Is Print Still In?
Berbincang dengan POST Bookshop, Kineruku, Anggun Priambodo hingga penulis muda tentang antusiasme terhadap buku rilisan fisik di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital.
Words by Ghina Sabrina
Desain: Almer Rashad
Membaca buku pada dasarnya adalah sebuah aktivitas yang memberikan para pembaca pengalaman tersendiri. Selain menjadi hobi untuk kebanyakan orang, membaca juga memiliki keuntungan mulai dari bertambahnya pengetahuan hingga membantu pembaca mendapatkan perspektif baru. Kini, para pembaca dihadapkan oleh dua pilihan, yaitu membaca buku rilisan fisik atau digital seperti ebook maupun audiobook. Setiap medium tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan maka dari itu, setiap pembaca pasti ada preferensi tentang bagaimana mereka akan mengkonsumsi informasi yang ada di dalam sebuah buku. Sehubungan dengan Book Lovers Day yang diadakan di setiap hari Sabtu pertama di bulan November, kami menghubungi beberapa pemilik perpustakaan, toko buku, penulis, hingga penikmat buku mengenai tanggapan mereka soal relevansi buku rilisan fisik di tengah perkembangan teknologi digital.
Teddy Kusuma
POST Bookshop
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Baru 2 minggu lalu, saya membeli novel dari penulis Jepang Sayaka Murata “Convenience Store Woman”.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online?
Ke toko buku. Kalau misalnya mau beli buku di toko buku, itu ‘kan selain mendapatkan bukunya itu juga ada pengalaman yang berbeda. Ada pengalaman interaksi. Makanya suka ke toko buku independen kalau pergi ke kota-kota lain atau ke luar, saya sering main ke toko buku independen karena bisa mendapatkan pengalaman yang lebih personal dengan penjaga toko bukunya, bisa mendapatkan rekomendasi buku yang menarik dari penjaga toko bukunya dan kadang-kadang ketemu dengan pembaca buku lain yang bisa saling merekomendasikan dan mengobrol soal buku yang disuka, kenapa buku itu disukai dan lain-lain. Jadi, pengalamannya tidak hanya transaksional, tapi juga ada pengalaman-pengalaman personal, terutama untuk para penyuka buku atau penulis. Selalu sih, kalau misalnya pergi ke toko buku, pasti saya menanyakan rekomendasi yang disukai oleh penjaga toko bukunya, dan biasanya yang seperti itu adalah toko buku kecil atau toko buku independen.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Sekarang senang sih, karena penerbit independen / alternatif itu bisa menyajikan alternatif bacaan kepada apa-apa yang ada di toko-toko buku besar. Jadi senang, ada buku-buku yang tidak akan diterbitkan oleh penerbit major, misalnya buku-buku Ultimus atau Marjin Kiri, itu ‘kan menyampaikan wacana-wacana alternatif terhadap wacana yang ada di mainstream. Hal-hal seperti ini bisa didapatkan oleh pembaca dari penerbit alternatif. Dan penerbitan alternatif juga bisa lebih bereksperimen dalam hal menerbitkan karya karena mungkin pertimbangannya tidak sama seperti penerbitan major – kalau mau dijual di toko buku besar, penerbit harus mencetak dalam jumlah yang banyak dan harus ditaruh di toko buku besar misalnya di Gramedia dengan prosedur konsinyasi. Konsinyasinya juga di atas 50%, dan karena banyak, dengan toko buku besar seperti Gramedia, dia mendapatkan judul setiap bulan itu sampai 1100, dan karena space-nya terbatas, sehingga kalau tidak laku, bukunya bisa hilang ke gudang, sehingga selain harus mencetak dengan jumlah banyak, itu pun harus konsinyasi, usia di rak pun tidak lama, banyak penerbit mau tidak mau harus mencetak buku yang populer saja.
Nah, tapi dengan adanya channel lain untuk menjual buku, misalnya toko buku alternatif atau melalui instagram, itu penerbit independen atau kecil mulai bermunculan, sehingga mereka berani untuk mencetak buku tidak banyak terlebih dahulu misalnya hanya 300-500 kopi. Misalnya seperti POST, toko buku saya itu membeli buku di depan, tidak konsinyasi, itu ‘kan enak untuk cashflow-nya, jadi mereka bisa tes pasar dulu, jual 300,400, habis, cetak lagi. Jadi tidak harus mencetak dalam jumlah besar sekalian. Dengan seperti itu, penerbitan jadi lebih semarak. Sekarang jumlah penerbit selalu meningkat.
