Sampai Jumpa Mondo!
Berbincang dengan sosok-sosok yang sering ditemukan di Mondo mulai dari kolektif Studiorama, Akamady Records, hingga para pelanggan tetap tentang arti venue tersebut, juga sosok Shun bagi mereka.
Words by Ghina Sabrina
Ilustrasi: Kania Thea
Di tengah kemunculan venue-venue baru, semangat independen yang tertanam pada sebuah tempat lengkap dengan identitas yang jelas-jelas penuh idealisme pun dapat dihitung dengan jari. Untuk Mondo, identitasnya terbangun karena kehadiran sosok Shunsuke Izumimoto, atau Shun, yang lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Passion-nya terhadap musik Indonesia dan sifatnya yang terbuka pada segala hal baru membuat Mondo sebagai venue yang melekat di hati banyak orang. Tanggal 21 April 2019 kemarin adalah hari terakhir Mondo membuka pintunya bagi publik. Maka dari itu, kami berbincang dengan sosok-sosok yang menganggap Mondo sebagai rumah, mulai dari Gerhan, Teguh Wicaksono, hingga Andre Wiredja, tentang arti venue tersebut juga sosko Shun bagi mereka.
GERHAN FERDINAL
Akamady Records / HDYLW?
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan?
Beda banget Mondo yang di Kemang dengan yang di Fatmawati. Kalau di Kemang rasanya sempit banget dan terpisah jadi 3 lantai. Dan karena biasanya kalau di Kemang bikin acara di basement, jadi kalau ramai rasanya sesak banget. Kalau disuruh pilih, pasti lebih suka yang di Fatmawati karena tempatnya lebih besar, lokasinya lebih strategis dan karena di rooftop jadi rasanya bisa lebih lama untuk santai di sana.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Pastinya ya “HDYLW?” (How Do You Like Wednesday?).
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun itu orang yang sangat unik. Sama seperti Mondo-nya. Shun = Mondo, vice versa.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Sangat disayangkan sekali ya, khususnya Mondo yang menurut saya mungkin salah satu tempat yang paling bisa menerima segala macam ragam musik dan seni dari segala jenis ini tutup. Tentu akan menghambat pergerakan skena kedepannya.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Untuk saat ini belum ada dan mungkin tidak akan pernah ada lagi tempat seperti ini dan kalaupun ada yang pasti tidak akan pernah sama dengan Mondo yang saya tahu sekarang ini.
TEGUH WICAKSONO
Studiorama / Sounds From The Corner
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan?
Saya jarang menyambangi Mondo ketika di Kemang, tapi saat letaknya di Fatmawati, ia jadi lebih on-brand. Perjalanan dari pintu masuk gedung Rossi Musik, menaiki lift tua yang membuat jantung berdebar (atau deretan anak tangga bau pesing), baru akhirnya tiba di lokasi akan jadi ritual yang saya rindukan. Terkadang riuh musiknya sudah bisa didengar dari lantai dua, pemandangan favorit saya bila ada satu dua orang sudah tergeletak di tangga, dihukum Anggur Merah. Jadi kalau bisa memilih, saya pilih di Fatmawati.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Menurut saya, perhelatan regular Mondo krusial berkontribusi membentuk subkultur musik di Jakarta – jadi “HDYLW?” dan “Gaduh di Mondo” yang melekat erat di kepala saya.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Saya selalu kagum dengan passion Shun terhadap musik dari Indonesia. Tidak hanya rendah hati, namun keterbukaannya kepada hal-hal baru yang di luar zona nyaman lah yang jadi resep ampuh kenapa Mondo jadi venue kesayangan semua orang. Menjalankan bisnis F&B (Food & Beverages) dengan idealisme bukanlah hal yang mudah di Jakarta – namun karena kebesaran hati Shun, semua orang jadi jatuh hati kepada tempat itu dan mendukung setulus hati. Ini situasi yang lumayan klasik – ketika komunitas kreatif merasa diterima oleh sebuah entitas bisnis, tidak ragu mereka akan memberikan support balik yang nilainya tidak bisa dihitung dengan sekadar “profit”.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Di Ibukota kita pernah punya Poster, Parc dan BBs. Tentunya venue musik adalah elemen penting dari pertumbuhan scene musik lokal – karena di sanalah tempat semua stakeholder penting bertemu dan berinteraksi. Tanpa mengesampingkan rasa sedih saya terhadap tutupnya Mondo, saya optimis hal ini tidak akan menghambat suatu apapun. Selama bertahun-tahun, Mondo menghadiahi kita melting pot di mana semua orang bisa berkarya tanpa pretensi, dan ke depannya selayaknya kita menjadikan memori manis kita di sana sebagai bahan bakar membuat Mondo-Mondo berikutnya.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Ada. Harus ada.
