Feminis Chili dan Upayanya Melawan Penyair Problematik Pablo Neruda

Human Interest
10.10.22

Feminis Chili dan Upayanya Melawan Penyair Problematik Pablo Neruda

Dengan rekam jejak penuh kegelapan, penyair dari Chili yang berhiaskan Nobel Prize tampaknya tidak bisa bersih dari jejak-jejaknya—terlebih setelah 49 tahun kematiannya.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Garrin Faturrahman
Foto: AFP/Getty Images

Penelusuran simpel via Google mengenai penyair kelahiran Chili yang mengantongi piala Nobel hanya menampilkan sejarahnya sebagai seseorang yang aktif berkarya dalam bentuk puisi. Namun, nama Pablo Neruda tampak menutupi beberapa kontroversi yang menghalangi penggunaan namanya untuk bandara internasional di Santiago: dari campur tangannya sebagai senator di Partai Komunis Chili, pilihannya untuk mengabaikan dan tidak mengakui anak perempuannya yang mengidap hidrosefalus, hingga pengakuannya mengenai pemerkosaan yang ia lakukan kepada seorang perempuan di suatu hotel Sri Lanka.

Perpustakaan disarankan untuk tidak menyetok buku-buku Neruda, dan penolakan tersebut bukan karena hal ringan. Seorang penyair dan dosen gender studies di University of Chile, Kemy Oyarzun, mengatakan bahwa salah satu puisi karangan Neruda yang bertajuk “Poem XV” berisikan kata-kata bersifat menyuruh kepada kekasihnya untuk menutup mulutnya. Puisi tersebut bersifat merendahkan dan tidak memanusiakan perempuan, kendati penggunaan bahasa yang berbau romansa. Sampai-sampai, para perempuan pun turun ke jalan dan mengangkat graffiti yang melawan Neruda dengan mengatakan bahwa ini giliranmu untuk menutup mulut.

Foto: Mila Belén/Pousta

Dilansir dari NPR, terdapat suatu cuplikan murid-murid SMA yang unjuk rasa mengenai seorang psikolog sekolah yang melecehkan salah seorang kawan mereka. Salah satu dari gerombolan murid tersebut, Laura Brodsky, mengatakan bahwa Neruda, bahkan, tidak diajari di sekolah mereka—ia pun menambahkan bahwa dirinya tidak ada ketertarikan untuk membaca karya-karyanya.

Masa lalu Pablo Neruda masih menyisakan beberapa hal yang patut dipertanyakan, dan ini tercerminkan dari pelariannya dari Chili pada tahun 1947 ketika pemerintah setempat melarang Partai Komunis, dan Neruda pun dicap sebagai pengkhianat. Belum selesai di situ, ketika ia sudah kembali ke Chili setelah memenangkan piala Nobel, Chili mulai dipimpin oleh Pinochet setelah kudeta yang terjadi pada tahun 1973. Buku-buku karyanya pun diperintahkan untuk dibakar, dan pemusnahan ini terjadi pada tahun yang sama dengan kematiannya—kabar beredar bahwa penyebab kematian Neruda pun atas perintah Pinochet yang dilancarkan oleh suntikan via dokter, meski kasus ini masih diteliti oleh ahli-ahli di sana.

Namun, beberapa akademisi serta Lieta Vivaldi, seorang anggota dari Chile’s Feminist Lawyer Association, mengatakan bahwa kampanye ini sedikit terlalu berlebihan. “Dia adalah seorang penyair yang sangat, sangat penting, dan kamu tidak bisa cancel dia hanya karena kehidupan pribadinya. Dengan begitu, kita justru akan main hakim sendiri terhadap semua orang.” menurut Vivaldi. Ditambah lagi, John Otis, selaku jurnalis dari NPR, mengungkapkan tanya mengenai kemungkinan salah tafsir terhadap puisinya, terutama “Poem XV” yang sebelumnya dibahas.

Meski demikian, aksi kekerasan seksual yang ia lakukan terhadap seorang perempuan yang bekerja sebagai petugas kebersihan di suatu hotel di Sri Lanka tetap menjadi salah satu objek yang dijadikan asesmen ulang para feminis terhadap Neruda. Dalam pengakuannya yang tercatat dalam memoir post-homous, “…itu adalah penyatuan antara lelaki dan patung,” adalah kalimat ungkapannya yang terangkum dalam buku tersebut.

Akhir kata, penutupan museum yang mempertunjukan karya-karya Pablo Neruda tidak hanya diakibatkan oleh pandemi dan menghilangnya pengunjung, tapi juga karena penafsiran ulang terhadap Neruda yang tidak menyurutkan figur problematik yang ada di dalam diri dan sejarahnya.whiteboardjournal, logo