Ngakalin Jakarta Bersama Lomba Sihir
Kami berbincang dengan personil Lomba Sihir mengenai pemaknaan mereka tentang Jakarta, serta rintangan yang harus dilalui untuk bisa survive di kota ini.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Hanindito Buwono & Shadia Kansha
Foto: Mikael Aldo
Melihat gemerlap cahaya lampu dari gedung pencakar langit akan membawa semua orang terhipnotis dengan keindahannya. Seakan seperti sebuah panggilan untuk berbagai individu di Indonesia untuk bisa mengais rezeki di kota yang penuh harapan katanya. Namun kenyataannya, apa yang ditawarkan oleh kota ini justru ada harga yang harus dibayar, sehingga membuat beberapa individu tersebut terjebak di kota yang dinamakan Jakarta. Ini adalah salah satu hal yang dirasakan oleh personil band Lomba Sihir, beranggotakan Hindia, Tristan Juliano, Natasha Udu, Rayhan Noor, Enrico Octaviano, dan Wisnu Ikhsantama yang dituangkan dalam album terbarunya mereka “Selamat Datang di Ujung Dunia”. Kami berbincang mengenai inspirasi subjektif mereka tentang apa yang Jakarta sudah lakukan kepadanya, berbagai rintangan yang harus dilalui untuk bisa selamat dari gempuran kota ini, hingga secuil harapan kepada Jakarta agar bisa berbenah demi individunya dapat menggapai asanya.
Selamat atas perilisannya album “Selamat Datang di Ujung Dunia”. Dari kalian sendiri bisa diceritakan bagaimana perasaannya saat album ini bisa dirilis?
Natasha Udu (N): Kalo perasaannya mah seneng banget. Karena, mungkin beda dengan yang lain ini album pertama buat saya. Kalau yang lain mungkin udah sempet rilis album ya. Terus, something new udah pasti, karena banyak banget pembelajaran untuk gue pribadi dalam membuat album ini maupun saat album sudah rilis. Jadi kalau misalnya ditanyain perasaannya gimana mah, seneng banget ini bener-bener a whole new experience buat gue. Mungkin buat Rayhan beda karena dia sebelumnya sudah pernah rilis album. Gimana Ray?
Rayhan Noor (R): Lumayan aneh sih rasanya rilis album di tengah pandemi, biasanya kan kalau album tuh afdolnya langsung dibawa manggung atau tur. Cuma karena keadaannya kayak gini, sebenarnya lumayan raba-raba juga gitu kayak, “waduh nih rilisnya gimana ya,” bahkan dari awal bikinnya kayak, “wah gimana nih kita gak bisa bolak balik ke studio yang proper,” akhirnya kita ngerjain semuanya di rumah dan juga bahkan beberapa ada yang remote, kita kirim-kirim data. Jadi ini bener-bener album yang dari segala seluk beluknya menggambarkan masa pandemi mungkin ya?
Tristan Juliano (T): Perasaannya senang banget. Hanya saja kayak, kita menantikan kapan bisa membawakan ini secara langsung ke tatap muka dengan audience-nya. Kita berharap semuanya cepat pulih.
Dari produksi yang secepat itu yakni sebulan, menurut kalian apakah itu sebuah bentuk banyaknya inspirasi yang hadir dalam proses kreatif dari tiap personil?
R: Sebenarnya karena kita mencoba mendedikasikan satu periode itu sebulan untuk bener-bener bikin album, gak ada kerjaan yang lain. Ini sesuatu yang lumayan baru buat kebanyakan dari kita, bahkan semuanya mungkin ya. Karena biasanya kita bikin albumnya itu di periode yang lama, jadi kayak misalkan seminggu songwriting, terus habis itu baru bulan depannya pre-produksi gitu. Cuma di album “Selamat Datang di Ujung Dunia” ini, kita mencoba ada dedicated period gitu. Dan, awalnya gue juga penasaran sih kayak, “gimana ya kita bisa gak kelarin dalam sebulan?” Ternyata alhamdulillah lancar, hasilnya pun sesuai ekspektasi kita lah.
