Sal Priadi: “Bicara sehari-hari itu menurut aku puitis. Kadang orang nggak sadar atas itu”
Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Sal Priadi mengenai album terbarunya, MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS, beauty of the mundane, dan asam-garam menjadi seorang generalis.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Fiadhira Rasyah
Foto: POPLICIST Publicist
Berangkat dari Soundcloud di tahun 2015, Sal Priadi adalah seorang performer yang terbilang multidisipliner. Rasa cintanya terhadap teater dan aspek performatif dari seni peran, di mana ia mengikutsertakan penonton dalam showcase atau konsernya untuk tampil. Kerinduan akan interaksi di atas panggung membawanya ke konsep tersebut, terinspirasi oleh panggung lenong yang mengemukakan aspek dua arah, performer dan audience.
Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Sal Priadi mengenai album terbarunya, MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS, beauty of the mundane, dan asam-garam menjadi seorang generalis.
Congratulations on the release of Nightmares and Daydreams! Bagaimana rasanya tampil di layar kaca? Seru nggak menjadi karakter yang dihadapkan dengan makhluk “Dari planet lain”?
Seru banget. Pengalaman syuting yang baru karena secara genre juga baru. Tantangan perannya juga baru. Pengalaman kerja dan situasi kerja juga baru. Jadi, banyak pelajaran yang aku dapat. Itu yang paling aku rasakan.
Dari musik, ke film, lalu ke teater, Sal Priadi tidak takut menyelami kompleksitas yang datang dari menjadi seorang multidisipliner. Bagaimana caramu menyeimbangkan ketiga disiplin tersebut?
Tempat berekspresi dengan media yang berbeda-beda. Musik punya cara berekspresinya sendiri, peran juga, karakter juga. Aku nggak pernah mau membatasi masing-masing, membagi kekuatan tiap disiplinnya. Kalau lagi ngerjain musik, terinspirasi dari apa yang aku lakukan di teater itu mungkin terjadi. Seperti misalnya lagu “Ya Sudah”, itu terjadi karena landasannya sangat musikal gitu.
Dilihat dari pengalaman dan apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan lintas disiplin tersebut, to balance things, masing-masing punya porsinya sendiri-sendiri gitu. Tentu saja aku berangkat dari musik dan aku berlandaskan dengan musik itu. My main job is a musician, jadi itu yang aku pegang. Kesempatan yang hadir seperti teater dan film itu menurut aku jadi ruang yang berbeda. Tapi ya itu, harapan aku adalah ke depan tetap bisa melakukan banyak hal gitu. Berbagi ruang ekspresi dan mendukung satu [disiplin] sama lain.
Apakah ada ketakutan dengan dibilang sebagai seorang generalis dan bukan spesialis?
Itu pertanyaan yang sangat bagus. Aku bisa bilang bahwa aku seorang generalis, dan itu butuh waktu lumayan lama untuk sadar kalau “oh, yaudah memang aku generalis.” Dan ternyata, untuk menjadi seorang generalis juga membutuhkan skill dan cara belajar yang sama seperti kalau jadi seorang spesialis.
Being a generalist is also not an easy thing. Dia butuh mengaitkan dots yang dia punya dari skill-skill-nya dia. Dia butuh cara penceritaan yang tepat. Dia harus tahu dia berdiri di mana. Itu yang juga aku rasakan, dan memang aku merasa sepertinya aku seorang generalis.
Beberapa waktu lalu aku lihat di salah satu interview-mu bahwa Sal suka bercerita mengenai musik sebagai salah satu medium kamu untuk bercerita. Album ini lantas ingin bercerita tentang apa?
Sebenarnya di album ini secara cerita, temanya itu romansa. Ceritanya bisa macam-macam. Ini kumpulan dari 4 tahun aku menulis sejak album pertama. Setelah itu punya waktu 4 tahun [dan] 2024 baru rilis full album-nya. Walaupun di tahun 2022 sudah keluar 3 lagu pembuka kan di MARKERS AND SUCH, tapi apa yang mau aku ceritain adalah there are many shades of love.
