
Pelteras: “Tanpa harus diwarnai dengan ornamen-ornamen kegelapan, hidup, as is, sudah seram.”
Pelteras mengajak kami menembus kabut nada disonan untuk menemukan cerita tentang harapan dan suara yang lahir dari kegelapan, posisi mereka di tengah laju AI, hingga peran visual dalam membingkai suara.
Words by Whiteboard Journal
Words: Rajan Nausa
Photo: Agung Hartamurti
Tak lama setelah perilisan EP terbaru mereka yang bertajuk Krisan (2025), band post-rock/deathrock asal Jakarta, Pelteras, yang kini beranggotakan lima orang: Adam Bagaskara (bass), Achmad ‘Beje’ Raditya (drum), Adam Pribadi (gitar), Techa Aurellia (vokal), dan Rivo (bass), berkunjung ke kediaman kami.
Di balik kabut atmosfer dan gemuruh nada-nada disonan yang membalut musik mereka, perbincangan malam itu terasa jauh dari kata dingin. Hal ini tak mengherankan, mengingat Krisan yang juga mampu menyiratkan ketenangan di tengah kontras hitam dan putih latar karya tersebut.
Dalam perbincangan ini, kami membahas ruang aktivisme dalam musik, upaya mencari optimisme di tengah dunia yang kian pudar warnanya, peran fotografi dalam membingkai suara, kehadiran mesin pembuat lagu, hingga tren performative.
Pertanyaan pertama, jika kalian bisa membuang semua label genre, dan hanya boleh mendeskripsikan musik Pelteras lewat satu emosi manusia saja, emosi apa yang paling mewakili?
Adam P: Merintih mungkin, ya?
Rivo: Kalau buat gue pribadi gue emo sih kayaknya.
Beje: Satu kata emosi ya? Nggak ketemu katanya sih gue. Sebenernya nggak jauh beda sama apa yang Rivo bilang, tapi bukan emo-nya—lebih ke emosi aja gak perlu emosi yang dikaitkan sama the word emo gitu. Ya banyak emosi sebenarnya.
Di dunia yang rasanya sudah gelap seperti sekarang, apa yang membuat kalian justru memilih tema-tema gelap—seperti luka, kehilangan, dan kegetiran—sebagai inti dari karya-karya kalian?
Techa: Itu hal yang bisa direspons dengan cepat buat diri sendiri dan paling dekat gitu rasanya. Kalau emosi yang terang itu kan mudah ya buat kita—kita nggak mikirin itu gitu, tapi ketika itu terkait kegetiran dan segala macemnya, itu mudah untuk kita menuangkannya ke ekspresi tertentu gitu.
Setiap hari gelap—nggak sih itu bercanda. Cuma maksudnya, setiap hari lo pasti ada kegelapan yang lo rasain di diri lo sendiri, baik itu ngerespons apa yang terjadi di negara, ngerespons apa yang terjadi di lo secara personal atau interpersonal sama orang, tapi ya kita nggak bisa lepas dari itu.
Mikey Bean (Phantoms, 2019) pernah bilang, pergerakan deathrock—yang pastinya dekat dengan kalian—banyak mengambil inspirasi dari film-film horor. Pun kita hidup di negara yang sering menyimpan horor di balik senyum, seperti yang Techa bilang, setiap hari gelap. Kalau Pelteras sendiri, seberapa dekat Pelteras dengan genre film yang amat digemari oleh masyarakat kita ini?
Rivo: Gue lagi coba mikir… kayak, gue suka film horor, gue juga suka tuh suka film horor yang jelek sebenarnya. Nah, nggak tahu tuh nyambung apa nggak, tapi gue rasa, apa yang coba disampaikan di Pelteras kalo lagi manggung tuh align sama si film horor itu. Dari ambience, atmosfernya, sound design-nya. Dari gue pribadi, gue bisa menyampaikan itu [horor] pas lagi di panggung. Itu yang buat gue paling deket sama film horor.
Kalau kalian bisa mengisi score film horor, luar atau dalam negeri, apa?
Rivo: Tali Pocong Pewaran (2008) kali ya?
Adam P: Ya, kayak B-movie horor gitu seru kali ya.
Rivo: Mungkin horor sci-fi seru sih kalo bisa-bisa ngisi. Yang bukan horor-horor setan.
Beje: Psychological thriller mungkin lebih dekat [dengan Pelteras] dibanding horor-horor hantu, atau bacok-bacokan gitu.
