Eksplorasi dalam Fashion bersama Felicia Budi
Febrina Anindita (A) berbincang dengan Felicia Budi (F).
A
Bagaimana cerita saat Feli mengenal fashion untuk pertama kalinya?
F
Dari kecil saya suka lihat perempuan dandan dan sekitar tahun 2000 atau 2001 saat saya SMA saya pernah diajak nonton fashion show Sebastian Gunawan. Sejak itu saya memutuskan untuk memilih fashion sebagai karir karena saya tertarik dengan spectacle dan energi dari sebuah fashion show. Di sekolah saya suka seni, matematika dan bahasa, jadi sebelumnya sempat kepikiran untuk jadi peneliti, bekerja di NASA, jadi astronot. Tapi setelah dipikir-pikir, itu jauh sekali (tertawa), saat melihat fashion show, saya melihat tempat baru yang bisa dijadikan karir.
Saya suka dengan bidang ini, selain karena melihat perempuan, saya juga melihat perlakuan orang berubah terhadap baju yang dipakai. Saat itu saya sedang dalam usia remaja, masih dalam masa mencari jati diri, jadi dulu saya suka mencoba memakai beragam baju.
A
Feli mengenyam pendidikan Pattern Cutting di London College of Fashion. Apa yang mendorong Feli untuk spesifik mendalami fashion dari sudut pandang tersebut?
F
Dulu awalnya saya ke London untuk kuliah diploma Fashion and Clothing, lalu selama menjalani diploma itu, saya jadi lebih mengenali fashion dan pengetahuan ini membuat saya ingin belajar teknik pembuatan baju. Saya merasa bahwa saya bisa dapat lebih banyak ilmu lewat course pattern cutting, karena saya suka konstruksi baju dan matematika. Tapi setelah kerja dengan brand BIN House, saya jadi kenal dengan pengrajin dan kain, akhirnya saya jatuh cinta dan suka eksplorasi tekstil.
A
Setelah beberapa saat menetap di London untuk internship di salah satu fashion house ternama, Feli pulang ke Jakarta lalu bekerja di BIN House. Bagaimana Feli menerapkan rasa kontemporer ke kain BIN yang khas?
F
Sebetulnya saya tidak pernah menentukan apakah desainnya harus kontemporer atau tidak. Saya pulang karena mencari jati diri. Dulu waktu saya sekolah di London, saya merasa tidak memiliki keistimewaan dibanding dengan lulusan yang lain, mungkin karena waktu itu masih terlalu muda, jadi belum terlalu mengenal budaya Indonesia. Saya merasa tidak punya identitas yang kuat, akhirnya saya pulang untuk mendalami fashion secara luas di Indonesia.
Dalam proses pencarian jati diri itu, saya tidak pernah secara sengaja ingin membawa BIN House ke level lebih kontemporer. Saya menerima brief dari BIN House, dari kain yang diberi, saya menerapkan apa yang saya pelajari otomatis mengalir melalui mendesain. Karena saya terbiasa tinggal di London, jadi gaya desainnya lumayan eksperimental. Akhirnya gaya itu terbawa ke BIN House dan ternyata mereka merasa cocok dengan hal itu.
A
Apakah ada perbedaan signifikan saat mengolah kain polos dengan batik di BIN House menjadi sebuah baju?
F
Sebetulnya yang saya pelajari bukan masalah konstruksi, struktur, cutting dan lain sebagainya. Saya mengenal karakter kain lewat pattern cutting. Misalnya saat melihat kain, potongannya harus disesuaikan dengan arah serat kain, kain ini jenis lungsi dan pakannya berbeda, kain ini pola jatuhnya berbeda dan dari situ saya jadi tahu mana yang harus diberi kain keras, mana yang harus ditambah dalaman saat mendesain baju, dan lain sebagainya.
Justru saat di BIN House, cara kerja saya adalah dengan menerima kain, lalu dengan skill pattern cutting saya, saya mencoba untuk mendesain baju tapi tidak membuang kain, karena saya sangat menghargai kain batik. Akhirnya saya banyak menggunakan teknik draping. Akhirnya saling membantu saja, apa yang saya sudah pelajari membantu BIN House dan memberi hal yang cukup segar bagi mereka, karena biasanya desainer in-house menggambar desain sesuai kain dan motifnya. Tapi saat saya masuk, saya lebih sering mendesain dengan cara draping dan mengoptimalkan kain yang diberi dengan mencobanya ke manekin.
