Bagaimana Generasi Terkini Memaknai Pernikahan
Kami mengumpulkan sudut pandang para Generasi Z dalam memaknai pernikahan.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Alissa Wiranova & Reiko Iesha
Ilustrasi: Mardhi Lu
Pernikahan adalah sebuah institusi sakral yang telah menjadi bagian integral dalam proses pendewasaan seseorang. Setidaknya, begitulah persepsi mayoritas masyarakat yang diterima secara umum hingga hari ini. Namun, seiring berkembangnya peradaban, dapat kita rasakan pergeseran arti pernikahan terutama bagi generasi terkini. Mulai tumbuh berbagai perspektif, termasuk mengenai keterlibatan adat istiadat dalam prosesi, jumlah undangan yang disebar, hingga perjanjian sebelum akad. Untuk mengikuti berbagai perubahan tersebut, kami mengumpulkan sudut pandang para Generasi Z dalam memaknai pernikahan.
Indah Rizki Ramadhani
Ibu Rumah Tangga
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
Menurutku pernikahan yang ideal itu berdasarkan ideologi masing-masing orang tidak bisa disamaratakan. Seperti misalnya, sebagai seorang perempuan muslim, ada ketentuan dan syarat-syarat yang wajib dilakukan dan diikuti agar pernikahan dianggap sah, berbeda bagi yang tidak menganut agama Islam. Bagiku, pernikahan yang ideal itu ketika kita menaati ketetapan agama dan menaati ketetapan suatu negara. Sebagai orang minimalis, untuk acara pernikahan aku menyesuaikan antara kebutuhan wajib dan keinginan belaka.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Bagiku pernikahan masih relevan karena dalam pandangan ideologi yang aku anut, pernikahan itu puncak dari suatu hubungan karena sifatnya yang sakral dan melibatkan Tuhan, pasangan hidupku, dan keluarga sedarah daging kita. Pernikahan itu satu tingkat hubungan yang ga semua orang bisa lewati karena konsekuensinya tinggi. Jadi kembali ke niat masing-masing, kalau memang niatnya tidak sesakral pernikahan ya silahkan saja karena semua tindakan ada konsekuensi dan tanggung jawabnya sendiri. Pernikahan adalah suatu hubungan yang menunjukkan kalau seseorang berani bertanggung jawab atas orang lain di hidupnya yang bukan hubungan sedarah. Kalau statusnya FWB atau hubungan berkomitmen di luar pernikahan misalnya, belum tentu keluarga tahu hubungan itu apalagi negara, jadi sifatnya tidak pasti dan ga ada jaminan bagi orang-orang yang terlibat.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
Tren ini ide yang bagus karena mengajak orang untuk mendengarkan kata hati. Kalau memang mereka menikah hanya di KUA tanpa acara pernikahan, pasti mereka punya kepentingan lain seperti kebutuhan hidup setelah nikah. Dalam tren nikah di KUA ini juga orang berani beda, melawan gengsi untuk tidak mengikuti standarisasi pernikahan di Indonesia yang biasanya harus dibikin acara besar-besaran. Salah satu minus dari trend ini mungkin pasangan yang terlibat harus menerima resiko omongan orang lain tentang pernikahannya, seperti contohnya “ih ga dirayain karena ga modal ya” atau “tiba-tiba nikah apa jangan-jangan udah hamil” dan tanggapan negatif lainnya.
Tren ini juga bisa menyelamatkan penderitaan laki-laki yang sering dituntut mahar tinggi, atau membantu orang yang menikah dengan limited budget, yang kalo dipaksa buat acara akan berakhir ngutang dan malah menambah masalah baru setelah menikah. Tren KUA adalah solusi bagi kalangan tertentu yang menganggap sebaiknya budget digunakan untuk kebutuhan hidup yang lebih panjang dibanding acara pernikahan yang hanya 1-2 harian saja. Ga semua kalangan punya prinsip yang sama karena kebutuhan dan kemampuannya berbeda.
Selain mengenai wujud dari acara pernikahan, hal-hal apa yang perlu kita sorot ketika berbicara mengenai pernikahan di Indonesia?
