Budaya Nyinyir dan Cyberbully, Masalah Serius di Antara Kita
Berbincang dengan beragam sosok mengenai budaya bullying – khususnya cyberbullying dan cara menanggapinya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Bintang Lestada
Di satu sisi, bullying telah menjadi ritual prasejarah di mana itu menjanjikan untuk menumbuhkan kekuatan mental memasuki kedewasaan. Dan bullying pun sudah dipopulerkan sejak kecil dengan kegiatan MOS dan ospek. Tindakan bullying bersembunyi di balik topeng solidaritas dalam diri dan kesehatan mental kita — padahal sebenarnya itu hanyalah bentuk kekerasan. Bentuk itupun terwujud dalam banyak cara, tetapi selalu berakar dalam hubungan kekuasaan. Bagaimana hierarki telah membodohi kita dengan ketakutan dan kebencian hanya demi ‘rasa hormat’. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi dari seorang influencer ternama dengan pekerja kreatif di salah satu media sosial. Itulah sebabnya, kami berbicara dengan beberapa orang tentang bullying. Bagaimana cara mengetahui adanya tindakan bullying dan juga bagaimana caranya untuk memberi dukungan penuh kepada target bullying – begitu juga dengan penilikan mengapa bullying itu terjadi.
Aria Danaparamita
Writer and Consultant
Bullying telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat serius yang terjadi di seluruh dunia. Bagaimana Anda melihat posisi isu ini di Indonesia?
Dalam budaya Indonesia seringkali tidak ada batasan antara ranah privat dan publik. Kita pasti sering mengalami keluarga, teman, bahkan orang tak dikenal sekalipun yang merasa mereka berhak mengomentari—mulai dari berat badan, status menikah, hingga yang terkait SARA. Dalam banyak kasus, bully pertama kita justru orang tua sendiri. Di Indonesia juga banyak kelakuan-kelakuan abusive yang dianggap normal, salah satunya bercanda dengan mempermalukan atau menghina orang lain. Karena faktor budaya yang sangat kental ini, bullying menurut saya cukup challenging untuk ditangani di Indonesia. Saya salut dengan para pejuang anti-bullying di Indonesia karena kita menghadapi tantangan perubahan kultur dan pola pikir yang cukup berat.
Bullying kini telah banyak terjadi di dunia maya, apa tanggapan Anda mengenai budaya cyber bullying netizen sekarang?
Media sosial memberi platform dan amunisi bullying. Pertama, semua bisa jadi bully – tidak perlu ada di tempat yang sama, bahkan tidak perlu mengenal target bullying untuk ikut mem-bully. Kedua, internet memberi anonimitas yang memungkinkan dan bahkan mendorong orang untuk merasa bebas mem-bully tanpa takut konsekuensinya. Ketiga, semuanya terjadi secara lebih dekat dan cepat, jadi untuk orang yang di-bully sangat sulit untuk menghindar, terkecuali terpaksa menghilang dari media sosial. Yang perlu diingat juga adalah bullying is an expression of power, often to compensate one’s own powerlessness, baik di dunia nyata maupun maya.
Cyberbully menggunakan media sosial sebagai pelampiasan untuk berusaha merasa lebih ‘kuat’ karena tidak mendapatkan afirmasi itu dari kehidupan dia sendiri. Relasi kuasa ini juga berpengaruh dari sisi korban. Dari pengalaman dan pengamatan saya, pola marginalisasi di dunia nyata juga terjadi di dunia maya, di mana komunitas-komunitas yang lebih rentan—terutama perempuan atau minoritas gender dan seksual—sering menjadi target bullying.
Boleh ceritakan pengalaman Anda yang menyangkut dengan bullying?
