Peran Seni dan Posisinya di Tengah Pandemi
Kami berbincang dengan para kurator dan seniman lokal tentang dampak yang dirasakan dunia seni di tengah pandemi hingga apa yang bisa dilakukan agar industri ini tetap berjalan.
Words by Ghina Sabrina
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
“Art will go on. It always has. All we know is that everything is different; we don’t know how, only that it is. The unimaginable is now reality,” merupakan kutipan yang datang dari Jerry Saltz, seorang art critic dan kolumnis untuk majalah New York saat ia menuliskan tentang posisi dunia seni di tengah pandemi ini. Seperti industri musik, dunia seni juga tentunya telah terpukul oleh iklim global ini, terlihat dari penutupan galeri dan museum hingga pameran dan art fair yang terpaksa dibatalkan. Namun, dalam keadaan ini pun mereka bisa mencari celah-celah baru untuk tetap hadir di mata publik, salah satunya adalah dengan kehadiran virtual museum tour yang kini sudah mulai diadopsi oleh museum-museum luar seperti Guggenheim, Musée d’Orsay, hingga Rijksmuseum. Melihat hal tersebut, kami berbincang dengan para kurator dan seniman lokal tentang apa yang bisa dilakukan agar industri seni tetap berjalan, art appreciation dan peran seni di tengah pandemi.
BAYU GENIA
Kurator Galeri Nasional Indonesia
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Menurut saya, sektor kesenian sangat terpukul oleh pandemi global ini. Dalam konteks Indonesia, belum ada jaring pengaman sosial untuk pelaku seni. Selama ini kita tahu aktivitas kesenian sangat bergantung pada patron atau pendanaan privat dan mekanisme pasar. Dukungan dari pemerintah sebetulnya ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun jumlahnya terbatas dan sifatnya lebih ke arah fasilitasi, bukan “menghidupi” pelaku seni secara ekonomi. Namun belakangan saya dengar Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta meluncurkan program pemetaan pelaku kebudayaan yang aktivitasnya terdampak pandemi, saya kira ini inisiatif yang bagus dari pemerintah, semoga menjadi solusi jangka pendek yang tepat. Hal lainnya, pengorganisasian pameran dan art fair adalah pekerjaan berbasis waktu dan personil yang cukup costly, jadi pengunduran waktu penyelenggaraan tentu saja berimbas pada pendanaan dan organisasi sumber daya manusia. Terakhir, terkait dengan penjadwalan, saya ambil kasus pameran temporer di Galeri Nasional Indonesia, pengunduran waktu penyelenggaraan pameran tentu berdampak sistemik pada keseluruhan jadwal kegiatan pameran yang sudah ditetapkan selama satu tahun. Namun saya kira di saat seperti ini kita semua, terutama publik seni rupa, dapat memaklumi kondisi ini. Seni tidak lebih penting dari hidup itu sendiri. Keselamatan publik jelas lebih utama.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Mungkin terdengar klise ya, saya kira seni punya peran untuk menjaga kewarasan publik di masa karantina ini. Seni itu kan bisa inspiratif, bisa kontemplatif, bisa juga persuasif. Saya kira nilai-nilai yang bisa kita temukan dari kesenian dapat membentuk sikap kita di masyarakat seperti misalnya waspada tapi tidak mudah curiga, saling menjaga, dan menyadari bahwa ini semua tanggung jawab kita bersama.
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Saya kira salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku seni saat ini adalah melakukan transfer-pengetahuan, mengembangkan wacana, dan berdiskusi jarak jauh. Seniman bisa mempresentasikan proses berkarya atau perjalanan kekayaannya secara online, misalnya. Kurator, peneliti, sejarawan, atau pendidik seni rupa bisa memberikan semacam lecture yang mungkin juga mengakomodir sesi tanya jawab online. Buku-buku dan terbitan seni rupa yang sekiranya sudah bebas hak cipta dapat diunduh secara bebas, misalnya. Kami di Galeri Nasional Indonesia sedang mempersiapkan beberapa pola komunikasi jarak jauh dengan publik di masa bekerja dari rumah ini, sesuai arahan Dirjen Kebudayaan yang gencar mendorong museum-museum di bawah Kemendikbud untuk aktif menyediakan informasi kepada publik secara online di masa pandemi ini.