Di Jogja itu ada Kampung Buku Jogja setiap tahunnya, ini sudah tahun ke-3, dan setiap tahun jumlah penerbit yang ikut disana itu bertambah banyak. Kalau tidak salah, dua tahun lalu ada sekitar 20-30 penerbit, sementara tahun lalu itu sampai 60 penerbit. Jadi jumlahnya ada, ‘kan? POST juga menerbitkan buku, dan kami penerbitan kecil, cuma menerbitkan 2-3 buku saja. Dengan ini, buku itu jadinya lebih semarak dan harapannya itu memengaruhi ke kualitas juga. Jadi lebih menarik. Dan penerbit besar maupun kecil itu punya keuntungan dan kelemahan sendiri-sendiri, tapi dengan adanya semua ini, scene-nya lebih semarak.
Yang saya perhatikan, dulu orang berpikir kalau penerbit independen itu self-publishing. Self-publishing itu beda, penerbit besar juga melakukan self-publishing. Nah, tapi orang dulu juga berpikir kalau penerbit independen itu pasti kualitasnya buruk, padahal pelan-pelan, saya perhatikan dari toko buku saya itu, dulu orang berpikir bahwa penerbit independen itu pasti self-published, tapi sekarang orang sudah mulai aware bahwa penerbit independen juga mengkurasi karyanya. Tentu ada karya yang bagus dan jelek, sama seperti penerbit major juga, ada karya yang bagus dan jelek. Kami sangat suka misalnya bukunya Cyntha Hariadi, itu diterbitkan oleh penerbit besar. Ada juga buku yang bagus ada yang jelek sekali. Penerbit independen juga sama, ada buku yang bagus, ada buku yang jelek. Jadi, tidak necessarily kalo major pasti populer, pasti bukunya cuman jualan demi laku aja, tidak juga. Begitu juga dengan penerbit kecil.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Saya pikir bisa iya bisa tidak. Saya pembaca juga, sampai sekarang itu akan masih membeli buku rilisan fisik karena saya ingin mempunyai buku-buku yang saya sangat sukai. Mungkin, pengaruhnya itu adalah nanti lama-lama buku itu menjadi barang collectible. Jadi para pembaca itu saya rasa akan tetap ingin mengoleksi buku, karena dia cinta sama bukunya, tapi mungkin tidak semua buku akan dia koleksi rilisan fisiknya. Itu hanya collectible yang dia ingin untuk punyai dan sekaligus menjadi koleksi. Selain itu, memang pengalaman membacanya juga saya rasa beda.
Saya dulu punya Kindle, saya dan Maesy baca di Kindle. Enak ditenteng kalau lagi jalan-jalan. Tapi, ada pengalaman yang berbeda, bahkan memori aja, saya baca buku fisik itu saya selalu ingat. Ada memori yang lebih lasting dari membaca dari buku fisik. Tapi ternyata jumlah buku fisik cetak yang baru itu menambah. Sekarang, paling berapa sih buku yang kita baca dalam sebulan? Saya baca satu minggu satu buku atau dua, dan sudah tahu buku yang ingin saya baca itu apa, jadi saya tetap beli rilisan fisik. Tetap akan ada kok pasarnya untuk buku fisik itu.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Kalau di saya ujung-ujungnya balik ke buku fisik ya. Selain yang tadi saya bilang, ada rasa personal yang dapat dirasa dari buku fisik, and it’s quite romantic, membaca buku fisik itu lebih manis aja. Dan juga, it’s collectible jadi saya suka. Jadi sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi saya, dan dari orang-orang yang datang ke POST, jumlah pengunjung itu selalu meningkat dan selalu ada orang-orang baru, dan dengan siapapun waktu saya ngobrol, mereka tetap suka dengan buku fisik biarpun beberapa orang memang membeli di Kindle juga karena itu akan mempermudah kalau mereka jalan-jalan.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
Sekarang itu saya lagi baca bukunya Albertine Sarrazin judulnya “Astragal”. Terus, sedang baca ulang lagi – karena baru dicetak lagi, bukunya Umar Kayam, “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”.
