Interupsi dan Intonasi di Jakarta
Sebuah Anomali Di Tengah Padatnya Kota Metropolitan
Sedari dulu saya selalu mengintip Jakarta dari kejauhan. Kota ini kerap kali menyita perhatian saya ketika orang Jakarta sendiri seolah enggan membicarakannya. Keengganan itu entah datang dari rasa antipati ataupun dari rasa benci. Saya pun tak tahu pasti.
Akhirnya saya putuskan untuk bertualang ke Jakarta. Merasakan berjalan kaki di pusat kota adalah peluang yang baik bagi saya untuk menikmati kesempatan kosmopolitan. Volume kendaraan yang tumpah ruah di jalan raya membuat degup jantung saya berdebar-debar karena gerungan mesin-mesin otomotif. Serta kemegahan gedung-gedung pencakar langit juga berhasil mengkerdilkan diri saya seketika itu. Tak tertinggal, papan reklame raksasa sekaligus visual jalanan yang secara bertubi-tubi mencuri perhatian saya.
Interupsi dan Paduan Suara Klakson
Di pengalaman hari itu, ada dua hal yang saya jumpai sangat menarik, yang pertama adalah klakson pada setiap kendaraan di Jakarta, baik yang beroda dua hendakpun yang beroda empat. Tampaknya, saya pernah salah berspekulasi tentang hal ini. Saya mengira kendaraan mewah adalah satu-satunya hal di Jakarta, ternyata bukan, sebab yang menjadi hal sebenarnya adalah klakson pada kendaraan itu sendiri.
Di Jakarta, klakson boleh jadi merupakan partikel yang fundamental di dalam kehidupan sehari-hari warganya. Klakson, buat saya adalah identitas baru kota Jakarta, selain pembahasan mengenai polusi dan gas emisi. Fenomena bisingnya suara klakson dapat diamati dengan mudah sekali. Saya telah mencoba untuk tidak melihat hal itu secara berlebihan, meski kemungkinan untuk itu sepertinya ada. Hampir di seantero jalan raya, terdengar suara klakson yang silih berganti bernyanyi-nyanyi. Sembari saya berharap tembang yang dinyanyikan oleh paduan suara klakson itu ialah tembang-tembang pada album Modern Life is Rubbish karya band kenamaan Inggris, Blur. Kemudian, saya mendapati perhentian saya di lampu lalu lintas, ternyata suara klakson di area seperti itu akan terdengar tanpa harus saya nanti-nanti.
Ketika saya menanyakan perihal klakson ini kepada seorang teman yang hidup lama di Jakarta, dia hanya bergumam; “bahwa Jakarta memang sudah padat, dan klakson itu adalah simbol keterburu-buruan masyarakatnya”. Sontak saya mengingat perkataan seorang Urban Planner, Marco Kusumawijaya di dalam bukunya Jakarta: Metropolis Tunggang Langgang, “Jakarta selalu menawarkan kesempatan kosmopolitan, meski sebagian besarnya warganya hidup tunggang langgang. Jakarta tetap saja menarik banyak orang dan dicintai, meski kebencian mulai mengintai.”
Saya tak begitu sepakat mengenai adanya hubungan erat antara klakson dengan rasa buru-buru. Asumsi saya lebih diberatkan kepada watak kota Jakarta itu sendiri, yang penuh dengan interupsi. Dan saya berspekulasi bahwa suara klakson yang terdengar bersaut-sautan itu merupakan perpaduan ragam interupsi dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagaimana pengertiannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa “interupsi” berarti penyelaan atau pemotongan pembicaraan.
Hal itu dapat dilihat pada siaran televisi sehari-hari, Jakarta selalu tampil sebagai medan pertarungan yang hebat lagi menakjubkan. Medan pertarungan ideal bagi para politisi, selebriti, pengusaha bisnis, organisasi masyarakat, organisasi kemahasiswaan, buruh, sampai masyarakat suburban yang selalu cemas kalau-kalau pemukiman mereka digusur di hari depan nanti. Saya melihat semua ketegangan itu pada kebisingan suara klakson di Jakarta. Hampir semuanya ingin memegang kendali jalan raya, mendahului, menikung, serta mengambil jalan pintas.