Enrico Octaviano (E): Sebenarnya kalau itu sih, mungkin gue pribadi bisa bilang bukannya gak bisa, cuman kalau kita punya waktu pasti kita pakai, dan kalau gak punya waktu ya kita gunakan yang ada aja. Semaksimal mungkin. Misalkan kita punya 24 jam, ya kita pakai 24 jam, bukan kita pakai 11 jam terus sisanya kita tidur. Tapi, dengan waktu yang segitu, yang maksimal kita bisa bikin ya segitu. Bukannya kita bilang bukan jadi hambatan, tapi jadi sesuatu yang kita hadapi saja.
Album ini layaknya sebuah ode untuk Jakarta, selain merupakan tempat tinggal, apa makna Jakarta untuk masing-masing dari kalian?
T: Makna Jakarta bagi saya adalah tantangan. Karena apa ya, terlepas dari keseruan kota ini namun dilihat dari berbagai aspek kayak dalam hal karir, pendidikan, dalam hal apapun itu kayaknya kota ini memiliki caranya tersendiri untuk memberikan tantangan ke kita. Tapi satu sisi jadi tempat pembelajaran yang seru sih, karena bisa bertemu banyak orang yang beragam ya khususnya. Karena ini kota isinya gak hanya orang asli Jakarta, namun dari berbagai macam warga yang berpindah ke Jakarta dan mengemban nasib disini.
Jakarta memang berat, tapi ya kita jadi dituntut untuk bisa jadi lebih hebat dari yang Jakarta tawarkan.
N: Kalau gue menyebut Jakarta itu kota metropolitan. Karena semua terpusat di Jakarta. Jadi kalian bisa menikmati akses yang serba ada di Jakarta, tapi dalam waktu bersamaan dia menjadi pusat segalanya juga, baik hal buruk karena semuanya berjalan dan berubah dengan sangat cepat. Kita tertuntut buat bisa keep up dan bertahan dalamnya. Tapi itu bukan selamanya hal buruk juga, itu bisa jadi hal baik juga. Karena kalau ditanya apa yang menarik dari Jakarta buat gue, diluar semua tuntutan tadi dan betapa cepatnya semua berjalan di Jakarta dan bahwa semua terpusat di Jakarta, Jakarta tuh juga merupakan tempat gue lahir, tempat gue tinggal. Jadi, dengan segala perubahannya tuh dia mampu membuat gue jadi orang yang kuat, bisa bertahan, bisa beradaptasi. Jadi, Jakarta memang berat, tapi ya kita jadi dituntut untuk bisa jadi lebih hebat dari yang Jakarta tawarkan.
Apa maksud dari “Ujung dunia” dan relevansinya dengan Jakarta?
Hindia (H): Kita sih merasa Jakarta tuh kalau lu tinggal disini, di saat yang bersamaan lu deket banget sama banyak banget hal tapi jauh banget juga sama banyak banget hal. Kita salah satu kota dengan mungkin kepadatan penduduk paling tinggi misalnya, salah satu metropolitan-megapolitan paling sering ke mention juga bahkan ya di media dan pop culture. Cuman, kalau bandingin semua megapolitan lain dan sama metropolitan lain, itu standar hidupnya tuh jauh sebenarnya. Walaupun di saat yang bersamaan lu bisa nemu hal yang cuman di kota-kota besar disini doang gitu. Dan kayak kata Udu tadi, semuanya tuh lu temuin disini juga ada, dari hal buruk sampe hal baik. Cuman, rasanya tuh kayak kalimat itu tuh keluar karena awalnya pas lagi brainstorming album, kami semua sama-sama ngerasa kayak tinggal di Jakarta tuh kayak ada sense of being isolated-nya gitu untuk lu tinggal di kota ini. Itu tuh kayak penjara sebenarnya, gak ada orang ke Jakarta karena ada keinginannya yang spesifik untuk leisure gitu, pasti most of the time untuk kerja, untuk karena kebutuhan keluargalah biasanya. Gak ada yang bener-bener emang secara conscious milih mau ada di Jakarta gitu seperti kayak ada orang yang mau pindah ke Jogja, Bali, atau ke Bandung. Dan, ya rasanya jadi kayak penjara aja sih menurut kita. Dan orang kesini tuh, kalau udah masuk ke Jakarta susah keluarnya. Kebetulan penjaranya mewah aja, ada mall-nya, ada panggungnya segala macem. Ya rasanya kayak ujung dunia gitu loh dikucilin disini, jauh banget dari semuanya.