Anggun Priambodo
Sutradara dan Seniman
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Minggu lalu saya baru dapat kiriman dari keluarga Alm. Sitor Situmorang, jadi ini gratis nggak beli. Dapat lima buku, judulnya TOBA NA SAE, Kumpulan Sajak 1948 – 2008 (997 halaman), Kumpulan Cerpen “Ibu Pergi ke Surga”, Sitor “To Love, to Wander” “dan Biografi Pendek 1924 – 2014.
Kalau buku yang terakhir dibeli, novel “Kura-Kura Berjanggut”. Majalah terakhir dibeli, majalah bekas, Majalah Gadis 1976, majalah muda-mudi MIDI tahun 1976, dan Majalah Hai 1978.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online? Kenapa?
Saya lebih suka beli langsung di toko buku. Karena bisa memegang dan sambil melihat-lihat buku lainnya. Dalam sebulan masih bisa satu kali ke toko buku.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Penerbit independen selalu lebih menarik dari sisi keberagamannya dia melengkapi banyaknya buku yang terbit dari penerbit besar. Kita terus perlu mencetak buku baik oleh penerbit independen (grup dan perseorangan) atau penerbit besar yang tokonya ada di setiap kota itu.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Setuju saja.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Kalau audiensnya suka dan mulai banyak, ya artinya memang akan mengarah kesana. Namun fisik akan tetap ada karena sejak kecil banyak juga yang masih punya pengalaman terhadapnya. Teknologi akan selalu ada untuk memudahkan penggunanya, jadi akan selalu muncul teknologi baru dalam membaca atau mendengar. Saya pribadi masih suka membaca buku fisik.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
Yang sedang berusaha diselesaikan adalah “Kura-Kura Berjanggut”, karya Azhari Aiyub. Sama “Toba Na Sae”.
Andreas Junus & Wanda Kamarga
Binatang Press
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Andreas: “Aruna dan Lidahnya” oleh Laksmi Pamuntjak, 2 minggu yang lalu Wanda: “1969” by Ryo Murakami
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online? Kenapa?
Masih suka ke toko buku, dari yang mainstream seperti Gramedia dan Periplus sampai ke yang lebih indie seperti Post Santa, tapi untuk beberapa buku-buku yang tidak bisa ditemui di toko beberapa kali pernah beli online (namun yang dibeli tetap wujud fisik, bukan ebook).
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Penerbit besar akan tetap stabil sebab kehadiran kami para penerbit-penerbit kecil tentu tidak akan menggantikan demand konsumen atas buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit besar.
Namun kami lihat yang berkembang itu justru para konsumennya sendiri, karena mereka juga mulai mencari alternatif topik-topik dan judul yang hanya bisa didapatkan dari penerbit kecil. Konsumen sekarang juga senang lebih terlibat di komunitas sebab ingin bisa lebih engaged melalui diskusi yang lebih dalam/spesifik, dan biasanya penerbit-penerbit kecil lebih dekat dengan komunitas (atau bahkan adalah bagian dari suatu komunitas).
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Setuju, kami pikir sekarang pun memang sudah begitu sebab di Indonesia ini jumlah pembacanya memang sangat sedikit. Buku cetak dibeli oleh orang orang yang sangat cinta buku dan bersedia untuk membayar lebih untuk sesuatu karya yang mereka anggap berarti.
Idealnya audiens buku itu semakin meluas, tapi jika ini terjadi sebaiknya pihak penerbit lebih selektif dalam menerbitkan judul dan lebih memperhatikan kualitas produksi dari setiap buku, pertimbangkan juga aspek produksi yang lebih ramah lingkungan. Sehingga apa yang tercetak lebih memiliki value for money, dan tidak mubazir.
Kalau di dunia creative, printed material dan buku akan selalu jadi medium yang penting sebab biasanya adalah bagian dari eksplorasi sebuah karya. Bagaimanapun kami melihat bahwa masyarakat tetap mengapresiasi karya cetakan yang bisa dipegang dan dirasa di luar dari dunia digital.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Bagus juga buat orang-orang yang tidak terbiasa membaca, jadi entry point yang lebih mudah. Atau kalau memang sedang on-the-go, ebook atau audiobook tentu bisa sangat berguna.
Tapi, sebenarnya pengalaman membaca itu sama seperti menonton, sifatnya imersif. Sama seperti orang yang suka menikmati film, biasanya orang yang suka membaca buku akan lebih suka menikmati bukunya dengan cara yang semestinya, tanpa gangguan lain.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
Andreas: “Aruna dan Lidahnya” by Laksmi Pamuntjak, “Artemis” by Andy Weir dan lagi menunggu paperback-nya Haruki Murakami yang baru “Killing Commendatore”
Wanda: “Curating A to Z” by Jens Hoffmann.
