Arti Reformasi Bagi Anak Muda Bangsa 20 Tahun Setelah Kelahirannya
Memperingati 20 tahun lahirnya reformasi, kami bertanya kepada 20 anak muda yang lahir setelah reformasi tentang sejarah reformasi dan harapan mereka terhadap masa depan bangsa.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Carla Thurmanita
Ilustrasi: Yasser Farrasi
Hari ini, 20 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari kekuasaannya. Menutup masa kelam tiga dasawarsa kepemimpinannya yang diskriminatif secara rasial, otoriter, dan korup. Memulai era reformasi yang mengutamakan demokrasi, hasil dari perjuangan penuh keringat juga darah oleh rakyat yang memakan banyak korban jiwa – di antaranya empat mahasiswa Trisakti gugur ditembak aparat keamanan.
Dua dekade berselang, sayangnya beberapa di antara kita lupa tentang kekejaman era Soeharto. Banyak di antaranya membandingkan kondisi ekonomi Orde Baru yang seolah-olah lebih nyaman bagi rakyat – padahal sebenarnya dibangun atas kebohongan-kebohongan dan skema gadungan yang akhirnya membuat kita hidup di bawah beban besar sekarang ini. Seakan pula lupa bahwa kebebasan mereka dalam mengomentari banyak hal hari ini tak mungkin dilakukan saat “The Smiling General” masih berkuasa.
Banyak yang menduga bahwa ketidakacuhan ini lahir dari anak-anak muda yang tak mengalami masa-masa Orde Baru. Bahwa anak-anak zaman sekarang terlalu dibuai dengan kebebasan dan sosial media untuk tahu tentang sejarah dan belajar darinya. Untuk itu, kami mengumpulkan 20 individu yang baru lahir atau justru atau belum lahir pada masa perjuangan tersebut untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap reformasi, partisipasi politik, dan harapan mereka akan Indonesia.
Yang menarik, dari hasil interview yang kami lakukan bisa dilihat bahwa mayoritas anak-anak muda yang lahir pasca tahun 1998 cukup paham akan penyalahgunaan kuasa yang dilakukan semasa Orde Baru. Cukup berkebalikan dengan prediksi umum bahwa generasi baru kita cenderung abai dengan sejarah bangsanya. Ini juga semakin dikuatkan dengan fakta bahwa hampir semua responden yang kami tanyai mengaku ingin berpartisipasi pada pemilu dengan alasan yang juga cukup menyenangkan: bahwa mereka ingin ikut menentukan masa depan bangsa.
Salah satu poin penting lain yang kami pelajari adalah bahwa anak-anak muda yang kami ajak bicara semua merasa prihatin dan kecewa dengan strategi politik politisi lokal yang alih-alih mempersatukan bangsa, justru memecah belahnya sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa anak-anak jaman sekarang punya visi yang benar tentang bagaimana kita harusnya berjalan bersama di bawah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau begitu, jangan-jangan justru para tetuanya yang justru tak belajar dari sejarah dan terjebak di nostalgia masa lalu? Semoga tidak begitu.