Saya untungnya relatif jarang menghadapi cyberbully. Ini menarik sih mungkin karena nama saya gender neutral dan yang saya alami ada perbedaan respons antara orang yang tidak setuju dengan opini saya berdasarkan asumsi gender, misalnya kalau dia mengira saya lelaki, biasanya lebih sopan dan santai tapi kalau dia mengira saya perempuan tiba-tiba bisa “bitch,” “feminazi,” ada yang menyuruh saya mati pula (jokes on them though cause we’re all dying?). Tapi worst experience yang tidak mengenal gender itu kalau sudah men-trigger “stans.” Stan apapun. Yang terakhir saya alami itu pas kritik Agnes Monica atas apropriasi budaya Papua dan itu beneran RIP my mentions. Tapi sekali lagi, karena saya beruntung jarang menghadapi bully, kalau ada yang coba nge-bully sih saya trolling balik.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menanggapi kasus bullying?
Menurut saya prioritas adalah melindungi korban. Jadi misalnya kita menyaksikan bullying, baik offline atau online, pilihan kita ada tiga: do nothing, attack the bully, dan/atau protect the victim. Menurut saya yang paling efektif pertama itu melindungi korban dan membuat mereka merasa aman. Misal, ada yang komen negatif? Beri mereka komen positif yang membangkitkan kepercayaan diri mereka. Karena harus diingat kembali bahwa efek bullying itu bisa jangka panjang, jadi terkadang tidak cukup untuk menghentikan aksi bully-nya – kita juga harus membantu korban bully untuk dapat bangkit kembali. Sementara untuk si bully, strategi yang menurut saya efektif adalah jangan kasih mereka perhatian. It’s about power, and attention gives them power. Jadi, strateginya, pertama tidak usah kasih mereka perhatian, dan dalam waktu bersamaan laporkan mereka sebagai konsekuensi atas tindakannya. Tapi yang penting tidak ada tuh yang namanya innocent bystander. Tugas kita adalah saling jaga dan saling melindungi.
Melihat kasus bullying yang banyak terjadi karena ujaran negatif, apa saran Anda untuk dapat mencegah hal ini?
Menurut saya kita butuh pendekatan komprehensif mulai dari dini untuk meningkatkan empati. Terkesan sederhana, tapi sayangnya masih terlalu banyak orang-orang Indonesia yang tidak mengerti atau tidak menghiraukan perasaan orang lain. Disinilah pendalaman dan pelatihan empati itu penting, dan ini harus dimulai sejak kecil. Dengan meningkatkan empati, seharusnya kita jadi sadar untuk, pertama, tidak mem-bully, dan kedua, untuk membantu teman-teman kita yang jadi korban bully.
Benny Prawira, M.Psi.
Founder and Advisor of Into The Light Indonesia
Bullying telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat serius yang terjadi di seluruh dunia. Bagaimana Anda melihat posisi isu ini di Indonesia?
Banyak data yang menunjukkan bahwa memang kenyataannya itu [bullying] terjadi. Angkanya beragam, dan hampir semua dari kita pasti pernah mengalami bullying. Banyak bentuknya, fisik dan verbal, emosional dan spiritual. Dalam kondisi ini, terkadang bullying datang dari masalah personal atau memang anaknya ingin iseng, agresif, atau merasa lebih baik. Tapi juga, masalah-masalah di sistem kita pun tidak memberikan proses pembelajaran yang sifatnya mengajarkan mereka untuk merefleksikan aftermath dari bullying itu efeknya bagaimana. Dan ada juga aturan yang mengikat atau menindak bullying. Harus ada penerapan konsultatif. Kita pun tanpa sadar jadi menormalkan bahwa itu fase dalam anak-anak; menjadi nakal dan sebagainya itu, wajar — begitu juga dengan anggapan seperti ‘jangan cengeng amat jadi anak tuh’ dan sebagainya itu. Masih banyak sebenarnya hal yang perlu diperhatikan di luar konteks perilaku bullying; situasinya juga mendukung.
Bullying kini telah banyak terjadi di dunia maya, apa tanggapan Anda mengenai budaya cyberbullying netizen sekarang?
