“Agus Suwage: The Theater of Me”, Di Mana Suwage Selain dalam Potret Dirinya?
Museum MACAN menyelenggarakan pameran survey yang meng-highlight tiga puluh tahun perjalanan artistik Agus Suwage, salah satu seniman kontemporer Indonesia terkemuka yang telah berpraktik sejak 1990-an.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Saya pertama kali menjumpai Agus Suwage melalui buku kumpulan puisi. Lukisannya, “Berkah I” (2002), menjadi kulit muka “Aristektur Hujan” – Afrizal Malna. Lukisan itu menampilkan sosok Suwage yang memasrahkan dirinya pada hujan. Ada suatu ciri dalam karya itu yang membuatnya membekas kuat dalam ingatan. Sehingga, setiap kali melihat lukisan berwatak serupa, di pameran-pameran atau Internet, saya bisa bilang, “Ini Agus Suwage.”
Dalam “Agus Suwage: The Theater of Me”, kita dapat menyaksikan potret dirinya secara langsung dan jauh lebih banyak lagi. Pameran ini menampilkan sepilihan karya Agus Suwage dalam kurun tiga puluh tahun. Mediumnya merentang dari lukisan, seni gambar, hingga instalasi, dengan isu yang membentang dari sosial, politik, budaya massa, hingga identitas. “Theater of Me” adalah pameran survey tentang kesenimanan Suwage, tentang caranya menanggapi dunia dan peradaban.
Suwage melukis potret diri secara intens di kitaran 1995–2005. Potretnya acap kali karikatural, berparodi, tak jarang absurd, juga surreal. Karya termutakhir dalam “Theater of Me”, “Potret Diri dan Panggung Sandiwara” (2019), menampilkan enam puluh aneka potret Suwage di atas pelat-pelat berkarat. Karya ini boleh dibilang dapat meringkas, atau menyimpulkan, praktik artistik Suwage sebagaimana yang kita kenal. Namun “Theater of Me” bukanlah tentang potret diri semata, dan tulisan ini tidak akan mengulas keseluruhan pameran ini. Saya ingin mengajak Anda menyimak beberapa karya trimatra dan instalasinya. Tak seperti biasanya, Suwage justru tak hadir di sana.
Sosok yang hadir ialah rangka-rangka manusia. Dalam “Luxury Crime” (2007–09), misalnya, kita melihat sesosok rangka emas yang sedang berendam lemas dalam bak berisi beras. Tak jauh darinya, pada “Monumen yang Menjaga Hankamnas” (2012), kita melihat lagi sosok kerangka bersayap emas, mengenakan turban dan memegang pedang, duduk di atas piramida besar tersusun dari botol-botol bir bekas. Kemudian, selagi melaju dalam ruang pamer, tiga ekor gagak hitam elegan dalam “Dead Poets Society” (2012) bertengger di gagang sekop emas, dipajang sekitar dua-tiga meter dari lantai. Dua di antaranya menunduk menatap kita dengan licik, seakan menyatakan bahwa manusia hanya barang sementara. Semakin kita melaju ke babak selanjutnya, semakin jarang Suwage nampak, semakin sering sang rangka mengganti tempatnya.
“Theater of Me” memang menampilkan seksi khusus dalam bingkai “Kematian dan Sirkus” yang menyorot tema maut dan kefanaan. Pada suatu pojokan, kita melihat setumpukan rangka manusia, kini berwarna hitam, dihinggapi segerombolan gagak yang kali ini berwarna emas. Karya berjudul “Siklus #1” ini terinspirasi oleh tradisi pemakaman langit di Tibet di mana jasad-jasad manusia diumpankan pada burung pemakan bangkai; suatu penggambaran tragis, namun ironisnya begitu elegan sampai-sampai kita ingin melihat karya-karya seperti ini melebihi potret dirinya. Kini kita mulai menyadari suatu motif, yaitu warna emas dan hitam yang digunakan secara bergantian dalam instalasinya.
Absennya Suwage dalam karya-karya ini membuat kita mencurigai sosok rangka tersebut. Jika “Theater of Me” adalah lakon yang isinya ada berbagai macam Suwage, maka peran apa yang dimainkan si rangka? Ia–yang bisa saja menyimbolkan kematian, kefanaan, kekuasaan, juga non-identitas–tampil secara elegan, mahal, megah; semacam glorifikasi yang mengingatkan kita pada karya-karya Jeff Koons. Mungkinkah karena tema ini terlalu universal dan murni sehingga Suwage merasa tak perlu menghadirkan dirinya? Jika kita membersihkan ingatan akan karya Suwage, dan melihat instalasinya sebagai perjumpaan pertama, apa yang kita rasakan? Mungkin kita tak akan mendapatkan kesan yang sama dengan lukisan-lukisannya. Bagi yang terbiasa melihat potret-potret diri Suwage, maka karya instalasi ini kurang memiliki ‘sapuan kuas’ khas Suwage selain pengulangan warna emas dan hitam tersebut. Instalasinya merupakan merupakan kumpulan simbol yang sesekali terasa gamblang, jika mengingat bahwa ia telah menciptakan yang lebih absurd dan berlapis-lapis.
Ada kalanya Suwage melukis tokoh-tokoh lain selain dirinya. Ia pernah membuat seri “I Want to Live Another Thousand Years” (2005–06) yang melukiskan tokoh macam Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Elvis Presley, bahkan Mona Lisa, dengan pose merokok ala sang binatang jalang itu. “Theater of Me” juga menampilkan karya-karya periode awalnya dengan subjek yang belum dirinya. Lukisan cat minyak “Indonesia Molek” (1989) yang mengapropriasi “The Human Condition” (1933) – Rene Magritte, atau “Ibu Pertiwi” (1989), masih terlihat frontal ketimbang subtil, meski sudah tampak upayanya merespons isu-isu sosial-politik. Dalam hal ini, Suwage meminjam suatu sosok untuk membicarakan ironi-ironi dalam kehidupan masyarakat. Sosok tersebut bertindak sebagai pengkoar gagasannya. Barangkali, hal yang sama terjadi juga di instalasinya. Hanya saja, kali ini Suwage pamit undur diri ke belakang panggung dan sepenuhnya membiarkan tokoh lain yang bukan varian dirinya untuk berbicara.
Setibanya di pengujung “Theater of Me”, kita menjumpai “Eros Kai Thanatos” (2017). Kali ini yang tersisa hanya tulang rusuk dan belakang, dibalut dedaunan emas; suatu karya yang sederhana dan pasrah dalam mengakhiri babak. Kematian dan kefanaan merupakan tema berulang Suwage yang tetap bersinggungan dengan tema-tema kesenjangan dan ketidakadilan. Dan si tokoh rangka, dengan berbagai simbol di pundaknya, tetap memiliki suatu ciri yang membuatnya membekas kuat dalam ingatan, seberapa pun ia berbeda dari potret-potret diri sang seniman. Sehingga, setiap kali melihat karya berwatak serupa, di pameran-pameran atau Internet, kita tetap bisa bilang, “Ini Agus Suwage.”
–
Agus Suwage: The Theater of Me
Museum MACAN
AKR Tower, Jl. Perjuangan No.5,
Jakarta Barat, Jakarta, 11530
Selasa–Minggu
10.00–16.00