Wisnu Ikhsantama (W): Kalau Baskara bilang itu lebih ke penjara, kalau gue mungkin anggapnya kayak kodok kalau di air panas itu kan dia nyaman, dia stay di dalem. Sampai suatu ketika kalau airnya kelamaan, dia gak sadar dia tuh udah mati disitu. Eksperimen itu adalah hal yang sama kayak yang gue takutin di Jakarta, apakah selama itu kita bisa bertahan atau gak. Apakah kita keluar di saat yang tepat atau ternyata itu malah membunuh kita.
Melihat dari lagu-lagu di album “Selamat Datang di Ujung Dunia”, terlihat seperti adanya alur cerita yang ingin dibawakan. Apakah betul itu yang ingin dimaksudkan dari album ini?
W: Kayaknya lebih tepatnya kita berusaha menceritakan apa sudut pandang kita aja sih. Bukan pengen ceritanya kayak gimana-gimana.
H: Itu sebenarnya proses pilihan karirnya Udu, jadi dia mau cabut dari sini gitu. Kita bentuk jadi lagu aja. Kayaknya dia mulai getir tinggal di Jakarta.
N: Hahaha… gak itu sepihak ya. Gue sih ngerasa kalau kita sengaja pengen bikin ini sebuah cerita atau gak, menurut kami adalah jernih apa yang kita bawa. Tapi secara orang lain dengerin, kalau lo pengen jernihnya diubah urutannya, itu terserah mereka. Yang pasti kita berusaha mengcapture-lah semua yang kita rasakan di Jakarta ini dalam satu album.
Sebagai anak muda, apa tantangan untuk hidup di Jakarta?
W: Berburu kesempatan mungkin ya? Misalnya kayak, apakah karir kita make it or not. Terus kayak hal simpel deh, pas macet kita nyari kesempatan buat nyalip kendaraan lain. Itu udah by default kita tinggal disini pasti sering nyalip-nyalip orang. Makanya jadi sampai kadang juga dampaknya buruk, kayak lu lagi ngantri di indomaret di sela, gitu. Kalau ada kesempatan berbuat jahat ada yang berbuat jahat, dan jika ada kesempatan untuk berbuat baik kita juga akan berbuat baik.
T: Gue gak tahu ini mengeneralisir anak muda atau gimana, gue menganggap dari sudut pandang gue aja ya. Di lagu “Polusi Cahaya” itu somehow kayak jadi tantangan anak muda untuk… apa ya… somehow tuh dia jadi membanding-bandingkan nasib yang lagi dia kerjain dengan teman-temannya yang sudah mendapatkan kesuksesan atau kekayaan dan segala macam. Jadi, gue gak tahu ini dirasakan gue aja atau mungkin ada orang-orang yang merasakan kayak kadang ada rasa gitu juga sih, “woah gila ya temen-temen gue pada sukses, kapan ya gue bisa kayak mereka.” Sedangkan, kadang kita lupa ya kita manusia aja ada garis tangan, pasti kita punya ceritanya masing-masing sendiri. Mungkin lagu itu somehow bisa jadi lagu keluhan tapi lagu yang bisa jadi reminder buat kita untuk, “gue bukan kalian, kalian bukan gue.”
E: Hidup di Jakarta gak usah kebanyakan basa-basi. Kelamaan basa-basi udah keburu mati. Kalo gue pribadi udah ya “A” tuh ya “A”, udah gak usah pakai “A” tuh bisa dijabarin jadi “A-Z”. Satu ditambah satu kalau lu bilang tiga yaudah tiga, kalau gak suka ya udah gak peduli. Gak usah peduliin orang lain intinya sih. Udah kalau lu salah ya salah, tapi terima aja tapi lu yang salah, bukan orang lain yang salah. Intinya straightforward aja udah gak usah basa-basi kalau hidup di Jakarta tuh. Kalau mau basa-basi ya gak apa apa, tapi kalau gue pribadi sih cara ngadepin di Jakarta yaudah lu gak usah basa-basi.
Jadi apakah ada relevansinya dengan lagu “Cameo”, tentang seorang individu di Jakarta yang harus siap ditekan untuk harus kenal banyak orang dan di cibirin dari belakang?