Pada dasarnya ketika di interaksi di internet, orang-orang yang ada di dalam itu adalah, orang. Yang kita bisa tatap mukanya, yang bisa kita dengar suaranya, yang kita bisa rasakan emosinya dan sebagainya. Tetapi karena interaksi internet hanya terjadi secara tidak langsung, kita anggap mereka hanya gambar or whatever. Kita tidak bisa fully aware physically kalau mereka itu ‘riil’. Nah, di sini tantangannya, bahwa kadang hal yang ada di internet itu sepele doang, jadi kita ngomong apapun aja boleh. Wong cuma ada kata dan gambar, ya sudah gitu doang. Itu dia yang tidak langsung terjadi: proses itu adalah sebuah bentuk dari dehumanisasi dan seringkali, hal-hal ini mudah jadi escalating, karena ada ada engagement-nya.
Sebenarnya khawatir aja, karena kita cenderung suka gak memperlakukan manusia seperti manusia karena ya itu. Kita melihat mereka sebagai ‘kata’ dan ‘gambar’. Adanya kebiasaan mocking dan kalau salah sedikit, langsung dihajar habis-habisan. Itu normalisasi bullying juga. Saranku sebenarnya, media sosial itu harus ada sistemnya. Policy diperbaiki, adanya report dalam system dan sebagainya. We have to realize that words hurt. And it does. Kita mulai stop pelan-pelan. Kalau ada kasus orang terkena bullying, langsung dilaporkan saja. Kalau melihat orang yang di-bully juga, kita harus ada some kind of support, boleh dihubungi secara pribadi — kirim DM atau bagaimana gitu, that helps. Tapi ingat, kita juga harus tahu caranya reach out, dan juga mencegah bullying itu sendiri.
Boleh ceritakan pengalaman Anda yang menyangkut dengan bullying?
Dulu pun, saya pernah jadi korban dan pelaku di masa kecil juga. Karena seringkali – karena gak pernah diajarkan ‘kebaikan’, karena kita sadar adanya perbedaan walaupun sedikit — ya pasti kita langsung kata-katain. Karena kita tidak sadar kalau itu adalah bullying. Perbedaan untuk kita saat itu pastinya terasa aneh, dan mungkin itu jadi bikin tidak nyaman. Entah karena itu anak botak lah, kemayu lah, atau warna kulitnya berbeda lah. Itu terjadi karena kita tidak diajarkan kalau being different is okay. Karena tidak adanya ajaran itu, maka jadilah adanya jaga jarak dan ended up bullying these people.
Ada suatu penelitian yang memperlihatkan kalau beberapa kelompok tidak mau kalau ada yang beda dan berada di dalam lingkungannya. Mau itu secara tubuh atau ekspresi gender yang berbeda dan sebagainya, itulah yang jadi basis ajaran untuk orang-orang membenci orang lain. Adanya ajaran kebencian itu disusupkan dan dijadikan sebagai sesuatu yang wajar – jadilah itu berperan dalam pengalaman pribadi orang-orang. Sebagai korban sendiri pun saya juga pernah, karena ada kondisi asma di mana pada zaman kecil itu sering kumat dan jadi parah banget. Saya pun dulu kalau berpikir berbeda sedikit dari yang lain pun langsung dijauhi. Hal itu bikin saya merasa disingkirkan. Sampai pada akhirnya, kita jadi bertanya “Sebenarnya kita itu ‘benar’ ga sih?” Sebagai makhluk sosial, kita pasti akan merasa sendirian, maka itu harus ada dukungan motivasi dll setelah masa bullying terjadi.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menanggapi kasus bullying?
Sebagai bystander, kalau memungkinkan, lapor ke otoritas. Tapi yah… Sistemnya tidak memungkinkan kan terkadang. Setidaknya kita bisa jadi dukungan personal [untuk yang di-bully], apa yang bisa dibantu untuk mengembalikan self-worth mereka. Lebih baik kita menyediakan dukungan tersebut. Kalau ada sumber daya atau kekuatan yang cukup dari kita, speak up against the bully. Kalau ternyata setelah itu malah lebih parah, baru cari otoritas yang paling memungkinkan untuk menanggapi.
