Self Acceptance di Antara Tekanan Keseharian
Berbincang dengan jurnalis, praktisi dan akademisi tentang cara-cara menerima kekurangan diri dan dilema-dilemanya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Bintang Lestada
Dalam perbincangan mengenai kesehatan mental, kata ‘closure’ sudah menjadi sebuah istilah yang umum. Dalam mengawasi dan memeriksa masa lalu, melalui simpai sejarah sendiri — biasanya terdiri dari trauma dan kebencian terhadap diri sendiri. Pada umumnya juga, dalam mengatasi masalah-masalah itu, biasanya kita datang ke fase ‘penerimaan diri’ atau self-acceptance. Begitu juga dengan bagaimana orang akhirnya bisa merangkul kualitas kekurangan dan keberbedaan. Tetapi bagaimana jika kita berusaha menguraikan dan mendekonstruksi konsep itu, ‘self-acceptance’? Apa yang akan keluar dari situ? Tambah juga aspek-aspek lain yang muncul saat memasuki fase itu, seperti di era media sosial dan ‘positive vibes only’ bagaimana ‘self-acceptance‘ masuk dalam narasi masa kini?
Hilmy Hakim
Co-creator of DialektikaKlub and Editor at IndoLecture
Pertama dan terpenting, apa mitos tentang self-acceptance yang paling Anda ketahui dari orang lain?
Sebenarnya ada banyak mitos tentang self-acceptance, tapi saya mau highlight yang satu ini. Akhir-akhir ini, saya sering mendengar bahwa orang-orang mengartikan self-acceptance sebagai bentuk menyerah dengan keadaan yang ada. Kalau pemikirannya demikian, coba dibayangkan, kira-kira kita bisa berkembang gak? Bisakah kita jadi orang yang lebih baik dengan menyerah? Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan self-acceptance adalah keikhlasan. Ikhlas bukan berarti menyerah, ya. Ikhlas artinya menerima keadaan secara penuh, bahwa ada hal yang dapat kita ubah dan optimalkan, dan ada hal-hal yang perlu kita terima dengan lapang dada dengan dasar pemahaman bahwa tidak semua hal di dunia ini dapat kita kontrol. Berbeda dengan ikhlas, menyerah biasanya diikuti dengan pemikiran buruk dan negative self-talk tentang kekurangan yang kita miliki. Dengan self-acceptance atau ikhlas, kita tahu dan mau menerima kekurangan kita yang tidak bisa diubah, memperbaiki kekurangan yang masih bisa kita perbaiki, dan kelebihan yang bisa kita optimalkan untuk dapat mengaktualisasikan diri kita.
Bagaimana Anda sangat mencintai diri sendiri dengan tanpa syarat di era media sosial?
Jujur, terkadang saya pun membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain yang terlihat lebih beruntung dari saya lewat postingan mereka di media sosial, akhirnya bikin bad mood karena merasa tidak beruntung. Nah loh, kalau udah kayak gitu bagaimana? Saya biasanya mencoba mengingat-ingat bahwa saya adalah manusia yang unik dengan segudang kelebihan yang sebetulnya tidak perlu saya bandingkan dengan orang lain. Saya juga mencoba memahami situasi ini dengan konsep ‘privilege’. Lagi-lagi tentang keunikan. Setiap manusia lahir dan ditakdirkan untuk memiliki privilege yang berbeda-beda. Orang lain mungkin memiliki pencapaian yang luar biasa karena dia mendapatkan didikan dan fasilitas yang tidak saya dapatkan. Orang lain mungkin memiliki kesempatan untuk kuliah di luar negeri sedangkan saya tidak. Tapi tentu, saya mendapatkan privilege lain yang membuat saya memiliki kelebihan-kelebihan yang patut saya syukuri dan saya optimalkan yang mungkin orang lain tidak miliki dan tidak dapatkan. Kalau dipikir-pikir, Sang Maha-Pencipta sudah membekali kita dengan banyak hal-hal yang baik loh, hanya terkadang tertutupi oleh rasa iri dan dengki. Jangan juga ‘jump into conclusions’ ya. Pastikan kita benar-benar paham kondisi diri dan kondisi orang lain.
