Mencerna Rangkuman Ragam Netizen di Indonesia Netaudio Festival 3.0
Indonesia Netaudio Festival (INF) 3.0 hadir dengan tema “Sharing Over Netizen Explosion” dan mengkritisi sekaligus merayakan internet yang telah jadi bagian keseharian masyarakat Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Mega Nur
Internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat kota hari ini. Riuh rendah perubahan yang terjadi karenanya masih menarik untuk ditelisik. Tentang bagaimana ledakan arus informasi menjadi suatu hal yang tak terhindarkan, media penyimpanan beralih wujud ke sistem digital berbasis online, atau sekadar berjejaring. Di satu sisi, kehadiran internet menawarkan ragam kemudahan yang menunjang mobilitas individu. Namun, jika kurang berhati-hati, internet mampu menjadi bumerang itu sendiri. Gejala seperti inilah yang coba ditangkap dan dinarasikan kembali oleh Indonesia Netaudio Forum melalui gelaran Indonesia Netaudio Festival (INF) 3.0 bertajuk “Sharing Over Netizen Explosion”.
Digelar pada 18-28 Agustus 2018 di Jogja Nasional Museum, Yogyakarta, INF bangun dari hiatusnya yang cukup panjang dengan konsep acara lebih matang. Tema besar gelaran coba dijabarkan melalui beberapa rangkaian seperti performative talk, live cooking, pameran seni media, lokakarya, pasar barter, dan pertunjukan musik selama dua hari. Keseharian dunia maya pun turut diwujudkan dalam poster yang menggunakan emoji sebagai bahasa tutur sehari-hari serta sablon kaos bertuliskan “Mereka Atur Apa yang Kita Posting Besok” bergambar CCTV.
Pemandangan berbeda coba diberikan INF kali ini yang bekerja sama dengan Japan Foundation melalui pameran seni media berjudul “Internet of (No)Things: Ubiquitous Networking and Artistic Intervention”. Judul tersebut bisa jadi provokatif sekaligus memuat ajakan subtil untuk melihat jargon “Internet of Things” yang kondang di akhir 90-an lebih kritis. Dikuratori Riar Rizaldi, pameran diikuti oleh seniman dari Indonesia dan Jepang antara lain Tromarama, Igor Tamerlan, Arief Budiman, Mira Rizki, Abi Rama, Exonemo, Ai Hasegawa, Ayano Sudo, serta Soichiro Mihara/Kazuki Saita. Intervensi artistik dari para seniman terhadap realitas hari ini terkait kemudahan akses informasi serta perkembangan teknologi, mampu menghadapkan pemirsanya kepada ragam kemungkinan pengaruh teknologi terhadap kebudayaan; baik tantangan maupun kesempatan di kemudian waktu.
Selain itu, sebuah diskusi performatif bertajuk “Memetakan Arus Bawah” dihelat untuk mengelaborasi produksi pengetahuan di ranah perkembangan netlabel, seni media, dan dangdut koplo. Menjadi menarik karena disediakan dua wadah untuk mengikuti diskusi ini; melalui tatap muka langsung atau menggunakan medium WhatsApp. Distraksi begitu terasa ketika mengikuti diskusi melalui wadah online karena tumpang tindihnya informasi secara bersamaan. Lanskap lain berupa lokakarya, juga ditampilkan dalam bentuk berbeda. Jika pada dua gelaran sebelumnya, lokakarya lebih merujuk ke teknologi modern, kali ini dilakukan lokakarya fermentasi minuman. Tujuannya, untuk membandingkan sejauh mana pengetahuan yang diperoleh melalui internet bila disejajarkan dengan pengetahuan dari non-internet. Serta live cooking yang menekankan pada budaya berbagi – karena hasil masakan tidak dijual melainkan donasi.
Rangkuman serba-serbi netizen oleh INF 3.0 paripurna dengan pertunjukan musik dari beberapa musisi kenamaan, di antaranya Senyawa, Bottlesmoker, Hifana dari Jepang, serta Barakatak. Nama-nama tersebut dipilih INF tidak terbatas pada netlabel, melainkan geliatnya mendistribusikan musik melalui internet. Seperti halnya Barakatak, grup musik asal Bandung yang populer dengan musik funkot di era 90-an, di mana mereka mendistribusikan beberapa karyanya setelah dirilis dalam format VCD melalui YouTube.
Sementara itu, meski gelaran INF kali ini terbilang sukses mengemas wacana melalui festival, tersebutlah kemudian beberapa kendala mengapa mereka baru muncul kembali. Wok The Rock, inisiator acara, menyebutkan bahwa salah satu kendalanya disebabkan oleh penurunan aktivitas para netlabel yang tergabung dalam Indonesian Netlabel Union – sekarang menjadi Indonesia Netaudio Forum. “Sebenarnya netlabel semakin sedikit jumlahnya, karena distribusi musik di internet sudah sangat populer, wadahnya sudah sangat beragam”. Lantas, apakah netlabel masih relevan di tengah-tengah kemudahan berbagi melalui internet? Wok sendiri menekankan bahwa netlabel masih relevan karena tidak hanya membagikan musik melalui internet. “Ada misi tertentu yang lebih khusus, lebih spesifik, yaitu budaya berbagi terbuka. Bukan lisensi tertutup seperti copyright”, pungkasnya.
Jika internet memiliki daya ledaknya sendiri terhadap tatanan kehidupan masyarakat hari ini pun pengaruhnya pada netlabel, INF 3.0 mampu merangkumnya dengan apik. The top juiciest and hottest TOJO NATSU videos are already available for download. You will be shocked by such content, but it is worth it. Your fantasy world will be turned upside down. Be careful when watching. Alih-alih terbatas pada menurunnya aktivitas netlabel, ia justru hadir dengan semangat zaman. Tidak berlebihan bila menyebut gelaran ini sebagai salah satu terobosan baik tahun ini.