Pulang Malam
Melihat perjalanan pulang dari mata seorang perempuan.
Words by Whiteboard Journal
Jarum pendek sudah jatuh ke angka delapan. Artinya, sudah waktuku menghadapi ketakutanku. Sudah seharusnya aku mengatur napas terlebih dahulu. Jangan sampai aku menghadapi ketakutan terbesar dalam keadaan panik. Ketenangan menjadi kunci. Sekalipun sulit untuk tenang, setidaknya terlihat tenang, sekalipun batin menjerit. Mari tarik napas dari hidung selama empat hitungan, tahan selama tujuh hitungan, dan keluarkan selama delapan hitungan. Diulangi hingga empat kali. Begitu kata tutorial di YouTube.
Jaket lengan panjang dengan ukuran yang melampaui tubuh, menghilangkan lekuk tubuhku. Masker wajah pun turut menutup wajahku. Dengan rambut pendek, aku berharap identitas sebagai perempuan semakin berkurang, atau setidaknya membuatku tidak menarik. Sepatu lari dengan kaos kaki. Jika saja tetiba aku butuh lari, aku pun sudah siap. Pulpen di saku kanan, kunci di saku kiri. Dua alat yang semoga saja mampu menjadi senjata jika saja mendadak butuh untuk melindungi diri. Kupasang headset di kuping kananku agar terlihat normal, dan membiarkan kuping kiriku bersiaga tanpa headset.
Takut dan cemas tak mungkin untuk dihilangkan, tapi perlu untuk dihadapi. Ku melangkahkan kaki keluar kantor, menuju jalan raya. Kupegang erat-erat tas selempangku. Menunggu bis dengan angka 502 lewat di hadapan. Hingga akhirnya ia muncul, pertarungan baru saja dimulai. Awali dengan langkah kanan untuk naik ke bis. Hal yang telah diajarkan sejak kecil. Agar lebih stabil jika saja bisnya melaju sebelum kedua kaki menapak di bis. Benar saja, bisnya berjalan sebelum kedua kaki menapak di dalamnya.
Berusaha untuk masuk di tengah desakan manusia. Manusia-manusia asing yang juga merasa asing padaku. Kebanyakan dari mereka yang di dalam bis pun melakukan hal yang sama, mengenakan jaket di tengah panasnya ibu kota, serta masker. Begitu asing dengan masker-masker yang menutupi identitas mereka. Begitu asing saat melihat ada di antara mereka yang menutupi dirinya hingga mengenakan topi di malam hari. Para pengguna ransel memeluk erat ransel mereka. Pengguna tas selempang pun sama.
Wanita di hadapanku sempat melihatku sekilas dengan sinis, kemudian melemparkan pandangannya ke orang lain. Pandanganku pun berpindah dari satu orang ke orang lain. Aku pun perlu untuk buru-buru melempar pandangan jika ada di antara mereka yang menyadari bahwa mataku sempat terkunci ke mereka. Mata-mata di bis tersebut juga bekerja dengan siaga. Berpura-pura acuh atau menenangkan diri dengan headset masing-masing. Terdapat seorang perempuan remaja yang sibuk membuka sosial media di telepon genggamnya. Di belakangnya, terdapat bapak-bapak di usia sekitar 40 tahun yang memerhatikannya. Aku tak paham mengapa perempuan tersebut bisa dengan nyamannya bermain sosial media di tengah kerumunan sebuah bis yang berdesak-desakan, bau, dan mengerikan ini. Bagaimana bisa ia berdiri di sini tanpa bersiaga atas segala makhluk asing yang berada di sekitarnya.
Jalanan macet, seperti hari-hari biasanya. Keringat mengucur dari tubuhku. Aku tidak mencium aroma tubuhku sendiri, tapi aku mencium perpaduan aroma tubuh orang-orang di sekitarku, khususnya beberapa orang yang menjepit tubuhku. Dengan tubuhku yang pendek, sudah terbiasa bagiku terjepit di antara lengan dan ketiak para penumpang. Aroma mereka sesekali tidak tercium saat fokusku berubah ke suara klaksin kendaraan yang berpadu dengan suara mesin tua bis ini. Aku bahkan tak yakin lagu apa yang sedang terputar di telinga kananku, padahal rasanya tadi aku sudah memaksimalkan suara volume musiknya.