Apakah Anda berpikir bahwa lelucon mencela diri (self-deprecating) sangat berperan dalam meremehkan harga diri?
Sebetulnya menurut riset yang sudah dilakukan, orang yang gemar melempar self deprecation jokes menunjukan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi serta merasa percaya diri sekalipun ia menggunakan kekurangan-kekurangan yang ia miliki sebagai bahan candaan. Dapat dikatakan bahwa orang tersebut sebetulnya sudah menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dan merasa ‘okay’ dengan mengekspos hal tersebut. Meski demikian, kita juga perlu waspada, karena terlalu banyak melemparkan candaan seperti ini justru dapat membahayakan. Semakin sering kita mengeluarkan candaan mengenai kekurangan kita atau kekurangan yang justru tidak ada di diri kita namun kita buat seolah-olah ada dapat membuat diri kita sendiri dan orang lain percaya terhadap hal tersebut. Pada akhirnya orang lain akan memandang diri kita negatif. Hal ini berpotensi menurunkan self-esteem yang kita miliki. Pada akhirnya, kita kesulitan untuk menerima diri kita.
Apakah ada yang namanya ‘toxic positivity‘?
Kalau dari hasil riset psikologi, toxic positivity atau positivitas beracun itu memang ada. Terkadang kita dengar orang lain atau bahkan diri kita sendiri bilang bahwa “Kamu harus senang, kamu gak boleh sedih, harus lemah lembut, kamu harus semangat, kamu pasti bisa nyelesain permasalahan ini dengan baik, good vibes only dll. Kata-kata yang terdengar positif ini justru bisa membuat keadaan jadi semakin buruk. Mengapa demikian? Hal tersebut seolah-olah menutupi kenyataan bahwa terkadang hidup memang berat dan menyakitkan serta menyangkal emosi tidak menyenangkan yang sebetulnya perlu diterima, diproses, dimaknakan dan diatasi. Daripada langsung melompat ke kata-kata positif ketika kita menjadi teman curhat, lebih baik dengarkan dan simpulkan secara hati-hati inti pembicaraan yang kamu tangkap dari temanmu. Seringkali orang lain hanya butuh didengarkan, bukan dinasehati dengan kata-kata positif yang ia rasa tidak berkaitan dengan permasalahannya.
Apa cara terbaik untuk mencapai keadaan baik dalam diri Anda?
Untuk merasa ‘okay’ dengan diri sendiri, dalam artian mencapai self-acceptance, saya biasanya menunjukan rasa sayang saya terhadap diri sendiri, atau biasa disebut dengan self-compassion. Gimana caranya menyayangi diri sendiri? Sayangi diri kita seperti kita menyayangi sahabat atau orang terdekat kita. Biasanya ketika saya menghadapi kegagalan, saya berperan sebagai sahabat bagi diri saya. Saya mencoba untuk memberikan pengertian kepada diri sendiri bahwa kekurangan dan kegagalan merupakan hal yang pasti terjadi dalam hidup semua orang. Saya mendampingi diri saya untuk merasakan kesedihan, kemarahan dan rasa frustasi yang saya alami dan memaknakan perasaan serta kejadian yang saya alami. Saya mengantarkan diri saya pada sahabat terdekat jika saya tidak bisa menyelesaikan permasalahan sendiri, atau saya juga pernah meyakinkan diri saya untuk menemui ahli kesehatan mental seperti psikolog. Ketika saya terlalu banyak mengkritik diri sendiri, saya mencoba untuk berpikir secara objektif mengenai kekurangan dan kelebihan saya atau menemui orang yang saya percaya untuk membantu saya berpikir secara objektif. Hal-hal lainnya sama seperti jawaban pertanyaan nomor 2.
Rini Haerinnisya
Professional Coach at International Wellbeing Center
Pertama dan terpenting, apa mitos tentang self-acceptance yang paling Anda ketahui dari orang lain?
Itu berhubungan dengan verbatim seperti “you have to let go“, “you need to accept this“, atau “don’t worry things will get better at the end” dan menasihati orang-orang untuk mengabaikan saat-saat itu daripada mencoba untuk belajar tentang apa yang terjadi dalam cara berpikir yang lebih hati nurani dan terstruktur.