BELDA FARIKA
Never Too Disco / HDYLW?
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
Lebih suka di rooftop Rossi Musik karena tempatnya lebih luas dan ada area outdoor-nya.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Terlalu banyak acara seru di Mondo, tapi kalau buat saya, paling ingat acara 4th year Anniversary Imaginary Voyage Radio di basement Mondo Kemang.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun sepertinya lebih Indonesia dibanding kita-kita semua. Wawasan dia mengenai music dan art Indonesia sangat luas dan tahu detail dan asal usul suatu karya yang dia suka. Dia tahu betul ingin membuat venue Mondo untuk menjadi seperti apa. Bukan cuma dengan dekorasi retro Indonesia yang lucu aja tapi juga sampai ke orang-orang yang datang ke sana, itu yang membuat Mondo punya kepribadian dan jiwa. Saya rasa Mondo tidak akan jadi Mondo tanpa Shun.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Pastinya kehilangan banget dengan tutupnya venue-venue tersebut. Memang tidak gampang untuk me-maintain suatu tempat untuk bisa survive di perekonomian seperti ini. Memori yang pernah ada di sana tidak akan pernah bisa digantikan oleh venue-venue lain yang masih buka. Tapi saya yakin pasti akan ada tempat tempat seperti itu yang akan buka in the near future untuk kita semua.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Buat saya tidak akan ada yang bisa menggantikan Mondo. Mondo itu bukan cuma sekadar venue untuk arts and music. Mondo punya jiwa yang terbangun dari Shun, karyawan-karyawannya dan teman-teman yang sudah ikut membangun Mondo semenjak 2011.
YOGA PRASIDDHAMUKTI
Gaduh di Mondo / Winona Tapes
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan?
Saya sih tidak merasakan perbedaan yang cukup signifikan, selain pemandangan yang lebih bagus di Mondo by the Rooftop dibandingkan dengan ketika era Cafe Mondo di Kemang. Apalagi setelah jalur MRT sudah jadi sehingga bisa melihat kereta berlalu-lalang. Meski begitu, kedua tempat punya keunggulan sendiri. Ketika berada di rubanah, Mondo jadi semacam tempat “pesta” bawah tanah alternatif buat yang bosan sama hingar bingar pesta ibukota kebanyakan. Tempatnya yang kecil dan sempit membuat siapapun yang rajin datang akhirnya bisa mengenal satu sama lain; kegiatan berjejaring antar komunitas dimulai di sana. Mondo by the Rooftop, dengan lokasinya yang strategis, terletak di pinggir jalan utama Fatmawati dan di gedung Rossi Musik (tempat rutin gelaran konser berbagai jenis musik), semakin memperluas jaringan yang sudah terbentuk di Cafe Mondo Kemang. Mondo by the Rooftop membuka banyak sekali kemungkinan dan jalan bagi banyak entitas yang mungkin dulunya belum tahu soal era Kemang. Hasilnya, sejauh pengamatan saya, Mondo by the Rooftop punya acara dan kegiatan yang jauh lebih beragam dibandingkan Cafe Mondo.
