Telaah Surat Cinta Seorang Demonstran
Dalam submisi Open Column kali ini, Muhammad Zaidan menjabarkan interpretasi dan refleksinya dari lagu “Membebaskan Hujan dari Tirani Puisi” karya Morgue Vanguard.
Words by Whiteboard Journal
“If nothing saves us from death, at least love should save us from life.”
Mengutip salah satu bait yang dituliskan oleh Pablo Neruda, Morgue Vanguard, sempurna memoar memori-memori masa lalu perihal kota yang menumbuhkan segala perasaan penuh romansa melalui tenunan kata bersahut rima. Membebaskan Hujan Dari Tirani Puisi adalah hadiah bagi sang istri yang menginjak usia 50 tahun, sebuah hadiah mewah tentang kumpulan memori yang telah dilalui bersama. Melalui Membebaskan Hujan Dari Tirani Puisi, Morgue Vanguard (MV) memberikan sajian khusus buah ingatan yang keras ia rangkum menjadi kata-kata penuh makna romantik. MV dikenal sebagai sosok yang vokal dan keras terhadap sikap otoritarian pemerintah. Ia pun tajam dalam menyuarakan pesan-pesan perlawanan terhadap isu sosial melalui lirik pada Homicide, Bars of Death, Morgue Vanguard sendiri, hingga melalui gerakan-gerakan kolektif yang ia tekuni.
Menyadari usia adalah satu entitas yang tak abadi, dan ingatan rentan mati dimakan uzur, MV berusaha membuat sebuah akrilik atas proses perjalanannya bertemu dengan ingatan bahagia bersama istri, dan orang-orang disekitarnya melalui senjata pamungkasnya: lirik lagu. Bukan hanya luar biasa dari segi rima dan kata-kata, tapi lagu ini sempurna luar biasa dari segi makna yang puitis romantis. MV selalu menjadikan lirik sebagai bahtera yang mengantarkannya kepada tujuan pesan dari gagasan yang ia miliki. Konsep lain dari lirik yang MV tulis bisa jadi sebagai sebuah kendaraan yang akan menghantam nantinya, yang menyisakan serpihan berantakan pesan dan makna namun dipenuhi dengan nilai estetika.
MV banyak membangun metafora melalui Membebaskan Hujan Dari Tirani Puisi, seperti merubah susunan kata dan menanggalkan vokal ‘a’ pada bait puisi milik Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”: “Kuingin mencintaimu dengan tidak sederhana” adalah bagian yang selalu MV repetisi. Pada bagian tersebut, MV seakan ingin mengelaborasi pemahaman yang kadung ditelan zaman tapi sudah terlanjur diamini oleh masyarakat bahwa bait “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” adalah sebuah bentuk sikap mencintai seseorang dengan cara sederhana sederhana.
Penanggalan vokal ‘a’ dan perubahan susunan kata pada bait tersebut yang MV lakukan seperti sebuah pesan bahwa MV mengamini apa yang Sapardi Djoko Damono katakan pada bait tersebut, dan di saat yang bersamaan, merupakan bentuk sikap yang tidak sederhana, kompleks, dan penuh kesukaran. Bagian yang di repetisi MV pada lagu ini seakan menjadi penegasan bentuk yang menjadi monumental dalam menyiasati bahwa perasaan romansa yang ia lalui tidak sederhana dan banyak mengalami pasang surut. Hal itu MV jawab pada bait-bait selanjutnya.
MV banyak melakukan pemaknaan ulang karya-karya penulis ternama milik Indonesia. Di antaranya: “Derai-derai cemara” milik Chairil Anwar; “Hidup sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya” milik Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca. Pemaknaan ulang tentang karya-karya tersebut dibarengi dengan potret perjalanan masa lalu yang MV adopsi dari ingatan personalnya. Dua hal yang awalnya saling berbeda kondisi dan zaman tersebut MV ramu dan rakit menjadi satu kesatuan yang sempurna, lanskap masa lampau dengan masa kini antara karya yang MV adopsi dengan ingatan personalnya menjadi bagian lirik yang utuh. Hasilnya adalah seperti bentuk fotografi hidup beserta puisi-puisi yang membersamainya.