Krisan (2025) lebih banyak berbicara soal relasi antar manusia, berbeda dengan Peranjakan (2023) yang berfokus pada interaksi individu dan kota. Apakah pergeseran tema ini berkaitan dengan bergabungnya Rivo ke dalam formasi? Apa yang berubah secara musikal dan emosional?
Adam P.: Dari part kita sih berasa banget ya. Interplay gue sama Rivo tuh jadi lebih nambahin dimensi di EP yang baru. Rasanya lebih rame gitu. Menyenangkan juga, apalagi sebelumnya juga teman kan sama Rivo. Jadi udah nyambung aja pas Rivo masuk.
Rivo: Jadi pengen nangis.
Kalau dari point of view mas Rivo?
Rivo: Gue baru pertama kali ikut nulis itu di EP Krisan kan. Gue udah berteman sama teman-teman Pelteras udah lama juga. Terus akhirnya, kita coba rulis di Krisan. Gue ingin menyampaikan suatu hal yang personal juga, dan gue bisa ngeluarin itu semua di EP ini. Gue rasanya kayak gitu.
Adam P.: Jadi ini baru permulaan.
View this post on Instagram
Meski musik kalian sarat suasana muram, apakah ada ruang untuk optimisme—terutama dalam menavigasi diri—sebagai masyarakat urban?
RIvo: Gue pribadi mungkin ini: tetap jujur aja nulisnya. Kayaknya kita juga jarang tuh nulis yang kita coba buat-buat [rasanya.] Kayak, emang ini kita ada rasa kayak gini, kita keluarin aja semua rasanya—kita tumpahin di satu wadah. Gue yakin itu akan terbentuk sendiri sih [ruang untuk optimisme.] Gimana cara mereka [pendengar] menerima dan menangkap pesan dari apa yang kita mau sampaikan. Gue yakin itu akan terbangun sendiri.
Techa: Kemuraman yang bisa dinikmati itu kan akan jadi optimisme sendiri—meskipun itu kan tema atmosfer dan segala macam—tapi ketika ada yang memang sejalan atau cocok dengan itu, itu buat dia jadi optimisme, gitu. Bukan bikin dia nyusruk atau jadi pesimis. Itu point of view gua ke pendengar misalnya ya—atau [setidaknya gua] berharapnya begitu.
Bagaimana kalian memposisikan diri dalam arus waktu yang bergerak cepat yang seringkali membuat kita terdistraksi?
Techa: Kita bikin Krisan pun sebenarnya cara kita menavigasi hal yang bergerak cepat nggak sih? Dengan dikejar waktu, tapi kita selalu punya kedisiplinan untuk ngumpul—dibantu dengan teknologi…
Kalau teknologi sendiri, dalam berkarya, apakah bisa menjadi sebuah teman yang sangat membantu, atau justru kalian sebisa mungkin menjauhkannya—terutama AI?
Adam P.: Wah, susah juga deh kalau dalam konteks bikin musik. AI, nggak sih. Masih jelek.
Rivo: Iya, masih jauh sih sama kita bikin sendiri. Terus kayak, jauh sih. Kayak, kasarnya, lu bayar robot aja gitu. Terus jadinya jelek pun juga ngapain. Mending bayar gue 20 juta, bagus tuh.
Bahkan sekarang ada mesin pembuat musik setiap dua menit sekali.
Rivo: Kita kan juga main musik dari apa yang kita rasa. Kita mau sampaikan juga keresahan kita sehari-hari dan tiap hari juga keresahannya pasti beda-beda. Kalau misalnya ada AI yang bisa nulis lagu kayak kita persis nggak akan kita pakai, ngapain karena kayaknya kita akan jauh lebih bagus daripada AI juga.
Adam B.: Dalam hal ini gua pikir , kita keep up sama pace hidup kita di dunia saat ini—informasi lajunya cepet banget, teknologi berkembang cepat banget—kita pengen tetap punya kemampuan untuk berpikir untuk diri sendiri.
Sekarang, kreativitas bisa di-generate lewat mesin. Tawaran gagasan yang kritis bahkan sekarang menurut gue sudah didobrak, in a way. Berpikir kritis dan berlaku secara kritis gue pikir bagian dari tindakan konformis yang paling “murni” saat ini. Gimana kita maintain kemampuan kita untuk berpikir tentang diri kita sendiri. Kalau kemudian output-nya karya—dalam konteks Pelteras, ngeband—kita pengen ngeluarin itu dengan keterbatasan kita sebagai manusia dalam generate informasi as is.
