Memahami Muasal dan Kenapa Wisisi Adalah Masa Depan
Kami berbincang dengan Asep Nayak, seorang musisi/komposer asal Wamena, Papua, yang energinya tak pernah redup untuk memproduksi musik wisisi yang menjadi hiburan bagi orang-orang.
Words by Whiteboard Journal
Teks: MM Ridho
Foto: Andree Atmana
Berbekal aplikasi Fruity Loop Studio yang didapat dari musisi lokal yang ia segani, Asep Nayak menghabiskan hampir satu dekade untuk bergulat memproduksi dan mendefinisikan kembali wisisi, musik yang kelak akan membawanya berkeliling dunia. Di mulai di Wamena di waktu senggang hingga lupa dengan berbagai hal, musik yang awalnya ia buat untuk menghibur orang-orang di kampung halamannya itu akan menjadi pengiring dansa bagi pegiat rave di CTM Festival, Berlin, pada Mei 2022 mendatang
Kami berbincang dengan Asep Nayak soal produktivitasnya yang begitu menakjubkan dan bagaimana sikap tak kenal lelahnya memproduksi wisisi akan mendefinisikan musik elektronik di masa depan.
Bagaimana awalnya seorang Asep Nayak memutuskan untuk menjadi seorang komposer?
Sejak SMP, kira-kira di tahun 2013, Asep mengenal musik wisisi dan bisa bermain gitar dan pikon. Namun, saat itu memang belum tahu cara membuat lagu dari alat-alat tersebut. Awalnya memang penasaran kalau orang buat musik dangdut, reggae, itu prosesnya menggunakan keyboard atau piano. Asep kan bingung, jadi mulai bertanya-tanya ke kakak-kakaknya, katanya itu bisa menggunakan banyak aplikasi juga, salah satunya Fruity Loop Studio. Lalu, Asep minta instalkan aplikasi tersebut di laptop Asep. Akhirnnya ada salah satu kakak yang menginstalkan. Setelah itu Asep fokus belajar dan mengoperasikan aplikasi itu.
Semenjak itu, Asep membuat musik wisisi ini hanya untuk eksplorasi [diri], tidak di-upload ke media, karena Asep belum paham dengan media seperti Youtube. Tapi, Asep share ke teman-teman seperti kakak, adik, dalam pesta-pesta seperti ulang tahun, pernikahan, hingga wisuda. Mereka mendengarkan musik wisisi ini dan sampai joget bersama. Mereka [terlihat] senang sekali dan mau joget sampe capek.
Berarti, karena dukungan keluarga dan kerabat dekat?
Terus terang awalnya sih mereka sih tidak senang dengan karya Asep. “Ini musik apa? Tidak masuk. Hiburan kita juga tidak ada. Kita senang hanya musik-musik dangdut, hiphop, reggae. Apa ini Asep punya musik? Ini musik tidak baik, mereka hanya bilang begitu.” Namun Asep tidak memandang apa yang mereka bicarakan, Asep masih mempertahankan. Akhirnya, lama kelamaan beberapa teman-teman juga masyarakat setempat suka dengan musik baru Asep.
Bagaimana awal ceritanya bisa di terima sama teman-teman, boleh diceritakan?
Oh iya, awalnya sih Asep memang kadang lupa belajar, fokus ke musik, sehingga teman-teman dulu sempat bilang “Asep, kau punya karya, lagu lagu baru ini kita tidak senang. Pokoknya kau jangan fokus dengan buat musik terus,” mereka bilang begitu. Tapi Asep tetap fokus saja. Dua sampai tiga tahun kemudian Asep tidak tahu, mungkin mereka senang dengan lagunya atau lupa. [Pokoknya] saat kegiatan pesta itu mereka mulai putar [lagu Asep], dan masyarakat juga senang dengan lagu itu. Akhirnya sekarang di mana ada kegiatan pesta, pasti akan putar musiknya Asep. Visit https://plinko-australia.com
Siapa yang berjasa mengenalkan Asep pada Fruity Loop Studio?
Sejak pertama kali musik wisisi di kota Wamena itu memang [dimainkan] kakak Nikolas. Asep melihat musiknya Nikolas itu bagus sekali, dan masyarakat senang sekali dengan musiknya. Akhirnya mulai Asep Tertarik dengan itu, mulai berkarya lagi, ikut itu. Dia menginstalkan aplikasi Fruity Loop tapi untuk menu-menu atau plug-in yang ada di dalamnya Asep yang belajar sendiri, tidak ada yang diajarkan.