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Di masa pandemi ini akhirnya kita benar-benar menyadari dan memahami betapa pentingnya fungsi dari platform virtual tour atau viewing experience secara online untuk lembaga publik seperti museum. Jujur saja selama ini kami terlalu berfokus pada pengalaman langsung di ruang pameran. Menurut saya, platform ini sangat bermanfaat sebagai dokumentasi dan di masa depan fitur ini saya kira akan menjadi alat yang penting untuk menjaring publik museum yang lebih luas (public outreach). Awal tahun ini, Google dan Direktorat Jenderal Kebudayaan berencana untuk bekerja sama dalam project Google Arts and Culture di mana nantinya publik dapat mengalami virtual tour Museum Nasional, Galeri Nasional, dan beberapa situs budaya di Indonesia. Semoga kerjasama ini berjalan dengan lancar.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Menurut saya ini momentum yang tepat bagi pemerintah dan para pemangku kepentingannya untuk bersama-sama mengevaluasi kebijakan. Pertama, infrastruktur kesenian kita sangat rentan. Saat ini, pemerintah hanya memiliki dan mengurusi pusat-pusat (Pusat Pengembangan Perfilman misalnya), museum, dan Taman Budaya. Sementara itu, lembaga-lembaga mandiri yang memiliki peran yang cukup vital seperti Indonesian Visual Art Archive (IVAA) atau Sinematek masih berjuang untuk bertahan hidup dari dana-dana individual atau hibah yang tentu saja keberlanjutannya dikhawatirkan, apalagi dalam situasi ketidakpastian global atau kelesuan ekonomi. Kedua, percepatan pembahasan mengenai pengelolaan Dana Abadi Kebudayaan saya kira dapat dilakukan di masa pandemi ini, paralel dengan pembahasan strategi jangka pendek pemerintah menghadapi pandemi.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Aktivitas seni rupa kontemporer kita sangat terkoneksi dengan negara-negara lain baik dalam lingkup regional dan internasional. Seperti yang kita ketahui, negara-negara yang memiliki pendanaan besar untuk kesenian dan kerap melibatkan pelaku seni dari Indonesia saat ini tengah berjuang melawan pandemi. Jika kondisi ini berkepanjangan tentu saja dampak yang paling terlihat adalah minimnya aktivitas seni rupa dan keterlibatan pelaku seni Indonesia di forum-forum internasional. Dalam konteks global, dengan tiadanya aktivitas museum, festival seni rupa (biennale, triennale), dan art fair tentu saja mekanisme “bertahan hidup” secara alami para pelaku seni akan terdampak. Jika itu terus terjadi, saya kira satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah negara menetapkan kebijakan stimulus pembiayaan bagi pelaku seni agar ekosistem kesenian, setidaknya, tetap terjaga.
ASEP TOPAN
Kurator Museum MACAN
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Ini akan tergantung dari seberapa lama isu COVID-19 ini berlangsung di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga ini adalah kehilangan besar bagi dunia seni di Indonesia, karena pameran-pameran tersebut merupakan ajang bagi para perupa menampilkan gagasan-gagasannya melalui karya. Belum lagi dampak ekonomi yang akan terjadi seiring dengan pengunduran beberapa jadwal tersebut.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Peran seni dalam situasi yang paling umum selalu berada di wilayah imajinasi, dan itu tidak bisa dipungkiri. Beberapa perupa tentu menjadi pengecualian karena mereka terjun ke masyarakat dan secara langsung mengerjakan hal yang bisa mereka lakukan untuk membantu tim medis misalnya, ataupun masyarakat secara umum. Hal ini pun sama terkait persoalan relevansi seni itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya ekspresi seni rupa di Indonesia sudah memasuki wilayah keterlibatan, artinya relasi antara karya seni, perupa dan masyarakat mulai menjadi gagasan artistik. Saya pikir dalam situasi saat ini pertanyaan itu bisa kemudian diajukan kembali, sejauh mana ia bisa menjadi relevan tanpa harus hanya berada di wilayah imajinasi?
