Mencuri Ilmu di UK untuk Mengembangkan Infrastruktur Progresif di Indonesia
Klarissa Ekaputri bercerita tentang ambisinya, dan apa saja yang bisa kita pelajari dari Inggris dalam upaya mengembangkan infrastruktur di Indonesia
Words by Whiteboard Journal
Aku sudah menetap di Inggris selama tujuh tahun. Perjalananku disini berawal dari keinginanku untuk, selain belajar, “kabur” dari Indonesia. Growing up di Jakarta, aku merasa “terperangkap”, mulai dari karena kemacetan yang semakin hari semakin parah, hingga ke pemerintahannya; aku sempat merasa bahwa jika aku menetap di Indonesia masa depanku tidak akan sebagus jika aku diluar negeri. Di situasi seperti ini, pindah ke negara lain terasa lebih gampang dan terlihat lebih nyaman, apalagi negara lain selalu terlihat lebih teratur jalanannya, dan transportasi umumnya terlihat memadai, dari televisi; the grass always seems to be greener on the other side.
Aku memulai kehidupan baru di Inggris yang dimulai dari Manchester ketika aku mengambil BA(Hons) in Business and Economics selama tiga tahun di University of Manchester, hingga aku melanjutkan mengambil MPhil in Planning, Growth and Regeneration di University of Cambridge dan akhirnya pindah ke London untuk memulai karirku sebagai Transport Consultant yang sudah aku jalani selama tiga tahun.
Selama aku berada di Inggris, sering sekali ketika berkenalan mereka akan bertanya, “Indonesia dimana?” atau bertanya kehidupan kita biasanya seperti apa, apakah kita mempunyai banyak gedung-gedung tinggi, dan makanan kita sehari-hari apa, dan sebagainya. Semakin banyak yang bertanya tentang hal ini, entah kenapa, semakin aku merasakan betapa inginnya aku ingin negaraku lebih dikenal orang-orang diluar Indonesia.
Indonesia mempunyai banyak potensi; masyarakat kita banyak, sumber daya alam kita juga banyak; kita mempunyai sumber daya yang cukup yang bisa membuat negara kita sekuat negara yang terdepan. Namun sayangnya, masih banyak isu-isu yang menghambat kita untuk bisa mendorong ekonomi kita untuk mencapai its full potential. Salah satunya adalah infrastruktur: kemacetan di perkotaan, dan juga kurangnya jalanan yang memadahi di perkampungan. Hal-hal ini menghambat kemajuan perkonomian lokal; misalnya dulu aku pernah pulang ke Indonesia dan berkesempatan untuk bekerja bakti di Banten dimana aku menyaksikan dan merasakan bagaimana penduduk antara Desa Mekarjaya dan Desa Sukaresmi terpisahkan oleh sungai, dan pada saat itu yang menyatukan kedua desa ini adalah sebuah alas kayu/bambu, melainkan sebuah jembatan yang bisa menyambungkan kedua desa ini, sedangkan anak-anak dari Desa Mekarjaya harus menyeberangi sungai ini agar mereka bisa ke sekolah yang berada di Desa Sukaresmi. Bayangkan berapa banyak desa yang kondisinya seperti ini, yang dimana kesehariannya terganggu karena minimumnya infrastruktur yang disediakan, dan ini bisa menjadi salah satu hal yang menghambat kehidupan mereka kedepannya.
Oleh karena itu, setelah menyaksikan kurangnya infrastruktur, kemacetan di Jakarta, dan keinginanku agar masyarakat luar lebih mengenal negara kita, (dan sejujurnya karena aku juga kangen dengan rumah) aku pun bertekad untuk bisa pulang ke Indonesia kedepannya agar aku bisa membantu membuat negaraku menjadi lebih baik melalui infrastruktur dan tata kotanya, apalagi juga karena hal ini akan bisa aku rubah jika aku berada di Indonesia untuk mengubahnya.
Untuk membantu diriku beradaptasi dan tetap mendapatkan informasi tentang situasi di Indonesia selama aku di Inggris, aku dan teman-teman membuat sebuah organisasi bernama Indonesian-UK Infrastructure Association (INKI Association), dimana kita mengundang praktisioner dari Indonesia maupun Inggris untuk berbagi pengetahuan mengenai infrastruktur untuk orang-orang yang tertarik.
Aku harap, ketika aku balik ke Indonesia, aku bisa membantu negara kita untuk membangun dan menyediakan jalanan maupun transportasi umum yang strategis dan berkualitas, agar kehidupan masyarakat di Indonesia bisa lebih nyaman.