Yang perlu diperhatikan dari konsep pernikahan di Indonesia pastinya tentang adat. Ciri khas tiap negara pasti ada adat pernikahan yg beragam. Di Indonesia, contohnya, pemakaian baju adat disesuaikan dengan daerah asal pasangan. Ada juga tarian adat untuk memeriahkan acara pernikahan. Hal-hal unik ini harus dilestarikan, tetapi juga kembali ke pandangan dan kesan pasangan terhadap value dari adat ini sendiri, ambil yang bermakna menurut pendapat pasangan. Di masa modern, banyak juga konsep pernikahan di Indonesia yang mengambil kebiasaan dari budaya luar. Ini menandakan adanya akulturasi antar budaya pernikahan, seperti perpaduan budaya pernikahan orang Indonesia dengan budaya orang Barat, Asia, ataupun Timur Tengah. This is not a bad thing selagi itu tidak melanggar norma dalam budaya kita. Jadi, yang perlu diperhatikan adalah value pasangan dan norma budaya Indonesia.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Aku sayangnya baru aware dengan konsep “prenup” setelah aku sudah menikah. Sebenarnya aku mau membuat “perjanjian perkawinan” ini kalau aku sudah tahu dari dulu. Salah satu contoh ‘jaminan’ dalam pernikahan yang tidak ada di dalam hubungan lain seperti FWB atau sekedar berkomitmen lainnya adalah ini, karena “prenup” hanya bisa didapatkan sebagai pasangan menikah, ya. “Prenup” bisa menjadi suatu hal legal dan sah secara hukum yang bisa membantu perempuan merasa aman dalam pernikahan. Di masa modern ini, sering kita lihat melalui sosial media juga, kalau perempuan dalam pernikahan seringkali mengalami ketidakadilan dan hal-hal toxic, seperti misalnya diselingkuhi, tidak dinafkahi, atau mengalami KDRT. “Prenup” menjadi suatu perlindungan bagi perempuan yang mengalami hal-hal ini. “Prenup” juga menjadi bukti tertulis di atas materai yang bisa membuat kedua pihak pasangan merasa aman, karena perjanjian ini menjadi bukti bahwa mereka tidak boleh main-main dalam pernikahan, dan mereka bukan hanya janji kepada Tuhan atau di depan orang tua saja tetapi ada bukti fisik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Menurutku, unsur-unsur adat istiadat masih relevan dalam pernikahan di Indonesia. Walaupun kita sedang hidup dalam negara yang modern, adat suatu daerah sudah melekat dan sulit dihilangkan karena adat ini merupakan ciri khas yang membedakan budaya satu dari yang lain. Tidak mungkin adat bisa 100% hilang karena aku yakin orang-orang generasi jauh sebelum Generasi Z juga belum tentu bisa menerima segala unsur modern, sama seperti di zaman sekarang ada unsur-unsur adat istiadat yang mungkin sudah tidak dibutuhkan, yang hanya sekedar kewajiban diikuti karena itu adat daerah asal mereka.
Balik lagi ke value pasangan masing-masing dan unsur-unsur mana yang masih penting bagi mereka. Value unsur-unsur adat tergantung oleh prinsip masing-masing orang. Sebagai contoh, adat istiadat sungkeman dalam pernikahan Sunda. Ini salah satu adat dalam pernikahan Sunda yang tidak memerlukan biaya lebih tetapi punya nilai tinggi. Pasangan pengantin dituntun untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada kedua orang tua dari setiap mempelai, dan seringkali momen sungkeman menjadi puncak klimaks yang mengharukan bagi mempelai dan orang tua. Sungkeman dan juga pengajian merupakan adat istiadat Sunda yang diterapkan di pernikahanku.
Walaupun sebenarnya aku dan suami bukan orang Sunda, tetapi aku tetap menghargai culture Sunda karena aku dan suami tinggal serta bertemu di tanah Sunda. Sungkeman dan pengajian juga mengandung nilai keagamaan yang tinggi menurut aku dan suami. Dari unsur-unsur adat Sunda, hanya sungkem dan pengajian saja yang kami pakai, selebihnya seperti menginjak telur (Nincak Endog) tidak kami lakukan karena menurut pandanganku itu bukan suatu kepentingan dalam hubunganku dan suami, tidak ada unsur keharusan. Prinsip semua orang berbeda dan kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk memiliki prinsip yang sama dengan kita. Adat di Indonesia yang beragam menjadi keunikan budaya kita. Salah satu unsur adat yang mungkin bisa dianggap tidak relevan lagi adalah unsur-unsur yang berbau mistis. Kembali lagi, apa saja baik asal tidak melanggar hak orang lain, seseorang boleh berpendapat dan kita bisa menerima atau sejauhnya cukup memberi masukan yang tidak wajib mereka ikuti.
