewat film.
V
Adakah tantangan saat mempublikasikan karya tersebut?
L
Sebenarnya tidak ada tantangan khusus, mungkin tantangan yang saya hadapi hanya uang. Karena untuk mempublikasikan film, kita butuh media. Sekarang barter-barter media sosial dan sebagainya sudah tidak ada lagi yang gratis, semua sudah pakai bayaran, jadi uang yang bicara. Kalau kita punya kekuatan, manfaatkanlah kekuatan itu. Misalnya saya punya media sosial pribadi, ya sudah, pergunakan, karena itu adalah salah satu opsi tanpa mesti bayar. Lalu pemain-pemain dan kru-kru juga misalnya, saling bantu. Tapi kalau misalnya hanya sebatas itu, akan sampai mana sih? Kan saya juga mau kalau film saya diulas atau dipromosikan secara menyeluruh, dan untuk itu perlu uang lagi.
Apalagi kita menarik orang untuk ke bioskop, itu susah. Lebih mudah menyuruh orang makan ke restoran, ketimbang “Eh lo nonton dong film gue di bioskop.” Karena memang nonton ke bioskop, bukanlah kebudayaan orang Indonesia. Tidak seperti di Perancis atau di Inggris, yang publiknya terbiasa menonton konser, teater, dan film sebagai kegiatan sehari-hari. Nah, kalau di sini, buat makan saja susah, apalagi buat menonton film di bioskop. Belum lagi sekarang sudah ada internet, pasti akan ada yang lebih memilih untuk nonton di YouTube atau beli DVD bajakan tanpa mereka tahu bahwa pembajakan itu merugikan banyak orang dan itu ilegal. Tapi ada pula faktor karena tingkat pendidikan juga yang membuat mereka tidak mengerti.
V
Bagaimana Lola melihat pengaruh film-film tersebut bagi kehidupan?
L
Sebelum menonton film, biasanya saya pasti akan cari tahu terlebih dahulu soal filmnya, siapa pembuatnya, baca sinopsisnya, dan kenapa saya harus menonton film ini. Dan memang iya, ketika saya menonton film, saya tidak mau hanya membayar untuk tertawa saat menontonnya, kemudian pulang. Saya merasa harus selalu mendapat pesat setelah menonton film, mau film hiburan seperti “Sex and The City” saja pasti ada yang bisa saya dapatkan, tentang bagaimana gambaran wanita di umur sekian di kota besar yang ternyata hampa. Lalu misalnya ada film tentang emansipasi yang membeberkan kenapa hal tersebut penting.
Lalu lain lagi dengan menonton film anak-anak misalnya. Kenapa film anak-anak sekarang berbeda dengan dahulu? Karena ada perkembangan digital, ada perangkat-perangkat yang membuat mereka lebih berani, dan di situlah dibutuhkannya fungsi orang tua untuk mendampingi. Artinya bagi saya, lewat film pasti akan selalu ada yang bisa kita ambil. Jadi saya bukan penonton film festival saja, film hiburan pun saya tonton. Karena film ringan seperti “Sex and The City” saja banyak sekali yang bisa kita dapatkan. Film silatnya Jackie Chan pun demikian, seperti filosofi hidup, persahabatan, dan keluarga. “Shaolin Soccer” (2001) dan “Kungfu Panda” (2008) pun banyak sekali filosofi di dalamnya. Contohnya dialog dari satu line saja terkadang berarti sekali, itu penting.
V
Ada pendekatan yang cukup berbeda pada film “Labuan Hati” dengan film-film Lola yang sebelumnya, apa yang mendasari hal ini?
L
Semua orang bilang film saya berat dan tidak enak buat ditonton. Orang-orang mau hiburan, tidak ingin pusing, karena kegiatan sehari-harinya sudah cukup membuat mereka stres, dan karena itu mereka tidak ingin dibuat stres lagi dengan film-film berat. Itu tidak salah juga, tapi tidak semua mesti disamaratakan, karena semua tergantung dari penonton. Seperti saya misalnya, “Hari ini saya mau makan mie ayam,” tapi jangan sampai saya malah salah masuk ke warung gado-gado. Sekarang bagaimana caranya supaya gado-gado ada, nasi uduk, mie ayam, bakso hingga menu warteg pun ada, jadi semua selera bisa tersalurkan. Kalau hari ini saya mau makan mie ayam, ya saya tidak mau ke tempat gado-gado. Artinya kalau hari ini saya mau nonton “Sex and The City”, ya sudah nonton film festivalnya nanti saja. Tapi film-film festival juga tetap harus ada yang art house.
Sebetulnya sangat sulit bagi saya untuk beralih ke “Labuan Hati”, di mana saya diminta untuk membuat film ini seringan mungkin, yang disukai orang-orang. Hadir dengan gambar bagus dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Oke saya bisa kok dan saya buktikan. Siapa coba sekarang yang bilang “Labuan Hati” berat. Buktinya pemainnya bintang populer dan mengikuti pasar, kemudian kalau dibilang berat tidak juga, gambarnya bagus, terus yang salah apanya kalau sampai tidak ada yang menonton.
Di sini saya bertanya-tanya, kok di hari ketiga sudah turun ya? Salahnya di mana? Karenanya promosinya cukup gencar, pemainnya bintang, ceritanya tidak berat. Atau mungkin orang menganggap “Berat kali ah, soalnya film Lola sebelumnya kan demikian.” Jadi harus ada ulasan atau ajakan dari orang yang sudah menontonnya, yang mengatakan bahwa, “Hey, film “Labuan Hati” tidak berat lho”, mungkin harus ada ya mulut ke mulut seperti itu. Tapi ketika itu terjadi dan ada penonton yang ingin menyaksikannya, filmnya sudah tidak ada.
V
Apa proyek Lola Amaria di masa yang akan datang?
L
Selanjutnya sih belum ada, sekarang ini masih fokus untuk promosi “Labuan Hati” saja.