Budi Warsito
Kineruku
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Buku “Nine Stories”–nya J.D. Salinger, saya beli kemarin banget, pagi-pagi di lapak buku bekas di pasar kaget depan kampus ITB. Itu adalah buku “Nine Stories” kesekian belas saya, semuanya edisi tua, dan saya juga tidak tahu kapan saya akan berhenti membeli buku itu. Majalah yang terakhir dibeli: majalah “Mojo” edisi 300 yang terbit November 2018 (saya memang berlangganan majalah musik dari Inggris ini melalui jaringan toko buku impor di Indonesia) dan membahas “The White Album”-nya The Beatles di cover story; dan satu bundel majalah “Terang Bulan” berisi beberapa edisi awal 1950-an, saya beli dari lapak buku bekas di Bandung untuk sebuah riset kecil-kecilan yang sedang saya kerjakan saat ini.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online?
Dua-duanya masih sama seringnya. Karena saya juga mengelola toko buku dan perpustakaan di Bandung, jadi saya masih rutin berkunjung ke toko-toko buku di kota lain yang masih ada (atau yang baru bermunculan), baik untuk melihat-lihat, studi banding, atau sesederhana belanja buku dari mereka. Beli buku online (kebanyakan penjual lokal di media sosial) juga masih terus saya lakukan untuk beberapa alasan, seperti tentunya kepraktisan. Dan iseng-iseng mengetik judul-judul buku langka di kotak Search di situs lokal jual-beli online itu ternyata seru juga, karena kadang hasilnya masih sering mengagetkan saya. “Lho, ada ternyata!” Klik, klik, klik, bayar, beres. Duduk manis, barang pun tiba.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Saya kurang mengikuti perkembangan penerbit besar di Indonesia. Penerbit independen lokal jelas kian marak akhir-akhir ini, mereka ngasih banyak pilihan menarik, dengan pilihan tema yang jauh lebih beragam, meski masih ada saja yang hanya terkesan ikut memanfaatkan kemudahan teknologi cetak masa kini tanpa mengindahkan mutu teksnya. Tapi situasi terlalu-banyak-pilihan-sampai-bingung-sendiri masih tetap lebih baik ketimbang tak-ada-pilihan-sama-sekali. Toh pembaca (harusnya) semakin pintar untuk menilai pada akhirnya mana yang layak baca dan mana yang tidak.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Stein mungkin seorang visioner, tetapi sebuah ramalan tetap saja membutuhkan waktu untuk betul-betul terjadi. Dan selama itu belum terjadi, setidaknya yang selama ini saya amati di sekitar saya sampai hari ini, saya akan terus mengusahakan toko buku/perpustakaan saya untuk tetap buka keesokan harinya. Memang, musik digital pun bahkan sudah bergeser dari semudah mengunduh ilegal ke ‘sekadar’ streaming, tapi toh piringan hitam terus menerus diproduksi dan format analog tetap dibeli orang. Dulu manusia purba berupaya keras membuat api dan generasi selanjutnya berhasil menciptakan roda untuk mempermudah hal-hal, kemudian muncul mesin uap Watt dan revolusi industri, bla bla bla; dan terutama internet yang bikin segala hal kini jadi lebih ringkas dan cepat; tapi yang juga tak kalah penting di tengah ritme hidup modern yang serba terburu-buru ini, menurut saya, adalah justru sesekali kembali ke slow culture.
Saya lihat beberapa orang-orang mulai mengayuh sepeda lagi yang sebetulnya jauh dari konsep kecepatan dan keringkasan, tapi diterpa angin semilir (meski udara tanpa polusi makin susah ditemukan) mungkin justru bisa menjaga kewarasan mereka, setidaknya untuk sekadar menyeimbangkan batin mereka dari tuntutan dunia modern yang gila dan serba cepat. Beberapa anak-anak muda sekarang malah girang jika mendapati masih ada turntable tua di gudang kakeknya dan membawanya ke tukang servis demi bisa memutar piringan hitam yang sebetulnya jauh lebih ribet ketimbang mengaktifkan Spotify di layar sentuh smartphone mereka.