Yang paling penting yang bisa dirasakan dari cinta itu adalah soal perjalanannya: Gimana kita bisa memaknai perjalanan itu menurut aku yang penting dibanding dengan hanya membicarakan cinta sebagai satu produk atau satu tujuan akhir. All the ups and downs yang membentuk cinta itu sendiri, jadi dia tidak bisa dinilai dari satu kalimat. Dia dinilai dari perjalanan yang orang lain bisa rasakan, dan ini yang terjadi di album MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS.
Dibutuhkan 4 tahun untuk merakit album ini. Selama proses tersebut, apakah ada hal yang berubah dari approach musikalitasmu?
Di album Berhati (2020) rasanya gloomy, rasanya lebih gelap gitu. Terus dia menandai satu fase dalam hidup aku. Kemudian hidup berjalan. Aku pindah ke Jakarta terus abis itu aku mulai kenal banyak teman terus tinggal di kota ini, kejadian hidup juga banyak yang terjadi gitu dan itu merubah banyak termasuk dengan caraku untuk bercerita. Album satu diksi pilihannya lebih puitis gitu. Diksinya lebih khusus. Tapi kali ini aku berusaha untuk merekam pembicaraan sehari-hari, yang terus jadi lirik lagu di MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS.
Itu yang kemudian jadi inspirasi aku. Orang ngomong itu menurut aku sangat puitis. Bicara sehari-hari itu menurut aku puitis. Kadang orang nggak sadar atas itu, tapi itu yang aku tangkap dan aku jadikan lagu. Beauty in mundane things—seperti kumpulan fragmen-fragmen gitu, kan? Terus kita jadiin satu, terus kita koleksi.
“Dari planet lain” menjadi lagu yang viral. Bagaimana proses penulisan lagu ini?
Kalau prosesnya, ngerjainnya lumayan singkat. “Dari planet lain” itu mungkin cuma [memakan waktu] 15 menit.
Ada rasa tipe-tipe lagu yang, lo nemu gagasannya, terus lo nemu nadanya, terus begitu lo dudukin, lancar aja gitu nulisnya. Tapi ternyata, apa yang kira-kira yang bikin jadi [viral] kaya gini, karena gue ngeliat ternyata banyak banget orang-orang yang punya kriteria model gimana gitu, maunya kayak ABCDE, ternyata datang satu orang kucuk-kucuk-kucuk, bentuknya nggak sama kayak kriteria lo. Tapi ternyata justru dia yang membuat lo jatuh cinta gitu. Itu tuh kayak, satu bentuk tribute lah untuk orang-orang itu. Dan gue juga merasakan itu, that’s pretty much about it.
Musik dan film punya peran dan makna yang dalam untuk Sal. Tapi jika harus memilih, disiplin mana yang akan didalami?
Jawabannya adalah musik sih. Karena gua besar dengan itu—roots gue di situ. Jadi, musik gak pernah lepas rasanya dari gua. Dia betul-betul jadi temen gitu. Nah, tapi ada satu variabel lain deh yang mau gua masukin kalau misalnya disuruh melihat antara musik sama acting: Musik dan teater tuh gak bisa lepas juga sih sebenernya.
Tapi kalo gua disuruh pegang disiplin ilmunya, gua mau pegang disiplin ilmu teater. Seni pertunjukan. Tapi untuk produk, gue mau pegang musik. Di teater kita belajar peran, vocals juga. Disiplin ilmunya yang itu yang mau aku pegang.
Kalau musik, aku gak banyak tertarik untuk, misalnya, main gitar yang sampai jago banget, ngulik blues gitu, sampai lo ngerti progression gitu sih enggak. Aku lebih tertarik untuk belajar di seni pertunjukan.
Di proyek Sal 4 Krapela, bisa dibilang kontemporer banget dikarenakan adanya percobaan untuk breaking the 4th wall; menelusuri area abu-abu di mana audience bisa menjadi performer dan sebaliknya. Apa yang menjadi inspirasi dari sajian ruang kolaborasi dan partisipasi dengan konsep tersebut?
