Bicara Kultur Kolaborasi dari Kacamata Pegiat Industri Kreatif
Melihat lebih dalam pada tren kolaborasi bersama Ayang Cempaka, Hari Merdeka hingga brand JBL.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ergian Pinandita
Desain: Clarissa Amabel
Di era revolusi industri 4.0 sekarang ini, kultur kolaborasi menjadi salah satu kata kunci bagi para penggiat industri kreatif. Kami berbincang dengan beberapa brand dan sosok kreatif yang untuk mendedah sekaligus menggali inspirasi dari kultur kolaborasi ini.
Ayang Cempaka
Illustrator
Akhir-akhir ini, tren telah menjadi perhitungan utama bagi brand untuk menjalankan sebuah kolaborasi. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Sepengalaman saya, kolaborasi ini kan semacam join forces antara dua pihak supaya saling menguntungkan. Saya bisa apa, dia bisa apa. Sebenarnya, karena masing-masing pihak merasa punya keterbatasan, limited source, limited skill, mereka kemudian bergabung dengan harapan bisa menciptakan sesuatu yang beda dan pengalaman yang beda, tergantung tujuannya apa. Kalau ini dianggap tren, mungkin karena sekarang orang banyak menyadari bahwa lebih enak kerja bareng, join forces, combine efforts daripada jalan sendiri.
Menurut Anda, apakah konsep kolaborasi menjadi aspek esensial dalam memperkaya identitas brand?
To define brand identity juga.
Jika memilih brand atau individu yang diajak untuk kolaborasi, hal apa sajakah yang jadi pertimbangan?
Dengan proses kurasi: visual, style, value, kira-kira align tidak sama visual, style, value saya sendiri, harapan saya apa, target apa yang mau saya capai.
Saat berkolaborasi dengan brand / KOL, dalam segi kreatif, proses apa yang harus dijalankan untuk menghasilkan kolaborasi maksimal?
Komunikasi, supaya sync satu sama lain.
Menurut Anda, apakah kolaborasi merupakan cara yang ideal untuk memperluas market atau target audience sebuah brand?
Definitely.
Devi Yosita
Marketing Communications Manager/JBL
Akhir-akhir ini, tren telah menjadi perhitungan utama bagi brand untuk menjalankan sebuah kolaborasi. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Betul dan setuju sekali, banyak brand berkolaborasi untuk memperluas jangkauan exposure dan audience mereka terutama untuk jangkauan exposure di aktivitas marketing digital atau media sosial. JBL sendiri melakukan beberapa kolaborasi untuk berbagai aktivitas tidak hanya terbatas brand to brand tapi juga kolaborasi bersama komunitas. Hal ini sangat baik impact-nya untuk brand JBL dimana sebagai brand audio, musik tidak hanya terbatas bagi kalangan musisi tapi universal dan lifestyle untuk itu kolaborasi diperlukan untuk dapat menjadi komunikasi brand, experience dari fungsi produk itu sendiri.
Menurut Anda, apakah konsep kolaborasi menjadi aspek esensial dalam memperkaya identitas brand?
Ya betul, diperlukan kolaborasi dengan aktivitas yang tepat sasaran agar produk dapat dipahami oleh customer sehingga brand yang saling berkolaborasi dapat positioning-nya masing-masing dan tidak overlap dari objective-nya. Dan untuk customer pun menjadi additional benefit tidak sekadar experience dari brand tersebut.
Jika memilih brand atau individu yang diajak untuk kolaborasi, hal apa sajakah yang jadi pertimbangan?
Relevansi. Apakah brand atau individu yang berkolaborasi saling relevan atau tidak. Karena tidak akan tercapai objective dari brand/individu jika aktivitas dari kolaborasi itu tidak sesuai dengan identitas brand.
Saat berkolaborasi dengan brand / KOL, dalam segi kreatif, proses apa yang harus dijalankan untuk menghasilkan kolaborasi maksimal?
Punya objective yang clear, aktivitas yang kreatif dan juga unik. Banyak sekali kolaborasi yang bisa diciptakan tapi jika tidak unik dan kreatif, tidak akan memberikan impact atau experience yang melekat bagi customer.
Menurut Anda, apakah kolaborasi merupakan cara yang ideal untuk memperluas market atau target audience sebuah brand?
Saat ini banyak sekali kolaborasi dengan ide-ide atau eksekusi yang menarik dapat dilakukan tanpa membatasi kreativitas itu sendiri. Menurut saya, dengan berkolaborasi brand perlu lebih jeli untuk melihat potensi agar dapat menjangkau market atau audience baru bagi brand-nya. Kolaborasi juga perlu seimbang dan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin buat brand berkomunikasi tentang produk mereka.
David Wijaya
Founder / DW Skellington
Akhir-akhir ini, tren telah menjadi perhitungan utama bagi brand untuk menjalankan sebuah kolaborasi. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Bahwa inovasi adalah hal yang tidak bisa dihindari bagi sebuah brand untuk lebih memperkaya diri baik dari segi produk maupun identitas brand itu sendiri. Dengan adanya kolaborasi, maka sebuah brand didorong untuk keluar dari comfort zone lalu melebur bersama dengan lintas brand agar menghasilkan suatu karya yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tentu brand tersebut harus memiliki keunikan maupun aset yang belum tentu dimiliki oleh brand lain.
Jika sebuah brand menyadari adanya sebuah keterbatasan dan keterbatasan itu bisa dimaksimalkan oleh kelebihan dari sebuah brand lain, maka kolaborasi layak untuk dipertimbangkan.