Calista Fahira Ridrany Jasmine
Data Analyst
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
I have always had an imagination of my dream wedding. The event itself aku maunya intimate international wedding. Biasanya Indo wedding tuh standing semua, invite banyak banget orang, sedangkan aku mau 300 orang aja misalnya tapi semua orang duduk. Biasanya bride and groom duduk di atas panggung dan tamu yang menghampiri mereka, sedangkan aku justru maunya aku dan pasanganku yang akan keliling jalan menghampiri tamu, mendatangi semua meja to connect with everyone.
Kalau marriage, sebenarnya aku belum terlalu mikirin secara detail, tapi menurutku komunikasi yang baik antara pasangan menikah itu salah satu hal paling penting. Semua masalah bisa dilalui dan semua akhirnya akan baik-baik saja kalau kita bisa berkomunikasi dengan baik sama pasangan kita. Kita juga berani dan bebas menjadi diri kita sendiri sama mereka. We can understand and tolerate each other, which leads to a better understanding.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Seberapa relevan pernikahan itu sebenarnya balik ke personal preference. Kalau untuk aku sendiri, marriage is still something that I want. In life, there are a few things that are meaningful and mark our lives.
Menurutku, pernikahan itu adalah salah satu hal yang benar-benar bisa mengubah kehidupan aku. Pernikahan itu bukan end goal tapi tetap penting untuk aku raih di hidup. Aku juga tahu orang-orang di sekitar aku, seperti teman-teman atau anggota keluarga, yang menganggap menikah itu bukan hal yang wajib, bahkan buat beberapa dari mereka ga sama sekali dijadikan pilihan. Namun, bagiku, pernikahan masih menjadi suatu hal yang aku perlu dan mau raih.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
Aku secara pribadi memilih untuk punya wedding ceremony. Acaranya ga harus mewah, tapi ga as simple as going to KUA. Menurutku, hari acara pernikahan aku akan jadi one of the happiest moments dalam hidupku and I don’t want to simplify it. Kalau aku dan pasanganku mampu, aku mau acara pernikahan yang intimate.
Kembali lagi ke personal preference dan priority, ada beberapa orang yang memang ga peduli sama acara pernikahan, yang penting mereka bisa menikah dengan significant partner mereka dan itu sudah lebih dari cukup. Ada yang mau menggunakan uang yang mereka miliki untuk travel misalnya. Mungkin mereka tidak perlu acara pernikahan yang mewah but they want a grand honeymoon. Tergantung oleh apa yang menjadi prioritas bagi pasangan yang menikah.
Selain mengenai wujud dari acara pernikahan, hal-hal apa yang perlu kita sorot ketika berbicara mengenai pernikahan di Indonesia?
Ketika aku lagi plan acara pernikahan aku, aku lumayan kaget karena ada beberapa hal-hal yang unexpected, seperti cost wedding planning dan juga cara-cara tertentu untuk approach keluarga.
Di Indonesia, atau setidaknya di keluarga aku, masih ada tradisi membuat seragam acara pernikahan untuk keluarga. Proses pembuatan seragam ini dimulai dari menghampiri ke rumah mereka satu-satu, lalu meminta blessing dari mereka. Untuk Generasi Z, mungkin tradisi ini bisa dipandang kaya “buat apa sih?” tetapi untuk orang tuaku ini hal penting yang menunjukkan rasa hormat.
Contoh lainnya juga, pada saat merencanakan acara pernikahan, aku kasih tau mama kalau aku mau acara yang intimate aja, dari masing-masing sisi keluarga undang satu orang dengan plus one, tapi aku dibilang ga bisa kaya gitu, harus undang anggota keluarga yang ini, yang itu juga. Kekeluargaan di Indonesia masih sangat erat dan jadinya pada saat aku memberi tahu orang tuaku kalau aku mau mengundang 300 orang saja, mereka bilang 300 itu baru keluarga saja, belum yang lain. Untuk Gen Z mungkin ga terlalu penting untuk undang sepupunya sepupu misalnya, karena ya kita ga kenal mereka secara dekat, jadi buat apa kita undang, tetapi generasi orang tua akan bilang mereka harus diundang karena bagian dari keluarga.
