Hubungan Platonik yang Berguguran di Saat Pendewasaan
Dalam submisi Open Column kali ini, Hasna Zahratil menuliskan caranya memaknai “keberlanjutan” suatu pertemanan yang bisa lestari di atas pasang surut kehidupan, dan bagaimana cinta platonik memiliki peran dalam mempertahankan pertemanan kita di setiap fase pendewasaan.
Words by Whiteboard Journal
Pada hari saya wisuda, saya mendapatkan buket bunga dari teman-teman. Mawar, anterium, krisan, anyelir, dan jenis lainnya berjubel dalam buket bening yang diikat pita. Saya masih ingat betapa hangat dan menyenangkan disambut bunga ketika hati kita sedang bungah-bungahnya merayakan satu batu loncatan baru. Sesampainya di rumah, saya membongkar buketnya dan meletakkan bunga-bunga ke dalam vas kaca, menyiramnya dengan air, membawanya sesekali ke balkon agar menyerap cahaya. Bunga-bunga cantik ini menemani dan merayakan saya, mekar merekah mengucapkan selamat, doa, dan rasa sayang.
Seumur hidup, saya paling banyak belajar cinta melalui teman-teman.
Saya tumbuh di keluarga yang biasa-biasa saja; tidak bisa dikatakan berantakan, tetapi terlalu dingin dan kelewat tak acuh untuk dibilang hangat dan harmonis. Saya juga tidak pernah punya pacar, naksir-naksir atau kencan satu dua kali itu tidak pernah merekah jadi hubungan romansa yang tahan lama. Saya tidak mengerti imaji gemerlap cinta yang ditawarkan oleh media; menjanjikan bahwa cinta yang sesungguhnya adalah bertemu kekasih, lantas membangun keluarga, lalu bahagia selamanya. Semua film, buku, dan lagu yang memusatkan cinta romantis sebagai muara bahagia, tandas habis dikonsumsi masyarakat. Apabila cinta hanya tentang romansa, lantas di mana tempat cinta untuk teman-teman saya?
Di tatanan dunia heteronormatif, cinta-cinta platonik seperti pertemanan letaknya nomor dua atau tiga; setelah ikatan romansa dan keluarga. Pertemanan yang mekar tanpa ketertarikan seksual, fisik, harta, atau bahkan darah, sebuah ikatan yang hadir untuk ‘sekadar’ saling ada, dianggap sebagai satuan rapuh yang akan merontok apabila telah usai masanya. Pertemanan acap kali dikesampingkan, nomor sekian untuk diperjuangkan. Toh, di fase hidup berikutnya, kita akan punya teman baru lagi.
Sayang sekali, teman tidak selalu hadir di setiap fase hidup, sebaliknya, semakin dewasa semakin sedikit yang bisa kita percaya. Bukankah justru ketiadaan hitungan prasyarat yang memantik ikatan, membuat pertemanan menjadi satu bentuk hubungan yang begitu tulus dan apa adanya? Setidaknya dalam pertemanan saya, saya tidak pernah merasa teman saya menuntut saya untuk jadi sesuatu, begitu pun sebaliknya. Apabila cinta adalah kata kerja, teman-teman saya adalah salah satu yang terbaik melakukannya. Mereka yang memilih untuk saling hadir, bertumbuh bersama, melarungi jenjang demi jenjang pendewasaan, tanpa tuntutan maupun penghakiman.
Setiap saya ingin menjejaki hubungan dengan orang baru, entah pertemanan maupun romansa, salah satu pertanyaan yang hampir selalu saya ajukan adalah: “Apakah kamu punya teman kecil atau masa sekolah yang masih berhubungan baik sampai sekarang?” Memang tidak semua orang yang memelihara persahabatan belasan tahun, otomatis jadi teman atau pasangan yang baik dan setia pula. Akan tetapi, setidaknya dari situ saya bisa menakar bagaimana orang ini melatih dirinya untuk berkompromi, berempati, dan bersabar atas proses dan fase dari seorang teman; mereka yang tidak diikat oleh prasyarat, yang mungkin jadi pilihan paling mudah untuk dilepaskan pertama kali. Saya banyak berdoa, apabila dia punya pertemanan yang tahan lama, ia akan punya kadar sabar yang sama untuk menjalin hubungan serupa dengan saya.