Bahkan tidak melalui tutorial-tutorial di internet?
Tahun 2013 itu Asep belum punya handphone. Mungkin tahun 2018, waktu SMA kelas 3 Asep mulai pegang hape dan baru belajar-belajar tutorial di Youtube. Belajar tutorialnya mulai dari tahun 2019-2020 kemungkinan.
Berapa lama waktu yang Asep habiskan untuk mengerjakan satu lagu?
Bisa 1-2 jam. Tapi kalo ngerasa musiknya ingin bagus, kadang sampai 4-5 jam. Bisa juga sampai pagi lagi tidak tidur buat musik. Terus disuruh makan, kadang tidak makan. Sampai lupa makan, lupa tidur saking asiknya bikin musik.
Belum banyak yang kita ketahui atau membahas wisisi secara mendalam, kecuali salah satu tulisan di Suara Papua. Sebenarnya arti wisisi ini apa sih menurut Asep?
Wisisi ini tidak ada arti apa, sejarah apa itu tidak [jelas]. Nama wisisi ini diambil dari saat kita joget-joget. Nggak tau ya bagaimana, wisisi ini untuk hiburan saja musiknya. Sebenarnya tidak ada artinya untuk hiburan saja. Tapi saat orang-orang joget, dari mulut mereka itu mereka sebut-sebut “sshh”, begitulah. Kayak mau usir-usir anjing begitu, dari situ kita menamai dia musik wisisi.
Jadi, itu sebenarnya adalah lontaran kalimat yang keluar dari mulut?
Biasa kita mungkin bilang “sssh” kayak gitu kan. Teman-teman di sini biasa sebut itu, seperti bunyi-bunyian hi-hat.
Bagaimana caranya kamu mendapatkan sampel untuk membuat musik wisisi?
Kalau awal-awal mulai dari tahun 2013, Asep ambilnya yang sudah ada bawaan dalam Fruity Loop. Nah, lalu setelah itu Asep mulai mencari tahu tutorial untuk sample FL itu. Sekarang lihat di Youtube, ada beberapa Youtuber yang simpan link samplenya di deskripsi. Jadi kadang download dari situ, instal ke Fruity Loop Asep, lalu mulai buat lagi.
Meski begitu produktif dan rajin, kenapa sih kamu nggak memberi judul pada lagu-lagu yang unggah?
Dalam musik itu (wisisi) kan tidak menjelaskan lagu ini tentang kematian, kemarahan, atau galau. Itu untuk hiburan saja. Beda dengan hip hop atau reggae yang punya lirik untuk menjelaskan perasaan apa yang mereka alami. Kalo wisisi kan hanya musik dan gak ada vokalnya.
Yang sedang berkarya dan memproduksi musik wisisi memang disini banyak sekali.
Bagaimana jika seandainya karya-karya kamu dikompilasikan dalam sebuah album, apa kamu akan memberinya nama?
Tetap saja lah. Nanti mungkin kaya di album akan jadi track 1, track 2, track 3.
Bagaimana perkembangan komunitas atau skena musik di Papua?
Kalau dulu komunitas musik seperti ini di Papua tidak ada. Cuman ada salah satu kakak yang tadi saya sebut (Nikolas Wiligma), suka share musiknya ke teman-teman dan memutar musiknya. Dan seperti Asep, banyak yang tertarik dan akhirnya belajar. Ke sini-sini sekarang memang banyak sekali, tapi bentuk komunitasnya belum ada. Yang sedang berkarya dan memproduksi musik wisisi memang disini banyak sekali.
Biasanya cara seperti apa yang kamu lakukan untuk berjejaring dengan teman-teman yang juga memproduksi musik di Papua?
Awalnya kan memang kita tidak saling kenal. Jadi, kalau ada orang yang Asep belum kenal dan membuat musik wisisi juga. Asep coba dengar nih di musiknya, biasanya kan di intro itu mereka menyebut identitasnya, seperti Asep punya “Asep Nayak production!” kayak gitu. Setelahnya, Asep mulai cari tahu, follow temannya, beberapa rekan kampung di sana dan tanya beberapa teman-teman yang kenal dengan dia. Dan kalau sudah begitu, barulah kita buat musik wisisi sama-sama hingga berkolaborasi.
Apakah ada rekomendasi untuk orang-orang yang ingin mengetahui musik wisisi secara lebih dalam?
