Bagaimana Bioskop Arthouse dapat Bertahan dari Terjangan Pandemi
Selama pandemi, bioskop independen yang fokus pada penayangan film arthouse pun berjuang untuk bertahan.
Teks: Jesslyn Sukamto
Foto: Laszlo Csutoras
Arthouse dibilang dapat mencakup peminat film yang cenderung menyukai film indie, film berbahasa asing, dan film bernada obscure. Mereka termasuk segmen penonton yang paling enggan untuk kembali ke bioskop sementara varian Covid-19 terus berkembang.
Film Marvel “Black Widow” dan James Bond “No Time to Die” tentu bukan termasuk film indie, tetapi karena tekanan pandemi yang sedang berlangsung, ini menjadi beberapa film yang dipesan oleh bioskop-bioskop arthouse selama beberapa bulan terakhir.
Pasokan film baru yang tersedia turun secara besar-besaran, dan bioskop telah putus asa untuk menarik minat penonton untuk berkunjung, tetapi dampak pandemi Covid-19 dalam penayangan film arthouse sangatlah signifikan dan berpotensi bertahan lama.
Situasi ini bukan kabar baik untuk pembuat film indie, apalagi banyak bioskop tidak bertahan sama sekali. Dalam enam bulan terakhir, sekitar 300 bioskop dari Amerika Serikat milik Pacific Theaters dan ArcLight ditutup secara permanen.
Di Indonesia, banyak tempat-tempat nonton alternatif untuk pecinta film. Kineforum adalah salah satunya. Mereka menyediakan solusi terhadap pandemi dengan menyediakan sebuah platform online untuk menonton film-film indie bernama layarvirtual.
Solusi itu tentunya bersifat sementara, sehingga bioskop-bioskop independen masih terpaksa untuk beradaptasi—dan dengan cara yang berpotensi merugikan film-film kecil.
Tentunya ada secercah cahaya dari segala kegelapan, ditandai dengan ketenaran film indie yang mendapatkan nominasi Academy Award, seperti “Drive My Car” oleh Ryusuke Hamaguchi, “The Worst Person in the World” oleh Joachim Trierserta, serta “Licorice Pizza” oleh Paul Thomas Anderson.
Film A24 yang dirilis pada akhir Maret, “X” dan “Everything Everywhere All at Once” juga sukses menarik penonton dalam jumlah yang besar.
Meskipun streamers telah menjadi pisau yang tajam terhadap tenggorokan bisnis bioskop jauh sebelum pandemi memaksa kita untuk menetap di rumah saja, setidaknya Apple TV+ menempatkan “CODA” di sekitar 600 layar lebar akhir pekan setelah memenangkan Oscar untuk film terbaik.
Tentunya, inovasi mulai dari strategi programming hingga kolaborasi dan penjangkauan internet, akan menjadi kunci kesuksesan berkembangnya film arthouse di masa mendatang. Ini dapat berarti mengambil pelajaran dari program virtual cinema yang telah menggandeng distributor dan operator di seluruh bagian dunia selama masa-masa lockdown.
Sekarang, kita telah memasuki tahun ketiga pandemi dan bioskop sudah membuka pintunya dengan penerapan protokol kesehatan. Walaupun begitu, menyelenggarakan bioskop virtual ketika bioskop mulai dibuka kembali tentu akan sangat sulit. Para pekerja bagian pemasaran harus tiada hentinya menjalankan, mempromosikan, dan mengoperasikan platform tersebut. Dan hal-hal tersebutlah yang sangat dibutuhkan oleh bioskop arthouse akhir-akhir ini.
Penting juga bagi penonton yang lebih muda untuk menunjukkan ketertarikan pada arthouse, terutama dalam membantu menyulut kesuksesan yang layak pada film-film arthouse mendatang. Tetapi, pemilik bioskop arthouse tetap saja khawatir untuk mendapatkan kembali pemirsa yang lebih tua.
Meskipun tidak ada yang dapat memprediksi dampak dan perubahan yang telah dan akan muncul dari pandemi ini, pemilik bioskip arthouse harus mulai perlahan-lahan mengakui bahwa masa depan arthouse kelak tidak akan sama lagi seperti sebelumnya.