Memelihara pertemanan di usia dewasa bukan perkara mudah. Pendewasaan membawa kita memasuki fase yang lain; ritme hidup yang berbeda. Kondisi ekonomi, pergerakan waktu, peregangan jarak, perubahan iklim, perbedaan pandangan politik, atau sekadar “udah nggak cocok aja” mampu membuat satu hubungan yang berusaha dijaga baik-baik, pada akhirnya luntur juga. Tidak semua dari kita dikaruniai kesempatan untuk menjalin pertemanan selama belasan maupun puluhan tahun dengan semua orang. Kita dihampiri putus pertemanan berkali-kali, yang mungkin hampa dan sakitnya masih berserak di relung hati.
Namun, hal ini juga menyadarkan saya, bahwa sama seperti hubungan lain, pertemanan juga perlu usaha untuk dipertahankan.
Menyempatkan bertemu, hadir dan merayakan momen-momen penting mereka, mengirimkan hadiah, menanyakan kabar ketika mereka mulai sering mengunggah hal sedih atau tidak nampak berhari-hari di sosial media, atau bahkan hal sederhana seperti rutin mengirim video TikTok untuk menjaga nyala streak setiap harinya. Mungkin, di dunia serba jauh sekaligus serba dekat ini, itu hal-hal terkecil yang bisa kita lakukan.
Bertahan, sering kali menjadi satu terminologi heroik tentang usaha menjaga hubungan baik. Akan tetapi, teman kita juga manusia yang tumbuh dan berubah. Sekeras apa pun saya berusaha menjaga, pada akhirnya bunga dalam vas saya layu juga. Udara, air, dan cahaya seakan tidak cukup lagi untuk mendukung mereka agar tetap lestari. Bunga-bunga mulai mengering, daun mengkerut, batangnya membungkuk. Kelopak merah, ungu, kuning, dan merah jambu itu perlahan memudar, diseraki titik-titik cokelat transparan. Air yang berusaha saya ganti setiap hari tidak mampu lagi menutupi rembesan bau busuk yang diam-diam merayapi kamar saya. Satu-satu kelopak mereka berguguran. Di satu titik dari kehidupan, pada akhirnya harus ada yang berucap selamat jalan, termasuk teman-teman yang saya sayangi.
Saya pernah membaca petikan kalimat di internet tentang diri kita yang tidak lain adalah museum dari orang-orang yang pernah singgah; musisi yang sedang saya dengar, film yang kemarin saya tonton, kebiasaan saya berjalan cepat, hadiah buku, warung bebek Madura, dan mie ayam yang dikunjungi setahun lalu, atau cerita-cerita masa muda yang saya dengar dan simpan baik-baik adalah potongan yang saya “curi” dari teman yang tiba dan pergi silih berganti. Serpihan jiwa mereka ternyata masih saya genggam. Mereka tidak pernah sempurna lenyap, tetapi meninggalkan jejak dengan cara-cara mereka sendiri.
Teman-teman saya seperti kelopak bunga. Satu per satu gugur melesak ke dalam tanah dan menjadikannya gembur. Mereka sejatinya terus tumbuh dalam jiwa saya, menjadi hara yang mengalir di antara jaringan pengangkut, memunculkan hijau daun dan kuncup baru. Mungkin kepergian mereka memang perlu, agar tangan kita yang terbatas dan rapuh ini punya ruang untuk orang lain tiba dan menghuni. Membuka kesempatan bagi orang baru yang saya temui di masa depan untuk hidup di vas kaca kecil yang saya punya. Di antara mereka ternyata masih ada yang terus tumbuh dan meranum, bertahan meski air mulai kering dan udara menusuk. Untuk mereka yang terus ada, saya berdoa semoga keberuntungan pertemanan yang kita miliki, nasibnya jauh lebih baik dari segala sial yang mengangkangi hidup kita setiap hari. Meski hidup seringkali kurang ajar, setidaknya saya punya kalian untuk bertahan.
Terima kasih untuk semua teman yang pernah dan masih hadir di dalam hidup saya. Ini surat cinta untuk kalian.