W: Kayaknya di manapun deh. Ya lu pasti diomongin dari belakang, ya lu juga ngomongin orang dari belakang. Kayaknya dimanapun sih. Cuman kalo di “Cameo” ini lebih ke ngomongin seseorang bisa jadi di suatu tempat itu orang itu juga tau gitu dia lagi diomongin, atau ada temannya yang lagi disitu tiba2 jadi buah bibir yang semakin menyebar dan makin menyebar.
N: Tapi ironisnya adalah di beberapa pergaulan itu saat lo berusaha untuk masuk dan dekatkan diri kan kita di Jakarta it’s all about connection nih ya, kayak, “wah gue harus deket sama ini biar gue sukses nih.” Tapi di beberapa pergaulan bisa terjadi loh, lo tuh untuk bisa deket sama orang lo harus punya cerita tentang orang lain, yang ada relasinya sama dia. Ngerti gak sih ironisnya, kayak kemanapun pergi tuh kita tak akan pernah lepas dari orang ketiga di hidup kita ini yang mungkin gak terlalu deket sama kita tapi ngomongin kita, atau mungkin even kita tersendiri pun terkadang kalau lagi ngumpul bisa kayak, “ada omongan tentang ini nih.” Jadi, itu gak akan pernah bisa lepas lah orang ketiga ini dari hidup kita di Jakarta.
Berarti untuk kalian sebagai publik figur, seberapa pentingkah privasi di kehidupan dunia kalian dengan berbagai tantangan hidup di Jakarta?
H: Menurut gue sangat penting ya. Dan itu harga yang sangat mahal yang harus lu bayar kalau lu terkenal. Dan mendulang kesuksesan finansial melalui social capital lu karena terkenal. Cuma kayak in a way gue bisa bilang kalau orang tuh harus ngerasain dulu privasinya hilang, buat tau kalau diomongin itu gak enak dan buat tau kalau apa yang lu lakuin ke publik figur itu sebenarnya selama ini jahat. Karena, gak banyak yang udah pernah punya kesempatan untuk merasakan itu. Dan, gak heran sih karena gak ada yang ngerasain, dianggap sebagai hal yang remeh gitu kan. Buat gue itu hal yang sangat penting sih.
Apakah Jakarta memiliki andil dalam membentuk sifat atau karakter kalian? Dan bagaimana pengaruhnya pada karakter musik kalian?
T: Kebetulan kalau saya sama-sama saja sih. Cuman mungkin sudut pandangnya gini sih, karena Jakarta sebagai isinya orang-orang beragam, somehow mungkin di album ini pun juga mencerminkan genre yang juga gak meragam. Di mana ini suatu hal yang baru bagi gue untuk memproduseri misalnya “Apa Ada Asmara” itu kan sebenarnya disko ya, itu kan sebenarnya bukan ranah gue kan, cuman wah jadi seru juga di Lomba Sihir bisa belajar genre baru.
W: Jelas sih, karena kalau buat gue dampak paling berasanya adalah, misalnya kayak kalau gue gak di Jakarta mungkin gak ketemu Rayhan, mungkin gue gak kenal Udu, Enrico, Tristan, sama Baskara. Jadi, mungkin gue gak bisa bikin musik kayak gini juga.
Dulu Jakarta ada mitos tentang Jakarta bagi musisi, bahwa kalau mau sukses, harus ke Jakarta. Apakah menurut kalian pernyataan ini masih relevan?
W: Mungkin sebenarnya gue menjawabnya sama kayak topik awal, gue bahas koneksi dan kesempatan. Karena di kota ini ada banyak koneksi dan kesempatan juga.
Karena di kota ini ada banyak koneksi dan kesempatan juga.
N: Kalo menurut gue sih sebenarnya, sejauh gue memandang ya ini masih hal relevan ya. Karena beberapa musisi takut membesarkan namanya dia dulu di kotanya dia, padahal mungkin lo dapat green light lebih mudah gitu kemanapun, cuman beberapa orang mindset-nya adalah, “gue gak bisa gede di kota gue, harus gede di Jakarta supaya gue besar di Indonesia,” yang sebenarnya masih relevan lah ya. Makanya kan at the end of the day, apa yang harus kita bangun adalah, gimana supaya orang-orang di industri musik di Jakarta ini bisa meng-embrace lah gimana caranya supaya gue bisa membesarkan musisi-musisi di luar Jakarta sana yang ingin besar, tanpa dia harus ke Jakarta. At the end kan misinya jadi seperti itu. Mungkin seiring berjalannya waktu, orang-orang yang ada di luar kota gak perlu lah punya pikiran harus besar di Jakarta, mungkin dia bisa punya pikiran harus gede banget di kotanya dulu lah. Dan orang-orang bisa nerima.