Begitu juga buku. Kindle sangat menggoda saya, bahkan saya sudah berulang kali merencanakannya sebagai kado manis untuk diri sendiri di ultah saya berikutnya, tapi panggilan purba di hati kecil saya untuk kembali ngubek-ubek buku bekas di Blok M Square masih lebih menggetarkan jiwa saya. Kerakusan saya, ini juga khas manusia modern, bahwa Kindle bisa memuat ribuan buku di hanya satu device saja, mungkin justru harus saya patahkan sendiri dengan mulai membawa satu buku saja di tas saya dan betul-betul menghabiskannya hingga halaman terakhir. Dan kalaupun apa yang saya kerjakan selama ini harus berakhir di a very limited audience itu, it’s okay. Yang kecil-kecil-gini harus tetap ada, supaya tetap ada pilihan lain di tengah hasrat ingin-serba-besar. Toh dinosaurus akhirnya malah punah, sementara kecoa terus bertahan hingga hari ini, atau bahkan sampai kiamat nanti. Dan bukankah kepakan sayap kecoa terbang terdengar jauh lebih puitis ketimbang suara gemuruh pterodactyl? Oops, puitis? Waduh, mungkin Stein benar.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Saya belum pernah coba audio books karena telinga saya masih belum terbiasa dengan earphones yang memasok kepala saya bunyi-bunyian selain musik. Bahkan untuk mendengarkan musik pun saya lebih sering memakai speaker. Tapi mungkin kapan-kapan perlu saya coba. Salah satu naskah lawak terbaik di negeri ini menurut saya adalah De Kabayan’s – “Kang Maman Mencari Gadis Jujur” dari era ‘80an, dan lawakan itu justru hadir bukan lewat teks (buku), pertunjukan panggung, maupun film/televisi, melainkan lewat audio format kaset! Sepertinya saya bisa mulai dari audio books buku-buku komedi, atau karya sastra yang lucu-lucu.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
“Lord of the Flies: Study Guide and Workbook”, punya saya ini edisi Singapore terbitan 1989. Saya dulu suka merasa geli dengan buku-buku panduan membaca karya-karya penting seperti ini, karena seperti terlalu.. ehm, mengarahkan kita? Membatasi interpretasi? Atau sekadar menyuapi para pembaca malas? Tapi belakangan saya mulai berubah pikiran, jangan-jangan nggak gitu juga. Seperti halnya panduan, dia hanya mengasih semacam kisi-kisi, petunjuk latihan menganalisis, toh kendali eksplorasi selanjutnya tetap ada di si pembaca. Malah buku-buku panduan semacam itu menunjukkan betapa sastra memang dipandang serius di negara-negara maju.
Saya membayangkan andai saja di negeri ini banyak buku-buku semacam itu tentang karya-karya Idrus misalnya, pembacaan mendalam atas novel “Aki” (1949) dia, atau bagaimana membedah terjemahan dia atas buku “Kaas”-nya Willem Elsschot (terjemahan Idrus itu dijuduli “Kedju”, diterbitkan Balai Pustaka pada 1948) dan membandingkannya dengan terjemahan mutakhir oleh Jugiarie Soegiarto, seorang dosen Sastra Belanda di Universitas Indonesia, yang diterbitkan Gramedia pada 2010 lalu.
Cecillia Wang
Writer
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Ada dua buku terakhir yang saya beli “Essays in Love” by Alain De Botton dan “The Screwtape Letters” by C.S Lewis. Yang pertama saya beli di Amazon dan yang kedua di toko buku.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online? Kenapa?
Saya sekarang lebih sering ke toko buku online sih. Preferably Amazon Prime – karena saya dapat 10% student discount dan Prime One-Day Delivery – menurut saya ini amazing.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Kalau di Indonesia saya bisa melihat perbedaan kualitas antara penerbit besar dan penerbit independen. Especially in editing and substance-nya. Penerbit independen terlihat tergesa-gesa untuk menyelesaikan proses tersebut, sementera penerbit besar tidak —saya melihatnya dalam sisi penerbitan buku fiksi terutama.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Sangat setuju. Baru-baru ini saya bicara sama teman saya yang ambil French as her first degree. Waktu itu dia lagi baca satu buku ini, buku puisi tentang cinta (saya lupa namanya—sorry my French is not that good) dan hanya ada satu buku di perpustakaan. Saya melihat kalau buku-buku puisi menjadi sangat jarang dilihat sekarang —kecuali modern poetries. Tapi these kind of books the one she’s saying menjadi sangat limited and up to the point of rare. Dan hanya beberapa saja yang membaca, limited to people like her atau memang penyuka French literature.
