Musik Baik Awal Tahun 2018
Awal tahun ini banyak hal menarik lahir dari musik lokal. Mulai dari single hingga album baru yang membekas di telinga. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Words by Muhammad Hilmi
Linger – Congratulations You’re Getting Old
Jika pop-punk adalah sebuah perpustakaan, Dandy Gilang adalah pemegang kartu anggota yang telah membaca semua buku terbaik di dalamnya. Ini bisa dilihat dalam berbagai karyanya, mulai dari Write The Future, hingga Much yang selalu membawa mutu. Kecakapan ini kembali datang saat di awal tahun ini, Dandy muncul dengan moniker baru: Linger yang dengan berani mengeksplorasi sisi yang belum banyak dijelajahi di genre ini. Di nama baru ini, Dandy seperti menggabungkan anxiety dan sinisme dari Jeff Rosenstock (Bomb The Music Industry) dengan sensibilitas Evan Weiss (Into It. Over It). Hasilnya adalah sebuah album yang mengingatkan bahwa pop punk tak pernah berhenti relevan, kita saja yang terlalu tua untuk terus mengikutinya. Tahun 2018 masih belum masuk separuh, tapi sepertinya “Congratulations, You’re Getting Old” telah mengamankan satu tempat di album terbaik tahunan.
Leftyfish – Hello Kittie’s Spank
Mengeluarkan materi bagus di awal perjalanan adalah sebuah prestasi, tapi mengembangkan prestasi tersebut di langkah berikutnya adalah tantangan sejatinya. Melalui “Hello Kittie’s Spank”, Leftyfish menunjukkan bahwa mereka lebih dari sekedar mampu untuk menaklukkannya. Semua bagian lagu terasa lebih menyatu sekarang, part-part jazznya dijahit sedemikian rupa sehingga tak terpisahkan dengan part lainnya – bahkan di part paling menggerinda sekalipun. Vokal juga semakin berkembang sehingga banyak memberikan kejutan menyenangkan di dalamnya. Jika materi EP mereka “You, Fish”, mengingatkan kita pada Melt Banana, kini Leftyfish telah berkembang menjadi entitas yang lebih mandiri. Semoga mereka ada jadwal tur ke Jakarta.
Godplant – Turbulensi
Ada zamannya di mana anak-anak gondrong berjaket jeans dan kulit di luar sana berlomba-lomba memainkan stoner/sludge/doom metal. Sayangnya kebanyakan dari mereka terdengar sama. Hampir semua terjebak dalam tipikal-tipikal yang menyesatkan. Godplant dalam hal ini sedikit berbeda. Mungkin secara sesembahan mereka masih punya berhala yang sama: ganja dan Eyehategod yang ada di altar utama. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana Godplant keluar dalam format yang cukup menarik, mereka mengeluarkan sisi berisik yang selama ini belum terlalu dieksplor oleh rekan sejawatnya. Secara lagu, mereka juga punya dinamika yang cukup untuk menjauhkan bosan. Meskipun sepertinya harusnya mereka bisa lebih baik jika mereka tak terlalu literal dalam menulis lagu. Karena judul “Daun Lima Jari” terasa hampir sama corny-nya dengan tato angka keramat 4:20 di lengan Marcello Tahitoe.
Texpack – Zirah
Saat mendengarkan Pavement, terbayang bahwa harusnya ada band di Jakarta yang menjadi titisannya. Untuk itu, Texpack adalah anomali yang menyenangkan, datang dari Bogor, Texpack adalah salah satu pewaris sejati kejeniusan Stephen Malkmus. Sepertinya, mereka melanjutkan estafet kualitas dari band indie rock seminal yang juga berasal dari Kota Hujan, Reid Voltus (RIP). Songwriting dan isian gitar di lagu-lagu mereka terasa memiliki kedewasaan yang cukup distinct jika dibandingkan dengan band indie rock muda lainnya. Yang menarik, di awal tahun ini Texpack mengeluarkan lagu baru “Zirah” dengan lirik Bahasa Indonesia yang bernas. Seakan mengabarkan bahwa sedang banyak hal menarik terjadi di Bogor, mulai dari Sugarkane, hingga kolektif seninya yang kini bergeliat tumbuh.
Collapse – Chloe / A Glaring Panorama
Butuh waktu dua-tiga kali dengar untuk benar-benar merasakan kualitas di single terbaru Collapse. Agak berbeda dengan “Given” yang langsung mengena di pengalaman pertama mendengarnya, “Chloe / A Glaring Panorama” baru terasa nyaman di telinga saat kesekian kali mampir. Tapi, ini harusnya dirayakan, karena ini berarti adanya kemauan untuk berkembang, karena alih-alih terjebak di area yang sama, Andika Surya dalam hal ini cukup berani untuk menarik dan memperlebar area musikal Collapse.
Krowbar – Swagton Nirojim
Akhir-akhir ini, kita seperti dipaksa untuk memilih dari polarisasi kutub-kutub hip hop terkini: yang kelas atas memilih Rich Brian, yang kelas bawah memilih Young Lex. Sayangnya, kadang keduanya tak bisa memberikan apa yang kita cari. Alih-alih mengisi kekosongan tersebut, Krowbar menciptakan ranah baru, ia tak berada di antara dua kutub atas bawah tadi, tapi ia juga tak ada di tengah, ia justru memilih untuk berada di posisi paling bawah. Rasa-rasanya bahkan Samuel Alexander Pieter tak sesompral itu untuk berkata “elo bangsat/taruh pala di pantat”. Tapi memang justru bentuk seperti ini yang kita perlukan untuk hidup di antara kemacetan, panjat kelas yang melelahkan hingga rutinitas yang membosankan.