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Kami sebagai pekerja seni perlu membangun solidaritas yang kuat demi mempertahankan industri ini. Seperti yang kita ketahui bersama, kami sebagai pekerja seni merupakan salah satu jenis pekerja yang rentan (precarious). Saat ini saya bekerja di sebuah institusi, tapi beberapa rekan kurator dan perupa bekerja secara mandiri (independent). Beberapa pekerja kreatif lainnya bekerja berdasarkan project, yang juga banyak tertunda saat ini. Sampai saat ini belum ada strategi bersama secara spesifik dalam merespon situasi ini, tapi saya yakin dalam waktu dekat akan ada inisiatif yang berupaya membangun solidaritas di antara sesama pekerja seni.
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Apresiasi seni tidak akan berubah secara signifikan–seseorang perlu melihat sebuah karya seni secara langsung untuk benar-benar mengalaminya. Penyajian karya seni secara daring bagi saya merupakan perpanjangan dari metode apresiasi seni itu sendiri. Bagi hampir semua museum, termasuk juga Museum MACAN tempat saya bekerja, hal ini merupakan hal yang seharusnya dilakukan demi menjalankan fungsi museum yaitu “menghadirkan” karya-karyanya ke hadapan publik, dengan penekanan pada penyampaian pengetahuan serta gagasan-gagasan yang telah dibangun oleh para perupa. Ini juga merupakan tantangan bagi kami dalam upaya mengartikulasikannya karena meskipun medium digital menyajikan kemungkinan eksplorasi yang luas, diperlukan strategi yang berbeda dibandingkan menyampaikan pesan secara langsung di ruang pameran. Dalam inisiatif Museum from Home yang kami luncurkan di situs www.museummacan.org dan media sosial, kami berusaha menyajikan info seputar perupa, seni rupa, dan pendidikan seni. Namun, kami juga masih terus berusaha untuk meningkatkan cara penyajian untuk memastikan topik yang disampaikan tidak bergeser dari khitahnya.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Untuk saat ini, tidak banyak yang dapat dilakukan selain menghadirkan segala sesuatunya secara daring, karena keselamatan bersama perlu menjadi prioritas. Namun, segera setelah prioritas kita tentang keselamatan terpenuhi, para pelaku industri seni rupa harus mulai memikirkan solusi keberlanjutan (sustainability) setelah krisis terkait COVID-19 ini berakhir.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Dampaknya sudah mulai terasa dengan penutupan beberapa peristiwa seni di seluruh dunia, dan munculnya berbagai inisiatif seperti pameran daring. Tentu ancaman terbesar adalah ketika resesi ekonomi sudah mulai terjadi dan berdampak secara langsung pada kehidupan para pekerja seni. Namun bagaimanapun juga, saya percaya bahwa inisiatif para pekerja seni akan terus berkembang, seiring perkembangan yang terjadi di masyarakat.
SALEH HUSEIN
Seniman, Musisi – White Shoes & the Couple’s Company
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Kalau mau melihat secara makro, mungkin tidak cuma melihat ekosistem seni di Indonesia, menurut saya ini berdampak ke semua divisi. Pandemi ini sudah pasti berdampak misalnya ke beberapa hal yang berhubungan dengan production di kesenian karena hal tersebut tidak melulu selalu ada dalam bentuk online. Misalnya pertunjukan, mereka pasti terkena dampaknya secara langsung karena sudah berapa banyak acara yang di-cancel? Kalau yang berdampak secara tidak langsung, kita bisa melihat Fluxcup atau Komikazer yang sudah terbiasa dengan logika digital. Mereka pun saya rasa akan terkena dampaknya karena selain berhubungan dengan pekerjaannya, mereka juga pasti mencari isu-isu yang akan diangkat dari luar studio.
