Jelajah Skena Surabaya: Kota Rock yang Keras Kepala
Dari Apotek Kali Asin, sampai Moiikite, Kami Menjelajahi Belantara Musik Surabaya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Abraham Herdyanto
Cerita mengenai skena musik Surabaya selalu menjadi sebuah bahan obrolan panjang di kala cangkruk oleh anak Surabaya ataupun anak luar kota. Menariknya, obrolan panjang di kala senggang itu tidak pernah mampu mendeskripsikan dengan jelas seperti apa dunia musik di kota itu. Tidak peduli mereka mengatakan bahwa kota terbesar kedua di Indonesia itu adalah kota rock, pasti ada sanggahan yang tidak setuju. Namun, ada sebuah analogi yang terlontar dari seorang kawan dan masih membekas hingga sekarang:
“Ibarat mencari tanaman yang bagus itu, Jakarta dan Jogjakarta itu seperti perkebunan. Musik itu bisa dengan mudah ditanam, lalu dirawat, lalu dipanen. Berbeda dengan Surabaya. Surabaya itu ibarat hutan rimba. Ada tanaman yang bagus, tapi kamu harus masuk ke dalamnya, mencarinya dengan seksama dengan kemungkinan kamu tidak akan kembali dari sana. Itupun belum bertemu dengan hewan-hewan buas yang langka dan jarang ditemui oleh orang.”
Secara pandangan pribadi, analogi itu memang yang paling tepat dan paling cocok. Silakan saja mencari dokumen tentang musik Surabaya, kalau kamu tidak kesusahan mencari kata kuncinya. Silakan saja bertanya tentang siapa band yang bisa benar-benar merepresentasikan Surabaya. Paling di era sekarang, yang bisa kamu dengar adalah nama Silampukau. Jauh-jauh di era pertengahan 2000, nama Vox yang akan teringat. Sedangkan di era 90, siapapun pasti akan mengatakan Dewa 19 atau jauh-jauh adalah Padi.
Tapi apakah benar seperti itu?
Sepertinya tidak. Banyak kisah tentang musik Surabaya yang terluput dari pembicaraan orang dan mata media. Kisah yang juga tertutup oleh hingar bingar event organizer besar yang selalu membuat festival musik dan membuat orang luar kota atau bahkan dalam kota sendiri bertanya, “Mana nih musik Surabaya?”. Tulisan ini tentunya jauh dari sempurna dan tak bisa mencakup semua cerita yang tersebar dari Ampel hingga Waru. Jika benar-benar ingin tahu tentang musik Surabaya, datanglah langsung ke kota Surabaya, dan silahkan jelajahi sendiri belantara skenanya.
Dekade musik 70 ke atas
Sejujurnya bagi kami yang sudah lama tinggal di Surabaya pun tidak tahu harus bagaimana menjelaskan skena musik di era ini. Hanya dari beberapa sumber tulisan kami tahu bahwa band macam Dara Puspita atau AKA alias Apotek Kali Asin sudah menjadi band Surabaya yang memberontak dari jalur mainstream di era ‘60-;70.
Sekilas saja, kita bisa mendengar bagaimana Dara Puspita sudah memainkan lagu-lagu bergaya surf rock dengan paduan garage rock yang kala itu sedang menjadi musik populer. Ditambah dengan keseluruhan personil yang merupakan wanita, Dara Puspita telah melampaui kata nekat seperti yang biasa disandang anak-anak Surabaya: Bonek – Bondo dan Nekat (siap bekal dan kenekatan) atau Bondo Nekat (berbekal nekat saja) , dengan menuju ke Jakarta untuk menuju dapur rekaman hanya berkat imbauan dari Koes Plus yang mengatakan: “Kalau ingin terkenal, jangan tinggal di Surabaya.”
