In Our Time (1925)
Karya ini menjadi titik mula kehadiran Hemingway di dunia literasi. Ia membuat serangkaian cerita yang kelak dipakai sebagai tema bakunya dalam menulis; kehilangan, penderitaan, serta peperangan. Berisi belasan cerita pendek, ia mengenalkan sosok Nick Adams kepada khalayak ramai. Banyak yang berpendapat bahwa In Our Time merupakan cara Hemingway untuk menggambarkan dirinya melalui persona Nick Adams. Tapi sejujurnya In Our Times hanya kumpulan manifestasi kisah yang ingin menyampaikan keganjilan dari sudut pandang luas; tidak sekadar merefleksikan pribadinya. Dibantu Ezra Pound, Hemingway juga berani bereksperimen dengan pola yang tidak biasa. Bagian terbaik adalah “The Doctor and the Doctor’s Wife”, “Indian Camp”, dan “Big-Two Hearted River.”
Death in the Afternoon (1932)
Buku ini berisikan hal-hal mengenai pertarungan banteng di Spanyol. Mengulik segala aspek yang berkaitan dengan aksi tarung sepasang hewan jantan mulai dari sisi filosofis, spiritual, sampai tradisi. Keutamaan yang hendak Hemingway sampaikan adalah di balik pertempuran saling serang tersebut tersimpan makna bahwa semua hanya perkara hidup atau mati. Walaupun ia bertutur menggunakan realita, tapi di setiap kata masih terselip fantasi dan metafora yang kuat. Death in the Afternoon dirancang ketika ia melakoni perjalanan ke Pamplona pada 1920 serta terinspirasi oleh karisma Pio Baroja.
Green Hills of Africa (1935)
Selain mencatat topik non-fiksi di Death in the Afternoon, Hemingway juga menulis tema serupa dalam Green Hills of America yang dibuat selama petualangannya di Afrika Timur bersama sang istri, Pauline Marie Pfeiffer pada Desember 1933. Dalam transkrip ini, Hemingway membagi keseluruhan isi menjadi empat babak; “Pursuit and Conversation”, “Pursuit Remembered”, “Pursuit and Failure”, serta “Pursuit as Happiness.” Dengan pemilihan latar tempat yang dipenuhi hamparan sabana luas dan kerumunan satwa liar, ia menyediakan obrolan menarik bersama tokoh lain. Kecemburuan terhadap penulis Amerika, pencapaian berburu badak di padang Tanzania, hingga kekagumannya untuk Dostoevsky, Flaubert, Stendhal, sampai Tolstoy.
A Moveable Feast (1964)
Pada buku ini, Hemingway berkisah tentang Paris; sebuah kota kontemporer di jantung benua biru yang menyambut kedatangannya sebagai jurnalis muda. Ia bertutur kata mengenai banyak hal: bangunan-bangunan art-deco, sudut wilayah tak terjamah, maupun nuansa kafe pinggiran yang menyediakan ruang percakapan panjang. Tak sebatas objek yang berpondasi, ia juga turut mengenalkan Aleister Crowley, F. Scott Fitzgerald, Gertrude Stein, Hilaire Belloc, sampai Sylvia Beach. Diterbitkan tiga tahun pasca kematiannya oleh Mary Hemingway, A Moveable Feast adalah manuskrip pengingat sekaligus perekam zaman. Sejatinya Paris merupakan memori yang mustahil dilupakan; menjalar ke sekujur pikiran lantas menancapkan kuat pelbagai kenangan. Jika Anda merasa malas membacanya, luangkan waktu dan simak bagaimana Midnight in Paris karya Woody Allen menggambarkan kesyahduan A Moveable Feast.
The Old Man and The Sea (1952)
Setiap perjalanan mempunyai batas akhir yang mungkin kita tak pernah paham akan berujung seperti apa. Entah dirundung klimaks, berbuah kepiluan, atau justru menimbulkan seribu pertanyaan. Sama halnya dengan The Old Man and The Sea. Lewat buku ini, Hemingway sukar ditebak. Ia sering tertimbun dalam hal yang abu-abu; memandang lepasnya lautan tropis Amerika, melamunkan sisa umurnya, hingga berupaya mengkutuk atas ketidakseimbangan semesta. Meski The Old Man and The Sea mengantarkan pada podium Nobel Sastra, sejujurnya bukan yang terbaik dari Hemingway. Hamparan samudera, pergulatan, dan sedikit ironi adalah topik utama yang menyeruak ke permukaan. Banyak yang memuji dan menyamakannya dengan Moby Dick. Tapi percayalah, bahwa mulai dari situ Hemingway semakin menutup matanya untuk kehidupan.
To Have and Have Not (1937)
Menempatkan figur Harry Morgan sebagai pelaku utama, Hemingway berusaha menyoroti sisi kepribadiannya dengan lingkaran ekonomi, pasar gelap, serta pertentangan antara Kuba dan Florida. Atensi Hemingway pada relasi yang terjadi di dua kutub tersebut memang kuat. Ia seolah menyembunyikan pesan politik terhadap dinamika yang fluktuatif melalui To Have and Have Not. Samar-samar akan terasa bagaimana ia menyelipkan konstruksi berpikir Karl Marx secara paripurna. Walaupun dibuat serampangan di medio 1935 hingga 1937, Hemingway justru mampu mengeluarkan sisi kritisnya begitu menawan.
Island in the Stream (1970)
Beruntung Mary Hemingway menemukan 332 halaman yang tertinggal pasca kepergiannya. Karena manuskrip ini hilang adanya, mungkin dunia tak pernah tahu karya Hemingway yang sangat personal dimana ia melibatkan lautan luas sebagai kawan bercerita. Island in the Stream adalah ruang Thomas Hudson dalam mengarungi trinitas babak kehidupan; “Bimini”, “Cuba”, serta “At Sea.” Ia berupaya melakukan pendekatan hubungan kepada buah hatinya, menyesali kematian putranya semasa perang berkecamuk, menenggak alkohol untuk pelarian, sampai menghentikan segala pertanyaan yang menuntunnya ke lubang kekecewaan. Samudera dan perenungan batin merupakan langkah yang terus diulang Hemingway lewat tokoh rekaannya, hingga suatu ketika ia musti merelakannya dan semua akan baik-baik saja.
Farewell to Arms (1929)
Membaca buku ini mengundang pembaca untuk berhenti sejenak untuk mengerti. Memahami bahwa yang sering manusia harapkan, impikan, serta inginkan terkadang menemui akhir tragis; dan sadar bahwa kita tak dapat berbuat apa-apa. Hubungan Hanry dan Catherine memang ditakdirkan berjalan alamiah. Jatuh cinta pada pandangan pertama lalu berjanji setia sehidup semati. Namun yang terjadi setelahnya merupakan pengecualian. Di balik gempitanya Perang Dunia, Hemingway menyajikan paparan roman yang terlampau menusuk sendi perasaan. Mereka menatap lurus, mencoba lari dari kerasnya bom maupun tembakan serdadu, melihat surga di depan mata, tapi semua hanya fatamorgana yang berujung ketidakpercayaan. Farewell to Arms mencerminkan kejujuran karyanya yang paling dalam sekaligus kerapuhan hatinya selepas ditinggal Agnes von Kurowsky.