Rasanya Jakarta membuat naluriku semakin terlatih. Naluri orang-orang di dalamnya. Naluri untuk mempertahankan diri. Naluri hewan. Naluri mereka yang mau berburu melawan naluri mereka yang senantiasa merasa akan diburu. Aku selalu dapat merasakan saat ada mata yang melihat ke arahku. Mereka pun dapat menyadari setiap kali mataku tertuju pada mereka. Lalu lewat begitu saja seakan-akan tidak pernah ada kecurigaan atau saling menatap di antara kami. Perempuan dekatku yang masih sibuk membuka sosial media nampaknya belum melatih kepekaan nalurinya, termasuk bapak-bapak yang memerhatikannya. Aku dapat melihat sebagian orang memerhatikan kedua makhluk tersebut. Memerhatikan orang yang sedang memerhatikan orang lain.
Bis pun mendaratkan roda-rodanya di terminal bis yang berada di satu wilayah dengan Transjakarta. Pertanda bahwa bis ini telah sampai pada tujuan terakhirnya. Menandakan bahwa aku harus menghadapi tahap selanjutnya, yakni turun dan mencari mikrolet tujuanku. Setiap orang saling berdesakan untuk turun. Keadaan semacam ini merupakan keadaan yang genting karena orang-orang tidak menyadarkan diri. Aku dapat melihat bapak-bapak tadi mengambil telepon genggam perempuan remaja. Ia melakukannya dengan buru-buru. Aku yakin beberapa orang pun menyadarinya. Namun setiap orang perlu untuk mempertahankan dirinya dan sampai di tujuannya masing-masing dalam waktu secepat mungkin. Tak ada waktu untuk mengingatkan atau menyelamatkan mereka yang kalah dalam pertempuran ini. Perempuan itu kalah. Namun tentunya hal tersebut akan memberikannya pelajaran tentang mempertahankan diri. Bapak-bapak itu sebenarnya bodoh, tapi mangsanya lebih bodoh lagi.
Aku melangkah secepat mungkin tanpa berlari ke arah mikrolet yang kutuju. Aroma pesing menyengat menjadi salah satu ciri khas terminal ini. Setiap orang yang berlalu lalang di dalamnya pun melangkah cepat tanpa berlari. Hanya berjalan super cepat. Hingga tiba-tiba, aku tersandung, tapi tak sampai jatuh. Ternyata ada sesosok entah ia pengemis atau orang gila yang berkeliaran sedang tidur di pinggir terminal. Jantungku sesaat berhenti dan melanjutkan detakannya lebih cepat daripada biasanya. Naluriku merasakan beberapa orang di sekitar melihat kejadian tersebut. Namun kuabaikan dan meneruskan perjalanan.
Angkutan umum berwarna biru telur asin tersebut membentuk deretan. Mikrolet tujuanku seperti dugaanku sebelumnya, cukup penuh. Ia berada di posisi paling depan dari deretan yang ada menandakan dirinya akan menyalahkan mesin terlebih dahulu dari yang lain.
Aku tak kebagian untuk duduk dekat pintu. Padahal posisi dekat pintu merupakan posisi yang strategis. Selain memudahkan untuk keluar dari mikrolet, juga memudahkan untuk kabur jika saja mendadak ada kondisi yang mengharuskan untuk keluar. Mikrolet tak langsung melaju setelah aku masuk. Supirnya bahkan baru saja membakar kretek di luar pintu mikrolet. Ia menunggu sampai mikroletnya penuh, sampai tak ada ruang untuk bergerak lagi. Tentunya, sistem enam-empat tak pernah benar-benar berlaku. Takada standar untuk menentukan berapa maksimal orang yang boleh ditampung. Ia menampung sampai titik maksimal, sampai benar-benar takada ruang lagi, khususnya dalam jam-jam pulang kerja seperti ini.