A
Sekitar tahun 2010 Feli mengembangkan sebuah brand dengan nama fbudi. Apa latar belakang dibuatnya brand ini?
F
Waktu itu di BIN House lumayan besar tanggung jawabnya, saya bisa menangani desain untuk 4-5 orang klien dalam satu hari. Setelah beberapa bulan, saya merasa capek dan saya merasa desain saya jadi aman saja untuk para klien, intinya semua orang pasti suka desain tertentu. Sampai saya tidak merasa kesenangan dan keseruan saat mengeksplorasi, saya tak lagi mengalami pengembangan dan kegagalan ketika melewati proses kreatif, karena sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan itu. Jadinya sebatas kerja. Akhirnya fashion tidak terlalu menyenangkan lagi bagi saya. Lalu saya putuskan untuk keluar dan ingin menemukan kembali semangat dan gairah saat mengeksplorasi fashion.
Saat 2010 keluar juga tidak langsung tahu mau buat apa. Semuanya berjalan seiring proses. Saya adalah tipe orang yang mengalir, jadi sembari jalan, saya menemukan hal dan respon, akhirnya tekun saja menjalaninya sampai sekarang ini.
A
Apa karakteristik fbudi yang ingin ditunjukkan kepada publik?
F
Karakteristiknya lebih ke eksplorasi, mulai dari bahan, pola dan sebagainya. Sebetulnya tidak ada satu karakter yang spesifik. Sejujurnya, fashion bagi saya bukan tujuan, saya tidak memiliki keinginan bahwa brand saya jadi terkenal di dunia. Saya lebih memposisikan brand ini sebagai medium untuk bereksplorasi, mengembangkan diri dan sekitar saya. Karena kesenangan utama saya ada pada eksplorasi. Jadi saya bukan orang yang berambisi untuk menjadikan fbudi dengan karakter yang ajeg untuk dikenal orang.
A
Jadi, cair ya?
F
Iya. fashion bagi saya merupakan momen. Sebuah karya hadir karena apa yang ada saat itu dan respon saya terhadapnya. Sama seperti dulu awal 1900, gaun-gaun pada akhirnya berubah desainnya setelah Perang Dunia. Sebagai desainer fashion, saya rasa adalah sebuah keharusan untuk merespon zaman dan mengeluarkannnya lewat karya.
A
Adanya ciri esensial, tekstural dan eksperimental yang menempel pada desain fbudi, membuatnya menonjol di antara brand lokal lain. Seperti apa proses kreatif Feli ketika mengembangkan sebuah koleksi?
F
Esensial maksudnya subtle ya desainnya? Iya bisa dibilang begitu, karena saya sendiri orangnya begitu (tertawa).
Prosesnya biasanya sesuai dengan apa yang terjadi di sekitar saya. Saya tidak pernah merencanakan untuk mencari inspirasi atau menentukan tema. Tapi lebih ke sejalan saja dengan membuka mata dan sensitif terhadap apa yang saya alami. Dari situ, saya mencoba untuk berkarya. Proses ini saya pakai untuk karya yang merespon peristiwa. Kadang, saya menemukan kain di pasar dan dari kain tersebut, saya menemukan ide yang dikembangkan jadi sebuah baju, bahkan koleksi. Jadi bukan mendesain lalu mencari kain.
Dalam proses kreatif, saya cenderung lebih spontan dan mengalir saja. Tapi ini bukan berarti saya unplanned dalam arti saya tidak memiliki rencana mengeluarkan koleksi (tertawa). Cuma, saya selalu mengusahakan agar caranya seorganik mungkin. Pun ketika mendesain koleksi, saya tidak selalu tahu mau buat look seperti apa. Misalnya dari eksplorasi saya menemukan mix and match untuk artikel koleksi, baru saya memikirkan desain dan dicocokkan kembali ke manekin. Jadi benar-benar penuh eksplorasi sampai akhirnya saya merasa cukup. Sembari eksplorasi lama-lama terbentuk idenya.