Gue ngerasa coping-nya itu sih. Dalam konteks kita ngerilis EP ini, jadi Krisan tuh waktu direkam, kita pengen kayak sounding ikutin suara drumnya—yang mana sebenarnya suara drum ini kita pengen kejar senatural mungkin. Sebenernya ide itu muncul dari desperation, Karena kita pikir: “Anjir! Sekarang teks, puisi, dan musik aja udah bisa di-generate sama mesin.” Kita dengan keterbatasan kita, dengan kemungkinan kita melakukan cacat, yang bisa kita hasilkan itu apa sih sebenarnya? Makanya kalau dilihat dari output-nya, Krisan mungkin less rapih dari Peranjakan. Kita ngejar rasa raw-nya. Kalau keterbatasan kita di sini, biar orang dengarnya seperti itu.
Jadi emang nggak ada “kesempurnaan” kalaupun memang itu difabrikasi ya?
Adam B.: Iya, Jan. Dengan adanya generative AI dan segala macamnya yang bisa dengan sangat mudah menciptakan hal itu [kesempurnaan], kita pikir: “Let’s embrace our imperfection sebagai manusia!”
Kalau Techa nyanyi, nafasnya cuma nyampe situ, kita biarin nyampe situ. Kalau gue main bass ngerekam tau-tau tangan gue kenceng banget mainnya, biarin aja ada peak bass disitu. Pun kalau misalnya drum ada yang super sekian detik missed, kita biarin juga. Ya itu, gue rasa Krisan sendiri jadi cara kita cope sama laju dunia saat ini.
Ngomongin soal laju dunia, band asal Irlandia, Fontaines D.C., sering digadang-gadang menjadi pelaku dalam membawa genre post-punk kembali ke panggung dunia. Namun, di bawah sorotan yang mereka dapat, mereka tak luput dalam bersuara akan segala penindasan yang terjadi di dunia. Which leads me to: Belum lama ini, Pelteras juga sempat mundur dari salah satu festival lokal atas dasar solidaritas. Sepenting apa nilai aktivisme ini dalam musik menurut kalian?
Beje: Gue pikir kalau musisi main atau berkarya dalam sebuah ruang—yang mana adalah subculture—pastinya berangkat dari bentuk perlawanan tertentu, dan akan nggak make sense kalau mereka nggak stick sama apa yang musik mereka harusnya bicarain. To certain degree, post-punk—bentuknya kayak apa pun itu—berangkat dari punk. Rasanya nggak bisa dipisahin sama mengekspresikan apa yang terjadi di dekat kita. Termasuk pertanyaan tadi soal penindasan dari ketidakadilan. Hence, nggak mungkin dipisahin aja: Musik dan politik.
Adam B.: Kalau gue, Jan. Kalo bisa drop musik sekarang, gue drop musik sekarang. Karena menurut gue, musik tuh nggak penting-penting amat dalam hidup ini. Menurut gue karya apapun bentuknya itu cuma ekspresi kita—itu cuma cerminan dari kondisi realitas kita. Sehingga gagasan yang kita coba salurkan lewat karya kita, apapun bentuknya, itu cuman bagian dari cerminan realitas—yang mana yang paling penting itu realitas itu sendiri.
Jadi nggak bisa dipisahin menurut gue. Yang seharusnya dibela itu bukan gagasan tapi kondisi realitasnya. Kita kemarin nggak ikut bukan karena: “We have to be critical, kita harus membela gagasan ini,” tapi yang kita pikir saat itu: “Shit’s fucked up bro.”
Dalam berkarya, visual pastinya jadi salah satu aspek terpenting dalam penyaluran karya kalian. Salah satu orang yang kalian percayai dalam menerjemahkan hal ini adalah Juan Akbar. So, how did this ‘match made in heaven’ came into fruition?
Adam B.: Waktu itu abis pandemi, 2022, kita manggung di acaranya Avhath, waktu itu anniversary ke-10 mereka. Sedikit intermezzo, di 2018, kita sempet manggung di acara di mana Kelompok Penerbang Roket itu main juga. Saat itu Juan Akbar adalah fotografer mereka. Gue inget dia sempat foto kita waktu itu, dan ada satu foto Techa yang menurut gue sangat iconic, kita sempet post juga di instagram. Sampai-sampai gue pikir: “Oh, ternyata Pelteras kalau divisualisasikan lewat foto, begini ya.”