Penerimaan diri itu berhubungan dengan menelan kepahitan dan baik-baik saja dengan gagasan menjadi korban dari situasi itu. Menambahkan kata-kata nasihat yang kuat seperti: Must, Need, Don’t Worry, dengan semua niat baiknya, mungkin tidak selalu menjadi solusi yang paling cocok. Apa yang dapat kita lakukan dengan lebih baik dalam situasi ini adalah membantu orang tersebut untuk memiliki kejelasan yang lebih baik dalam situasi mereka sendiri. Ajukan lebih banyak pertanyaan terbuka. Mintalah dengan penuh perhatian dan dengan niat murni agar orang lain memahami dengan lebih baik dan belajar dari situasi mereka sendiri dan mengambil pertanggungjawaban dalam kehidupan mereka sendiri dengan pilihan tanggapan dan tindakan mereka sendiri. Berfokuslah pada sumber daya positif yang dapat dimanfaatkan dalam situasi yang tidak menyenangkan, biarkan orang tersebut mempelajari transisi yang terjadi setelah situasi yang tidak menyenangkan, dan bawa sumber daya positif itu maju.
Jika ada sesuatu tentang self-acceptance yang perlu kita perhatikan adalah, pada kata pertamanya, ‘self’. Lihatlah diri kita sebagai diri yang utuh, tidak hanya dalam kepahitan khusus itu tetapi juga di saat yang tepat.
Itu tidak hanya berarti mengetahui kisah terburuk kita tetapi juga mampu memperhatikan, mengidentifikasi, dan mengakui kebaikan dalam diri kita, potensi manusia dan kemampuan kita untuk belajar dalam kehidupan dan menjadi lebih baik. Bersikap baik dan biarkan diri kita mengalami emosi negatif tetapi jelaslah dengan emosi, pemikiran dan situasi kita sendiri; dan belajar untuk mengetahui lebih baik tentang situasi itu dan melihat bagaimana itu membantu kita menjadi diri yang lebih baik hari ini dan besok.
Bagaimana Anda sangat mencintai diri sendiri dengan tanpa syarat di era media sosial?
Untuk selalu mengingat bahwa media sosial hanyalah bagian dari kehidupan seseorang. Segala sesuatu yang kita lihat pada orang lain hanya mengungkapkan sebagian dari hidupnya, tidak hanya media sosial tetapi juga dalam situasi lain.
Memperhatikan bahwa tekanan sosial itu nyata, sama seperti persepsi itu nyata bagi seseorang. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan – itu adalah rangsangan dari informasi yang memberi makan pemahaman kita dan pengalaman tidak langsung yang kemudian diproses dalam diri kita untuk menghasilkan tindakan, perasaan, dan pemikiran tertentu.
Ini seperti menemukan teman-teman kita yang sukses dan luar biasa tetapi tidak melihat kerja keras dan perjuangan mereka untuk sampai ke sana. Anda hanya tahu gambar itu sempurna atau momen buruk yang ditangkap. Anda tidak tahu keseluruhan cerita. Tetapi sekali lagi, mengapa Anda ingin mengetahui keseluruhan cerita? Apa yang kamu pelajari tentang dirimu sendiri? Ambil media sosial dalam situasi kehidupan nyata, jika Anda bertemu seseorang di sebuah pesta dan orang ini tampak bersemangat bagi Anda, apa yang akan Anda rasakan? Apakah Anda pikir dia hanya hidup, atau asumsi apa pun yang muncul dalam pikiran tentang apa yang menyebabkan orang itu begitu bersemangat?
Jika ada persepsi tertentu yang muncul di pikiran kita, baik atau buruk, kita mungkin perlu mempertanyakan diri kita sendiri apa yang membuat kita berpikir seperti itu? Karena apa yang kita pikirkan dan rasakan, juga merupakan produk dari pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman kita sendiri. Jadi ya, kita semua bias. Tetapi sekarang setelah Anda mengetahui kemungkinan itu, pertanyaan saya kepada Anda adalah, Informasi mana yang Anda pilih untuk diproses, dan respons mana yang Anda pilih untuk hasilkan?