Di sisi lain, AKA sudah berani beraksi dengan lagu-lagu bergaya rock n roll yang diberikan sentuhan groovy. Penampilan mereka yang membawa properti-properti aneh, seperti peti mati dan tiang gantungan cambuk pastinya membuat orang-orang pada jaman tersebut kaget setengah mati dengan hadirnya band seperti itu. Bahkan untuk di jaman sekarang, pendengar musik masih akan membelalakkan mata ketika melihat ada band yang menggunakan properti-properti aneh seperti posisi AKA di jaman dahulu.
Dekade 80, Dimulainya era Kota Rock
Era delapan puluh, era di mana Surabaya kembali muncul. Seperti budaya yang dipegang dari jaman dahulu hingga sekarang, musik-musik Surabaya selalu memasuki masa vakum dahulu sebelum melahirkan band-band hebat. Setelah hadirnya AKA dan Dara Puspita di 1960 hingga pertengahan era 70, musik Surabaya kembali jarang terdengar di akhir 70. Barulah memasuki 80, kota ini kembali dikenal.
Seakan-akan jenuh dengan gaya musik yang berada di era 60, seperti The Beatles dan gaya-gaya musik pop lainnya, gelombang besar musik cadas hadir dan menjadi panutan arek-arek Suroboyo. Adalah heavy metal penggugah semangat yang akhirnya melahirkan band-band seperti Red Spider, Andromedha, hingga Power Metal. Dengan speed dan musik yang keras sekaligus liar, mata pecinta musik di Indonesia tiba-tiba tersentak dan secara pasti melirik langsung band-band yang di kota Jawa Timur itu.
Sebuah band, salah satu dari sekian banyaknya yang ada, menjadi penggerak dan mengawali era rock Surabaya kala itu, yaitu Kamikaze. Band yang terbentuk atas dasar keinginan pribadi dan keberuntungan oleh hubungan pertemanan anak-anak kampus Wijaya Kusuma dan adanya kompetisi festival musik memberikan angin segar untuk Surabaya.
“Jaman itu kan yang main pada hard rock atau paling tidak blues. Di Surabaya, pegangnya sudah heavy metal. Pokoknya yang dibawain di lomba itu lagu barat satu, lagu Indonesia satu. Kita pakainya lagu Judas Priest,” ujar pria yang disebut Gita Kamikaze tersebut. “Di Jakarta itu pegangnya progressive rock waktu itu. Malang juga progressive-an kalau nggak salah. Kita waktu malam inaugurasi dulu sempat ngundang band Jakarta. Namanya Cockpit kalau nggak salah, bawain lagu-lagunya Genesis gitu. Aliran rumit itu. Kita ambil enaknya aja, ambil heavy metal-nya hahaha,” ujar drummer Kamikaze, Gita Laksanawan.
Kehidupan dunia musik kala itu tak bisa lepas dari sponsor rokok dan label besar. Dari cerita Gita, di balik gebrakan acara-acara musik besar, terdapat banyak sokongan dana dari perusahaan cerutu itu. Belum lagi adanya pandanya bahwa jika memang ingin berkarir di dunia musik, mau tidak mau mereka harus ikut ke dalam label. “Di jaman itu, kita sekali main sudah dapat enam juta. DI jaman itu lho. Kamu nggak bisa jalan kalau nggak ada mereka,” jelasnya. Tentu saja ada bayaran lain yang harus diterima, yaitu terenggutnya kebebasan berkarya, sebuah hal yang akhirnya menjadi salah satu alasan Gita untuk sempat berhenti nge-band.
Di sisi lain, cerita tentang bagaimana penonton hadir dalam setiap acara juga mewarnai dunia dunia musik Surabaya pada era 80. Drummer Kamikaze tersebut menjelaskan bahwa hampir di setiap acara sang vokalis harus menyebutkan kelompok-kelompok (atau tepatnya disebut geng) yang bernamakan band-band besar, seperti Kreator atau Poison. “Wah itu kalau ada yang kelewatan, bisa ngambek dan selesai acara itu. Hahaha.”