R: Tapi walaupun seperti itu, ada beberapa yang emang mem-bypass realita lu harus ke jakarta, kayak di Jogja ada Senyawa, ada Gabber Modus Operandi juga. Itu menurut gue jadi case yang real gitu, bahwa lu gak harus ke jakarta. Bahkan lu bisa mem-bypass negara ini gitu sampai lu gede di luar dulu. Dan gue sangat yakin beberapa tahun kedepan, itu akan semakin masif. Jakarta itu bukan tolak ukur kali ya?
N: Bener-bener, karena menurut gue misalnya nih ada band Surabaya gitu. Surabaya misalnya kentel banget nih lagu dangdut genrenya, dia akan mulai dari sisi otentik dangdutnya akan dia bawa dari kota Surabaya ini. Tapi kalau saat dia punya mindset, “gue harus gede di Jakarta,” pasti dia akan mengubah gitu loh. Pasti mereka gak akan se-otentik itu lagi ngebawa genre-nya. Padahal sebenarnya bagi kita seksi banget lo bisa ngebawa yang otentik banget dari kota lo.
E: Menurut gue, sebagai musisi ngaruh banget. Sesimpel bikin lagu di studio rumah lu sama lu bikin lagu di rumahnya Tristan, itu outcome-nya akan berbeda. Yang nge-trigger kreatifitas sama apa yang kita lihat dan rasain pasti outcome-nya akan beda. Tapi itu bukan menjadi alasan sih, cuman outcome-nya aja yang beda. Baskara bikin “Secukupnya” gak lagi di Amerika atau lagi gak di atas Gunung Everest. Atau misalkan Rayhan bikin “House of Cards” gak lagi di dalam rumah kartu. Tapi itu yang men-trigger dia di tempat itu. Mungkin kalau Udu bikin “Days of You” itu bukannya dia lagi jalan-jalan honeymoon sama Awan. Tapi maksudnya dia hasilin di tempat yang sekarang dia ada. Pasti sangat pengaruh banget bagi musisi apa yang kita lihat, apa yang kita rasain, indera dan semua rasain ngaruh ke outcome yang kita hasilin. Tapi itu bukan alasan, kalau kayak, “tempat gue gak enak nih, gak bisa bikin musik,” itu baru alasan menurut gue.
Kalian melihat apakah ada ciri khas dari musik yang datang dari Jakarta di generasi sekarang ini?
R: Menurut gue sih, udah mulai lebih blur ya karakternya. Gak cuma di Jakarta tapi juga di belahan dunia manapun gitu. Ini karena musik sudah banyak dipengaruhi oleh dunia yang semakin cepat pace-nya. Semakin kesini, semakin bisa mashup berbagai macam elemen dengan seamless gitu. Kalau zaman dulu mungkin kan kita semua mendengarkan, “eh kok lagu ini tiba-tiba ada reggae nya gitu di tengah-tengah,” tapi sekarang karena referensi dan teknologi sudah semakin accessible, ya jadi semakin bisa mengambil elemen dari berbagai macam musik. Musik jadi lebih mudah dan lebih “gak norak”. Jadi menurut gue, sebenarnya karakternya hampir gak ada sih. Salah satunya ya tergambarkan dengan album Lomba Sihir. Ya, karena kita gak ada satu label khusus gitu kayak, “oh, ini tuh pop Jakarta.” Lu 1 detik ini, bisa dengerin musik khas SoundCloud. Besoknya, lu bisa dengerin black metal. Besoknya lagi, lu dengerin lagu-lagu kayak Dua Lipa. Itu tuh udah sangat normal dan sangat wajar gitu sekarang di Indonesia, di Jakarta, dan di belahan dunia manapun.