Jika Anda perlu mencintai diri sendiri dengan sangat dan tanpa syarat, apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda membutuhkan cinta itu untuk menjadi cinta itu? Apa yang pada dasarnya Anda butuhkan dalam hidup Anda? Saya akan mengundang Anda untuk bertanya pada diri sendiri pertanyaan untuk mulai memperhatikan niat Anda dan jujur pada diri sendiri tentang alasan, tujuan, dan dampak dari aktivitas media sosial Anda.
Apakah Anda berpikir bahwa lelucon mencela diri (self-deprecating) sangat berperan dalam meremehkan harga diri?
Saya akan mengatakan bahwa ini adalah paradoks persepsi; jawabannya bisa ya dan tidak. Ini tentang konten dan konteksnya. Tentang apa artinya mencela diri sendiri dan standar untuk diri sendiri. Dan itu bukan hanya tentang subjek tetapi juga objek pembicaraan.
Itu akan ya, jika itu sengaja untuk mengecilkan harga diri, dalam diri sendiri atau orang lain. Dalam interaksi sehari-hari yang tak ada artinya, inilah yang terjadi. Kami bermain lelucon pada orang lain, berpikir itu hanya lelucon yang biasa kami gunakan di lingkaran kami, TAPI tampaknya tidak relevan dengan objek lelucon itu sendiri. Lelucon dapat melukai orang lain, dapat menyebabkan orang lain bertanya pada diri sendiri jika dia melakukan sesuatu yang salah, dapat memicu emosi yang tidak menyenangkan atau bahkan reaksi. Ini adalah bagian di mana kita perlu memperhatikan lelucon yang kita mainkan dan bertanggung jawab atas kata-kata dan tindakan kita sendiri. Ini adalah ketika Anda mengambil ekstrim, adalah di mana bullying dapat mengambil bagian dalam bentuk lelucon. Ketika ini terjadi dan orang yang mengatakan lelucon itu tidak menyadari biaya dari kata-kata dan tindakannya, tetapi kemudian jika Anda mengetahui hal ini, silakan berdiri dan berbagi empati dengan objek tersebut.
Itu juga bisa tidak, jika lelucon mencela diri sendiri adalah mengatakan diri sendiri di depan umum dengan cara tertentu yang dapat mengungkapkan kemampuan satu diri menjadi otentik untuk diri sendiri, mencoba menjadi rendah hati, atau mengelola harapan diri . Kadang-kadang, lelucon semacam ini mengungkapkan kedalaman hubungan dan menggambarkan bahasa cinta dalam hubungan itu. Tetapi secara umum, dan sebagai tindakan balasan, saya lebih suka menghindari praktik ini dan mendorong untuk bertanya pada diri sendiri, adakah cara yang lebih baik dan lebih cerdas untuk mengomunikasikan niat Anda terhadap diri sendiri dan orang lain?
Apakah ada yang namanya ‘toxic positivity‘?
Ya ada. Segala sesuatu ketika dilakukan dengan cara yang ekstrem atau dosis yang tidak tepat, mungkin beracun. Termasuk positivity (dan jumlah asupan gula dalam satu hari).
Toxic positivity dapat terjadi ketika Anda menerima begitu saja bahwa kepositifan akan menyembuhkan hari-hari kelam Anda. Dalam beberapa kasus, dikelilingi oleh orang-orang yang terlalu positif akan membuat Anda merasa pusing dan membuat Anda lebih buruk. Saya menemukan kasus seorang remaja merasa tertekan memiliki orang tua yang sangat positif dan suportif! Jadi apa yang harus kita lakukan? Jika Anda menganggap ini blak-blakan dengan mengatakan bahwa orang banyak negatif lebih baik daripada orang positif, maka bukan bagaimana analoginya bekerja, meskipun beberapa orang terbaik dan berusaha keras berusaha dari situasi negatif dan beracun. Jadi bagaimana cara kerjanya?