Kalau disuruh memilih lokasi mana yang lebih saya sukai, saya sepertinya tidak bisa memilih; lagi-lagi, dua lokasi tersebut memiliki cerita dan kenangan tersendiri bagi saya.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Terlalu banyak. Mulai dari “Disco Devil”, acara pesta Halloween pertama di Mondo Kemang, “House of Trill” yang memainkan trap shit and stuff, gelaran “Internet Fwendz” edisi pertama besutan Kolibri Rekords di mana jadi tempat perdana band hardcore punk saya manggung, beberapa acara yang akhirnya saya ikutan main mencoba jadi DJ gadungan dengan memutar piringan hitam koleksi saya waktu itu, gigs yang sudah tidak bisa dihitung, “Mega City Drive” dan “Mindzapp” besutan Studiorama yang menyajikan musik eksperimental dan semacamnya, “Salad Days” yang merupakan cikal bakal Gaduh di Mondo, sampai acara besutan Mondo sendiri yang kalau tidak salah bekerjasama dengan Uda Sjam (Samson dari Laidback Blues) yang mendatangkan selektor-selektor musik nyeleneh dari Thailand, Jepang, bahkan Belanda. Semuanya terjadi di Cafe Mondo Kemang.
Kalau acara yang paling bisa diingat di Mondo by the Rooftop Fatmawati bisa jadi adalah “Sugar We’re Going Down Singing”, emo night pertama—sepertinya ini emo night yang mengawali semua emo night di Jakarta saat ini—gagasan Sobat Indie dan We Hum Collective. Itu pertama kalinya saya melihat Mondo seramai itu, bahkan karaokeannya tidak perlu pakai mic saking semuanya nyanyi. Acara perpisahan semua entitas yang pernah bikin gelaran di Mondo yang berlangsung seminggu terakhir juga sangat berkesan, baik “Gerilya Ekspresi”, “How Do You Like Wednesday?”, “Gaduh”, hingga akhir pekan kemarin, “Kampai Santai”. Semua orang menyempatkan datang sehingga selalu penuh.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shunsuke adalah Mondo, begitu pula sebaliknya. Sudah jadi satu, bukan paket terpisah. Saya pikir, yang membawa Mondo sampai ke titik sekarang adalah Shun; dengan segala koneksinya, bagaimana dirinya berteman dan berelasi dengan banyak pihak di Jakarta—yang tidak sedikit kemudian menjadi teman baiknya, bukan hanya berakhir di hubungan pemilik venue dan pelanggan maupun pembuat acara. Bersama Mondo, 7 tahun terakhir, Shun bisa dibilang ikutan membentuk kancah musik dan seni di Jakarta dengan caranya sendiri. Dan menariknya, semuanya berlangsung secara organik. Subkultur dan ekosistemnya terbangun dengan sendirinya. Banyak yang pertama kali menjadi selektor/ DJ di Mondo, Shun yang memberi kesempatan. Banyak kolektif yang membuat debut acaranya maupun programnya, di Mondo, dan kesempatan itu datang karena Shun saya pikir punya kepercayaan tinggi, dukungan, serta excitement yang tidak habis-habis untuk kancah kreatif Jakarta. Mondo tidak akan jadi Mondo yang selama ini dikenal jika tidak ada Shun dan inklusivitasnya. Kalau Shun selalu berterima kasih setiap saat saya datang ke tempatnya (benar-benar tiap saat secara literal), saya juga ingin bilang arigatou untuk semuanya, Shun!
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Tentu saja bagi saya hal tersebut adalah sesuatu yang memprihatinkan. Walaupun, saya selalu percaya bahwa akan ada venue-venue baru yang kembali akan berperan penting dalam membentuk dan membangun budaya-budaya alternatif di kancah ini. Selama masih ada orang-orang dengan rasa, sikap, dan vibrasi seperti misalnya Shunsuke, saya pikir saya tidak perlu terlalu khawatir. Cuma, tutupnya Mondo bagi saya adalah akhir dari sebuah era.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Saya tidak tahu, karena memang menurut saya tidak ada tempat seperti Mondo; dengan atmosfer tersendiri, tempat yang menjadi hub bagi banyak hal dengan pemilik yang selalu punya tangan terbuka untuk berbagai macam kemungkinan; mulai dari pesta, acara karaoke, pameran seni, sampai acara yang sangat komunal dan segmented semacam gigs harsh noise dan musik-musik eksperimental lainnya. Saya pikir itu adalah hal yang sangat langka, walaupun saya berharap memang nantinya akan ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo.
RIYAN BERLIAN
Motion Graphic Designer
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan?