Secara garis besar, pasti banyak pekerjaan yang tidak jalan, banyak musisi yang tidak bisa main secara langsung. Kalau pun akan ada perubahan, kita akan melihat bagaimana caranya nanti teman-teman di dunia seni ini me-reshape bentuk-bentuk baru yang bakal ditawarkan nantinya.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Kalau kita melihat sejarahnya, dari Perang Dunia pertama dan kedua bahkan sebelumnya, sudah ada pandemi seperti ini. Dari periode tersebut, banyak bermunculan kesenian baru dalam bentuk-bentuk lain, atau bahkan ada isu-isu sosial lain yang ditawarkan. Relevansinya menurut saya tidak lagi hanya melalui medium, tapi melihatnya secara garis besar. Bagaimana hasil dari reshaping bentuk-bentuk baru yang ditawarkan dalam logika kreatif atau kesenian atau bahkan logika kebudayaan. Bahwa logika-logika tersebut akan diperlihatkan melalui sudut pandang lain. Misalnya ketika kita membicarakan film, apakah film panjang akan jadi relevan sekarang? Kalau situasi ini berkepanjangan, bisa jadi film-film pendek yang akan menjadi relevan.
Namun, ketika berbicara soal logika seni rupa, mungkin tidak lagi ada karya yang besar. Karena semua orang harus stay di rumah, mereka lebih memilih untuk membuat karya-karya kecil yang juga bisa di-digitise atau bahkan langsung dibuat secara digital. Kalau membicarakan relevansi, saya rasa harus ada tawaran-tawaran seperti itu.
Kalau balik lagi ke logika sejarahnya, sebetulnya kesenian itu sudah pernah ditempa dengan hal-hal seperti pandemi dan bisa selamat. Karena mereka telah menemukan cara-cara lain. Seperti museum-museum sekarang sudah berpindah ke logika digital dengan adanya virtual gallery. Karena diharuskan tutup, mereka pun berpikir bagaimana caranya untuk tetap bisa hadir di tengah-tengah masyarakat.
Terus bagaimana dengan teman-teman yang mengumpulkan ide untuk membuat face shield, yang akhirnya dibantu oleh Gudskul juga, misalnya yang diinisiasi oleh Bagus Pandega. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan seperti soal pengumpulan bagaimana cara pembuatannya dengan baik dan benar sehingga bisa digunakan oleh tim dokter. Dari sini, sebenarnya tidak melulu kita melihat bagaimana cara membuat karya, tapi bagaimana caranya kita menghadapi situasi ini dengan cara masing-masing. Jadi buat saya relevansinya cukup tarik ulur, dari lewat karya bagaimana tapi lewat cara menghadapi konteks sosial ini juga seperti apa.
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Saya melihat sudah banyak sekarang, misalnya beberapa teman-teman musisi sekarang pasti akan memproduksi karya di rumah masing-masing. Bisa dari cover, bikin lagu sendiri, atau bahkan kolaborasi yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Dari online, muncul network-network baru dalam logika digital yang bisa menyambungkan mereka.
Banyak juga teman-teman yang mulai membuat virtual gallery, kolaborasi dengan gamers, men-develop hal baru dan lain sebagainya agar industrinya tetap berjalan dan kreativitasnya pun tetap berjalan. Sebenarnya apa yang mereka lakukan sekarang adalah mengadopsi logika fisik yang akhirnya dijadikan logika virtual. Jadi ada perpindahan ruang yang bahkan sebenarnya juga masih memiliki problem, seperti orang yang masih belum terbiasa dengan experience ini.