Hal ini sama dengan situasi buku-buku sekarang, contohnya buku yang saya tulis —saya tidak menjadikan semua orang segmentasi saya. Aku limit my own segmentation. Karena pertama harga percetakan sangat mahal, kedua contohnya cover saya sangat aesthetic —tidak banyak yang akan tahu buku apa ini setelah mereka membacanya, dan terakhir saya tidak akan membuat sebuah karya untuk membuat semua orang senang. Menulis buat saya adalah apa yang tertuang di pikiran saya dan bukan untuk orang-orang yang membelinya. Jahatnya sih “Kalau lo nggak suka, yaudah”, but in a diplomatic sense lebih ke “Not everyone will like my cup of tea.”
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Menurut saya perkembangan ini sangat baik. Format-format ini tidak membuat semua orang berubah haluan sih, tapi lebih ke method of reading yang lebih suitable untuk masing-masing individu. Tapi bagi saya buku dengan bentuk yang sesungguhnya —physically ada bukunya dan berbau kertas— itu yang saya suka.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
Sekarang saya lagi membaca “Essays in Love” —cause I’m just that hopeless romantic. Hahaha.
Karin Sentosa
Student
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Terakhir saya beli buku di Big Bad Wolf bulan Maret lalu. Lupa apa saja tapi salah satunya Lonely Planet’s “Instant Expert” dan beberapa buku anak-anak.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online? Kenapa?
Aku jarang ke toko buku karena takut khilaf, soalnya banyak buku yang belum saya baca. Beli buku online beberapa kali karena buku yang dicari adanya online waktu itu, seperti “Raden Mandasia” karya Yusi Avianto Pareanom.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Nah, karena sudah jarang ke toko buku jadi sudah tidak tahu perkembangan penerbit-penerbit besar. Tapi kelihatannya buku-buku penerbit besar sudah mulai lelah ya. Terutama dengan buku-buku Tere Liye yang banyak itu. Aku dapat kesan bahwa karya-karya Tere Liye ‘biasa’ atau ‘mudah dimengerti’. Sedangkan “Raden Mandasia” yang memenangi penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2016 untuk kategori Prosa, Yusi bersikukuh menerbitkan bukunya di sebuah penerbit indie, Banana. Menurutku ini adalah jadi trigger penerbit-penerbit indie dan penulis-penulis berkualitas bahwa dunia perbukuan sudah tidak bergantung pada monopoli Gramedia group. Jangan lupa adanya toko buku indie, POST, yang juga berjasa banyak.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
Bisa jadi. Limited audience ini adalah orang-orang gengsi yang tidak mau meninggalkan buku cetak. Dari pengalamanku ya, orang yang berkeras bilang ‘gue maunya baca buku karena gue suka bau kertas‘, adalah mereka yang gengsi aja sih. Atau faktor banyak duit juga kali ya, jadi bebas beli buku. Nah kalau yang avid reader biarpun masih suka dengan bau buku dan sebagainya, dikasih ebook ya tetep dibaca juga. Apalagi kalau gratis, mon maap sobat misqueen, tidak punya uang karena sudah kebanyakan beli buku. Mungkin awalnya terpaksa baca ebook tp lama-lama terbiasa juga. Tambahan lagi in the future, sepertinya orang akan lebih peduli lingkungan. Kalau bisa baca -book yang lebih ramah lingkungan, kenapa tidak. Jadi kalangan limited ini adalah yang saya bilang tadi di atas, dan orang-orang yang memang berusaha preserve cetakan supaya tidak hilang oleh zaman.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
Yup tentu beda dong pengalamannya. Khususnya kalau bicara format audiobook. Medianya berubah dari tulisan menjadi lisan. Ini mungkin bisa disamakan dengan tradisi lisan di zaman dulu. Bedanya lisan pada audiobook diambil dari sumber tulisan bukan pada cerita lisan lainnya sebagaimana nenek moyang kita mendongeng hingga tersebar luas. Walaupun audiobook sudah terstruktur karena dibaca sesuai teks tertulisnya yang pasti sudah mengikuti kaidah-kaidah penulisan, tetap saja apa yang ditangkap penyimak/pendengar tidak seutuh/mendekati utuh dengan membaca teks tertulis. Wahana audio/bunyi setelah didengar langsung hilang, sehingga pendengar lebih mungkin membangun interpretasinya hanya pada apa yang dicerap indera pendengarnya pertama kali. Dan jangan lupakan pendengar audio book biasanya mendengar sambil mengerjakan sesuatu, misal olahraga, masak, menyetir. Tapi audiobook ini akan berkembang terutama di zaman instan ini. Menurut hemat saya, buku konvensional atau pun ebook, adalah media yang dapat mengungkapkan gagasan paling lengkap dan utuh. Contoh lain yang menyampaikan gagasan secara tidak utuh adalah informasi di web dan blog.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
“A Grief Observed” by CS Lewis dan beberapa buku non fiksi lainnya. Wishlist-ku, “The Book of Dust” by Phillip Pullman.