Dikatakan bahwa mereka yang benar-benar mau menonton musik pada acara-acara musik kala itu akan berada di deretan samping atau jauh di depan panggung dikarenakan tengah panggung adalah zona konflik,konflik yang dapat tercipta hanya karena alasan sepele dan mampu menyebabkan lantai dipenuhi darah. “Tapi kalau band-bandnya sendiri nggak ada masalah. Ya, kita saling ngobrol. Nggak tahu lagi kalau penontonnya.”
Terdapat tambahan cerita dari Samir “Inferno”, personil dari Slowdeath tentang kisah era tersebut dari sisi penonton bahwa para pendengar musik di Surabaya yang kala itu hadir di konser adalah orang-orang yang sangat keras. “Kalau musikmu tidak cocok sama mereka, kamu bisa dicaci maki, bahkan dipukuli,” ceritanya. Dari sinilah terdapat anggapan bahwa yang menyebabkan Surabaya mampu menjadi barometer rock kala itu adalah karena selektifnya warga Surabaya kala itu akan musik. “Paling susah kalau kamu bermain di Surabaya terus penontonnya bisa suka. Kalau kamu bisa diterima di Surabaya, kamu bisa diterima di seluruh Indonesia.”
Dekade 90, dimulainya pergerakan musik underground
Jaman keemasan musik metal Surabaya bisa dikatakan mulai memasuki masa kegelapan ketika memasuki 90. Pada kedatangan Sepultura di Surabaya tahun 1992, pemerintah melihat bagaimana mengerikannya suasana konser metal saat itu. Mengerikan karena sambutan masyarakat Indonesia yang antusias, mengerikan karena terlampau itu, menyebabkan terjadi kerusuhan. Momen itu membuat adanya ketakutan sekaligus pelarangan untuk memainkan musik metal. Tempat gigs berkurang, kawan-kawan Surabaya mulai kebingungan untuk tempat bermain.
Tetapi apakah itu mengindikasikan matinya musik Surabaya? Tidak, karena ada dua jalur hebat yang juga sedang berjalan. Yang pertama adalah jalur mainstream di mana Dewa 19 perlahan-lahan muncul di layar televisi dan memperkenalkan jika musik Surabaya yang keras pun mampu diterima oleh banyak orang. Yang kedua adalah jalur underground di mana kawan-kawan memulai pergerakan untuk tetap dapat bermain dengan musik cadasnya tanpa terekspos oleh aparat yang salah satunya memunculkan band metal/grindcore Slowdeath.
Pergerakan underground di jaman ini melahirkan banyak subkultur dan golongan secara bersamaan. Mulai headbanger, skinhead, punk rocker, anak-anak grunge, hardcore kids. Mereka memainkan musik-musik yang berbeda dan memasukkan ideoleogi yang berbeda pula. Tentu saja perbedaan ideologi serta gaya berpakaian seringkali menjadi alasan munculnya pertikaian.Dan sama seperti pada tahun sebelumnya, pertikaian itu disebabkan oleh penonton, bukan dari band. “Lha, wong kita semua kenal satu sama lain. Satu kampus,” terang Samir. Adapun band-band yang hadir di era itu adalah Slowdeath, The Sinners, Klepto Opera.
Budaya subkultur itu masih dibawa hingga sekarang di mana skena-skenanya digolongkan menurut daerahnya: Patua, Boneka Tanah, Gang Setan, itu adalah nama-nama skena underground Surabaya kala itu. Namun di balik semua itu terdapat pula skena yang tidak menarik bagi sebagian besar para penggemar musik Surabaya kala itu dan selalu disisihkan atau bahkan tidak dianggap. Skena ini nantinya menjadi benih dari apa yang dikenal sebagai indie rock atau pop, yaitu skena British Pop.
Tidak banyak yang tahu mengenai kehadiran skena ini kecuali para pelakunya dan, untungnya,salah satu pelaku itu adalah Angga sang pemilki Cempaka Music store. Diceritakan bahwa skena ini berkumpul di Flower Cafe, sebuah kafe yang terletak di daerah Dunkin Donuts RMI. Kafe ini memberikan fasilitas untuk teman-teman musisi Surabaya untuk bermain secara bergilir tergantung harinya. Untuk harinya sendiri, jika tidak salah, musik British mendapatkan hari Sabtu atau Minggu.