Untuk industrinya tetap berjalan, menurut saya ada satu hal yang harus diperhatikan yaitu memindahkan logika itu dulu sambil memikirkan apa yang bisa dilakukan lewat kesenian. Paling tidak dia relevan dulu, ketika relevansinya sudah bekerja makan industrinya akan berjalan
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Tetap akan sama. Ketika semua ini berakhir, perlakuan audience seni di galeri walaupun ada kesadaran bahwa dia memasuki galeri untuk melihat karya, paling tidak dia tahu bahwa eksistensi dia harus ada dan diabadikan. Hal itu pun pasti akan terjadi di dunia virtual. Misalnya lagi viewing VR, nanti pun kita akan mencari cara untuk menunjukkan eksistensi kita di ruang virtual itu. Kita kan sebenarnya sedang dipaksa, ketika dipaksa maka logika kreativitas pun malah akan lebih bekerja jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Kalau buat di tweak sementara ini saya tidak yakin. Tapi kreativitas dengan logika digital juga belum selesai, selain ada problem, ada kreasi-kreasi lain yang bisa dilakukan oleh logika digital. Cuma kalau membicarakan tentang apa yang bisa dilakukan di luar online, seharusnya pasti ada. Harusnya dia akan timbul dengan sendirinya. Misalnya ketika ada orang yang mulai bosan dengan aktivitas dia sehari-hari yang repetitif, dia akan punya logika dan keinginan lain. Tapi bagaimana cara menampilkannya ke publik? Sudah pasti online. Mungkin sekarang ini, dengan interface gadget dan handphone. Soal tweak yang lain, harusnya akan timbul setelah semua ini selesai.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Kalau membicarakan industri, bisa jadi industrinya itu akan mencari celah-celah lagi bagaimana caranya agar kesenian ini akan terus berjalan. Kalau ngomongin art fair, mereka akan mencari cara-cara lain untuk viewing. Tapi pertanyaannya sesederhana ini, kalau dulu mereka dibeli oleh kolektor, sekarang kolektor ini sedang berkonsentrasi ke mana? Itu mesti dilihat. Balik lagi, bahwa kalau mau menampilkan karya tapi tidak ada yang beli, art fair itu berarti tidak berjalan seperti yang diinginkan. Industrinya tidak berjalan. Makanya perlu mencari cara lain agar industri itu bisa bekerja. Misalnya apakah funding menjadi salah satu sistem kerja untuk mencari nilai ekonomi agar kesenian bisa terus berjalan?
Saya pun tidak melakukan hal itu. Saya tidak ada di industri seni rupa yang berlogika art fair dan sebagainya. Berapa banyak seniman yang berjalan dengan adanya industri itu? Menurut saya harus ada campur tangan pemerintah tentunya. Apa akses-akses yang bisa diberikan pemerintah? Maupun secara independen, kelompok, maupun organisasi. Mereka harus melihat secara luas, secara ekosistem yang lebih besar. Tidak lagi mementingkan bagaimana si pekerja seni itu Tuhan, jangan melihat seperti itu lagi bahwa dia the one and only. Tidak seperti itu. Dia itu adalah bagian dari ekosistem yang ada. Ketika kesepakatan itu terjadi, semoga industrinya tetap bisa berjalan, mulai dari para kolektor hingga art fair. Sponsorship atau funding yang masih mendukung kesenian masih ada. Atau bahkan CSR dari perusahaan-perusahaan di Indonesia pun bisa menjadi bagian dari itu. Sekarang harus sudah dilihat secara besar. Yang kecil-kecil pun harus diperhatikan sama pemerintah. Misalnya nanti para pemain teater, musisi, dan perupa sudah berhenti terus bagaimana? Karena mereka berpikir bahwa tidak ada yang men-support mereka. Jadi harus dilihat dari beberapa angle agar industri masih terus bisa berjalan.
ABENK ALTER
Seniman
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Dalam perspektif industri pasti akan ada adaptasi ya, teknis perubahan jadwal untuk art fairs, art shows. Metode promosi karya bagi para galeri yang mungkin sudah terlanjur kontrak dengan beberapa seniman (tetep harus jualan kan) dan sebagainya.