Nah, soal Juan, gua rasa dia yang paling bisa capture energi kita. Musik rasanya itu kan abstrak, foto rasanya itu juga abstrak, tapi intuisi gua mengatakan bahwa dari dua hal ini—apa yang kita lakukan dan apa yang Juan lakukan—match aja. Makanya, di acara Avhath yang tahun 2022 itu, kita ajak Juan lagi, “Fotoin kita yuk!” Padahal saat itu dia belum pernah fotoin kita [lagi.]
Adam P.: Saling ngerti aja kami dengan Juan. Selain foto pun, visualizer, video clip, semuanya sama Juan.
Adam B.: Gue rasa kalau Pelteras harus di-capture lewat lensa kamera yang bisa nge-translate energi kita, ya Juan. Dan gue rasa, fotografi musik itu unsur komplementer dari musik— tapi bukan artinya less important dari musik itu sendiri.
Shout out, Juan Akbar. Mungkin tepatnya bukan match made in heaven, tapi match made in hell ya…
Adam B.: Best match in the city.
Techa: Waktu Peranjakan juga gue inget, dia mau bikin video lirik—memang Peranjakan kan tentang kota ya—terus dia minta kita semua untuk: “Kumpulin footage kalian, terserah mau lagi di mana, yang menurut kalian cocok aja sama tiga lagu tersebut.” Menurut gue, Juan approach-nya lucu banget dan membuat kita terlibat secara raw juga.
View this post on Instagram
Mungkin agen-agen lain di luar musik ini juga ya yang menjadi celah dalam pencarian optimisme itu, in a way.
Adam B.: Ya, tapi kalau balik lagi ke soal optimisme yang tadi, gua pikir, kalau kita berkarya—entah itu approach-nya kritikal, atau ngomongin manisnya hidup—it’s all love. Berkarya merayakan hidup aja. Lo ngomongin bagusnya, jeleknya, itu wujud cinta lo. Bahkan ketika kita ngomongin soal sesak-sesaknya kota ini. Kayaknya itu bagian dari optimisme kita.

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Ini agak melenceng, tapi istilah “performative male” belakangan ini sempat ramai diperbincangkan di kalangan Gen Z. Apa hal “performatif” yang Pelteras pernah lakukan?
Rivo: Gue sebenernya biasa aja sama musik metal. Maksudnya, gue nggak dengerin tiap hari. Bahkan, gue juga nggak banyak dengerin post-metal. Gue tiap hari dengernya pop-punk, emo.
Adam B.: Tapi lu nggak sok-sokan metal juga, kan? Berarti lu nggak performatif.
Rivo: Oh, gitu ya?
Adam B.: Kayaknya konsep ini jauh banget dari diri gue pribadi—performing apa pun itu: kesukaan, kesenangan, referensi, ideological stance. Pun gue rasa orang-orang di sini [Pelteras] juga sama.
Techa: Kalau sekarang performative males itu udah ada [sebutan] umumnya ya. Kalau dulu mungkin, misalnya Beje tiba-tiba pakai jersey MU, itu akan lucu.
Adam B.: Mungkin kalau kita bikin moodboard di account Pelteras, kayak sok-sok ngepost lagu-lagu gelap yang kita pikir keren, orang-orang akan pikir: “Ini band gelap banget, keren banget!” Mungkin seharusnya kita lakuin itu biar followers kita bisa lebih dari 10.000. Tapi nggak lagi, Jan.
Kalau pertanyaannya dibalik, apa hal kesukaan kalian yang mungkin orang-orang akan kaget saat tahu?
Techa: Ini bisa panjang nih.
Beje: Banyak banget.
Rivo: Saking banyaknya jadi bingung.
Adam P.: Gue karena terbiasa menceritakan [itu] ke teman-teman terdekat gue, jadi kayaknya udah nggak kaget semua gitu.