Melihat kasus bullying yang banyak terjadi karena ujaran negatif, apa saran Anda untuk dapat mencegah hal ini?
This will be very complex soalnya saya percaya bahwa ini bukan cuma soal agresi atau keinginan untuk menjadi dominan. Tapi ini juga karena adanya kultur kekerasan – norma-norma maskulin yang tough dan ingin kelihatan agresif. Norma-norma itu terlalu kita langgengkan, contohnya MOS dan ospek. Kadang excuse-nya supaya mentalnya jadi lebih tangguh. Itu kan proses menormalkan. Padahal ya, tidak ada bukti ilmiah. Bikin lebih tangguh? Studinya mana? Yang ada malah menimbulkan trauma dan rasa seperti dikikis di dalam dirinya. Belum masalah sistem dan regulasi yang berputar di bullying tersebut. Justru sekarang kita harus normalize kindness, empathy, caring, compassion; itu yang harus lebih ditanamkan dari kecil. Menghargai perbedaan dan toleransi.
Samri Pasaribu
Founder of The Misses Riot and Co-Founder of Sada Creative
Bullying telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat serius yang terjadi di seluruh dunia. Bagaimana Anda melihat posisi isu ini di Indonesia?
Menurut saya isu bullying di Indonesia masih dianggap remeh. Masyarakat masih belum menganggap hal ini serius dan dampaknya bisa sangat fatal kalau dibiarkan. Tapi ya mau membereskan isu bullying harus sampai ke akar-akarnya dan ini sangat sulit. Banyak hal-hal yang dapat memicu terjadinya bullying yang sulit dimusnahkan, seperti norma sosial dan budaya. Berbeda sedikit dibilang aneh, bahkan bisa sampai dipaksa untuk ikut sama seperti mayoritas. Kampanye atau gerakan yang ada untuk menghentikan bullying pun belum sebesar itu dan belum tersebar luas. Sedihnya lagi terkadang tindakan yang dianjurkan adalah menguatkan mental korban atau calon korban, bukannya fokus ke pelaku.
Bullying kini telah banyak terjadi di dunia maya, apa tanggapan Anda mengenai budaya cyberbullying netizen sekarang?
Ya sekarang segampang itu untuk cyberbully atau jadi netizen nyinyir di sosial media. Tinggal jadi anonim, kirim hate message lalu kabur. Makanya harus fokus ke pelaku bullying-nya. Ke masyarakat juga. Banyak kasus di mana orang-orang tidak menyadari bahwa yang dia lakukan adalah bentuk bullying. Karena norma dan budaya itu tadi lagi. Perlu adanya gerakan besar-besaran bahwa bullying merupakan tindakan yang dapat merugikan banyak pihak juga untuk korban cyberbully juga perlu disosialisasikan bahwa mencari bantuan profesional itu wajar kalau sudah dirasa perlu.
Boleh ceritakan pengalaman Anda yang menyangkut dengan bullying?
Saya seorang laki-laki dari keluarga batak, lahir dan besar di Medan. Lingkungan saya mengharapkan saya untuk berperilaku sebagai laki-laki yang keras dan maskulin dimana karakter saya dan cara saya berpakaian seringkali feminim. Dari saya SD sampai SMA saya sering diteriaki bencong dan dijauhi dari teman-teman sesama laki-laki. Dulu kata bencong sangat menyakiti hati saya dan membuat saya harus berperilaku maskulin agar tidak di-bully. Sampai saya kuliah pun ternyata masih sering ditindas. Orientasi seksual dan identitas gender saya membuat banyak orang merasa terganggu. Terbukti pada saat saya ikut fashion show acara kampus, saya diteriaki dan dipaksa turun. Ketika saya melawan, saya diancam untuk dipukuli. Padahal saya tidak pernah merasa identitas saya mengganggu siapapun, ini bukti bahwa patriarki merupakan budaya yang masih sangat kental di Indonesia.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menanggapi kasus bullying?