Bagian awal dibuka dengan pesan MV terhadap memori-memori yang seharusnya terpatri di dalam ingatan. Hal tersebut menjadi acuan atas ingatan yang selalu mengalami proses redup hingga sampai pada titik lupa.
Beberapa hal perlu ku catat sebelum memori membusuk bersama kota ini.
MV memberikan pesan terkait ingatan yang mudah lupa dan ia berusaha mengabadikan nya sebelum akhirnya ingatan tersebut membusuk bersama kota yang menghasilkan ingatan itu sendiri.
Ku ingin mencintaimu dengan tidak sederhana
karena tak ada yang membaca Sapardi di kantin Sastra
tak banyak rencana disemat di luar margin baca
terlebih menghitung janji terikat pada ranting kaca
Ku ingin mencintaimu dengan tidak sederhana
bagai membebaskan derai pohon tua di Jalan Cemara
dari pikat kalimat berpantun dan kuasa metafora
bagai rindu Mbak Sipon pada kekasih yang dibawa tentara
Pada bagian di atas, MV berusaha menarik ingatan masa lalunya hingga sampai pada titik setiap sudut tempat dan perilaku orang yang ia tangkap melalui dua mata dan ditempa sempurna di dalam ingatan. Dua bagian di atas seakan menitikberatkan pada perasaan MV yang menyadari bahwa antara ingatan lama yang ia rangkum dengan masa kini berbeda. Kantin sastra dan Jalan Cemara, sebagai dua letak geografis yang MV rangkum pada dua bait awal pertama lagu ini, MV menyadari ada hal-hal yang berubah antara dua letak geografis tersebut. Dari interior, arsitektur, suasana, sampai orang-orang di sana. Lalu terdapat bagian yang MV rombak sekaligus repetisikan di lagu ini, yaitu bagian “kuingin mencintaimu dengan tidak sederhana” yang seharusnya adalah “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” milik Sapardi. Bagian tersebut menjadi sebuah potret yang tegang dan penegasan bagi MV tentang penggalian ingatan dan proses merawat ingatannya pada “rencana yang disemat di luar margin baca / terlebih menghitung janji terikat pada ranting kaca” bersama istrinya.
Pada bagian selanjutnya, MV seakan ingin memberikan tentang bagaimana ia memandang cinta sebagai entitas pembebas. Secara metaforis, MV mencintai istrinya serupa dengan “Membebaskan derai pohon tua di Jalan Cemara / dari pikat kalimat berpantun dan kuasa metafora”. Dapat diartikan bahwa MV memaknai cinta bukan hanya sebatas balutan bahasa, namun dengan seutuh-utuhnya perlakuan nyata. MV merasa bahwa cinta sudah kadung dimaknai banyak orang hanya perihal bahasa dan kata-kata saja. Bagian tersebut langsung digambarkan melalui potret cinta yang bukan hanya sebatas bahasa saja melalui “bagai rindu Mbak Sipon pada kekasih yang dibawa tentara.”
Bagian yang menarik dari bentuk cinta penuh keterusterangan bukan hanya sebatas ungkapan bahasa saja, namun beserta kesabaran dan seluruh rintangan yang dilaluinya. MV mengisyaratkan kesabaran yang dimaksud dalam wujud Mbak Sipon yang menanti kabar sang pujaan hati, yaitu Wiji.
Dua paragraf lirik tersebut adalah gambaran dari pemaknaan MV mengenai dua analogi berbeda ketika ia merasakan cinta terhadap istrinya. Pada waktu cerah ia pun masih merasakan apa itu cinta, pada waktu mendung pun ia masih tetap merasakan apa itu perasaan cinta. Hal ini jadi dua refleksi yang berbeda mengenai kondisi seseorang yang terlampau menerima setiap waktu yang berbeda dari perjalanan nya mencintai seseorang. Mungkin tak semua orang pernah atau mampu melewati dua kondisi cerah dan mendung dalam mencintai, tapi MV memberikan ingatan masa lampaunya yang telah melewati dua kondisi tersebut bersama istrinya.
Di dunia yang bergegas kuingin senantiasa
hidup lebih lambat dari bebek 70-ku di rentang masa
secarik larik dibuat seolah kau bacakan tabula
perihal “hari yang sempurna” Duran Duran di Tahura.
