Gimme 5: Poppie Airil
Kami menanyakan 5 film komedi terbaik versi Poppie Airil.
Jika mendengar nama Poppie Airil hari ini, mungkin asosiasi terdekat adalah Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi. Walau bassist ini memang sedang aktif dengan unit musik tersebut, namun Poppie sebenarnnya juga memliki project bernama Bing dan dulu sempat aktif dengan duo bernama Douet Mauet. Terlepas dari musik yang menjadi ranah kreatifnya, Poppie memiliki segudang interest menarik yang ia jadikan referensi dalam berkarya, salah satunya adalah film. Maka dari itu, di episode Gimme 5 kali ini kami menanyakan 5 film komedi terbaik versi Poppie Airil.
Bing Slamet Sibuk (Hasmanan, 1973)
“Wah, bukan maen, hebat, hebat! Hei Is, ini kan becanda, masa soal begitu saja kau anggap serius. Duduk situ! Ini orang macem begini nih yang tidak mau bersyukur. Dulu, belom punya pekerjaan cari pekerjaan. Sudah punya pekerjaan, cari keributan. Kalau soal anak-anak pada nakal itu biasa. Itu resiko kita. Anak kan tergantung pada kita; kalau kita mendidiknya baek, tentu mereka menjadi baek. Betul enggak? Ini malah yang tua-tua yang enggak tahu diri. Nih, kita yang lebih kenal watak tuan Edi. Beliau itu baek dan selalu memperhatikan para karyawannya. Bantu dong! Jangan ngerongrong aja. Kalau ada sesuatu persoalan, apa saja, jangan suka ngomong di belakang. Bilang ama kita. Nanti kita perjuangkan. Soal komisi? Enggak usah! Sementara ini kita belom doyan. Tahu nanti-nanti sih!”
Drakula Mantu (Nya Abbas Akup, 1974)
“Apa saya boleh bertanya? (Ya, silahkan) Apa anak paduka orangnya cakep? (Cakep? Yang jelas dia tidak kurang dari bapaknya) Apa dia kaya? (Oh, dia punya kastil dan tanah berhektar-hektar. Dan semua hak milik, dan hak milik sangat dihargai di sana. Ndak ada lagi?) Terima kasih, sudah cukup. [Eh, kenapa tidak ditanya.. Apa dia sudah kawin atau belum?] Hmm.. Untuk gadis jaman sekarang saya pikir tidak penting, tuh!
Si Doel Sok Modern (Sjuman Djaya, 1976)
“Non, kakakmu, seus Erma enggak ikut? (seus Erma kakakku? Aih, Doel, Doel. Dulu itu seus Erma memang bekas teman saya, tapi sekarang sudah jadi ibu; malah panggilnya juga mami) Hah? (Iya. Modern Doel, modern!) Astagfirullah. Modern?! (Lho, emang kenapa?) Enggak. Abis ibumu cantik sih, rupanya kayak lukisan siapa tuh? Basoeki Bajenet. (Basoeki Bajenet?) Ah salah. Basoeki F. Abdullah.”
Sama Juga Bohong (Shaerul Umam, 1986)
“Sekarang, kemampuan robot ini bertambah. Kita bisa mengendalikan dari jarak jauh dengan alat ini dan dia juga bisa membela dirinya sendiri kalau ada yang mengancam. (Wah! Lama-lama robot ini bisa lebih pintar dari kita, Don) [Iya, bener! Lama-lama die jadi kite, kite jadi die. Cuman die ada kurangnya satu; gak bisa protes.] Siapa bilang! Bisa kalau boleh. [Eh, Sama juga bo’ong]
Jodoh Boleh Diatur (Ami Priyono, 1988)
“Lho, enggak bisa begitu dong. Saya kan sudah keluarken deposito dan tenaga untuk mencari mereka-mereka itu sesuai dengan pesanan. Oh, rupanya begini yah cara bisnis Melayu? (Ah, ibu tak perlu kuatir! Sesuai perjanjian, segala ongkos-ongkos yang ibu keluarkan akan saya ganti sepenuhnya. Lihat nih!) Pak Wardoyo memang seorang businessman sejati kelas internasional yang tidak ada duanya di kampung kita ini. (Sebentar, bu.. Dono, Kasino, Indro, rupanya kalian belum siap mendunia yah? Go international! Kalian masih norak; kampungan, minder. Mari, Bu..)”