Menurut Anda, apakah konsep kolaborasi menjadi aspek esensial dalam memperkaya identitas brand?
Menimbang bahwa setiap brand memiliki keterbatasan dalam menjangkau besarnya market, maka kolaborasi menjadi pembuka jalan bagi kedua belah pihak untuk memperluas cakupan market-nya sendiri maupun lintas market yang bisa saja bertransisi secara tidak langsung. Namun, setelah kolaborasi terbentuk dan market diperluas, identitas brand akan bergantung pada bagaimana brand tersebut memberikan pelayanan dan juga benefit bagi mereka agar brand tersebut memiliki sesuatu yang unik, baik, dan menarik.
Jika memilih brand atau individu yang diajak untuk kolaborasi, hal apa sajakah yang jadi pertimbangan?
Kontribusi sistem barter terhadap apa yang bisa diberikan oleh masing-masing pihak sehingga bisa memaksimalkan penjualan maupun memperkuat branding. Setelah kolaborasi terbentuk, menurut saya, program marketing baru juga perlu dipersiapkan oleh masing-masing pihak sehingga hasil kolaborasi bisa lebih maksimal.
Saat berkolaborasi dengan brand / KOL, dalam segi kreatif, proses apa yang harus dijalankan untuk menghasilkan kolaborasi maksimal?
Konsistensi akan visi yang lebih jauh ke depan. Jika kolaborasi bisa dilanjutkan secara jangka panjang, tanpa memprioritaskan hasil terlebih dahulu, maka proses kreatif akan dengan sendirinya terbentuk dari proses kerja sama yang konsisten. Bisa saja, untuk pertama kali, hasil tidak sesuai harapan karena masing-masing brand perlu waktu untuk saling meleburkan ide mentahnya dan melakukan survei terhadap kolaborasi tersebut sehingga dari pembelajaran dan pengalaman, kolaborasi selanjutnya diharapkan bisa lebih maksimal.
Menurut Anda, apakah kolaborasi merupakan cara yang ideal untuk memperluas market atau target audience sebuah brand?
Berhubung masing-masing brand memiliki target audience-nya sendiri, maka bisa jadi kolaborasi akan menggabungkan target audience dalam sebuah wadah yang sama tetapi harus dibarengi dengan kualitas produk yang ditawarkan agar kolaborasi tidak sekadar menjadi tren namun bisa memberikan value lebih kepada target audience-nya sendiri maupun calon market yang baru.
Hari Prasetiyo
Illustrator / Hari Merdeka
Akhir-akhir ini, tren telah menjadi perhitungan utama bagi brand untuk menjalankan sebuah kolaborasi. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Tren memang dari dulu sudah jadi pertimbangan utama buat brand development, apalagi brand yang targetnya anak muda. Jadi kalau mau kolaborasi ya harus mempertimbangkan tren apa yang akan di-riding. Jadi menurut saya sebagai ilustrator, saya menganggap sebuah kolaborasi adalah sebuah keharusan.
Menurut Anda, apakah konsep kolaborasi menjadi aspek esensial dalam memperkaya identitas brand?
Esensial atau tidak, saya tidak tahu pasti, tetapi kalau cepat dan efektif bisa jadi jawabannya iya. Karena tujuan kolaborasi adalah untuk membangun kredibilitas dan reach-nya si brand, jadi dengan kolaborasi dengan tokoh yang kredibel di bidang tertentu dengan cepat kredibilitas brand akan meningkat. Brand jadi punya ownership di bidang itu.
Jika memilih brand atau individu yang diajak untuk kolaborasi, hal apa sajakah yang jadi pertimbangan?
Pertama, kesesuaian dalam hal audience dan karakter. Harus ditemukan common ground antar pihak yang kolaborasi. Tujuannya untuk memastikan bahwa kolaborasi itu tidak maksa, tetapi terlihat keren karena saling isi.
Kedua, pembagian peran. Ini lebih detail bicara part apa yang akan diisi oleh masing-masing pihak yang berkolaborasi. Sehingga, hasil kolaborasinya jadi kelihatan hebat dan maksimal dan kedua belah pihak sama sama puas dengan hasil kolaborasinya.
Saat berkolaborasi dengan brand / KOL, dalam segi kreatif, proses apa yang harus dijalankan untuk menghasilkan kolaborasi maksimal?
Kembali pada peran masing-masing pihak yang kolaborasi itu sendiri dan mau membuat apa kolaborasinya. Ini seperti proses saling kenal, saling mengenal karakter masing-masing, baik pihak artist maupun pihak brand, melewati brief, brainstorm buat cari kata sepakat mau idenya seperti apa dan seterusnya sehingga akan saling mengerti untuk nanti bisa sinergi buat kerjasama. Seperti orang mau pacaran gitu.
Menurut Anda, apakah kolaborasi merupakan cara yang ideal untuk memperluas market atau target audience sebuah brand?
Kurang lebih jawabannya seperti pertanyaan nomor dua.
—
Budaya kolaborasi tercipta untuk memperluas koneksi dan pasar juga pilihan produk bagi konsumen setianya. Sebuah tren positif bagi kreator lokal untuk bisa unjuk gigi sekaligus mengangkat kreativitas lokal. Tokopedia mewadahi budaya ini dengan mengajak beberapa kreator lokal berkolaborasi dalam campaign terbarunya, sosok-sosok di atas adalah beberapa kolaboratornya. Ikuti terus Tokopedia untuk proyek kolaborasi yang menarik ini.