Tidak banyak yang hadir pada giliran musik British. Berdasarkan cerita Angga, hanya sekitar 15 hingga 20 orang saja yang berkumpul, tetapi karena hanya sedikit mereka yang hadir, pada akhirnya semuanya saling mengenal. “British itu sudah masuk pertengahan 90an, awal 90an malahan di Surabaya. Oasis album pertama tahun 1994. Pokoknya Pure Saturday album pertama, itu langsung mulai. Kala itu musik kayak gini ini minor banget. Yang dateng, main, lihat, ya itu-itu aja. Itu selama dua tahun,” terang Angga.
Beruntung adanya dokumentasi berupa zine bernama Poolcat milik Angga sendiri yang dapat merekam dunia British kala itu. Adapun nama-nama seperti the Disco, P.G.D.O2, Poppin, Chicken Pop, Sweet Dream, Sagebrush Sally, Radio Panggil, Brother in the Kitchen Get Some Food, Sadie, Lull, Pop Bunga, B.P.S, Roti Tart, Mekarsari, Voltus Lima, Sweetwer, Sumber Rejeki tercatat di dalam zine itu dan membuktikan kehadiran skena British di Surabaya pada era 90.
Era-era 90 ini berakhir ketika memasuki milenium. Para penggerak yang merupakan anak-anak kampus mulai merantau mencari pekerjaan, meninggalkan skena musik di kota ini. Flower Cafe, sang penyedia tempat harus hilang karena hangus kebakaran, membuat skena British Pop tak lagi memiliki tempat bermain. Mereka yang bergerak di skena underground musik cadas mulai jenuh dengan banyaknya kerusuhan akibat oknum para penonton sehingga mereka memutuskan untuk saling memisahkan diri, membuat acara dengan satu genre agar penonton tak lagi rusuh. Roda perputaran musik Surabaya terus berjalan.
Dekade 2000, Kejayaan musik alternatif
Mungkin mereka yang berada di umur 25 tahun ke atas lebih memahami era ini, era di mana musik-musik alternatif yang berjalan di ranah independent mulai diakui keberadaannya. Tidak bisa tidak diakui kala itu salah satu festival yang memberikan sumbangan besar untuk musik alternatif adalah L.A. Lights Indiefest.
Nama seperti Vox mencuat berkat keberhasilannya menjuara festival, namun sejujurnya ada banyak sekali musisi dari Surabaya yang menyumbang beragam genre. Friday yang sampai saat ini nama itu hanya digaungkan oleh orang-orang veteran, Let’s Go C’mon Baby, unit rock n roll yang sangat panas, Smell Street, suguhan pyschedelic rock dari teman-teman kampung Arab Ampel, Hi Mom! yang baru saja pada tahun 2017 kemarin meluncurkan album perdananya, Lovely Tea, sweet pop Surabaya yang setara Mocca, dan masih banyak lagi.
Pertengahan 2000 adalah era musik Surabaya di mana kamu hampir tak pernah bosan mendengarkan musiknya karena begitu beragam. Sayangnya, musik di jaman tersebut sangatlah jarang memiliki rilisan fisik karena kala itu sedang gempar-gemparnya situs musik seperti Reverb Nation dan MySpace. Alhasil, banyak data dari musik-musik tersebut menghilang di dalam tumpukan data dan kamu harus mencarinya bagaikan mencari jarum dalam jerami.
Era ini juga merupakan era keemasan skena College Rock di mana tiap kampus pun punya band – band yang hidup di skena dalam kampus dan dalam kota. Seperti kampus Universitas Airlangga yang terutama di BSO musik Fakultas Ilmu Budaya dan FISIP dengan band seperti Hi Mom!, Kick Larry, Smell Street dan The Nobodies. Kemudian Kampus UNESA yang berjalan dengan kolektif Club Autis dengan band – band seperti Mooikite, My Father Is John dan Kelly and The Weekend Project. Kemudian skena musik Despro ITS dengan band – band seperti Deskripsi Sebuah Mahasiswa, Egon Spengler, Albert and The Product dan Robot. Di luar pergaulan kampus itu, ada pula Delayed Desire yang menggabungkan punk dengan musik elektronik, namun dengan judul lagu yang nyeleneh seperti “Memasukkan K*nt*l Lebih Cepat Dari Bayangan”.