Ray Shabir
Writer
Buku dan majalah cetak apa yang terakhir dibeli? Kapan belinya?
Last magazine I got was “Fantastic Man” with Tyler, the Creator on the cover — and I’m actually on my way to buy Murakami’s “Killing Commendatore”.
Apakah masih sering ke toko buku atau lebih beli buku online? Kenapa?
I would buy books online if it’s priced way too high, or if it’s unavailable here. I go to bookstores every week, even when I didn’t end up getting anything. I only go to malls with bookstores.
Bagaimana melihat perkembangan penerbit besar dan penerbit independen sekarang ini?
Lately I also found more and more niche bookstores and publishers on instagram, which is really fun. I see how independent bookstores are fighting the good fight for independent publishers, and I love it. I appreciate how ak.sa.ra made a comeback with a little corner curated by Post Santa. There should be a nice relationship between bigger and more publishers and bookstores with independent ones, because there is a room for everyone.
Menurut Robert Stein, penemu Institute for the Future of the Book, “Print will exist, but it will be in a different realm and will appeal to a very limited audience, like poetry does today”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?
I don’t know if I necessarily could agree or disagree with it, but to be honest I could see it happening. I read a book on minimalism earlier this year, and one of the things I remembered was that an object does not equate the experiences we had with it. So, regarding books and printed works, that kinda means that having it lying around, collecting dust in your bookshelves does not equate the experiences you had when you read them. Although I do believe that some of the best types of books wouldn’t have the same impact being read on a screen than printed. Art books and coffee table books wouldn’t have the same novelty to its form on a digital format. Same with children’s books or even religious texts like the Bible and the Koran.
As time goes by, we as human beings keep on having different reading experiences. From stone tablets, to scrolls and typewriter pages. As much as I love printed books, I do think that digital is somewhat ahead of us. Same with probably how streaming services ended up closing down CD stores. There is a rise in vinyl being popular again, but I think that also only happens in more of the bigger cities like Jakarta or Bandung, a very limited amount of people compared to the whole country.
If that is what Bob Stein was referring to, then yes. Most likely, print will probably exist differently that only caters to somewhat a smaller audience. Although, I don’t think I’ll stop buying physical books anytime soon.
Sekarang telah muncul buku dengan format multimedia yang tak hanya berbentuk e-book, melainkan juga dalam format audio. Bagaimana Anda melihat perkembangan teknologi ini mempengaruhi pengalaman membaca?
I think it’s absolutely wonderful. Besides reading, I love watching movies with great scripts, or playing video games that relies on storytelling, and even through music videos artists seems to put more effort in it than ever before. What I consume daily, varies in terms of media, but personally to me it all goes back to one thing — storytelling. It really is up to us on how we create and consume stories, now.
Technology is somewhat the thing of our generation. It’s not really an experience that other generations had, in a sense. Now we got this new sets of tools, and from a storyteller’s perspective it’s cool to be able to tell a story in a new way. That’s exactly what I did with Public Feelings, which was a mix of literature and visual exploration. Without technology, I would have been very limited in presenting a visual presentation of my own story. It would be harder for me to access the necessary tools to layout things a certain way, or even work from my own home.
Technology has changed the way books or information being read, created, and distributed. Lots of literary journals are using the internet as their lifeline. Magazines are constantly creating videos and contents online. Without technology and social media, I wouldn’t probably heard of poets like Lang Leav, and now she has like five books.
Buku apa yang sedang Anda baca sekarang?
I’m in between two books. I’m reading Antoine de Saint-Exupéry’s “Wind, Sand and Stars” in the morning, and I’m reading “I’ll Be Gone in the Dark” by Michelle McNamara at night.