Angkat Representasi LGBTQ+, Film Pixar “Lightyear” Batal Tayang di 14 Negara
Film “Lightyear” yang dijadwalkan tayang dalam bulan ini gagal tayang di 14 negara karena adegan ciuman antar sesama jenis dan dukungan terhadap kalangan LGBTQ+.
Teks: Inaya Pananto
Foto: Pixar
Film spin-off dari franchise “Toy Story”, “Lightyear” dikabarkan mengalami kegagalan tayang di total 14 negara. Film yang menceritakan mengenai latar cerita karakter Buzz Lightyear ini mengangkat sebuah kisah cinta antara karakter Hawthorne, seorang space ranger wanita sahabat dari Buzz, dengan kekasihnya yang juga seorang wanita. Disney beranggapan bahwa bagian cerita ini merupakan bagian integral dari pesan film yang perlu disampaikan, sehingga mereka secara resmi mengatakan tidak akan memotong adegan apapun.
Meskipun tidak dapat mengamankan jadwal tayang di 14 negara Timur Tengah dan Asia seperti Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, Mesir, Malaysia, dan termasuk di dalamnya juga Indonesia, Disney positif bahwa keputusan mereka menyorot karakter LGBTQ+ sebagai keputusan yang tepat dan perlu dipertahankan. Bahkan tanpa tayang di negara-negara tersebut pihak DIsney tetao optimis menaksir film “Lightyear” dapat meraup keuntungan kotor lebih dari USD 82 juta di akhir pekan pertama penayangan sendiri.
Dikabarkan pada tahun 2006 silam, Disney selaku perusahaan utama dari Pixar sempat meminta dihapuskannya adegan ciuman sesama jenis ini. Ketika isu tersebut tersebar di internet, banyak kontroversi mengenai hak-hal dan dukungan terhadap LGBTQ+ yang tersulut. Menyusul perintah dari Disney ini, ratusan pekerja dan staff Disney menandatangani surat petisi mengkritik perusahaan entertainment ini untuk menunjukkan pijakan dukungannya terhadap kalangan LGBTQ+ yang dinilai masih termarjinalkan.
Keputusan Disney untuk memberikan lampu hijau pada adegan LGBTQ+ di film “Lightyear” ini adalah tanggapan Disney dari kritik masif yang mereka dapatkan berkenaan dengan hukum “Don’t Say Gay” di Florida. Aktor pengisi suara pemeran utama Buzz, Chris Evans turut memberikan pendapatnya pada majalah Variety menyayangkan bahwa sal yang seperti ini masih menjadi sebuah ‘berita’ di era ini.
Namun, dapat juga dipahami mengapa pelarangan tayang di negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk Muslim terjadi. Jika di Amerika sendiri, negara yang notabene terbuka dan liberal, hal ini masih menjadi isu, apalagi negara-negara yang di dalamnya memiliki influens norma-norma keagamaan yang kuat. Tidak hanya di negara mayoritas Muslim, Cina juga dikabarkan termasuk ke dalam 14 negara yang meminta pemotongan sejumlah adegan tertentu kepada pihak Pixar. Meskipun Cina terhitung sebagai salah satu negara dengan penjualan tiket film tertinggi, Disney telah secara resmi menolak dilakukannya pemotongan khusus untuk Cina atas dasar tidak sesuai dengan misi besar yang ingin mereka bawa melalui film ini.
Di Indonesia sendiri, hal ini tentu memantik banyak pembicaraan terutama di ragam platform media sosial. Perbedaan pendapat mengenai hal seputar LGBTQ+ adalah hal yang telah lumrah di Indonesia, terutama dari sudut pandang Islam, hak asasi manusia, terkadang terbagi juga pada pandangan generasional, topik ini masih menjadi salah satu topik paling sensitif di perairan media dan masyarakat Indonesia.