Selain kakak Nikolas Wiligima tadi, ada juga Coven Wisisi.
Apakah ketegangan situasi yang belakangan ini berlangsung di Papua mempengaruhi proses berkaryamu? Kalau iya, bagaimana ini mempengaruhimu?
Kalau untuk itu tidak ada. Karena buat musik ini kan saat waktunya bersantai, tidak ada pekerjaan. Mungkin sore hari atau malam sambil duduk tenang, jadi tidak terganggu juga untuk [membuat] musik ya. Juga bisa kalau untuk siang hari waktu kosong. Kalau siang hari ada aktifitas, ya menjalankan aktifitas itu saja.
Apa pesta-pesta masih bisa tetap berjalan dengan kondisi ketegangan di sana?
Tergantung kegiatan festival apa. Misalnya ulang tahun, tentu mereka akan putar musik wisisi. Tapi itu tidak semua orang Papua juga, hanya orang tertentu saja. Mereka putar lagu mereka yang bertema.
Berarti biasanya di acara-acara tertentu ya? Nggak bisa di tempat terbuka?
Itu kan tidak harus dimainkan di pesta saja. Ada yang copy ke hape atau komputer. Dan mereka bisa putarkan melalui media player, mungkin di hape atau audio speaker.
Kalau di sana kan kebanyakan mereka punya komunitas, dan dalam komunitas mereka berbagi hal yang mereka lakukan, mereka berkarya disitu. Kita di sini memang tidak ada yang nyari.
Adakah pengalaman atau pelajaran menarik yang kamu alami dan menjadi seperti “pivotal moment” selama menjalani residensi di Yogyakarta?
Selama residensi itu asik, di sana ada berbagai studio yang Asep kunjungi. Ada beberapa orang seperti Mas Kaler, yang memasukkan lagu-lagu Asep di satu kaset.
Kalau di sana kan kebanyakan mereka punya komunitas, dan dalam komunitas mereka berbagi hal yang mereka lakukan, mereka berkarya disitu. Kita di sini memang tidak ada yang nyari. Asep tertarik sekali. Mungkin pulang dari Jawa tuh harus buat satu komunitas untuk buat musik sendiri, buat satu komunitas, tinggal di satu tempat lalu kita berkarya. Lalu kalau ada festival bisa ajak teman-teman, jalan sama-sama untuk presentasi atau tampil di sana gitu.
Bagaimana pendapatmu soal festival musik seperti Joyland?
Senang sekali diundang di sana, kan memang Asep kan belum pernah sama sekali diundang ke luar gitu. Ini baru baru pertama kali, aku senang sekali bisa diundang ke sana dan jadi lebih semangat lagi untuk berkarya. Dan senang sekali mau mengakomodasi teman-teman juga. Ajak teman teman semua yang bisa produ musik disini bukan artis saja. Asep tidak mau jalankan sendiri. Asep mau ajak temen temen yang lain lagi.
Apa rencana kamu dalam beberapa tahun ke depan?
Mungkin kita jalan sama-sama, mungkin kolaborasi, bikin komunitas untuk jalanin musik di Wamena. Tapi kalau rencana Asep untuk kedepan harus bikin bagaimana? Ini belum terpikir. Jadi sekarang Asep hanya akan membuat musik dan upload ke Youtube saja. Bagi siapa yang terpesona dengan musik wisisi, download lalu dengar sendiri atau gunakan dalam pesta, begitu saja. Ke depan mungkin seperti ini buat Asep, nanti baru didetailkan lagi.
Adakah musisi di luar Papua yang menjadi inspirasi kamu?
Enggak ada sama sekali. Asep suka hanya seni seruling Jepang atau Cina. Kalau musik rock atau hip hop, itu memang bagus. Cuman di berbagai tempat di seluruh Indonesia atau diseluruh dunia ini kan banyak diantaranya produser musik hip hop atau reggae. Jadi Asep mau beda dari mereka. Ingin beda dari mereka supaya musik wisisi ini orang lain juga bisa tahu.
Bagaimana pendapatmu soal orang-orang yang menganggap bahwa musik daerah itu kampungan?
Asep tidak merasa itu musik kampungan. Memang mereka berkarya, buat musik seperti itu, itu luar biasa karena ada prosesnya. Tantangan itu kan banyak. Ada yang tidak makan, tidak tidur, saking fokusnya untuk buat musik. Jadi kita harus hargai orang lain punya karya. Jadi kita harus menghargai dan saling support.