Harus dari sekolah. Setiap sekolah harus ada sosialisasi yang baik dan benar untuk mengajarkan ke murid-murid tindakan apa saja yang termasuk dalam tindakan bullying dan betapa fatalnya dampak kasus bullying sering terjadi. Kepada setiap murid juga harus diajarkan untuk speak up apabila melihat ada penindasan sedang terjadi. Harus ada program yang bagus juga untuk para korban bullying dan sanksi terhadap pelaku bullying harus tegas sehingga membuat mereka jera.
Melihat kasus bullying yang banyak terjadi karena ujaran negatif, apa saran Anda untuk dapat mencegah hal ini?
I personally think that the most visible and realistic thing to do is to teach people that there are no rules, norms or guidelines on how to be human. You can be whatever as long as you don’t physically or mentally hurt anyone. Teach your friends and family that it’s mandatory to speak up and to act if you see bullying happening around you. Donate and support organisations that work to end bullying. We may be broken now, but our future generations don’t have to be.
Seanzha Kemal Rachman
Graphic Designer
Bullying telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat serius yang terjadi di seluruh dunia. Bagaimana Anda melihat posisi isu ini di Indonesia?
We’re getting somewhere karena perlahan masyarakat mulai terbuka dan aware akan isu dan dampak dari bullying, but sadly it’s still a long way to go. Masih banyak orang yang menganggap bullying itu hal yang enteng, dan itu sangat disayangkan karena mereka tidak tahu bagaimana efek yang akan menempel sama korban sepanjang hidupnya.
Bullying kini telah banyak terjadi di dunia maya, apa tanggapan Anda mengenai budaya cyberbullying netizen sekarang?
It’s real. Ada orang yang beranggapan “ah yaudah tinggal matiin aja laptop/gadgetnya” padahal tidak sesimpel itu. Sekalinya sudah nempel di otak kita, bakal susah banget menghapusnya. Apalagi zaman sekarang apapun yang terjadi di dunia maya, sangat berpengaruh sama real life. Jadi cyberbullying tidak menutup kemungkin itu jadi akan berlanjut sampai ke kehidupan nyata juga.
Boleh ceritakan pengalaman Anda yang menyangkut dengan bullying?
Dari SD sampai SMA bullying bisa dibilang makanan sehari-hari, sampai kenyang (tertawa). People called me names, threw my stuff into the trash can, some kids even followed me home and mocked me from their car and threw their drinks at me. Mulai dari fisik dan verbal semuanya ada, tapi ya kalau bisa bilang lebih sakit verbal.
Efeknya jujur saya masih merasakan sampai sekarang. 10+ tahun kemudian sampai sekarang saya masih suka cemas ketakutan ketika jalan sendirian, attempted suicide multiple times, harus berjuang melawan depresi dan struggle lainnya. That’s how bad bullying is, it may give you power and satisfaction but for what? It ruins other people’s lives.
Yang ngebully saya dulu? Kalau melihat dari Instagram-nya sih pada hidup bahagia dan stabil aja dengan pekerjaan dan keluarga kecilnya.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menanggapi kasus bullying?
Saya sendiri pun agak clueless kalau ditanya caranya. Mungkin bisa dengan mengedukasi masyarakat karena mereka sendiri juga bisa dibilang tidak tahu dan tidak merasakan. Caranya bagaimana? Bisa dimulai dengan stop normalisasi bully di semua media mainstream. Stop normalisasi kalau bullying adalah sesuatu yang seru dan lucu. Mulai tunjukan kalau bullying itu tidak ada gunanya dan apa saja dampaknya bagi korban. We can start from that.
Melihat kasus bullying yang banyak terjadi karena ujaran negatif, apa saran Anda untuk dapat mencegah hal ini?
Bisa dimulai dari diri sendiri. Kalau ada sesuatu yang terjadi dan hal itu tidak berdampak apa-apa ke diri kamu dan kamu merasa tidak punya hal baik untuk diutarakan, lebih baik simpan sendiri. Jangan hanya karena memuaskan ego kamu, jadi menyakiti orang lain yang dampaknya bisa dia rasakan seumur hidupnya. Mencegah dan tackle-nya sih lebih ke yang don’t give them any attention or power. Kalau ada yang bully, walk away, don’t give what they want.