Dua-duanya dekat dengan tempat tinggal saya, tapi kalau boleh memilih lebih enak Mondo yang di Kemang, untuk sound dan venue sangat mencerminkan kata underground tapi saya jarang bisa ke sini karena harus jaga kandang di theSAFEHOUSE. Tapi yang di Fatmawati lebih banyak kenangannya, karena saya sudah freelance jadi lebih punya banyak waktu buat main ke Mondo dan lumayan sering bantu-bantu isi visual buat collective.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Hampir tiap Rabu saya ke Mondo untuk acara “HDYLW?”, tempat ini buka dari Rabu sampai Minggu, tapi pas tutup kadang Selasa sore saya sering janjian sama Shun and friends buat santai sambil mendengarkan anak-anak open deck. Tiap datang ke Mondo mau apapun acaranya pasti ada hal baru yang bisa saya dapatkan, entah itu pekerjaan, collabs, atau “gogon” gosip underground, hehe.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun sangat demokratis, dia selalu adil dalam pandangan. Di antara lalu lintas collective yang bergejolak, dia konsisten selalu ada di posisi tengah (positive vibes). Selalu excited dengan kata collaboration, ah sedih :’(.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Menurut saya kalau ada tempat baru, pasti ada tempat yang tutup, saya sempat mengobrol dengan pengamat musik subkultur, salah satunya menurut Wahono: “Gapapa bagus Mondo gak ada, biar subkultur bisa berkembang cari tempat baru buat bikin gigs.” Kurang lebih seperti itu.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Secara kemudahan dan kebebasan (berkarya) kayaknya agak susah sih Mondo digantikan, kasarnya semua golongan kalau di Mondo mau gak mau buka baju dan setara, poin itu yang menurut gue susah di dapatkan dari tempat lain. Semoga tempat-tempat baru tidak hanya memikirkan sales dan lebih peduli dengan perkembangan subculture.
ANDRE WIREDJA
Fotografer
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan?
Saya belum pernah ke Mondo yang di Kemang, saya baru datang setelah Mondo pindah ke Rossi Musik. Kalau dengar dari ceritanya untuk saya pribadi mungkin saya akan lebih suka dengan yang di Rossi karena ada open air-nya.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
“How Do You Like Wednesday?” (HDYLW?), “Never Too Disco”, dan “Akamady Session”.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun adalah orang yang lebih Indonesia dari orang Indonesia sendiri. Dia punya visi yang sangat hebat dengan Mondo. Visi untuk menyatukan orang-orang dari scene music yang berbeda. Untuk saya, Shun adalah salah satu orang yang banyak mengenalkan musik-musik baru di dalam hidup saya.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Menurut saya, venue tutup itu sudah biasa, ke depannya pasti akan semakin banyak orang yang memiliki ide dan visi untuk membuat venue yang memperkenalkan jenis musik baru yang menarik juga. Alam semesta akan menyeimbangkan dengan sendirinya itu yang saya yakini, dan generasi muda di Indonesia sekarang ini semakin kreatif dan bertalenta juga. Kedepannya pasti akan lebih baik lagi.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Untuk sementara ini belum, tapi kita tidak pernah tahu apakah kedepannya akan ada atau tidak. Itu lah yang membuat kita semua penasaran apa yang akan terjadi kedepannya setelah Mondo. Let’s live for the future.
DIMAS SAKTYA
Swarsaktya / Akamady Records
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
Perbedaan yang paling utama yang pasti situasi indoor dan semi outdoor-nya (rooftop bar). Keduanya punya moment-moment tersendiri sih sebenarnya, tapi untuk lokasi yang lebih saya sukai itu Mondo Fatmawati karena suasananya lebih intimate, bisa santai-santai di luar sambil lihat jalanan Fatmawati, dan karena gedungnya sudah familiar luar dalam dari zaman acara Live at Rossi. Sudah kayak rumah kedua jadinya .
