Ketika Raja Bertemu dengan Sang Filsuf dan Anjingnya
Salah satu cuplikan dari buku Whiteboard Journal Open Column yang bercerita tentang kesetaraan derajat yang dipahami sejak dalam pikir juga dalam tindak.
Words by Whiteboard Journal
Di antara berbagai mazhab, ada sebuah aliran yang tak pernah menjadi filsafat formal, namun justru memiliki bekas yang mendalam berkat kekhasan pemikirannya. Berjudul sinisme, aliran ini memandang buruk pada manusia. Namun, di saat yang sama, mazhab ini memiliki tujuan untuk kebaikan dan kebijaksanaan. Prinsip ini berdenyut dalam jalan hidup Diogenes, sosok paling nyentrik dari sekian banyak filsuf.
Ketika para pemikir lain memenuhi ruang-ruang senat atau menjadi penasihat kaisar, Diogenes lebih memilih bersafari ke ruang-ruang urban dan berkomunal dengan masyarakat lainnya. Saking sederhananya, ia memilih untuk tinggal di sebuah tong bekas wadah fermentasi anggur bersama anjing-anjing liar pinggiran kota. Hidup dan berteman dengan anjing, ia kemudian mendapat julukan “Sinis” (Bahasa Yunani, seperti anjing) oleh orang-orang sekitar. Bukan tak berdasar, sebutan ini berakar pada sikap Diogenes yang terus terang, tanpa mengenal basa-basi.
Di sisi lain, Diogenes juga menunjukkan kepercayaannya pada kebaikan. Ini bisa dilihat pada suatu ketika di mana ia memecahkan satu-satunya mangkuk yang dia miliki karena melihat seorang anak kecil sedang minum hanya dengan tangan sebagai wadah airnya, Diogenes lalu berkata, “Setiap orang akan merasa bersalah atas semua kebaikan yang tidak ia lakukan.”
Sosok yang kontroversial ini kemudian memancing rasa penasaran kaisar muda Romawi, Alexander Agung untuk berinteraksi secara langsung. Alexander Agung yang kala itu sudah menjadi penakluk sejumlah wilayah dunia berencana ingin ke Athena dan bertemu dengan sang filsuf. Pertemuan ini, nantinya akan menjadi salah satu catatan terkenal dalam biografi sang kaisar.
Dalam pertemuannya dengan Diogenes, sang kaisar banyak mengajukan pertanyaan. Dan salah satu yang paling berkesan adalah saat kasiar bertanya tentang apa hal yang baik menurut Diogenes, dan apa yang buruk. Diogenes lalu menjawab, “Bahwa hanya ada satu yang baik, yaitu, pengetahuan; dan satu-satunya kejahatan, yaitu, menjadi radikal yang lupa diri”. Alexander Agung menjawab, “Maka akulah sesuatu yang baik itu, oleh sebab itu sekarang aku akan mengabulkan satu permintaanmu.” Ternyata, Diogenes telah punya satu permintaan yang sangat menarik, “Kalau kau bisa mengabulkannya, maka aku hanya punya satu permintan. Tolong menyingkirlah sedikit karena dari tadi kau sudah menghalangi sinar matahariku.” Mendengar permintaan seperti itu, Alexander Agung tertawa terbahak-bahak dan lalu mengabulkan permohonannya saat itu juga. Sambil berkata bawa semisal ia tak terlahir sebagai Alexander Agung, maka ia ingin terlahir sebagai Dioegenes.
Cerita ini mengajarkan kita tentang kesetaraan. Tentang bagaimana Diogenes memandang derajat semua orang itu adalah sama, baik itu kaisar maupun masyarakat biasa. Baginya, mungkin derajat mereka semua sama dengan anjing-anjing liar yang hidup bersamanya di pinggiran kota. Setali tiga uang dengan apa yang bisa kita pelajari dari Alexander Agung. Meski posisinya tinggi, ia mau mendengar pendapat dari gelandangan seperti Diogenes.
Pertanyaannya kemudian adalah apa kita mampu menahan ego untuk menghargai perbedaan? Baik saat kita berhadapan dengan kelas sosial yang berbeda, juga tentang apakah kita tetap bisa rendah hati tanpa merasa bahwa pendapat kita lah yang paling benar adanya.
—
Ini adalah cuplikan dari salah satu isi buku Whiteboard Journal Open Column, dikurasi oleh Cholil Mahmud, Cecil Mariani dan Irwan Ahmett buku ini berisi 20 tulisan yang membahas gagasan serta pertanyaan dalam bahasan tentang kesetaraan dan keragaman. Baca tulisan selengkapnya di buku Whiteboard Journal Open Column.