…
Terik Jatinangor yang membuat semua tak lagi sama
dan keringat beraroma pada besi di atas Damri tua
menarik garis pada awal semua bermula serupa
batas tipis melawan lupa melayat luka.
Pada bagian ini, MV seakan mengamini bahwa apa yang ia lihat dan rasakan dari dunia seluruhnya berjalan begitu cepat, sedangkan ia ingin merasakan hidup yang lambat serupa bebek 70 seakan ia tidak ingin beranjak dan menghadapi dunia yang terlanjur bergerak cepat, seolah hal tersebut mampu memakan ingatannya. Ketika sang istri membacakan secarik “Hari yang sempurna,” MV seakan merasakan bahwa nada dan lantunan bicara tersebut serupa pemaknaan MV mengenai “Perfect Day” milik Duran Duran, atau hal yang MV rasakan ketika mampu memiliki waktu untuk menghabiskan waktu bersama pujaan hatinya: “Just a perfect day / Problems all left alone / Weekenders on our own / Such a fun,” mungkin itu penggalan lirik yang MV menggambarkan perasaan MV.
“Terik Jatinangor yang membuat semua tak lagi sama / dan keringat beraroma pada besi Damri tua / menarik garis pada awal semua bermula serupa batas tipis melawan lupa melayat luka.” Penggalan yang menampilkan ingatan jejak historis di masa MV pertama kali bertemu pujaan hati. MV mengamini bahwa usahanya dalam merawat ingatan masa tersebut MV serupa dengan pengertian melawan lupa melayat luka. Baik dari ingatan yang tak sempurna, hingga sampai pada luka yang terus tumbuh menjamur.
Bait-bait selanjutnya adalah sikap ketidakpedulian MV terhadap lupa dan luka yang MV amini bahwa dua hal tersebut hanyalah kumpulan kata dalam sebuah kamus bahasa saja. Alih-alih beranjak dari ziarah ingatan, MV justru masuk ke dalamnya untuk mengingat semua hal yang pernah hadir, seperti yang terdapat pada verse selanjutnya.
Kuingin mengingat semua yang pernah hadir
pada hidup yang tak perlu banyak upaya tafsir
membebaskan jelajah dari tirani qanun serupa syair
penjara pantai Banda Neira yang membebaskan Syahrir
MV kembali mengunjungi masa lalu melalui serpihan serpihan ingatan memoar semua yang pernah hadir. Kadang masa lalu selalu menjadi momok yang menakutkan untuk diingat, namun sejatinya masa lalu tak pernah beranjak hilang dari ingatan seseorang dan hal tersebut lah yang berusaha MV bentuk melalui bait tersebut. “Mengingat semua yang pernah hadir” bukan hanya berdasar pada bagian-bagian yang telah ia tulis pada lirik ini sebelumnya, karena ia juga beranjak dari bait metafora milik Pramoedya Ananta Toer tentang mengingat hidup dan tafsirannya yang justru mengekang dan memenjarakan manusia ketika manusia bertemu dengan dominasi hidup. MV menghadirkan metafora yang sudah lama mati pada bait tersebut. Di titik ini, “membebaskan” dan “mengingat” adalah dua hal yang tidak sama. Pembebasan dengan pembebasan ingatan yang ingin MV munculkan pada lagu ini melahirkan pemahaman baru serupa “membebaskan jelajah dari tirani qanun serupa syair / penjara pantai Banda Neira yang membebaskan Syahrir.”
MV merasa bahwa pembebasan adalah sebuah hal yang paradoks. Pada konteks lagu ini, MV merasa selalu berusaha untuk membebaskan diri dari teks, simbol, dan juga bahasa yang seakan pakem tak bisa dilepaskan. Namun, MV merasakan pula bahwa ia selalu dihadapkan dengan ingatan bahwa teks, simbol, dan bahasa adalah sebuah keterikatan yang tidak dapat dilepaskan oleh manusia. Oleh karena itu, masa pemenjaraan Sjahrir jadi bentuk referensi MV. Pada persoalan ini, kita mampu mengetahui bahwa penjara Sjahrir di pantai Banda Neira adalah salah satu tempat yang menjadikan Sjahrir manusia bebas, mampu hidup tanpa ada kekangan otoritas karena hidupnya sepenuhnya dikendalikan oleh dirinya sendiri.