Nadhira Farrassati
Volunteer at Sudah Dong
Bullying telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat serius yang terjadi di seluruh dunia. Bagaimana Anda melihat posisi isu ini di Indonesia?
Menurut saya di Indonesia, masalah bullying belum mendapat perhatian yang begitu penuh dari seluruh masyarakat dan pihak terkait. Sudah ada kelompok masyarakat yang menyadari bahaya dan seriusnya masalah bullying tetapi masih banyak sekali yang menganggap bullying hal sepele. Bullying juga belum terlihat menjadi salah satu perhatian khusus yang ingin diberantas pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Bullying kini telah banyak terjadi di dunia maya, apa tanggapan Anda mengenai budaya cyberbullying netizen sekarang?
Menurut saya, pada masa sekarang ini, netizen semakin menjunjung tinggi ide “bebas berpendapat” yang terkadang membawa mereka ke perilaku kurang peka terhadap perasaan maupun kondisi mental orang lain. Kemajuan teknologi yang membuka ruang bagi masyarakat dunia untuk berinteraksi secara tidak langsung melalui media sosial dengan jangkauan yang sangat luas bahkan dengan orang yang tidak kita kenal sekalipun, dapat menjadi sarana yang mudah untuk melakukan perundungan. Sudah mulai terlihat pada budaya cyberbullying netizen Indonesia sekarang ini, dengan dasar bebas berpendapat dan didukung dengan teknologi sebagai sarana untuk berpendapat, alih-alih berpendapat, netizen sekarang ini lebih terlihat menghakimi apapun yang tidak sesuai dengan prinsip hidup mereka. Menghakimi seakan-akan mengatur standar untuk hidup orang lain. Interaksi secara tidak langsung ini juga membuat para netizen lebih berani dalam menggunakan kata-kata yang tidak sepantasnya diutarakan kepada orang lain.
Boleh ceritakan pengalaman Anda yang menyangkut dengan bullying?
Saat masih di Sekolah Dasar (SD) saya pernah menjadi pelaku bullying. Pada saat itu saya tidak merasa ada masalah sama orang tersebut tapi sebel saja kalau melihat mukanya. Tindakan bullying yang saya lakukan bila dipikir-pikir lagi sekarang sangat jahat. Mulai dari saya mencubit sampai menangis, PR-nya saya robek setiap ingin dikumpulkan ke guru sampai saya ancam jika bilang ke siapa-siapa. Saya sadar saat itu kalau itu salah tapi masih menganggap sepele sampai akhirnya saya masuk SMP dan ingat kejadian-kejadian tersebut, saya merasa sangat bersalah dan berusaha mencari contact teman saya tersebut untuk meminta maaf.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menanggapi kasus bullying?
Saat melihat adanya kasus bullying, bila terjadi di lingkungan terdekat kita maupun kasus yang ramai di sosial media, menurut saya yang sebaiknya kita lakukan ialah merangkul korban dengan memberi dukungan berarti yang dapat membuat korban tidak merasa sendiri. Sedangkan bagi pelaku, tanpa menghakimi secara kejam dengan tindakan maupun kata-kata, kita dapat menyerahkan kepada pihak yang lebih berwenang atau lembaga khusus yang dapat menangani si pelaku tersebut.
Melihat kasus bullying yang banyak terjadi karena ujaran negatif, apa saran Anda untuk dapat mencegah hal ini?
Saran saya mulai kepada diri sendiri untuk tidak terpengaruh akan hal-hal negatif semacam itu. Dengan kesadaran diri sendiri akan hal tersebut maka akan dapat meminimalisir penyebaran ujaran negatif. Kita juga dapat memberikan contoh kepada lingkungan sekitar bahwa kedamaian lebih indah dibanding fokus dan terjerumus ke dalam ujaran negatif.