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Kalau di Mondo Kemang pas Chida main di Laid Back Session tahun 2014 lalu. Lucu aja ya malam itu, kalau yang di Fatmawati pas acara setahun “HDYLW?” sekalian in memoriam setahunnya Almarhum Jimbo. Teman-teman yang dateng ramai banget saat itu. Oh iya pas acara Dekadenz pertama kali juga seru karena di tempat itu (sebelum Mondo / Live at Rossi) band saya yang lama (Freedom of Choice) main di sana dan saat Dekadenz itu untuk terakhir kalinya main di spot yang sama persis.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Ikon yang luar biasa! Unik, humble, baik hati, music enthusiast yang sangat terbuka sama musik apapun. Dan juga ketertarikan dengan budaya Indonesianya itu mungkin bisa lebih Indonesia dari beberapa orang Indonesia pada zaman sekarang.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Kalau untuk tutupnya tempat-tempat itu sih kita sedih ya pastinya dan pengaruhnya sangat besar. Tapi pada saat tempat itu tutup atau sudah tidak ada lagi biasanya akan menjadi cerita tersendiri dan menjadi icon pada masanya, contohnya seperti Parc, Parkit, Willow dan lain-lain, tapi kalau tempat itu sukses dalam membawa skena itu sendiri.
Kalau untuk kedepannya tinggal kita lihat tempat apa yang bisa membawa skena tersendiri pada saat ini. Dan tergantung dari semangat dari pelaku skena itu sendiri, karena pada dasarnya venue itu kan hanya sebagai wadah. Asal semangatnya ada pasti pergerakan itu tidak akan mati kok. Menurut saya pribadi ya tapi itu.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo ?
Untuk bisa menggantikan Mondo 100 % agak sulit nampaknya, kalaupun ada vibe-nya pasti akan beda. Karena menurut saya setiap tempat / venue itu punya perannya masing-masing, ada yang pas untuk minum-minum santai saja, ada yang pas untuk showcase band, ada yang pas untuk party peak hour dan sebagainya. Nah kalau Mondo agak unik, buat santai-santai ngopi bisa, alkohol bisa, makan besar, snack dan finger food juga ada, sambil mendengarkan teman yang main deh.
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
Beda vibes aja sih mungkin ya dari bentuk ruangannya dan penataan kursi dan lain-lain. Meskipun tetap ada benang merah “Mondo”-nya, sama agak beda pergerakan scene musik dan komunitasnya pas di Kemang sama di Fatmawati. Kalau disuruh memilih lebih suka yang mana, ya lebih suka yang di Fatmawati, apalagi sekarang ada MRT lewat lebih gimana gitu (tertawa), sayangnya harus tutup (ganti nama) ya.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Banyak juga sih acara-acara yang berkesan di Mondo Kemang atau Fatmawati. Tapi kalau mau dibilang berkesan ya “Gaduh di Mondo” karena di acara itu pertama kalinya saya dikasih kesempatan main sama Jan, Siddha dan Yudhis sebagai selector lagu-lagu yang saya suka, bebas mau mainin lagu apa saja di depan orang banyak.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun ya Mondo. Gak ada Shun karakter Mondo gak bakal ada. Dia orang yang benar-benar ramah, baik dan terbuka dengan orang baru, dia mau kasih kesempatan ke kolektif-kolektif baru untuk bikin acara di Mondo apapun itu bentuk kreasi seninya, mau itu seni musik atau seni apapun. Intinya Shun banyak membantu orang/kolektif/komunitas untuk mengekspresikan kegiatan-kegiatan seni mereka.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Ini sudah sering terjadi dari zaman dulu, sedih sih tapi yakin aja bakal ada aja tempat baru yang bisa memfasilitasi pergerakan skena meskipun mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Tapi saya yakin anak-anak zaman sekarang semangatnya pada bagus-bagus.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Untuk menggantikan Mondo persis seperti Mondo mungkin tidak bakal ada, tapi seperti yang saya bilang tadi pasti ada saja tempat baru yang bisa memfasilitasi kegiatan kolektif-kolektif dan pergerakan skena di Jakarta khususnya. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini, tapi nanti ada saja meskipun tidak seasik dan senyaman Mondo karena Mondo tidak cuma tempat aja sih, Shun yang bikin Mondo lebih dari sekadar tempat.