Cotswolds – Tadius
Sejak indie pop semakin populer lima tahun terakhir, banyak band-band baru bermunculan. Sayangnya kebanyakan bermain dengan cara yang sama. Cotswolds adalah salah satu di antaranya yang cukup berbeda. Meski tak terlalu sering tampil dan merilis materi, musik mereka yang memberi warna muram di skena indie pop lokal selalu ditunggu. Album barunya, Tadius adalah pembuktian terbaru tentang bagaimana mereka memposisikan diri. Beberapa lagunya terasa memiliki potensi untuk jadi pop, tapi begitu musiknya nyaris-nyaris catchy, mereka membelokkannya.
Melabuh Kelabu – Prahara
Melabuh Kelabu datang cukup terlambat untuk bergabung dengan naiknya kembali musik post-hardcore di skena lokal yang telah dimulai beberapa tahun belakangan. Untungnya, meski terlambat masuk, mereka punya kualitas untuk jadi salah satu bintang kelas. Memainkan skramz dengan akar musik Suis La Lune hingga Raein, Melabuh Kelabu meninggalkan kesan mendalam sejak lagu pertamanya. Sepertinya akan menarik bila suatu saat nanti mereka bikin split album bersama Piri Reis.
Talun Awan – Meruncing
Awal tahun kemarin, kami sempat menulis tentang EP Talun Awan – Anakto yang cukup menarik di mana mereka mencampurkan psikedelia dengan blues rock yang pekat. Di single barunya, yang berjudul “Meruncing” Talun Awan melanjutkan eksplorasi suara yang mereka lakukan hingga kini bebunyi mereka menyerempet absurditas krautrock.
Theory of Discoustic – Badik (La Marupe)
Banyak hal baik sedang tumbuh berkembang di luar Pulau Jawa sekarang-sekarang ini. Theory of Discoustic adalah salah satu pemainnya, mereka mengangkat warna melayu di antara musisi zaman sekarang yang lebih gemar bernyanyi dalam pelafalan dan Bahasa Inggris. Jika dulu di album awal mereka masih malu-malu dalam menampilkannya, kini warna itu semakin kental melalui “Badik – La Marupe” yang mengembrace cengkok Melayu dengan bangga. Dan memang seharusnya begitu.
Vallendusk – Fortress of The Primal Gaze
Mungkin seperti inilah harusnya band metal bekerja. Tak banyak manuver macam-macam, konsisten saja bikin musik – segelap mungkin – sebaik mungkin. Itulah yang sekiranya terbayangkan tentang Vallendusk, band post-black metal Jakarta yang telah mulai merilis lagu sejak 2012 dan terus berkembang sejak itu – tanpa peduli apakah mereka cukup bermain live atau masuk majalah lokal. Dan nyatanya, kualitas mereka justru banyak dibahas di luar sana. Termasuk album Fortress of The Primal Gaze yang mendapat banyak pujian dari media metal luar.
The Porno – The Moon
Yang paling menarik dari single terbaru The Porno adalah bagaimana mereka justru mengambil jarak dengan genre post-punk saat genre ini sedang mulai populer kembali. Bentuk barunya pun lumayan menarik, terdengar kuat pengaruh indie pop di dalamnya, menunjukkan pengaruh fase pergantian personil yang sedang mereka alami.
Breakage – Anxiety Caused By War
Entah kenapa, musik dari Kota Batu yang identik dengan area wisata justru tampil dalam format terbaiknya jika diceritakan dalam warna tergelapnya. Breakage adalah bentuk terbarunya. Mungkin memang seperti inilah musik yang lahir dari kebosanan anak-anak muda di sana yang jengah dengan warna-warni artifisial di taman-taman kotanya.
Eitherway – Hiding in Plain Sight
Jika berpikir bahwa tahun terbaik untuk skena musik Malang berhenti di tahun 2017, Eitherway datang untuk memberikan antitesisnya. Bermain di area pop punk, Eitherway menunjukkan bahwa masih banyak hal baik yang belum kita ketahui di sana. Sedikit mengingatkan pada Modern Baseball, Eitherway adalah rangkuman terbaik dari kegelisahan masa muda di saat-saat terakhir sebelum kita melampauinya.
Damascus – Superblaster
Selama ini, shoegaze lokal tampil dalam format-format yang cenderung ‘cantik’, padahal ada banyak dimensi yang dimiliki genre ini. Damascus ada untuk menceritakan sisi lain itu kepada semua. Di tangan mereka, genre ini dibawakan dengan mentah, dan berisik. Tak malu-malu pula sesekali gitar bermain solo. Cukup membayar kerinduan pada grup Strawberrywine yang berumur sangat pendek itu, sekaligus menunjukkan apa saja yang bisa dilakukan dalam koridor shoegaze. Tak sia-sia penantian sekian tahun menuju album ini, tapi tentunya akan lebih baik jika nanti materi baru bisa lahir lebih lekas karena debut album ini lumayan membekas.
Jalan Pulang – Mei
Tahun ini, tragedi Mei 1998 masuk usia dua dekade. Sayangnya masih banyak yang belum terbuka tentang kasus itu hingga sekarang. Mungkin itu pula yang kemudian membuat banyak di antara kita yang kemudian menyangkal kebenaran dari tragedi kemanusiaan yang merenggut sekian nyawa, dan juga menghilangkan beberapa nama. Dan untuk itu pula lagu ini penting. Jalan Pulang menjadi pengingat yang baik bagi kita yang kadang lupa. Ia tidak menggurui, namun menyentuh kita dalam nada yang mampu meraba kalbu. Sulit untuk tidak merasa sendu saat Irfan menyanyikan lirik “Kota ini telah melupakanmu/orang-orang tak mau peduli/Tapi ibumu masih memasak menu kesukaanmu”.