Bukan hal positif yang membantu, Andalah yang akan melakukan penyembuhan sendiri. Anda dan kekuatan kemanusiaan Anda untuk belajar, mengadopsi, dan menjadi lebih baik. Ini adalah tindakan yang Anda putuskan untuk dipilih sebagai tanggapan. Kepositifan mungkin menjadi salah satu cara favorit, tetapi kita juga harus menyadari bahwa penurunan, semua hari buruk yang kita anggap sebagai akhir hidup kita, ketika kita merangkul momen itu dan mengambil pembelajaran dalam diri kita ke dalam hidup kita, saat-saat itu berpotensi meningkatkan kemampuan Anda menjadi manusia. Untuk belajar tentang ketahanan, ketekunan, dan harapan. Jadi bagaimana Anda mengukur kepositifan dalam dosis penggunaan yang tepat untuk hidup Anda?
Untuk mengetahui keseimbangan, Anda perlu mengidentifikasi spektrum positif dan spektrum negatif. Merangkul keduanya, belajar tentang kedua cara dan kemampuan Anda untuk menjelajahi kedua jalur. Waspadai dampak terhadap diri Anda, lingkungan Anda, dan keberadaan yang lebih besar. Saat Anda memikirkan masa lalu Anda, jangan lupakan masa depan Anda. Ketika Anda berpikir tentang kemarahan, jangan juga melupakan apa yang terjadi sebelum dan sesudah kemarahan.
Melakukan terlalu banyak dalam satu spektrum dapat membuat Anda sakit kepala dan mual – yang merupakan gejala toksisitas yang umum. Jadi sekali lagi saya akan bertanya kepada Anda, bagaimana Anda melihat di mana Anda sekarang berada dalam spektrum?
Apa cara terbaik untuk mencapai keadaan baik dalam diri Anda?
Karena dalam Coaching kami percaya bahwa setiap individu memiliki potensi besar untuk menemukan jawaban mereka sendiri, maka saya pertama-tama akan mengundang Anda untuk bertanya pada diri sendiri:
1 Apa definisi keadaan baik untuk Anda?
2 Apa yang membuat Anda baik-baik saja?
3 Bisakah Anda menggambarkan situasi atau momen di mana kegaduhan ini terjadi pada Anda?
4 Bagaimana mengetahui hal ini membantu Anda mencapai tingkat kebaikan dalam diri Anda?
Jika Anda meminta saran dan pengalaman saya, sebagai mentor saya akan mengatakan, hal-hal yang berbeda berlaku untuk orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Ini bisa sesederhana es krim untuk saya, karena saya menganggap es krim sebagai momen meditasi aktif. Mungkin kopi untuk Anda.
Apa pun yang berhasil, biasanya akan menjadi praktik untuk meningkatkan keterampilan Kecerdasan Emosional dan Sosial kita. Kita mulai dengan memiliki kesadaran diri yang lebih baik, kemauan dan kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri (termasuk pemikiran, perasaan dan tindakan kita), mengidentifikasi motivasi dan kebutuhan batin kita, melatih empati melalui mendengarkan dan tanggapan, dan menjadi lebih baik dan lebih baik dalam keterampilan sosial kita – baik dalam kehidupan nyata maupun dalam URL.
Saya percaya bahwa manusia mampu melakukan hal-hal besar termasuk menyelesaikan masalah kita sendiri, namun dalam perjalanan, kita mungkin memerlukan bantuan untuk mencapainya, dan ini adalah bagian di mana kita perlu jujur dengan diri sendiri dan mencari mitra belajar, empati pendengar, uluran tangan, atau teman untuk memantulkan pikiran.
Ramadani Saputra
Journalist at The Jakarta Post
Pertama dan terpenting, apa mitos tentang self-acceptance yang paling Anda ketahui dari orang lain?
This is actually hard to answer. Mitos yg kudengar tentang penerimaan diri itu berkisar soal betapa sulitnya proses tersebut. Buatku yg mengklaim bahwa aku sudah “beres” dengan diriku sendiri, prosesnya memang sulit dan cukup panjang juga.
Bagaimana Anda sangat mencintai diri sendiri dengan tanpa syarat di era media sosial?