Kuingin merekam banyak hal sebelum ingatan punah
mengingat kau memaklumi semua hal yang sulit dianggap lumrah
purwarupa bapak muda yang tiap hari berusaha keluar rumah
meski tak pasti ada kerja dan pulang membawa upah
Memberi makna pada lusinan purnama
pada satu gang sempit di mana kontrakan kita pertama
pada setermos air panas tetangga yang kita minta
saat tak ada lagi kas untuk menjaga kompor tetap menyala
…
Namun semua terbayar tunai di kala
tarian pertama Alyssa, medali pertama Nayla
gambar pertama Ababil sebelum bertemu layar-layar kaca
Selanjutnya, dua paragraf tersebut memiliki makna yang personal. MV merekam kembali kondisi di mana badai menerjang nya bersama sang istri. Bagian bagian di atas adalah sehimpun ingatan MV mengenai kondisi yang tak menentu, karut, dan kadang meninggalkan luka. Keinginan merekam ingatan sebelum mencapai titik punah dibarengi dengan persepsi MV mengenai istri yang selalu memaklumi semua hal yang sulit dianggap lumrah ini merupakan gambaran MV bahwa sang istri selalu memahami segala macam yang dimiliki oleh MV mulai dari hal-hal tentang pola pikir yang kritis, hobi, selera lagu, atau apapun mengenai hal-hal unik yang mungkin pandangan mengenai hal tersebut aneh atau tidak lumrah, namun MV seakan menegaskan perasaannya bahwa sang istri menerima segala macam apapun yang dimiliki MV.
Bagian selanjutnya adalah ingatan-ingatan personal lainnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan problematika berkeluarga. MV dan sang istri banyak melalui jejak masa lalu yang bisa dikatakan penuh dengan badai dan mendung yang bergelayut, dari proses sukarnya mendapatkan lapangan pekerjaan yang dituliskan MV melalui bait “purwarupa bapak muda yang tiap hari berusaha keluar rumah / meski tak pasti ada kerja dan pulang membawa upah,” sampai potret tempat tinggal pertama yang berada di gang sempit.
Namun, segala problematika yang dirasakan oleh beberapa keluarga tersebut mampu sempurna dilarungkan dengan perasaan senang akan hadirnya buah hati seperti penggambarannya melalui “namun semua terbayar tunai kala tarian pertama Alyssa, medali pertama Nayla / gambar pertama Ababil sebelum bertemu layar-layar kaca.” Hal-hal berbentuk kesulitan di kala badai mampu sempurna diteduhkan dengan kehadiran dan tumbuh kembang anak-anak mereka, potret kebahagiaan sederhana dari sudut pandang orang tua yang melihat anak-anaknya mampu memberikan keahlian pertama mereka yang menghadirkan rasa kagum, yang bahkan mampu menenangkan badai bak air di sungai.
Membebaskan Hujan Dari Tirani Puisi, mungkin saja dapat disebut sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan bagaimana gagasan mengenai cinta jika dipandang melalui perspektif lain. Perspektif yang lebih menitikberatkan pada proses serta kondisi naik turun di dalamnya. Bentuk penerimaan, lapang dada, dan saling menguatkan, MV mengajak para pendengar menyelami ruang personal masa lalunya yang terangkum sempurna melalui kata, metafora, hingga rima.
Pada akhirnya, pesan cinta yang disampaikan MV melalui lagu ini menjadi bentuk pesan cinta paling berbeda dari pesan cinta yang khatam dipahami oleh masyarakat keumuman. Membebaskan Hujan Dari Tirani Puisi adalah bentuk pesan cinta paling radikal dengan tawaran pemahaman cinta melalui metafora yang perlu digali dengan sempurna. Seakan terselip makna yang dalam pada setiap kata, simbol, dan rima yang MV masukkan dalam lagu ini, benang merah yang saling bertautan satu sama lain. MV dalam lagu ini merayakan kebebasan dari belenggu masa lalu perihal cinta, dan ditutup dengan suka cita karena,
Kuingin menghidupi semua puisimu di buku harian
yang pernah berbagi peran mengajariku perihal angan
dengan memberi utopia jalan, kasut dan jas hujan
sehingga ia punya kesempatan
untuk tak hanya berakhir menjadi sekadar gagasan.
Mencintaimu adalah menghidupi sajak yang tak pernah tertulis.