Kebisingan otomotif adalah kebisingan manusia modern. Dan rasanya sulit untuk memungkiri bahwa suara otomotif adalah suara yang otentik dari sebagian besar masyarakat Jakarta pada hari ini. Bagaimana tidak, menurut data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya seperti dilansir oleh antaranews.com, jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat sebesar 12 persen tiap tahunnya. Dan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta diyakini bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari, pertambahan sepeda motor telah mencapai 4.000 hingga 4.500 per hari, sedangkan kendaraan roda empat mengalami pertumbuhan sebanyak 1.600 unit per hari. Angka yang cukup fantastis.
Catatan lainnya menunjukkan bahwa jumlah unit kendaraan bermotor di Jakarta pada penghujung tahun 2014 ialah sebanyak 17.523.967 unit. Roda dua sebanyak 13.084.372 unit, mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit.
Namun sayangnya, saya tak mendapatkan data mengenai rata-rata jumlah suara klakson di Jakarta yang terdengar setiap harinya. Juga tidak mendapatkan data mengenai intensitas pergantian aki klakson di dealer-dealer motor di Jakarta. Meski terdengar menggelikan, saya terus berharap suatu saat nanti akan ada yang memperhatikan hal ini untuk kemudian dikaji.
Saat ini saya hanya menyimpan sebuah pertanyaan yang belum terjawabkan. Bila suara klakson di Jakarta adalah cerminan emosi ataupun indikasi darah tinggi, lantas mengapa mereka bisa tersenyum manis di dalam mobil saat menangkap foto selfie?
Intonasi dan Visual Jalanan
Hal berikutnya yang menarik perhatian saya saat bertualang ke Jakarta ialah dapat melihat konstruksi visualnya. Pada saat saya menyerahkan diri kepada visual kota Jakarta, papan-papan reklame secara bertubi-tubi menghampiri pandangan saya. Mulai dari produk pemutih kulit, produk elektronik, produk rokok, dan lain sebagainya. Pada papan-papan reklame itu, bertebaran pula slogan-slogan yang menstimulasi gairah konsumsi pada diri saya.
Kendati demikian, konstruksi visual kota Jakarta tak hanya diwarnai oleh muatan reklame saja. Melainkan juga visual jalanan dengan aliran graffiti ataupun coretan-coretan pada dinding-dinding bangunan yang dibuat oleh masyarakatnya, baik secara perorangan maupun kelompok. Wajar untuk memaklumi bahwa jalanan adalah ruang publik. Artinya, siapapun dapat merespons dan mengambil posisi. Sayangnya, visual jalanan di kota Jakarta hanya dianggap sebagai visual chaos semata. Dengan kata lain, kehadiran visual jalanan hanya dianggap lahir dari spontanitas dan keisengan belaka, yang katanya berpotensi merusak estetika kota. Meskipun tak banyak yang mempersoalkan regulasi pemasangan papan reklame yang boleh jadi dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang berlebihan. Dan yang yang mengerikan dari budaya konsumsi yang tinggi ialah meningginya budaya korupsi.
Setiap kali menemui karya visual jalanan berupa coretan di dinding dan pagar beton, tumbuh pula rasa cemas pada diri saya bahwa adanya agresi visual untuk melawan dominasi papan reklame di Jakarta. Dari sana, menurut hemat saya, terdapat realisme sosial politik kota Jakarta yang telah terbagi menjadi dua, karya visual dari perusahaan kapital yang menciptakan konsumsi dan karya visual dari golongan marjinal yang menciptakan diskusi.
Agresi visual yang dilakukan para seniman visual jalanan itu seolah tengah memperdengarkan penekanan intonasi. Apapun dapat mereka goreskan di sana, termasuk manifesto politik, identitas kampung kota, hingga fanatisme sepakbola.
Visual jalanan non-reklame telah saya anggap sebagai penekanan intonasi terhadap dominasi visual reklame di Jakarta; bahwa perlunya rasa kepemilikan bersama akan ruang publik suatu kota.
“Interupsi dan Intonasi di Jakarta” ditulis oleh:
Ferri Ahrial
Aktif memperhatikan dan menuliskan kolom seputar ruang kota di Kota Bandung dan mulai menyukai studi kebudayaan. Saat ini berkegiatan dan belajar sebagai pustakawan di S.14 Artspace & Library di Bandung.