Dalam perspektif seniman dan praktek keseniannya kalau saya “ngaca” ke diri sendiri sih gak terlalu banyak berubah ya, sedikit penyesuaian memang jika terkait dengan aktivitas kolektif atau mungkin riset, tapi sebagai pekerja seni kita memang sering kerja dan meng-“alienasi” diri sendiri dalam studio. Social distancing bukan sesuatu yang baru bagi sebagian besar pekerja seni saya rasa.
Dan karena adanya social media kami juga masih bisa promosi karya atau apapun proses dan progres yang kami lakukan, dan tidak kecil kemungkinan mendapat respon baik itu konteksnya dukungan moral ataupun terkait komersial/finansial.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Saya melihatnya seni bisa berperan dalam dua konteks. Pertama dan mungkin menurut saya paling penting dalam kondisi ini adalah peran yang terkait dimensi dalam diri manusia. Tidak sedikit dari kita yang mungkin mengalami mental imbalance dalam ketidakpastian ini. Baik secara literal ataupun tidak seni bisa menjadi medium yang membantu memulihkan kesadaran tentang diri. Apapun medianya, musik, literasi, visual, dan sebagainya.
Kedua yang tidak kalah penting adalah peran seni dalam aktivitas-aktivitas yang terkait gerakan, bersifat kolektif atau menyuarakan sesuatu terkait kondisi sosial, ekonomi, politik.
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Tetap kreatif, produktif, dan aktif. Menurut saya gak ada yang bisa jamin atau memberi kepastian regarding “industri”. Industri bersifat dinamis. Kadang naik kadang turun, kita gak bisa control juga. Tidak sedikit industri yang atau mulai declining di beberapa tahun ini karena banyaknya perubahan. Di sisi lain kreativitas manusia adalah sesuatu yang primordial, bahkan what so called “industry” juga bergantung dengan itu. Jadi saya percaya selama setiap insan kreatif masih berkarya industri gak akan mati, berubah mungkin iya, tapi mati tidak.
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Terkait museum viewing experience/metode online saya rasa sudah waktunya untuk institusi-institusi yang punya kesan ‘tua’ terutama yang di Indonesia ini untuk punya dan berani membuat terobosan dan membuat sesuatu yang baru. Dengan dukungan seni dan teknologi, museum bisa banget menyajikan sesuatu yang keren banget dan relevan.
Terkait apresiasi publik, sebenarnya untuk mereka yang dicap ‘seniman Instagram’ ini bukan sesuatu yang baru ya. Mereka selalu menjadikan medium online sebagai sarana viewing dan memiliki penikmat dan pengikutnya masing-masing. Justru untuk mereka yang masih mengkultuskan metode konvensional terkait tradisi atau standar lama harus menyesuaikan perspektif sehingga bisa menciptakan/turut dalam kanal-kanal baru ini.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Kurang lebih sudah saya jawab di point nomor tiga. Kalau konteksnya ekosistem menarik untuk melihat lahirnya pekerja seni baik individu maupun kolektif yang menciptakan aktivasi yang bersifat online dan digital.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Kalau konteksnya berkepanjangan jujur saya gak punya proyeksi akan seperti apa selain adaptasi jawaban dari poin-poin di atas. Yang pasti dengan keadaan ini, saya percaya transformasi metode maupun segala praktik di dalamnya akan menghasilkan terobosan-terobosan dan banyak inovasi. Industri, yang core-nya adalah manusia, selalu berhasil bangkit dari keterpurukan.
