Annie Hall (1977)
Dalam salah satu karyanya yang paling awal ini, Allen berhasil meraih banyak penghargaan melalui pengisahannya akan retrospeksi seorang pemuda yang berhubungan dengan seorang Annie Hall. Allen juga melakukan eksporasi akan esensi dari cinta sendiri, dan bagaimana nasib cinta dapat berakhir dengan miris di bawah kontemplasi yang terlalu rumit. Dinilai sebagai salah satu cult classic dari Allen, Annie Hall dapat disebut sebagai penanda dari eksistensi Allen di dunia layar lebar.
Manhattan (1979)
Sebuah karya yang kembali memenangkan Allen banyak penghargaan dan rekognisi. Berkisah mengenai komplikasi hubungan seorang pria yang jatuh cinta pada seorang gadis yang jauh lebih muda darinya. Karya ini menjadi salah satu bentuk awal munculnya ciri khas Allen yang kerap kali membahas cinta yang terpaut usia begitu jauh. Estetika format hitam putih berbau melankolis dalam film ini juga patut menjadi sorotan, yang kemudian bisa menjadi keunikan akan paduan nuansa romansa dan komedi ringan.
Manhattan Murder Mystery (1993)
Kali ini Allen mencoba menggabungkan nuansa komedi khasnya dengan misteri pembunuhan. Sebuah ‘warna’ baru bagi Allen yang tetap tidak mengecewakan dengan kerumitan sebuah pemecahan kasus pembunuhan – diakhiri dengan konklusi cerita yang terbungkus rapi. Kemunculan hubungan romantis antara karakter Allen dengan tokoh perempuan yang usianya jauh lebih muda darinya lagi-lagi memunculkan unsur pribadi dari Allen yang tak jarang dinilai oleh media sebagai masalah serius dalam kehidupan pribadi Allen.
Midnight in Paris (2011)
Nostalgia mungkin menjadi warna utama dalam film ini, lengkap dengan bumbu khayalan dan tentu saja komedi. Kisah mengenai perjalanan lintas waktu seorang pemuda sembari menghadapi tunangannya yang terlalu materialistis mungkin juga mengundang kita untuk memikirkan kembali makna modernisme. Allen juga mengajak kita untuk mengeksplorasi makna lebih dalam dari nostalgia, yang direpresentasikan melalui perjalanan lintas waktu tersebut, bahwa nostalgia bisa juga dijadikan sebagai bentuk pelarian diri dari realita. Tak lupa juga, kemewahan dan glamor budaya Paris bisa dianggap sebagai bumbu ekstra dalam film ini.
To Rome with Love (2012)
Memang bukan ciri khas Allen rasanya jika sebuah kisah romansa dan komedi disajikan dengan begitu tipikalnya tanpa sentuhan sedikit keanehan unik. Dalam karyanya yang mengisahkan pengalaman berbeda-beda dari empat karakter yang tidak bersinggungan, suatu sensasi yang mungkin dirasakan setelah menyaksikan film ini ialah kebingungan. Allen memang menyuguhkan film ini dengan sedikit sentuhan realisme magis, dimana penonton mungkin menjadi bertanya-tanya tentang titik-titik dalam film yang dirasa tidak mungkin, meski ditaruh dalam setting realita dan bukan khayalan. Mungkin keanehan yang membingungkan justru bisa menjadi pengalaman menyegarkan dari kisah romansa komedi yang melulu hanya tentang roman picisan biasa.
Blue Jasmine (2013)
Komedi yang bernuansa gelap menjadi pewarna bagi karya Allen yang mengeksplorasi tema penyangkalan ini. Mungkin apresiasi kritik dan komersial yang dituai film ini diundang oleh ‘digantungkannya’ audiens dengan akhir film yang tidak resolutif dan dengan penutup kisah yang dirasa tidak menuntas. Atau mungkin, Allen mencoba mengeksplorasi realita yang memang tidak selamanya menyuguhkan akhir yang bisa dipahami, dan rasa ketidaktuntasan di akhir film ini justru menjadi caranya tersendiri dalam menutup sebuah kisah tentang penyangkalan. Kisah tentang seorang sosialita yang jatuh bangkrut dan berusaha keras mengembalikan glamor hidupnya ini mungkin bisa mengundang kita untuk mengevaluasi kembali bahaya menyangkal dari kenyataan. Bahwasanya, hal tersebut yang bisa menjebak kita dalam lingkaran komplikasi yang tak berujung.
Magic in the Moonlight (2014)
Dalam karyanya ini, Allen justru menunjukkan bagaimana ilusi bukanlah sesuatu magis, namun hanya bagian dari realita biasa. Allen juga kembali menuai pertanyaan dari media mengenai karakter yang jatuh cinta terpaut usia begitu jauh yang dikisahkan dalam film ini. Meski begitu, Allen berhasil mengeksplorasi dan membuat audiens cukup terpukau akan glamor dan keindahan dari sebuah ilusi. Jauh dari dialog yang tipikal dan datar, film ini mencoba mengajak kita untuk mempertanyakan lebih jauh akan kepercayaan kita terhadap ilusi yang mungkin tidak melulu berisi kebohongan, dan hal-hal dalam keseharian kita yang tanpa disadari kita izinkan untuk menenggelamkan kita dalam kepercayaan akan ilusi.
Cafe Society (2016)
Yang pertama kali bisa menyorot perhatian dari karya Allen satu ini ialah keajaibannya dalam menginterpretasikan latar era keemasan Hollywood ini secara tidak hanya nostalgik, namun juga gagah dan mewah. Dengan kisah yang mungkin lebih konvensional dibandingkan biasanya, Allen tetap menyingkir dari kata membosankan dengan ‘membungkus’ semua eksplorasi tema yang pernah ia lakukan mulai dari cinta hingga kepedihan akan gelapnya realita dan mengesankan audiens dengan akhir yang tetap kontemplatif. Bahwasanya, akhir bahagia dari suatu kisah mungkin memang bukan merupakan akhir yang paling bisa membahagiakan, namun hanya akhir yang dirasa cukup dan sesuai.