H: Jujur gue gak tahu sih, apa sebenarnya ciri khas musik Jakarta. Cuman, anehnya, gue bisa bedain musik yang lahir di Bekasi sama lahir di Bintaro. Mungkin kayak tadi ya, ada sesuatu yang lu dengar dan lu bisa rasain dari orang-orang yang bikin musik dan kebetulan mereka berkumpul di tempat tertentu. Ada sesuatu yang bisa tarik, semacam benang merahnya lah, dari lingkungan-lingkungan tersebut. Contoh juga nih, R&B atau Jazz yang nongkrong di daerah Cipete, Lebak Bulus, Cilandak. Itu kadang-kadang bisa kebaca. Gue gak pernah bisa jelasinnya. Gue juga tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Gue cuma bisa ngerasain dan mengakui kalau itu sulit untuk di-identify gitu.
W: Kalo gue boleh nambahin. Menurut gue, karena disini tuh beragam ya background orang-orangnya. Ada suku dari macam-macam, tingkat pendidikan juga yang macam-macam, ekonomi yang macam-macam, dan pun kesenjangan juga sangat besar disini, jadinya identitas musik disini tuh beragam banget. Mungkin ada yang suka musik khas Nella Kharisma, ada yang suka DJ-DJ Tik Tok gitu, ya ada semua disini ada. Tinggal gimana musisinya itu ya nge-blend satu sama lain untuk jadi sebuah komposisi.
Bagaimana kalian melihat bahwa budaya Jakarta itu jadi acuan di banyak daerah, seperti penggunaan “lo, gue” di tongkrongan/cafe bila ingin dibilang gak kampungan, bagaimana kalian melihat ini?
E: Menurut gue, kalau salah ya bisa dibenerin sama yang lain, hal itu terjadi karena kesenjangan yang memang jauh banget. Bisa dibilang, mungkin tahun-tahun yang dulu-dulu, sosial media dan segala-gala teknologinya tuh masuknya di Jakarta dulu. Jadinya yang terlihat “keren” itu cuman yang terlihat di mata yang paling banyak dilihat doang. Padahal sebenernya keren tuh dari diri lu sendiri. Kalau lu bilang diri lu keren ya udah, lu keren. Tapi itu gak bisa dibilang sama semua orang. Kenapa? Karena yang kita lihat di mata kita atau di sosial media tuh yang paling banyak orang lihat aja. Misal, orang Amerika dibilang keren banget. Ya, karena mereka paling kita lihat mulu gitu. Diam-diam akhirnya mereka jadi acuan. Padahal kalau kita lihat budaya kita keren lho, tapi mungkin mereka kurang sorotan aja. Ya, kembali lagi menurut gue akarnya adalah karena kesenjangan itu. Ya, semua-semuanya diawali di Jakarta sih, jadinya kesannya Jakarta tuh yang paling keren padahal sebenarnya belum tentu kayak gitu kalau kesenjangan kita teratasi.
R: Sebenarnya akarnya udah dari lama banget sih. Contoh gampangnya, TV. Mungkin 90% dari semua yang ada di TV itu ya cuma menggambarkan kehidupan di Jakarta aja gitu. Jadinya ketika lu ngeliat kesenjangan yang jauh antara daerah lu dengan Jakarta, wajar saja hal gitu jadi acuan. Tapi makin kesini gue melihat makin banyak orang yang sadar bahwa setiap daerah ya punya otonomi budaya dan kultur masing-masing. Jadinya, semakin kesini ya semoga aja besok-besok gak semakin ter-sentralisasi lagi ya. Dalam hal apapun itu.
T: Gue jadi inget sesuatu. Waktu gue lagi ke luar kota (kalau gak salah di Tulunggagung), gue pernah diingatkan untuk jangan pakai “gue-lo” karena itu gak terdengar sopan. Jadi, gue gak merasa model komunikasi itu menjadi keharusan lagi. Keren-gak keren, kembali lagi ke gimana kita bisa berkomunikasi dengan tepat di ruang lingkup tertentu. Jadi harusnya itu bukan jadi patokan sih. If you’re looking to enjoy the pulse-pounding excitement of blackjack without leaving your home, explore this handpicked collection of the best online blackjack casinos in Canada , crafted to deliver an unmatched gaming experience for all aficionados.
Di luar lagu kalian, lagu apa saja yang paling menggambarkan Jakarta menurut kalian?