Aku berusaha sebisa mungkin merasa cukup dengan diriku sendiri. Perasaan untuk membanding bandingkan diriku sendiri dengan orang lain dalam berbagai hal (seperti pencapaian dalam hidup, segi fisik, dan hal hal lainnya) kadang masih muncul dan aku masih masih belajar untuk bisa menghilangkan perasaan bahwa aku “kurang” dibandingkan orang orang lain itu. Karena pada akhirnya aku sampai pada titik dimana bahwa perbandingan itu tidak akan pernah ada habisnya dan jika akhirnya itu malah membuatku terlalu mengasihani diri sendiri, itu malah akhirnya bisa buat aku makin muak sih.
Bagaimana Anda sangat mencintai diri sendiri dengan tanpa syarat di era media sosial?
Aku tidak tahu apakah kedua hal tersebut berhubungan secara langsung tapi buatku secara pribadi, mendengar orang orang yang melontarkan joke bernada mencela diri sendiri secara berulang ulang akan terdengar tidak lucu dan usang pada akhirnya. Tapi di sisi lain, aku merasa ada orang yang me-embrace jokes bernada seperti itu sebagai bentuk pertahanan dia untuk bisa diterima di lingkungannya. I learn this after trying so hard to be naturally funny throughout SD, SMP, SMA to minimize the bully I got.
Apakah ada yang namanya ‘toxic positivity‘?
Yes, there is. Kata kata seperti, “ayo semangat terus” contohnya di situasi tertentu seperti baru saja kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya menurutku bisa jadi sebuah respon yang menjerumuskan dan tak perlu diucapkan sebenarnya.
Apa cara terbaik untuk mencapai keadaan baik dalam diri Anda?
It might sounds very cliche but, jangan terlalu memikirkan apa kata orang tentang dirimu kecuali, kecuali itu adalah kritik yang membangun. Be kind to yourself and also to others. Menerima diri sendiri adalah proses yang panjang menurutku dan mungkin proses itu akan terus berjalan seiring bertambahnya usia dan juga problematika kehidupan.
Trivet Sembel
Co-founder & Chief Storyteller at Proud Project
Pertama dan terpenting, apa mitos tentang self-acceptance yang paling Anda mengerti dari orang lain?
Penerimaan diri bukan tentang menutup-nutupi kebenaran.
Penerimaan diri bukan tentang mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja ketika tidak.
Penerimaan diri adalah tentang menjadi baik-baik saja untuk tidak baik-baik saja.
Bagaimana Anda sangat menghargai diri Anda sendiri tanpa syarat di era media sosial?
Saya percaya bahwa langkah paling penting untuk penerimaan diri adalah berteman dengan setan Anda sendiri.
Ini berarti bahwa seseorang harus mengakui, menerima, dan berdamai dengan semua hal negatif yang tidak bisa saya ubah. Dan jika mungkin, nyalakan perubahan untuk meningkatkan diri Anda.
Sebagai contoh, saya dilahirkan dengan hidung besar. Tapi hei, aku benar-benar baik-baik saja dengan tidak sehat dengan hidungku. Selain itu, saya mungkin bernapas lebih baik dengan hidung sebesar ini.
Apakah Anda berpikir bahwa lelucon mencela diri (self-deprecating) sangat berperan dalam meremehkan harga diri?
Setiap orang memiliki definisi sendiri tentang lelucon mencela diri sendiri.
Tetapi saya percaya bahwa membuat lelucon tentang diri Anda adalah salah satu cara terbaik untuk meningkatkan harga diri. Membuat lelucon tentang rasa tidak aman Anda adalah salah satu cara untuk mempraktikkan penerimaan diri. Bahkan, saya pikir itu adalah salah satu bentuk penerimaan diri tertinggi.
Karena mengolok-olok diri sendiri mengharuskan Anda menerima rasa tidak aman Anda. Itu membutuhkan kedamaian dengan diri Anda. Itu membutuhkan penerimaan diri.
Apakah ada yang namanya ‘toxic positivity‘?