The performativity of theater.
Banyak teman-temanku yang sangat jago musik. Dari situ gue sadar kalau itu bukan kekuatan gue. Kekuatan gue adalah menciptakan sesuatu, dan sesuatu itu adalah sebuah experience. Makanya hadir Sal 4 Krapela, empat pertunjukan dengan konsep yang berbeda-beda. Gue ingin pendengar atau orang yang datang tidak hanya menjadi penonton tapi dia juga terlibat dalam pertunjukannya itu. Yang selalu kuinginkan [adalah] breaking the fourth wall, mungkin?
Banyak banget orang punya semangat untuk berpertunjukan. Tapi ruangnya kan hari ini yang emang terbatas gitu. Gue ngeliat pendengar-pendengar gue, misalnya, mereka tuh mau untuk beneran diajak bacain puisi di depan banyak orang hari itu juga. Mereka mau lakukan itu. Tapi ruangnya yang terbatas. Nah, kepercayaan gue atas itu, bahwa “semua orang berhak berpertunjukan”, itu gue selalu pegang. Dan selalu gue upayakan ruangnya dengan apapun yang bisa gue lakukan hari ini.
Ada nggak rencana ke depan yang mau bisa kami ceritain ke penduduk planet lain?
Untuk penduduk planet lain—ciaelah—kita akan melakukan tur, karena kemarin waktu album satu kita kan pandemi. Kita gak bisa tur, yang kita bisa lakuin cuma bikin showcase, Berhati Memoria.
Nah, sekarang waktunya untuk gue datang ke kota-kota untuk menyapa mereka yang waktu itu di tur pertama—mereka yang datang kan dari luar kota untuk ke sini. Nah, sekarang lo duduk aja di tempat lo, kita yang akan pergi ke kota lo, gitu.
Satu kota ada lima hari yang kita akan ada di sana. Gue juga akan bikin workshop supaya teman-teman yang ada di sana bisa ikut terlibat. Jadi bakal ada workshop nyanyi dan nari, nanti pendengar bisa ikutan workshop itu lalu ikut kita manggung.. Nggak cuman itu, kita juga pengen coba satu bentuk pertunjukan yang akan dibawakan sama Gusti sebagai director di planet lain. Karena dia juga musisi.
Kami akan merancang satu orkes di mana dia tidak hanya main musik, tapi juga bisa terlibat aktif sama yang ada di sana dan merespons penonton.
Kebayang gak sih, orkes yang ditanyain, lenong gitu kan, masih bisa lempar-lemparan rokok gitu. Gue rindu tuh. Interaksi itu yang gue rindukan dan pengalaman itu yang mau gue hadirkan di dalam turnya di satu kota ini, jadi kota itulah panggungnya gitu.
Jadi panggungnya karena semua orang yang ada di sekitar lo yang jadi pemain. Jatuhnya Sal yang menjadi the boiling pot of performance, ya?
Gila lo, gue merinding lo ngomong gini. Thank you ya untuk ini.
Berarti Sal Priadi adalah perwujudan dari percakapan ya. Karya yang dibikin hadir secara dua arah. Album sebagai sebuah kompilasi dari percakapan dengan diri, dengan orang-orang yang terkasih. Apakah semua itu merupakan eksperimentasi untuk berkomunikasi dengan pendengar juga?
Gue sebenarnya nggak tahu apa yang gue lakuin. Tapi hal-hal kayak gini, berdiskusi [seperti] ini, membantu kita untuk tahu. Itu hal yang kita lakukan.
Selama empat tahun, kita kan menemukan banyak cerita dan ngobrol tentang hal-hal. Dan itu yang juga jadi bahan bagi kita untuk menceritakan apa yang sebenarnya mereka ingin ceritakan. Jadi soal relevansi, itu bukan sesuatu yang diupayakan, tapi itu semua hadir dan kemudian kita cuma coba berusaha tangkap aja.