Frekuensi event ketiga kampus tersebut seakan membuat susahnya mencari tempat pentas menjadi tidak memusingkan lagi. Lamanya menunggu giliran tampil di sekian banyak band yang di event reguler salah satu radio komersial di surabaya yaitu Club Tuesday (yang kemudian menjadi Tuesday Out Loud di akhir – akhir masanya) tidak lagi terasa lama karena kampus ternyata menjadi opsi untuk minimnya venue di Surabaya saat itu. Bahkan band punk yangg tour dari luar negeri pun terkadang dimainkan di event kampus.
Artikel ini bisa lebih sedikit memberikanmu gambaran lebih tentang musik-musik Surabaya, tapi jujur saja, banyak sekali nama band yang tak bisa disebutkan di sini. Mulai dari Kick Larry, Never Ending Story, The Nobodies, Papa Onta Cult, Call Me Nancy, dan banyak lagi.
Tidak jauh berbeda dengan skena underground yang dipenuhi musik-musik cadas, skena itu pun semakin memiliki banyak variasi dalam hal musik. Kamu tidak akan bisa mendengar lagi musik yang benar-benar pure satu genre dan, menariknya, terdapat banyak eksperimen dari mereka. Titik Koma, Under My Throat, Deskripsi Sebuah Mahasiswa, Razorblade Terror, Maciavellian, Judas Iscariot, Crucial Conflict, Devadata, Blingsatan, Screaming Out, Madonna is Murder, itu adalah band-band yang menghiasi skena cadas underground.
Namun dunia musik ini tidak seberuntung dengan mereka yang berada di jalur indie tadi. Banyak kericuhan yang hadir di dalam acara karena oknum-oknum tidak jelas. Salah satu yang paling parah dan diingat orang-orang adalah tragedi AJBS di pertengahan 2000. Tidak berani untuk membicarakannya karena banyak cerita-cerita yang tidak jelas mengenai kebenarannya, tetapi intinya itu adalah salah satu kisah yang berpengaruh besar ke dalam skena underground, khususnya yang berada dalam punk rock. Berdasarkan info, sempat kasus ini sempat diendus oleh media massa dan dijadikan headline koran.
Pergantian era sudah terasa ketika memasuki akhir 2000 di mana anak-anak SMA yang beranjak ke kampus mulai tampak bakatnya. Di sisi alternatif, terdapat Siberian Husky yang pada akhirnya membawa dampak perkembangan hadirnya musik garage punk.
Di sisi metal, ada Athenian yang menjadi pionir musik high school metal Surabaya.
Sedangkan mereka yang suka bermain instrumen eksperimental dan musik aneh-aneh mulai memperkenalkan musik elektronik di Surabaya. Terbujur Kaku, proyek dari Phleg dan WNKRM adalah para pionir musik-musik itu. Masih teringat kawan-kawan penggiat musik ini bermain di lapangan luar Balai Pemuda sambil dilihat oleh banyak pengendara yang bersliweran di jalan. Salah satu yang ramai dibicarakan kala itu dari skena musik elektronik Surabaya adalah percekcokan mengenai musik Terbuju Kaku, apakah dapat digolong genre jungle atau tidak di salah satu kanal musik luar kota.
Pada saat ini pula, musik ska mulai masuk ke telinga kawan-kawan SMA. Heavy Monster sebagai salah satu pioni ska Surabaya menjadi raja pensi. Hampir tidak ada satupun pensi SMA yang tidak menghadirkan Heavy Monster di panggung setinggi dua meter. Adapun selanjutnya hadir Skabanton yang lebih mengambil sisi two-tone ska ala the Specials.