Jadi, hal yang bisa disorot itu perbedaan unsur-unsur yang dianggap penting antara Generasi Z dan generasi sebelum kita. Hal lain yang perlu disorot juga kayaknya di Indonesia ada societal pressure yang cukup berat, misalnya banyak yang suka nanya “kapan nikah?” atau sering digosipin kalau udah single terlalu lama, dan dari situ jadi muncul orang-orang yang mau menikah cepat-cepat biar berhenti ditanyain aja, berhenti digosipin. Menurut aku fenomena ini cukup common di Indonesia.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
It’s completely reasonable and logical to get a prenup. Aku secara pribadi belum bicarakan ini dengan pasanganku karena kebetulan kita berasal dari dua negara yang berbeda, dan prenup itu ga common di negara asal pasanganku. Karena perbedaan ini, jadi sedikit sulit untuk mengurus hal ini karena legally binding. Tetapi, menurutku, kita pastinya mau hubungan kita untuk bertahan dan terus baik, tapi logically and even scientifically, ada data yang menunjukkan kalau pasangan menikah itu banyak yang berakhir cerai.
Prenup membuat waktu-waktu di mana terjadi perceraian menjadi sedikit lebih simple. Prenup menjaga kepemilikan kita dan ya jadinya apa yang kita miliki akan tetap secure. Buat aku prenup juga bisa jadi semacam test untuk menunjukkan niat pasangan kita sebenarnya apa.
Kalau memang mereka ingin menikah secara tulus dan bukan karena harta misalnya, seharusnya prenup itu bukan sesuatu yang menyeramkan. Aku juga baca kalau di prenup itu kita bisa bikin perjanjian berdasarkan beberapa kondisi dan situasi, misalnya harta pasangan kita bisa diberikan ke kita kalau hubungannya berakhir karena perselingkuhan.
If you’re so sure you will never cheat, then you have nothing to be afraid of. Pastinya mereka ga akan takut untuk bikin prenup kalau niat mereka tulus. Prenups are very beneficial, jadi menurutku people should be more open to it.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Sometimes we do cultural wedding events and ceremonies kaya mandi kembang, injek telur, rebutan ayam, dan menurutku ini dilakukan so we don’t forget about our roots. Kita lakukan tradisi ini untuk memastikan kalau puluhan tahun kedepan tradisi-tradisi ini akan terus ada. Kalau gaada yang melakukan, lama-lama akan hilang dan banyak orang di Indonesia yang ga mau ini terjadi.
Beberapa orang ada juga mempunyai perspektif bahwa kalau hal-hal ini tidak dilakukan, malah jadi bad omen, dan nanti pernikahannya ga akan lancar misalnya. Menurutku, pesta pernikahan seperti ini ga bisa dipaksakan terhadap calon pengantin. Sejujurnya, aku tahu banyak orang, termasuk diriku sendiri, yang menganggap unsur-unsur tradisional ini tidak terlalu diperlukan. Kebetulan juga keluargaku sangat tercampur adatnya, jadi walaupun anggota keluarga aku ada yang ingin mengadakan acara pernikahan dengan unsur-unsur adat, kami bingung memakai yang mana, memakai berapa. Bagiku, acara pernikahan tradisional tidak terlalu menarik. Tapi, kalau ada seseorang yang ingin menjalani adat-adat ini to honour their ancestors and culture, itu juga hal yang indah. Intinya, pernikahan wujudnya seperti apa itu harus balik ke apa yang calon pengantin mau.
Kalau zaman dulu, aku sering denger “nikahan kamu itu nikahan yang orang tua kamu mau, nanti nikahan yang kamu mau itu buat anak kamu”, padahal that doesn’t make sense to me. Kita seharusnya bisa menjalani acara pernikahan sesuai sama yang kita mau biar nanti anak kita juga bisa menikah dengan cara yang mereka mau. Yang kita inginkan, yang orang tua kita inginkan, dan yang anak kita kedepannya mauin itu pasti berbeda. Yang terpenting buat aku adalah aku ga mau merasa unhappy on my wedding day. Seharusnya acara pernikahan itu a special day for me. If people are open and happy about cultural ceremonies then its beautiful, tapi kalau unsur adat ini hanya kemauan orang tua dan calon pengantin sebenarnya sama sekali ga mau menjalani itu, the ceremony would be pointless. Menurutku, traditional weddings tetap menjadi option tapi tidak diharuskan. Sepertinya walaupun Gen Z terbuka terhadap acara pernikahan dengan unsur adat istiadat, mereka menjalaninya dalam rangka menghormati ancestors dan budaya. Unsur-unsur tradisional yang superstitious sepertinya kurang nyambung.
