
Pengalaman Andien Membuktikan Bahwa Perundungan Tak Mengenal Batas Ruang dan Waktu
Dalam submisi Open Column ini, Dzulfikri Putra Malawi mengangkat bagaimana konser Suarasmara Andien menjadi statemennya dalam menyikapi perundungan, dan bagaimana kolektif musik sudah sepantasnya memutus rantai perundungan.
Words by Whiteboard Journal
Perundungan selalu hadir di setiap jengkal perjalanan hidup kita. Seolah dihadapkan hanya dua pilihan saja; dirundung atau merundung. Persis hukum rimba. Padahal kita punya akal, yang membedakan manusia dengan binatang. Seharusnya ada kuasa untuk mengontrol “kekuasaan” atau “kebuasan” yang secara alamiah selalu muncul di berbagai kondisi.
Tapi nyatanya, setiap satu kumpulan manusia. Kita sering menyebutnya tongkrongan atau geng yang mendominasi maka kesadaran kolektif untuk merundung pun selalu ada. Tak jarang sampai memakan korban jiwa.
Zaman berganti. Sanksi hukum dan sosial juga terus lakukan intervensi. Tapi kok ya selalu ada aja kejutan kasus-kasus baru dari perundungan ini. Itu yang kelihatan. Nyatanya, dari kisah-kisah pertemanan, juga kerap terjadi di lingkungan pekerjaan.
Misalnya dunia hiburan. Berprofesi menjadi penyanyi dengan lampu sorot yang menyinari dirinya bukan berarti tak membuat Andien bebas dirundung. Saat tampil di sebuah stasiun televisi, tempat penyanyi menjadi masyhur pun justru bisa terjadi pembulian.
Saat awal meniti karier sebagai penyanyi profesional. Baru memasuki usia SMP, 14 tahun. Andien ingat betul kejadiannya. Sangat detil. Di jeda komersial kejadiannya. Ia yang tengah bersiap tampil sepenuh hati. Dalam mode standby. Terpaksa meneteskan air mata karena seseorang bilang kepadanya, “Ah, lo ga bisa nyanyi lo.” Dan kamera sudah menghitung mundur untuk on air.
Bisa kalian bayangkan situasinya? Jika Anda yang melakukan perundungan ini dan membaca, apakah ada penyesalan dalam diri Anda? Bukan, bukan itu targetnya. Meminta maaf atau tidak, biarlah jadi urusan Anda. Andien sudah move on dan berhasil melalui perundungannya di dunia senioritas industri hiburan dengan sebaik-baiknya individu profesional yang tegar dengan tetap terus berkarya. Memantapkan eksistensi dan dampak baiknya.
Hal tersebut, diakui Andien menjadi luka yang menganga. Traumatis. Dan mengubah pandangan Andien terhadap dunia bernyanyi. Hingga menjadi pribadi yang takut berbuat salah hingga saat ini.
Keluarga jelas menjadi benteng pertahanan yang paling kokoh. Apalagi orang tua. Sosok garda terdepan yang siap melakukan apapun agar anaknya tidak menjadi korban bully. Sang ibu selalu memeluk dan menasehati untuk menguatkan dan mendukung Andien.
Bagi Andien, diri kita dan orang tua bahkan tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di luar. “Ada kalanya pulang ke rumah bilang ga mau nyanyi, terus nyokap bilang ‘Yaudah gapapa, nggak usah nyanyi.’ Tapi gue sampai sekarang 25 tahun tetep nyanyi karena memang suka bernyanyi,” kenang Andien.
Tak hanya di dunia pekerjaan, Andien juga mengalami perundungan di sekolah saat masuk SMP. Lebih parahnya, kini perundungan itu berpindah medium di dunia maya. Cyber bullying istilahnya, kerap Andien dapatkan.
Serangkaian peristiwa perundungan yang tak terlupakan untuk Andien. Hingga saat ini dirinya harus berurusan dengan psikoterapis yang terjadwal 2 minggu sekali. Dampaknya sangat nyata. Hingga 25 tahun berkarya. Luka batinnya masih belum kering betul.
Tapi Andien justru memberikan ruang kolaborasi lintas generasi di konsernya 25 tahun berkarya Suarasmara yang digelar 15 November yang lalu di Istora Senayan, Jakarta. Konser ini juga bisa dimaknai sebagai bentuk nyata sikap Andien dalam menyikapi perundungan. Bertahan dengan cintanya bernyanyi, melawan dengan keteguhannya berkarya. Dan yang terpenting memutus lingkaran “budaya” perundungan sedini mungkin. Lalu menumbuhkan kebiasaan baru untuk saling mengapresiasi dan menginspirasi.
Dilakukan dalam Kolektif
Korban perundungan selalu menjadi objek atas apa yang para perundung inginkan. Sepertinya mereka yang paling berkuasa menentukan arah hidup orang lain. Kini dilakukan dalam kolektif yang lebih besar karena tanpa batasan ruang dan waktu. Tak perlu tatap muka. Lewat layar gawai dan jempol-jempol yang menari untuk mem-bully.
Baik di dunia nyata maupun dunia maya, kolektif ini punya dinamika dan kebutuhan akan identitas yang dalam konteks remaja atau komunitas sosial menjadikan para individu dalam kolektif ini merasa punya solidaritas dalam menegakkan hierarki siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk memperlihatkan eksklusi atau dominasi terhadap mereka yang dianggap berbeda dari kolektif yang ada.
Di samping itu, hubungan kolektif—terutama berbentuk geng—punya struktur kekuasaan informal alias tak kasat mata. Hal itu dimaksudkan untuk mempertahankan status sosial di dalam kelompok, mengontrol perilaku anggota, atau menunjukkan loyalitas terhadap pemimpin geng. Contohnya anggota baru akan “diuji” untuk melakukan tindakan mempermalukan kepada pihak lain yang disasar sebagai tantangan baru. Padahal esensinya adalah perundungan.
Ada hal lain yang menarik dalam hubungan kolektif. Selain menarik, ini jadi faktor yang kuat dan mengakar dan mengubah karakter. Gila banget! Kalau satu geng memiliki budaya mengejek, mengintimidasi, atau menghukum yang dianggap lemah, maka individu yang tadinya tidak berniat merundung maka bisa ikut-ikutan agar tidak dikucilkan dalam kolektif tersebut. Faktor ini yang kemungkinan besar menjadi norma sosial dalam kolektif itu. Dan kita selalu ada di dalam bayang-bayangnya. Bentuknya bisa berupa candaan yang berlebih. Relate kan di sirkel terdekat kalian? Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Jawabannya kembali ke moral kompas kita. Jika secara sadar kita ikuti arusnya, maka definisi kebersamaan yang diukur dari siapa yang berani menindas, bukan siapa yang berani membela akan terus subur di dalam ekosistem kita. Mari kita toksik bersama! Ya jangan dong bre…