IGNATIA NILU
Kurator – ArtJog
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Hal ini pastinya memukul banyak pihak, mulai dari seniman, para artisan, pekerja studio seniman, galeri, jasa ekspedisi, hingga para organizer. Situasi ini boleh dibilang tidak terprediksi sebelumnya, sehingga kita tidak memiliki mekanisme untuk perubahan cepat ini. Penyesuaian platform penyelenggaraan yang mula-mula diselenggarakan dengan mengumpulkan public kini banyak dipindahkan ke platform digital. Dan ini menjadi solusi cepat atas “kontak” antara penyelenggaraan atau presentasi gagasan para seniman yang selama ini hadir di ruang fisik beralih ke ruang media. Secara positif saya masih melihat bahwa dengan adanya situasi ini banyak seniman dan penyelenggara kegiatan masih sangat positif dan produktif dalam berkarya dan terus berstrategi untuk berkarya.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Saya justru melihat seni hari ini punya peranan penting. Seni justru memberi harapan untuk publik luas. Terdapat beberapa seniman, yang terus berkarya dan menggunakan waktu-waktu ini untuk berefleksi. Tehching Hsieh misalnya, ia pernah menyampaikan betapa pentingnya isolation. Atau misal John Cage, seorang composer dan avant gardist Amerika menyatakan bahwa tanda diam memegang peranan penting dalam sebuah komposisi. Dan di Jogja, minggu lalu (5/4) gabungan seniman dan budayawan di Jogja seperti Santi Ariestyowati (Indieguerillas), Ari Wulu, Komunitas Gayam 16, I Ketut Sandika, Omah Cangkem, Ki Catur Kuncoro, dan lain-lain merintis peristiwa budaya Gaung Gong. Di sinilah letak seni berperan sebagai agen penyadaran kemanusiaan dan kedamaian. Di sisi lain, terdapat puluhan gerakan sosial yang dilakukan oleh para seniman dan pekerja seni di beberapa kota, seperti yang dilakukan oleh Bagus Pandega, Syagini Ratna Wulan dan kawan-kawan Indomodular yang turut membantu penyediaan APD bagi tenaga medis. Kawan-kawan dapur solidaritas di Jogja dan masih banyak lagi.
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Terus berkarya! Dan kreatif memaksimalkan platform yang tersedia saat ini, seperti halnya salah satunya platform digital, VR dan teknologi baru lainnya.
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Perkembangan teknologi sesuatu yang tidak terhindarkan. Teknologi VR sendiri sudah ada di awal abad 19, namun aplikasinya yang berubah. Dulu, teknologi ini sangat eksklusif. Hanya kalangan teknokrat yang punya akses. Hari-hari ini, teknologi sudah dikomodifikasi menjadi user product. Bahkan banyak versi digitalnya yang bisa diunduh secara gratis. Tentu saja ada batasan pengalaman yang tidak bisa diwakilkan di ruang virtual/digital. Namun saat ini, alih media data dan reality ke platform mobile application, website, AR, MR juga mempermudah arus distribusi data, informasi dan edukasi. Dengan situasi #dirumahaja ini dapat menjadi ruang baru di publik Indonesia terutama untuk mengakses galeri, museum, studio seniman, berjumpa dengan seniman, kuliah umum dari kurator atau kritikus dan lain sebagainya. Kedepannya, ketika masa pandemi ini sudah berakhir, saya pikir platform-platform ini dapat menjadi media pendukung/support system dari infrastruktur seni yang bersifat non-digital.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Mungkin kita juga perlu mengumpulkan para kolektor/patron/art lover dari berbagai kalangan untuk dapat berkontribusi pada kerja-kerja pelaku seni dan budaya ini. Misalnya dengan membuat platform, home residency yang didanai kolektor/patron misalnya.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Dampak yang paling nyata, pastinya adalah sebagian besar orang akan bermigrasi dari kerja kreatif menjadi kerja-kerja di sektor formal. Kita tidak bicara pada tataran seniman/kurator/pemilik galeri, tapi melihat para kru panggung, kru film, artisan, dan lain-lain. Belum lama ini koalisi seni bermitra dengan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mendata jumlah pekerja seni budaya yang terdampak oleh COVID-19. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, konon tengah bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan untuk memberi dukungan finansial untuk para pelaku seni-budaya yang terdampak situasi ini.