Erika Kezhia
Corporate Employee
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
Pernikahan yang ideal bagiku adalah pernikahan antara pasangan yang share the same views. Penting untuk punya pandangan dan visi yang sama mengenai apa yang kalian mau dalam hidup bertahun-tahun kedepan. Kalaupun pandangan kalian ga sama persis, penting untuk memiliki pasangan yang bisa diajak kompromi dan saling mengerti ketika ada perbedaan dalam pendapat. Traits romantis, setia, humoris itu juga menjadi faktor yang baik dalam memilih significant other, tapi memiliki pandangan yang sama menurutku faktor yang lebih penting.
Kalau acara pernikahan, aku kurang menyukai konsep di mana aku harus mengundang banyak sekali orang. Acara pernikahan aku akan menjadi hari yang penting bagiku, and i want to spend it with people who are special to me. I want a smaller scale wedding dengan anggota-anggota keluarga dan teman-teman terdekat saja.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Menurut aku, seberapa signifikan pernikahan berbeda untuk setiap orang. Konsep menikah, like everything else in society, itu bisa dipandang sebagai social construct. Pandangan seseorang sadar atau tanpa sadar itu terbentuk oleh lingkungan sekitar mereka. Konsep menikah sebagai simbol persatuan antara dua orang yang bisa membayangkan suatu masa depan bersama itu sudah ada dari dulu. Seiring berkembangnya zaman, konsep pernikahan terus berubah, termasuk keterlibatan adat dan hukum. Di masa modern, konsep pernikahan seakan menjadi semakin rumit. Pernikahan dilakukan agar hubungan suatu pasangan dianggap legal dan sah secara hukum, tapi kalau kita lihat di luar itu, sebenarnya ya it’s just two people together yang berjanji untuk terus bersama seumur hidup. Tampaknya Generasi Z sudah semakin terbuka terhadap ide bahwa we don’t need the law untuk bisa memiliki suatu hubungan yang “valid”.
Manusia mencoba untuk membuat batasan dalam berbagai macam konsep, alhasil muncul berbagai istilah hubungan dan koneksi, misalnya friends with benefits atau hts. Kebanyakan dari mereka takut akan perubahan, misalnya kalau menikah harus mengikuti guidelines tertentu, kalau punya anak harus seperti ini, kalau ada yang bercerita kalau dia lagi dekat dengan orang, perlu ditanya “oh jadi kalian pacaran?” “Kalo engga, berarti friends with benefits?” seakan label itu sangat penting. Kenyataannya, kalau mereka ingin menikah, ingin pacaran, ingin FWB, ya sudah mereka bebas untuk melakukan apa yang mereka mau. Namun, karena societal pressure, pernikahan tampaknya masih suatu konsep yang relevan di Indonesia. Kita hidup di dunia ini di samping orang-orang yang pandangannya tidak sama dengan kita, dan ketika kita merasa terasingkan terutama oleh orang-orang yang pendapat dan pemikirannya kita hormati, kita jadi merasa ingin dan/atau harus menikah. Terutama dengan adanya media sosial, mudah bagi orang lain untuk membicarakan dan menjelek-jelekkan pandangan orang lain yang berbeda.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
I really don’t care how you get married. Aku ga berniat untuk terlihat apatis atau rude tapi cara seseorang menikah itu ya terserah mereka. Aku pribadi akan menikah sesuai dengan cara yang aku dan calon pasanganku mau, yang keluargaku setujui. Semua orang punya latar belakang dan preferences yang berbeda-beda, dan tidak mungkin kita memaksa seseorang untuk mengadakan acara pernikahan yang tidak sesuai dengan kemauan dan kemampuan mereka.