Di sela-sela menunggu, sejumlah pengamen secara bergantian masuk dan bernyanyi. Check our Instagram stories on Storie sig – anonymous Insta story viewer. Ada yang menyanyi dengan lirik mengancam, “Ya daripada saya mencuri atau mengambil uang secara paksa, lebih baik memberikan uang seikhlasnya”. Ada pula yang menyanyikan lagu-lagu khas pengamen jalanan di Jakarta, di antaranya ialah Terlalu Manis milik Slank. Ada yang datang dengan tubuh penuh tato dengan usia awal 20-an.
Ada yang hadir dalam tubuh kecilnya. Lelaki. Usianya mungkin berkisar sepuluh tahun. Suara yang ia keluarkan tak seirama dengan gitar yang ia mainkan. Wajahnya tidak mengeluarkan ekspresi apa-apa seolah ia merupakan robot yang telah diatur untuk melakukan hal yang sama secara berulang. Tak butuh lama bagiku untuk menyadari bahwa ada darah yang masih merah mengalir di kakinya. Mengalir dari dalam celana pendek butek biru muda. Celana dengan beberapa benang terurai, melepas lipatan yang terjahit di ujung celananya. Mungkin beberapa orang menyadarinya, tapi lagi-lagi, setiap orang sedang berada di dalam pertempurannya masing-masing. Tak ada waktu untuk menanyakan, apalagi untuk berempati. Beberapa orang mengeluarkan receh, termasuk aku. Mungkin sebenarnya itu merupakan salah satu cara kami untuk berempati, atau cara untuk mengapresiasi anak lelaki yang masih mampu berdiri dengan tegap untuk bertarung dalam hidupnya.
Setelah mikrolet cukup penuh, akhirnya supir pun masuk dan menyalahkan mikroletnya. Kretek keduanya masih menyalah dan ia menghirupnya sembari mengendarai mikroletnya. Dua orang yang duduk di sebelahnya menutup wajah dan mengibas-ibaskan asap yang terbawa angin memasuki bagian dalam mikrolet dan melewati depan wajah mereka. Supir pun, dengan cueknya, tetap melanjutkan tarikan rokoknya. Aku yang duduk di belakang pun sebenarnya cukup terganggu dengan asap rokok yang semakin lama semakin memenuhi mikrolet. Kami seolah terjebak dalam suatu mesin di mana kami tak bisa bergerak kemana-mana dan mau tak mau harus menghirup udara yang kami terima. Pergerakan mikroletnya pun sangat lambat pada jam-jam seperti ini.
Di tengah perjalanan, supir menyalahkan radionya. Ia memilih mendengarkan saluran berita kriminal. Sebenarnya pilihannya memang hanya dua, dangdut atau berita kriminal.
Polisi menemukan korban dalam keadaan tewas dalam saluran air di Blok M, Jakarta. Polisi belum menemukan identitas perempuan itu hingga kini…
Aku mengeraskan suara musik di telingaku. Sudah bosan rasanya mendengar berita kriminal, sebosan harus mendengarkan musik dangdut dengan suara yang dapat terdengar hingga keluar mikrolet. Setiap berangkat ataupun pulang kerja, selalu saja dua hal tersebut yang diputar dalam mikrolet ini.
Sepanjang jalan, beberapa anak pengemis dan pengamen pun masih masuk-keluar mikrolet secara bergantian. Di antaranya, ada yang sebenarnya telah masuk untuk mengamen saat mikrolet masih menunggu penumpang di mikrolet. Aku bertanya-tanya, sudah berapa banyak mikrolet, bis, atau angkot yang ia masuki sebelum akhirnya ia bertemu kami lagi? Atau apakah ia menyadari bahwa mikrolet yang dimasukinya telat ia masuki sebelumnya dengan beberapa wajah yang belum berubah? Serta telah berapa banyak uang yang ia dapatkan karena ia terus bergerak, sedangkan kami hanya duduk diam dan menunggu?