A
fbudi hadir dengan baju berstruktur, mulai dari desain hingga pemilihan bahan, yaitu tyvek. Apakah Feli mendapat inspirasi dari subkultur populer paper fashion di tahun 1960-an dalam menggunakan tyvek untuk koleksi Persegi?
F
Sebetulnya itu karena saya sempat menemukan salah satu koleksi awal tas Byo yang pakai tyvek. Saya kemudian tahu kalau bahan ini durable, ini membuat saya penasaran mengenai keseruan eksplorasi bahan ini kalau dijadikan baju. Lalu saya melihat beberapa seniman yang memakai kertas, dan saya melihat ada sisi yang menarik. Saya lalu mencoba dan jadilah seperti itu (tertawa).
Soal pewarnaan juga sebetulnya dari proses mencoba. Warna yang didapat itu kan sebetulnya tidak dari dyeing. Kami coba kasih warna pada tyvek, tapi ternyata tidak bisa karena sifatnya tyvek tidak bisa diwarnai. Akhirnya mau tidak mau, kami tambahkan print warna. Waktu itu perlu waktu sekitar 2 bulan untuk mencari printer yang tepat, agar saat dicuci warna di tyvek-nya tidak luntur. Pun tyvek itu tidak bisa terlalu menyerap warna. Akhirnya dipilihlah warna abu-abu karbon, itu sebetulnya hitam, dan kami sudah pakai tinta yang paling hitam, tapi jadinya seperti itu. Hasilnya justru lucu.
Seringkali prosesnya seperti itu, banyak mencoba dan mendapat hasil akhir yang tidak terkira yang justru bagus.
A
Seandainya Feli bisa menghidupkan tren paper fashion di Indonesia, apakah ada prospek yang besar untuk fashion di era kontemporer saat ini?
F
Kalau kertas lain saya tidak tahu seberapa sustainable kertas itu. Kalau tyvek kan sustainable karena ia dibuat dari bahan semacam plastik. Tapi untuk memperkenalkan baju seperti itu di sini sih bisa saja, tapi sepertinya tidak akan booming sekali karena cuaca dan nuansa di sini. Kalau di Jakarta mungkin masih bisa, tapi kota lain seperti Yogyakarta dan Bali rasanya tidak mungkin.
A
Apakah publik masih awam saat melihat Feli memakai tyvek sebagai bahan untuk Persegi?
F
Ya, lebih butuh diyakinkan kalau tyvek bisa dibuat jadi baju yang bisa dicuci, tidak akan sobek, enteng, bisa masuk koper, tidak perlu disetrika. Memang tidak boleh disetrika, karena akan meleleh (tertawa). Jadi baju ini paling gampang untuk dibawa travel. Butuh komunikasi dengan usaha ekstra untuk memperkenalkan baju dari bahan tyvek ini.
Kalau untuk pasar yang niche, atau avant-garde mereka senang dan excited. Tapi untuk yang lebih awam, biasanya cenderung asing dengan penggunaan tyvek dalam fashion.
A
Apakah ada perbedaan atau tantangan mendasar yang membuat Feli terdorong untuk eksperimental dalam mendesain sebuah baju, dengan tyvek khususnya?
F
Semua bahan pasti berbeda. Tiap bahan punya karakter sendiri, mulai dari jatuhnya, beratnya, stretch-nya, dan lain sebagainya. Kalau saat bereksperimen dengan tyvek, saya menemukan sebuah tantangan bahwa kita tidak boleh salah ketika menjahitnya, karena tyvek bersifat seperti kertas. Begitu kena jarum, pasti akan membekas dan tidak bisa kembali seperti semula seperti kain yang berserat. Itu hal yang paling mendasar.
Kalau soal teksturnya, saya senang karena bisa dilipat seperti kertas, semacam origami. Tapi perawatannya lebih ekstra karena seperti kertas, jadi saat menyimpan harus dibalik dulu lipatannya, ketika mencuci tidak bisa masuk mesin cuci karena harus dibersihkan secara manual.
Mengkomunikasikan hal tersebut itu yang susah, bahwa prosesnya tidak mudah dan tidak boleh salah ketika menjahitnya (tertawa).
A
Bagaimana melihat pemaknaan publik dibalik tiap helai baju yang dibuat?