Selain mengenai wujud dari acara pernikahan, hal-hal apa yang perlu kita sorot ketika berbicara mengenai pernikahan di Indonesia?
Hal yang masih jelas mengenai pernikahan di Indonesia itu societal pressure, sih. Beban menikah itu besar banget, karena setelah sudah menikah, selain menjaga hubungan dengan pasangan itu sendiri, ada a whole new spectrum of expectations yang muncul. Contohnya, setelah menikah harus punya rumah tiga tingkat, harus cepet-cepet punya anak dan ditanya mau punya anaknya berapa. Alhasil, menikah menjadi semakin rumit karena pandangan, tekanan, dan ekspektasi dari masyarakat. Pernikahan seakan bukan milik pasangan itu saja tetapi juga mau tidak mau melibatkan orang-orang di sekitar pasangan tersebut.
Berdasarkan observasi aku juga, banyak orang Indonesia yang memutuskan untuk menikah walaupun sebenarnya belum cukup siap, terutama secara emosional. Kalau hubungan suatu pasangan belum cukup matang, konflik yang kecil atau sepele bisa menumpuk terus dan berubah jadi masalah dan perdebatan yang besar. Karena komunikasi dan willingness untuk berkompromi antara pasangan kurang kuat, banyak pasangan yang kalau sudah berkelahi langsung maunya cerai saja. Ketertarikan dan cinta menurutku ga cukup untuk dijadikan alasan menikah dengan seseorang. Cinta belum tentu bertahan seumur hidup dan kelihatannya masih banyak orang di Indonesia yang ga sadar akan ini.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
I agree with prenups. Menurutku fenomena ini bagus karena kita ga pernah tau apa yang akan terjadi selagi kita menikah. Prenups are important and safe, terutama terhadap uncertainties in the future. Dengan adanya prenup, pasangan bisa lebih mudah membagi tanggung jawab dan merasa lebih aman mengenai harta yang dimiliki kalau, worst case scenario, terjadi hal-hal buruk dalam pernikahan yang sebelumnya tidak mereka duga. Saat kita menikah, sudah pasti akan ada hal-hal tentang pasangan kita yang baru kita ketahui, dan dinamika-dinamika antara pasangan bisa saja berubah. Membuat prenup sebelum menikah dapat melindungi pihak yang dirugikan karena ini. Menurutku ini juga tentunya akan memberi keamanan terhadap anggota-anggota keluarga seperti anak, misalnya, dalam kasus di mana hubungannya berakhir dengan perceraian. Prenups are good because you never know what will happen.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Menurutku acara-acara pernikahan dengan unsur-unsur adat are really beautiful. Melestarikan adat Indonesia itu suatu hal yang baik, tapi mungkin kita bisa pilih unsur adat yang mana yang dilestarikan dan mana yang sebaiknya kita abandon, misalnya unsur-unsur yang patriarkis di mana yang bekerja itu laki-laki dan perempuan sebaiknya menetap di rumah untuk menjaga anak dan melayani suami. Menurutku itu udah ga relevan. Unsur ini seakan-akan berkata bahwa perempuan hanya bisa jadi satu hal, padahal sekarang kita udah sering liat kok istri/ibu yang walaupun bekerja tapi pagi-paginya mau dan bisa siapin bekal buat suami dan anaknya, setelah pulang kantor tetap bisa mendukung keluarganya. Sekarang juga sudah semakin banyak pasangan yang dua-duanya bekerja sambil mendukung satu sama lain. Patut dipertanyakan juga kenapa harus istri yang mendukung suami? Kenapa ga sebaiknya atau dua-duanya? Kenapa kriteria untuk menjadi suami yang “baik” itu harus bisa bekerja dan menafkahi keluarga, padahal bisa kok istri yang menafkahi, atau dua-duanya? Menurutku konsep ini membatasi apa yang perempuan bisa lakukan, dan laki-laki juga mendapatkan tekanan yang berat karena peran-peran yang dibuat oleh society. Walaupun kita hidup di masa modern, unsur ini masih berjalan karena manusia masih takut akan perubahan, dan seakan ga mau keluar dari norma tradisional. Jadi seberapa relevan unsur-unsur adat tergantung oleh apa yang dipercaya oleh pengantin. Adat di Indonesia itu seringkali simbolis, terkadang ada yang logical tapi ada juga yang superstitious. Unsur yang superstitious mungkin sudah tidak relevan di generasi sekarang.