B: “Jakarta Jakarta” nya Kunto Aji. Bagus tuh. Apalagi ya kayaknya jarang deh lagu yang ditulis spesifik untuk menggambarkan Jakarta. Itu adalah salah satu alasan kita bikin album ini kan, membuat lagu-lagu yang secara spesifik bahas Jakarta secara umum. Bahkan menyentuh titik-titik geografis tertentu, contohnya Matraman, Tangerang Selatan, Jakarta Selatan, itu ada gitu. Tapi, yang cukup berkesan buat gue tanpa berbicara banyak ya, Jakarta Jakarta nya Kunto sih. Sebuah lagu yang ditulis oleh seorang pendatang dari luar Jakarta yang sudah sukses di Jakarta.
T: Lagu mama saya hehe. Ada album “Lief Java”, coba dengerin deh. Album ini somehow merefleksikan nuansa kota Batavia tempo lawas. Jadi bagi yang belum pernah merasakan gimana kira-kira Jakarta zaman dulu, bisa mencicipi nostalgia di album ini. Promosi ya hehe, tapi serius bagus.
Jika ada yang bisa kalian wujudkan, apa yang ingin kalian ubah dari Kota Jakarta?
T: Tatanan kota. Di mana, kita butuh ruang hijau yang lebih banyak. Seperti New York.
E: New York cuma ada Central Park, sisanya gedung.
T: Ya, nambah lagi lah. Biar lebih banyak taman-taman kayak gitu.
E: Kalo gue, sistem pendidikan sih. Itu yang bikin orang-orang ngelawan arah, tapi gue gak boleh tabrak secara bebas. Kalo pendidikannya benar, ya kalo gak bakal ada masalah soalnya mereka langsung tahu, “oh iya ini salah”. Jadi orang gak ngelawan arah lagi.
N: Gue malah maunya semua gak terpusat di Jakarta. Ada baiknya kalau Ibu Kota pindah dan gak di Jakarta lagi. Mungkin gedung-gedung gak jadi terlalu ramai juga. Walaupun itu mungkin bakal ngerugiin gue, tapi memang bijaknya baiknya banyak orang yang yuk pindah yuk. Jangan di Jakarta semuanya.
W: Kalo dari gue, mungkin perbanyak angkutan ramah lingkungan sama kurangi kendaraan sih. Soalnya, buat gue gak masalah ramai dan padat, asalkan gak semuanya punya kendaraan sendiri-sendiri. Kita juga mungkin banyak yang gak mau bawa kendaraan sendiri-sendiri tapi belum nemuin angkutan umum yang bener-bener bagus dan nyaman. Terawat gitu lah.
R: Gue kayaknya, sanitasi lingkungan ya. Itu merupakan dampak langsung dari tata kota Jakarta yang buruk ya. Gue pernah baca untuk ukuran sebuah kota metropolitan (dan salah satu yang paling sibuk di dunia), Jakarta tuh tergolong sangat buruk kebersihannya. Mungkin buat kita yang tinggal di lingkungan yang bagus, hal itu gak terlihat. Tapi bagi yang tinggal di bantaran sungai atau pemukiman yang cukup padat, sanitasi tuh masih tergolong buruk. Gue cukup percaya, kalau masalah itu terselesaikan, masalah lain juga ikut terselesaikan. Kenapa? Karena kita sehat.
H: Gue mau ngilangin semua lapangan golf di Jakarta. Mereka makan tempat ya. Yang main cuma berapa orang. Gede banget. Bisa dipakai untuk hunian murah. Gak ada tuh alasan, “tapi kan di Senayan, tetap mahal huniannya”. Ya gak lah, itu mah mahal gara-gara ada lapangan golfnya. Kalo gak ada? Bisa kok affordable, bisa jadi taman, bisa jadi public space yang gak melulu harus dikomersialisasikan. Mereka yang main golf kan orang-orang kaya, bisa lah mereka pergi ke kota-kota lain untuk main. Gak perlu memakan tempat di kota padat penduduk. Kasih lah space untuk hal-hal yang lebih dibutuhin. Semua jawaban anak-anak di atas bisa lah dipenuhi dengan hilangnya satu lapangan golf. Menurut gue, golf itu jangan dinormalisasi. Lihat para pemain golf, walaupun mereka temen lu, mereka secara gamblang memperlihatkan kesenjangan sosial untuk dipertontonkan ke orang-orang setiap hari.