F
Sempat ada yang merasa kalau bajunya kusut sehingga tidak rapi atau aneh dipakai. Untungnya tidak ada yang melihat bahwa ini karya sekedarnya, karena materialnya sudah unik. Mungkin kalau kita menggunakan pendekatan yang eksperimental perlu penjelasan lebih lanjut kepada publik.
A
Bicara warna, koleksi fbudi dari dulu hingga sekarang memiliki warna yang subtle. Apa pesan dibalik pemilihan warna tersebut?
F
(Tertawa) Tunggu koleksi saya berikutnya! Tapi sebelumnya ada biru dan pink juga kok. Sebetulnya ada, tapi media sosial tidak terlalu banyak di-post, mungkin juga karena para stylist kebanyakan pinjam warna yang subtle, jadi di media yang keluar warnanya itu-itu saja (tertawa) Meskipun sebetulnya I do have colors (tertawa).
A
Apakah menurut Feli warna klasik seperti putih dan hitam menjadikan sebuah baju lebih timeless?
F
Iya dan tidak. Memang tidak klasik. Tapi, sekali lagi, fashion kan memang selalu berputar, jadi sebenarnya tidak masalah mau warna apa saja. Mungkin kalau warna subtle lebih bisa sering dipakai. Kalau sesuatu yang terlalu mencolok kan kalau dalam fashion cenderung bisa dipakai beberapa kali karena orang akan lebih mengingatnya.
A
Apakah pemilihan warna yang seperti ini jadi pertimbangan Feli dalam mengembangkan koleksi?
F
Bisa dibilang demikian, meskipun ini tak lantas selalu menentukan. Saya mau baju saya bisa sering dipakai, karena itu merupakan concern saya terhadap sustainability dalam fashion, supaya orang juga tidak mudah membuang baju.
Ada pengaruh tempat tinggal juga terhadap gaya berpakaian. Di London kan gloomy dan dingin, jadi pakai hitam supaya hangat. Kalau di negara tropis kan tidak mungkin pakai hitam, pasti pakai yang terang.
A
Bagaimana Feli mengimplementasikan fungsi dalam sebuah baju tanpa mengurangi estetikanya?
F
Justru fungsi salah satu hal paling penting dalam baju. Menurut saya, fungsi itu kalau tidak nomor satu, harus seimbang dengan estetika. Estetika hanya sekadar memperindah, tapi baju kan pada dasarnya fungsional jadi harus dikedepankan fungsinya.
Kalau untuk show pieces atau editorial itu sedikit berbeda posisi fungsinya. Kadang kami sekadar ingin menunjukkan ekspresi sebebasnya, jadi tidak ada batasan apakah bisa nyaman dipakai atau tidak. Itu seru dan perlu untuk seorang desainer supaya bisa menemukan kesenangan dalam fashion.
A
Koleksi fbudi bersifat sustainable dan diproduksi 100% di Indonesia. Apakah konsumen Indonesia sekarang sudah mengerti dan mendukung sustainability dalam fashion?
F
Tetap perlu komunikasi. Tidak banyak yang sudah mengerti, tapi makin banyak orang yang mencoba mengerti masalah ini sekarang. Meskipun kalau orang sudah mengerti, belum tentu juga mereka memilih untuk membeli produk yang sustainable. Karena kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi ekonomi dan pendidikan di Indonesia belum bisa mendukung sustainable fashion, karena tidak ada tenaga untuk ke arah sana. Sustainable fashion itu kan tidak murah dan butuh banyak usaha. Tidak semua orang bisa menghargai itu sampai ke poin dimana mereka bersedia mendukung dan mengenakan baju yang benar-benar sustainable.
A
Apa proyek yang sedang dipersiapkan Feli untuk fbudi?
F
Nanti akan keluar koleksi baru di Jakarta Fashion Week di bulan Oktober 2016. Saya juga sedang mengembangkan tekstil dengan pengrajin dari Pekalongan. Bajunya akan bermotif, tapi bukan motif binatang dan sebagainya (tertawa). Akan ada warnanya dan padu padan warna. Colorful sih (tertawa).
Ide koleksi ini adalah peranakan, budaya peranakan kan warna-warni. Tapi kali ini tidak ada warna merah, lebih ke warna kuning, pink, hijau, biru dan ada pastelnya sedikit.