Mendalami Psikologi Foodie Content dan Dampaknya pada Pengguna Media Sosial
Unggahan yang dapat ditemui di media sosial setiap harinya – gambar makanan yang kamu lihat tadi pagi – pada umumnya mendorong kita untuk mengonsumsi makan lebih banyak.
Teks: Titania Celestine
Photo: Chad Montano via Unsplash
Sebagian besar dari kalian seringkali menemukan gambar – gambar makanan yang menggiurkan – di media sosial manapun, Twitter, Instagram, Facebook – sebagai warganet, mungkin normal bagi kita setiap harinya untuk melihat setidaknya satu upload media sosial yang bersifat mouth-watering dan akhirnya, langsung ke aplikasi pemesanan makanan lah, we go.
Tampaknya, sebagai manusia, sangat mudah bagi kita untuk dipengaruhi orang lain, terutama mereka yang paling dekat dengan masing – masing diri kita. Hal ini tidak berbeda dengan kasus makanan yang kita konsumsi setiap hari.
Hal ini berarti, unggahan yang dapat ditemui di media sosial setiap harinya – gambar makanan yang kamu lihat tadi pagi – pada umumnya mendorong kita untuk mengonsumsi makan lebih banyak. Pola makan kita sangat dipengaruhi oleh apa yang kami lihat. Oleh karena itu, banyak perusahaan F&B yang memilih untuk mempromosikan produk mereka melalui Instagram dalam bentuk foto yang menggiurkan.
“Sudah terbukti bahwa ketika anda melihat gambar makanan, secara umum rangsangan visual tersebut akan mendorong anda untuk merasakan keinginan untuk makan,” ungkap Suzanne Higgs, profesor psikobiologi nafsu makan di University of Birmingham, Inggris.
“Jika teman – teman kalian di media sosial mengunggah foto makanan cepat saji, maka akan tercipta suatu norma sosial, yang menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan cepat saji itu lazim, and it’s what people normally do.” tambahnya.
Para ilmuwan dan peneliti yang mendalami fenomena sosial tersebut menjadi khawatir akan potensi konten makanan yang ditemukan pada media sosial mengubah cara pikir kelompok individu yang aktif berinteraksi dengan konten tersebut.
“Algoritma media sosial mempromosikan konten yang cenderung memiliki lebih banyak jumlah views. Maka dari itu, melihat konten yang mempromosikan makanan tidak sehat sekali saja, berarti bisa melihat konten yang bersifat similar di waktu yang akan datang. Begitulah cara mereka mengumpan para pengguna media sosial.” ujar Ethan Pancer, profesor marketing di Saint Mary’s University Halifax.
“Memang beberapa dari kita tidak terlalu terpengaruh oleh konten semacam ini, tapi bagi mereka yang berisiko dan mungkin memiliki eating disorder, dengan meningkatnya jumlah konten yang menormalisasi pola makan tidak sehat, maka hal tersebut tentunya berdampak butuh pada tubuh dan perilaku mereka juga,” ungkap Patricia Cavazos, profesor psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Washington.
Diperkirakan bahwa kelompok umur anak – anak dan remaja melihat pemasaran makanan sekitar 30 hingga 189 kali per minggu di aplikasi media sosial, dengan makanan cepat saji dan minuman manis menjadi konten yang paling umum.