Galang S. Bagasta
Mahasiswa
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
Kalo dari gue sendiri nggak pernah mikir panjang banget sih ya, soal pernikahan kalau di umur sekarang. Liat di media sosial tuh ya banyak banget lah variasi-variasi orang nikah di zaman sekarang tuh, nggak kayak dulu lagi harus ngikutin adat bla-bla-bla dan lainnya. Kalau buat gue sendiri sih sebenernya gue pengen yang simpel-simpel aja. Gue sempet ngobrol-ngobrol juga sama temen gue tuh, “ntar lo ketemu sama temen-temen, keluarga-keluarga yang lain tuh lo nggak kenal amat, karena itu temen-temennya keluarga lo dan sebagainya.” Ya gue pastinya mikir juga, kek salaman sama orang yang gue nggak kenal tuh gimana ya… Pasti ya ada karena permintaan dari orang tua. Kalau dari gue sendiri ya pengennya (undangan nikah) itu sama yang gue kenal beneran aja; temen-temen dekat gue, temen dari zaman sekolah sampai kuliah sampai kerja. Ya, jadi intinya, temen-temen dekat gue dan mungkin nanti dari calon istri gue. Sebenarnya kalau secara adat atau secara modern ya, bebas-bebas aja. Gue ngikut sama yang nanti ada di masa depan aja, sih.
Gue liat pas di masa-masa pandemi ya, yang undangannya terbatas gitu tuh kayaknya lebih seru. Apalagi ke temen-temen yang dekat dan keluarga dekat lainnya. Kayak lebih seru aja sih menurut gue. Dari sisi budget juga jauh lebih irit ya, hehehe. Itu uangnya menurut gue lebih penting buat dipake ke depannya aja, buat nanti urusan rumah tangga dan masa depan lainnya, kalau nanti punya anak apa gimana.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Hmm.. Relevan-nggak-relevan sih menurut gue. Soalnya kalo gue sendiri pun gue nggak tau ya akan nikah atau nggak. Cuma gue mikirnya, ketika ntar di masa tua lo hidup sama seseorang dan hidup lo didedikasikan untuk dia, menurut gue itu lebih seru aja sih. Untuk mati bersama gitu, hahaha.
Kalau misalnya ujung-ujungnya hidup sendiri, menurut gue itu juga udah takdir kali, ya. Mungkin bisa jadi artinya gue memang jadi orang yang nggak bisa berkomitmen sama satu orang ini. Dan gue nggak tau ya, di umur sekarang sebagai mahasiswa ini, gue nerima aja sih opsi-opsi yang kayak nggak nikah atau gimana gitu. Kayak lo tetep ada seseorang yang lo bareng gitu. Menurut gue banyak variasi yang bakal ada kedepannya juga, sih. Menurut gue itu relevan-relevan aja sih, liat perkembangan zamannya aja. Pasrah aja sih gue, ngikutin takdir aja.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
Menurut gue sih sebenernya ya, karena itu namanya juga hubungan antara dua orang, antara si suami dan istri, selama itu jadi bahan obrolan mereka bersama dan nemuin titik tengahnya sendiri gitu itu aman, sih. Makanya gue juga aneh sih ngeliatin orang-orang yang ngomong “cowoknya nggak effort nih”, itu lumayan jahat sih, menurut gue. Bisa aja di baliknya ada proses-proses yang panjang gitu lho. Itu pasti ada obrolan sama keluarganya dan lain-lain. Menurut gue itu pasti mereka sudah setujui juga, sih. Dan menurut gue fine-fine aja gitu lho. Yang bertanggung jawab atas pernikahan itu kan mereka (suami dan istri), ya jadi bukan netizen-netizen itu.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Menurut gue yang sekarang ya, nggak tau di masa depan gimana, cuma menurut gue ya itu jadi hal yang lebih rasional aja gitu lho. Di dalam hubungan ya, meskipun itu katanya soal perasaan, cuman itu ujung-ujungnya harus ada kesadaran masing-masing gitu lho, tentang kedepannya akan gimana. Walaupun gue sama istri gue nanti misalnya udah kenal lama, cuma kan tetep nggak tau ya misalnya di masa depan gue akan brengsek atau gimana. Makanya menurut gue perjanjian prenup itu penting banget sih. Cuma karena hal itu nggak terlalu sering dilakukan ya di masa-masa sebelumnya, mungkin harus ada proses yang lebih halus aja, sih, ya. Nggak tiba-tiba lo jadinya kesannya formal banget gitu buat nikah.