MELODYA LUKITA
Stylist
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
Space Mondo Kemang lebih kecil dibanding sama Rossi, jadi kalo party lebih skin-to-skin dan berasa banget underground-nya. Kalau disuruh pilih ya tentunya yang sekarang, karena menampung lebih banyak orang, lebih memungkinkan juga buat stick around dan ketemu sama teman-teman baru.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Banyak banget, tapi waktu yang terseru itu pas Chida pertama datang ke Jakarta, masih di Mondo Kemang.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
He’s a family, baru sekali melihat bukan orang Indonesia yang lebih Indonesia dari orang Indonesia. Sosok yang baik banget dan bisa menerima segala jenis orang dan menikmati segala jenis musik. Tanpa disadari Shun membantu membentuk kultur musik di ibukota. Shun itu ya Mondo.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Ini pertanyaan yang saya tanyakan dari pertama mendengar kalau Mondo akan tutup, terus belum tahu jawabannya apa selain selalu siap menjadi supporter buat yang berjuang bareng-bareng.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Ada… it’s when the #mondoatheart gathers wherever that may be.
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
First time saya ke Mondo itu lokasinya sudah di Fatmawati. At first, coming back to Indonesia for good after 6 years di San Francisco, I had no clue kalau music scene di Jakarta ada yang sama seperti all the events I used to go to in the US, basically pretty much what I like to listen to. Until one of a good friend of mine told me to check out Mondo. First impression: 10 out of 10, suka banget sama tempatnya, di bawah kelihatan dodgy, pas sampai lantai 4 so unique and comfortable .
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
HDYLW? 1st anniversary, 2017, such a memorable night with great friends and radical tunes .
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Jujur, Shun knows way more Indonesian music than I do and that’s super cool to me, as an Indo born and raised, I know nothing .
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
I think it’s not about these venues closing down, the community will always be there and that will last, and that’s what matters right?
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
No way. I found new best friends that I consider as a family, and I get inspired a lot in Mondo, I don’t think it can be replaced by anything, ever.
Sebelum berlokasi di Fatmawati, Mondo dulu pernah terletak di daerah Kemang. Perbedaan seperti apa yang dirasakan? Dan kalau bisa memilih, lokasi mana yang lebih Anda sukai?
Pada esensinya Mondo tetap Mondo, sebuah ekosistem yang secara murni mendukung berbagai macam kegiatan subkultur sehingga mereka bisa melebur. Baik Mondo Kemang dan Mondo Fatmawati memiliki sifat keterbukaan yang sama. Perbedaan hanya dari sisi keringat.
Saya lebih sering mengunjungi Mondo Fatmawati.
Acara apakah yang paling Anda ingat di Mondo?
Acara Orange Cliff “Sages of The Haze tour”, sebuah gig yang menurut saya spiritual.
“Gaduh Di Mondo Vol. 12”, saya berkesempatan untuk melihat bagaimana acara ini dimulai dari sekedar obrolan kawan-kawan, lalu berkembang dari meja ke meja dan terus berjalan sampai (sayangnya) Mondo mengundurkan diri dari kancah Jakarta.
Bagaimana Anda melihat Shun sebagai ikon dari Mondo?
Shun adalah Mondo adalah Shun, seseorang yang sangat passionate dan terbuka. Tanpa Shun, mungkin banyak acara yang berhenti di tahap wacana. Selain support yang terus menerus diberikan Mondo, saya juga merasa bahwa banyak orang yang harus berterima kasih pada Shun karena memperkenalkan Amer (Anggur Merah) ke mereka.
Akhir-akhir ini, satu per satu venue yang memiliki peran penting dalam terbangunnya suatu subkultur tutup. Bagaimana Anda melihat hal ini dapat memengaruhi pergerakan skena ke depannya?
Semua yang pernah bikin acara di Mondo pasti akan merasa kehilangan. Tapi akan selalu ada jalan untuk memulai sesuatu. Saya melihat ikatan kuat yang terbentuk karena difasilitasi tempat seperti Mondo itu tidak akan mati dalam sekejap.
Mondo mungkin tutup, tapi gairah skena akan tetap hidup.
Menurut Anda, apakah ada ruang yang bisa menggantikan tempat seperti Mondo?
Untuk menggantikan peran sebagai venue yang terbuka dengan berbagai kegiatan subkultur mungkin saja ada. Namun, tidak akan ada tempat yang bisa menggantikan karakter dan suasana Mondo karena dari dulu ambiance yang dibangun oleh Shun sangat personal. Ikatan yang mendalam antara tempat dan pengunjung Mondo saya rasa juga sulit direplikasi.