GEMA SEMESTA
Creative Director – gemasemesta.co
Sejumlah pameran dan art fair di indonesia terpaksa harus diundur akibat COVID-19, bagaimana Anda melihat hal ini dapat berdampak pada ekosistem seni di Indonesia?
Dampak dari pandemi ini memperlemah situasi ekonomi dan mengurangi peluang penyelenggaraan pameran, bukan hanya di Indonesia tapi juga di semua negara. Mungkin banyak dari penyelenggara pameran yang harus menambah pengeluaran ekstra atau bahkan melakukan pengurangan staf sebagai dampak dari krisis ini. Pelaku industri seni di Indonesia tidak berjuang sendirian dalam krisis ini, karena hal ini berdampak ke banyak ekosistem seni di luar negeri juga.
Apa peran dan relevansi seni di masa-masa pandemi ini?
Dalam masa pandemi, seni berperan sebagai salah satu bentuk komunikasi untuk saling mendukung sesama dalam berjuang menghadapi masa-masa seperti ini. Misalnya dalam bentuk kampanye sosial agar masyarakat tetap disiplin dalam menjalankan social distancing, donasi untuk tenaga medis, hingga saling membantu warga yang kesulitan secara finansial akibat dari pandemi.
Selain itu, seni juga memegang peranan penting sebagai pendamping untuk tetap terhibur ketika harus tinggal di rumah. Peranan seni di sini dapat dinikmati melalui film, musik, buku, hingga virtual museum tour yang dapat diakses melalui internet.
Apa yang bisa dilakukan oleh para seniman, kurator, atau sosok-sosok di dunia seni lokal agar industri ini tetap berjalan?
Berbagai teknologi yang ada bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk memaksimalkan perputaran industri seni di tengah pandemi saat ini. Misalnya dengan melakukan sesi bedah karya secara online, sesi wawancara virtual dengan sosok di industri seni, atau sesi tutorial workshop sederhana dengan barang-barang yang mudah ditemukan di rumah.
Kini telah banyak museum yang menyajikan viewing experience secara online, bagaimana Anda melihat hal ini bisa berdampak ke art appreciation publik untuk ke depannya?
Virtual museum tour sangat lazim dilakukan pada masa pandemi seperti ini, sehingga audiens tetap bisa menikmati seni dari rumah. Pun apresiasi secara digital tidak akan mengurangi value dari karya seni itu sendiri. Mungkin saja justru dengan adanya pandemi ini, semakin banyak museum yang akan memberlakukan virtual museum tour, karena teknologi juga berjalan begitu cepat. Walaupun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa suasana yang dibangun di dalam sebuah area museum secara langsung juga memiliki pengaruh dalam proses art appreciation.
Selain memusatkan perhatian pada online presence baik dari segi museum atau seniman, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada ekosistem seni agar dapat terus berjalan?
Salah satu kekuatan seni adalah bagaimana ekspresi dari seni itu sendiri bisa berbicara dan menyampaikan sesuatu. Membuat kampanye sosial dan ajakan untuk membantu donasi untuk tenaga medis dan rakyat menengah ke bawah yang sedang kesulitan. Sehingga seni tidak hanya digunakan untuk membuat karya untuk kritik sosial, namun outputnya juga dapat digunakan untuk yang membutuhkan.
Apa dampak yang akan dirasakan industri seni secara global jika ancaman COVID-19 berkepanjangan?
Mobilitas dalam perputaran industri pasti akan menjadi tantangan terbesar, mengingat tidak semua aktivitas seni dapat dilakukan secara maksimal melalui virtual. Terlebih lagi dalam hal-hal yang menyangkut experience seperti pameran, konser musik, atau eksekusi yang harus turun langsung ke lapangan seperti proses pembuatan film.
Jika pandemi ini terus berkepanjangan, perputaran semua proses pasti akan semakin lambat perjalanannya dan terancam untuk mengalami kesulitan ekonomi berkepanjangan apabila tidak segera mencari solusi yang efisien untuk bidang masing-masing seperti virtual museum tour, sesi kelas virtual, dan sebagainya.