Seperti pada pergantian era musik di Surabaya, kawan-kawan musisi semakin kesulitan mencari tempat bermain karena venue yang tutup satu per satu. Selain itu, banyaknya kawan-kawan yang berpindah ke luar kota untuk mencari kerja juga menjadi alasan utama bubarnya band-band hebat tersebut.
Dekade 2010, kembalinya perputaran masa emas Surabaya
2011 mungkin adalah waktu-waktu paling membunuh skena Surabaya. Band-band mulai jenuh dengan konsep band dan beralih ke musik folk yang lebih minim peralatan. Kawan-kawan juga sudah enggan membuat acara dengan alasan tidak adanya dana untuk menyewa alat dan venue. Birokrasi di kampus semakin diperketat dan diruwetkan, membuat mereka yang ingin membuat acara musik menjadi malas. Namun, di sisi lain, musisi folk menjadi semakin aktif. Band-band seperti Taman Nada, Alepak, Daily Diaries, Pathetic Experience bermunculan. Bahkan beberapa band yang mengusung ambience juga bermunculan seperti Rainy Days, The Wise, dan Berlin Night Club.
Baru pada 2012 hingga 2013, gigs dengan konsep full band mulai kembali digelar. Melalui venue-venue yang lebih kecil, teman-teman kampus mencoba mengembalikan masa-masa musik kampus dengan memperkuat hubungan terlebih dahulu. Venue-venue tersebut pun ada kalanya nyasar di rumah teman di mana hanya segelintir anak saja yang tahu akan kehadirannya, seperti acara Sekali Lagi Ini Saja. Adapun band yang cukup ramai dimainkan kala ini adalah Zorv, Gori-gori and the Wawa, lalu hadir pula Reveur, unit skramz asal Surabaya.
Salah satu yang paling mengenang, asyik dan paling ramai dikunjungi kala itu adalah pada 2015, ketika Sigmun bersama Matiasu berkunjung pertama kali di Surabaya di mana gigs tersebut dilaksanakan di kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Begitu sempit, panas dan kacau acara itu, tetapi menyenangkan karena sudah lama tak ada acara di Surabaya yang menggunakan lokasi kampus. Di 2014 juga jika tidak salah adalah momen Moiikite menerima penghargaan ICEMA, membuktikan bahwa di Surabaya terdapat musik yang hebat pula.
Di tahun yang sama yaitu 2015, Folk Music Festival pertama kali digelar. Bertempat di Surabaya Town Square, konser tersebut tak semegah seperti saat ini. Hanya sekitar 50 orang yang berada di depan panggung menyaksikan teman-teman Folk Surabaya bermain. Namun di situ pula Silampukau pertama kali bermain setelah sekian lama vakum tanpa ada kabar yang jelas. Tak butuh waktu lama hingga beredarnya kabar bahwa mereka akan merilis sebuah album dalam bentuk CD.
Naik-naiknya Silampukau pada 2015 melalui debut album Dosa, Kota dan Kenangan menghentak kawan-kawan Surabaya, khususnya mereka yang ada di era pertengahan 2000, muncul kembali dan membuat album serta menghadirkannya dalam bentuk fisik. Kota lain pun juga penasaran dengan musik-musik Surabaya dan banyak yang menanyakan, “Ada apa aja musik di sana?”
Paling tidak band-band inilah yang telah menelurkan album pada periode ini, baik mini maupun full album. Beberapa di antaranya bahkan sudah bubar sebelum bisa membesarkan namanya, namun paling tidak ada nama mereka yang tercatat dalam bentuk CD atau kaset: Pig Face Joe, Dandelion, Pedestrian Drama, Kolibri, Timeless, Egon Spengler, Descane, Rasvan Aoki, Cotswolds, the Evening Wolves, Methiums, Beyond Infinity, Hawk, Bvas, Boy Horror, Give Me Mona, Nonanoskins, Dopest Dope, My Mother is Hero, Indonesia Rice.