Apa pun yang terlalu banyak, terlalu banyak. Terlalu banyak kegelapan akan membutakanmu. Terlalu banyak kecerahan juga akan membutakan Anda. Jadi ya. Terlalu banyak kepositifan akan membutakan Anda.
Apa cara terbaik untuk mencapai keadaan baik dalam diri Anda?
Mengolok-olok diri sendiri.
Jika Anda berpikir hidung Anda sebesar Gunung Semeru (seperti hidung saya.) Mengolok-oloknya. Tertawalah.
Jika Anda berpikir wajah Anda terlihat seperti kentang, mengejeknya. Tertawalah.
Berdamai dengan dirimu sendiri. Berteman dengan iblis Anda sendiri.
Tidak semua tai itu buruk. Tai bisa jadi pupuk.
Aulia Iskandarsyah
Lecturer and Reseacher at Faculty of Psychology, Universitas Padjadjaran
Self-acceptance (penerimaan diri) merupakan penilaian pribadi seseorang terhadap potensi dan sumber daya yang dimilikinya secara realistis sehingga memunculkan perasaan bangga dan puas terhadap diri sendiri.
Mitos yang banyak beredar di masyarakat diantaranya (1) Self-acceptance tidak bisa berubah dan relatif menetap, (2) Self-acceptance sangat ditentukan oleh tampilan fisik seseorang, dan lain-lain.
Bagaimana Anda sangat menghargai diri Anda sendiri tanpa syarat di era media sosial?
Untuk bisa mencintai diri secara penuh dan tanpa syarat di era media sosial ini, intinya terletak pada penerimaan diri yang objektif. Hal ini menjadikan seseorang akan bisa menampilkan diri dan berperilaku di media sosial secara genuine dan tanpa tipu muslihat atau kepalsuan untuk bisa mendapatkan pengakuan dari sosial.
Ia akan menampilkan dirinya apa adanya dan proporsional, sehingga ia tidak perlu melakukan editing terhadap tampilan, karakter atau tampilan sosialnya. Mudahnya, seseorang itu punya diri-ideal dan diri-nyata, orang yang sehat mental biasanya gambaran diri-ideal hampir sama dengan gambaran diri-nyata. Semakin besar kesenjangan atau gap antara gambaran diri-ideal dengan gambaran diri-nyata maka akan semakin besar masalah psikologis dari orang tersebut.
Apakah Anda berpikir bahwa lelucon mencela diri (self-deprecating) sangat berperan dalam meremehkan harga diri?
Kritik terhadap diri sendiri atau lelucon tentang diri yang sifatnya auto-critic sebetulnya wajar dan bisa bermanfaat untuk evaluasi diri dan menjadi dasar untuk melakukan tindakan atau perbaikan kedepannya. Namun, jika hal tersebut dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional hal ini akan berdampak negatif dan akan membuat kita memiliki kacamata negatif dalam memandang diri sendiri dan cenderung tidak menghargai potensi dan prestasi diri sendiri. Jika hal ini terjadi terus menerus akan menghancurkan diri dan membuat diri terpuruk.
Apakah ada yang namanya ‘toxic positivity‘?
Ya, ada. Sikap diri yang positif menunjukkan adanya energi dan motivasi positif, sehingga hal tersebut bisa “menular” kepada orang lain. Jika kita berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang yang senantiasa berpikiran dan bertindak positif maka kita akan terbawa menjadi positif, namun jika kita berinteraksi dengan orang yang memiliki pandangan negatif maka kita pun akan terbawa memiliki pikiran negatif.
Apa cara terbaik untuk mencapai keadaan baik dalam diri Anda?
Selalu ada proses untuk mencapai self-acceptance karena setiap orang memiliki proses dan pengalaman pencarian diri yang berbeda-beda. Hal yang bisa bermanfaat untuk mempermudah pencapaian the state of okayness, diantaranya (1) selalu mengapresiasi pencapaian diri meskipun kecil dan sedikit, (2) Selalu berpikir positif, (3) Nikmati proses belajar dan pencarian jati diri, (4) Jangan membandingkan diri anda dengan orang lain, dan (5) Belajar menerima “ketidaksempurnaan” diri.