Adam B.: Tapi mungkin, Jan, sekarang kita hidup di zaman yang menurut gue lebih demokratis. Dalam tanda kutip, kita bisa milih apa yang kita suka. Nggak sama seperti saat kami lahir—kami kecil nonton kartun Jepang di hari minggu, kami mau-nggak-mau suka Linkin Park, karena mereka band paling besar pada masanya, pun band-band Indonesia kayak Peterpan, Jikustik, you name it. Kami nggak lahir keren dan nggak bisa langsung mengklaim sebuah identitas. Kayak, dulu lo nggak bisa saat SMP bilang lo suka Black Flag, lo jadi anak hardcore punk— instead lo sukanya Green Day, gitu.
We were not born cool dan kita nggak punya akses untuk memilih apa yang kita suka. Cerita sampingan aja ya—gue dulu kecil tinggal di Cibubur, dan internet aja nggak masuk Cibubur.
Kalau gue mau download musik, gue harus ke temen dia [menunjuk Beje] yang tinggal di Pancoran. Hence, kami denger musik keren gitu.
Beje: Sekarang, udah nggak ada yang memalukan juga sih. I am cringe, I am free.
Adam B.: Band ini, gue pikir, kalau balik lagi ke karyanya, itu sih. Kita cuma pengen napak di tanah aja. Ngomongin apa yang kita tahu, apa yang kita lihat. Karena sisanya ya kami pelajari dari internet. Kami manggung—pakai sepatu Docmarts, trousers, baju dimasukin—tapi kami harus coexist. Ketika kami keluar dari rumah, ada pohon pisang di sampingnya, yang mana matching banget tuh baju sama pohon pisang, gitu.
Pertanyaan terakhir, apa miskonsepsi terbesar yang pernah kalian dapat?
Adam B.: Kalau miskonsepsi terhadap kami artinya kelasnya harus terhadap persepsi kami soal band ini gitu, kan?
Benar.
Adam B.: Itu agak susah sih menurut gue, Jan. Karena anggaplah secara musikal, 5 orang ini suka nada-nada disonan dan coba mengekspresikan itu dengan cara kami masing-masing. Kalau gua breakdown berarti prosesnya ada: Adam tuh gimana, Beje tuh gimana, Techa tuh gimana, Rivo tuh gimana, gue tuh gimana, sehingga menurut gue Pelteras tuh ada A, B, C, D, E.
Pelteras mungkin kalo menurut gue, orangnya semua asyik sendiri sih. Jadi gue nggak tau [kalau ada] miskonsepsi. Maksudnya, kalaupun terbentuk miskonsepsi, nggak jadi miskonsepsi juga—karena kita nggak pernah mikirin orang lain ketika kita nulis lagu. Kita nggak pernah mikir orang bakal perceive ini seperti apa, dan kita expect mereka untuk perceive seperti apa.
Adam P.: Emang miskonsepsi kayak apa ya contohnya?
Sebenarnya, pertanyaan ini berdasar dari kecenderungan masyarakat yang sering mengaitkan hal-hal gelap dan magis dengan hal mistis. Bahkan hal kecil seperti mencium bau bunga melati bisa menimbulkan ketakutan. Jadi gua pikir, Pelteras—dengan image-nya yang gelap—juga pernah mengalami hal serupa.
Adam B.: Soal magis-magisan itu, kalau menurut gue, kami secara sengaja emang nggak feature di visual kita. Karena menurut kami, tanpa harus diwarnai dengan ornamen-ornamen kegelapan [itu], hidup, as is, sudah seram.
Temen-temen gue di sini kerja udah lebih dari 10 tahun, tapi apakah sekarang ada yang udah bisa beli rumah? Belum. Kami sehari-hari naik MRT, kadang kami harus ngelewatin pedestal yang kepotong, yang mana artinya kami selalu punya risiko diserempet sama motor atau mobil.
Balik lagi, hidup sehari-hari aja—tanpa harus diwarnai dengan ornamen kemenyan, melati, kuntilanak, satan, iblis, pentagram, dan lain-lain—sudah seram.
Adam P.: Sudah seram, apalagi kalau ditongolin.
Adam B.: Itu yang kita coba ekspresikan kali ya—keseraman yang emang material. Kayak, kalau one day salah satu dari kami terima DM yang mengancam tanpa ada follow-up action, seram gak sih hidup? Dan mengetahui orang lain di sana mengalami hal itu aja udah seram.
Mungkin apa yang paling seram adalah kalau tiba-tiba kalian nggak bisa manggung karena dilarang.
Pelteras: Aduh.
—
Merchandise Pelteras x Juan Akbar bisa dibeli di Tokopedia kami.