Gang rumahku sudah mulai terlihat, “kiri, Bang!”.
Aku turun dan memberikan uang empat ribu yang terdiri dari empat lembar wajah Pattimura. Supirnya menerima uang tanpa melihat ke arahku. Begitu banyak pertemuan dengan orang asing pasti melelahkannya, pun melelahkanku. Terlalu banyak hal terlintas dan terpikirkan, seperti anak perempuan di bis tadi, atau anak lelaki di mikrolet tadi. Yang satu kalah, yang satu menang. Terlalu banyak hal yang terlintas di mana keesokan harinya perlu kuhapus dan bertemu berbagai hal baru lagi yang melintas dan memaksa untuk dipikirkan.
Beberapa ojek depan gang langsung menawarkan diri, “Neng, ojek Neng, ojek Neng, ojek…”, “ke mana Neng?”, “Ke dalemnya pake ojek aja, Neng..”.
Dengan mengenakan headset, aku menjadi sah-sah saja untuk mengabaikannya, bahkan tak melihat ke arah mereka. Rumahku memang cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki, tapi terlalu dekat untuk menggunakan ojek, apalagi dengan harus mengeluarkan uang tujuh ribu tambahan. Lagi pula, aku merasa lebih aman untuk berjalan kaki daripada menggunakan ojek di malam hari. Kisah seputar pemerkosaan yang dilakukan tukang ojek di sekitar sini bukan lagi hal yang baru.
Di tengah perjalanan, aku melihat ada kerumunan anak muda. Kumpulan anak geng kampung ini. Aku mendekatkan tangan ke sakuku agar mempermudah jika secara tiba-tiba harus membela diri dan mengeluarkan pulpen dari sakuku. Mereka duduk-duduk sambil mengobrol. Aku melewati mereka dengan langkah yang kupercepat. “Ati-ati mbak, kepleset aja,” cetus salah seorang dari mereka. Para kawannya melanjutkan dengan tawa panjang. Aroma arak melintas sepintas di hidungku. Tanpa melirik ke kanan-kiri dan melihat sumber suara-suara, aku terus berjalan melihat ke depan. Terus bergerak seolah tak ada apa-apa, seolah tak mendengar apa-apa. Keringatku mengucur, tetes air mata hinggap dalam kedua kelopak bawah mataku. Aku hanya ingin agar ke rumah dalam waktu secepat mungkin.
Setelah melewati kerumunan tersebut, aku mendengar ada langkah mengikuti di belakang. Kupercepat langkahku, ia turut mempercepat langkahnya. Suara langkah kami beradu. Aku tak berani melihat ke belakang. Tiba-tiba saja ia melintas, melewatiku. Berjalan lebih cepat dariku. Seorang perempuan dengan jaket jeans kebesaran, muka ditutupi masker, dan kuping tersumpal headset. Mungkin ia takut padaku, atau takut pada orang yang belum lama ia lalui. Langkahnya begitu cepat hingga tiba-tiba saja tak tampak lagi di hadapanku.
Rumah merah dengan cat rumah putih bertuliskan 62 telah terlihat. Aku mempercepat langkah. Garis finish telah terlihat di hadapanku. Aku membuka pagar dan masuk. Rasanya seolah baru saja merobekan pita garis finish di perlombaan lari. Aku membuka rumah dan masuk.
Hari ini, aku selamat, aku menang. Kemenangan yang telah kudapatkan lebih dari sepuluh tahun. Kemenangan yang telah kudapatkan sejak di sekolah menengah pertama. Malam ini, aku dapat beristirahat, serta mempersiapkan diri menuju pertarungan lainnya di esok hari.
–
“Pulang Malam” dari Fadia Alaidrus disubmit melalui program Open Column. Jika ingin menjadi bagian dari program ini, klik tautan berikut: Whiteboard Journal Open Column Program.