Ketika lagi pacaran misalnya, kita tuh biasanya cuma mikirin perasaan doang tanpa pakai logika. Makanya bisa ada yang posesif, toxic, dan lain-lain. Menurut gue itu kan hal-hal yang nggak rasional aja, ya. Kadang lumayan susah kalau lo hanya pakai perasaan doang untuk seseorang, makanya kalau tiba-tiba lo ngomong tiba-tiba bikin perjanjian gitu ya kan agak terkesan aneh dan jarang, ya. Jadi ada kesan bahwa hubungan lo itu formal banget pakai perjanjian segala. Dan juga menurut gue setiap hubungan itu punya caranya masing-masing buat bikin perjanjian semacam itu, ya.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Untuk prosesi adatnya itu gue cuma tau sekilas aja, ya, karena kemarin sempet liat pas abang gue nikah, ya. Dan ternyata prosesnya itu super panjang ya, dan nama-namanya pun gue nggak banyak hafal, sih. Cuma buat gue sendiri sih, dalam menanggapi hal itu ya, yang mana gue adalah Jawa tulen ya, selagi gue punya budgetnya gue mau-mau aja melakukan rangkaian prosesi adat itu dalam nikahan gue nanti. Kepercayaannya tentang apapun itu selagi yang positif ya, gue lakukan saja untuk menghargai leluhur gue, ya. Dan mungkin kebanyakan dari adat-adat itu yang gue tau ya, itu nggak terlalu menunjukkan hal-hal negatif yang berpengaruh pada pernikahan gue gitu. Asalkan ada budget ya, dan mungkin memang bisa diakalin juga nanti.
Kalau menurut gue sih, kalau soal patriarki dan lain-lain ya… Kebetulan dari bokap gue juga kadang suka ngomong “kalau laki-laki Jawa tuh harus gini-gini”, ya menurut gue itu memang udah nggak relevan lagi, sih. Dan yang gue yakini dari adat Jawa sih itu untuk kebaikan pribadi si suami dan istri ini, sih. Jadi nggak ada hubungan kayak gue derajatnya lebih tinggi dari si wanita dan lain-lain, sih. Menurut gue adat yang masih mengandung nilai-nilai tadi ya, bisa lah dimodifikasi dikit gitu.
Salma Rizkya
Peneliti Perburuhan
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
Kalau misalnya dari ide nya sih… Menurutku yang ideal itu yang nggak mengubah apa-apa gitu. Aku selalu, dulu waktu kecil aku membayangkan ketika orang menikah itu dia harus berubah semuanya gitu. Dia harus jadi istri yang taat pada suami, jadi ibu yang baik untuk anaknya, jadi anak yang baru untuk mertuanya gitu. Tapi kalau semakin ke sini, aku mikir pernikahan yang ideal itu adalah ketika lo tetep bisa jadi diri lo sendiri, gitu. Walaupun misalnya peran lo bertambah, lo tetep nggak merasa kehilangan cita-cita, nggak kehilangan passion di hidup lo, dan tetap bahagia. Kalau misal pas pacaran lo seneng-seneng ya, nah pas nikah itu lo tetep harus seneng-seneng juga.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Kalau ditanya butuh nggak butuh, sebenarnya dari yang aku amati juga, ya… Sebenarnya kalau aku bilang nggak papa aku nggak nikah, tapi di sisi lain juga aku memang ada harapan sih untuk menikah. Karena aku butuh pernikahan sebagai suatu pranata aja.
Mungkin kita semakin besar, terus mulai merasa ada hal yang udah nggak cocok lagi sama keluarga inti, terus dengan kita menikah itu rasanya kayak bikin negara sendiri gitu. Lu bikin peraturan, ada bagi tugasnya sama pasangan lo. Dan ketika bagi tugas itu, lo tetap bisa jalanin karir lo. Menurut aku ada sisi bagusnya di situ. Pernikahan yang bisa berdialog gitu lah, itu yang kubutuhkan. Tapi kalau misalnya memang suatu saat nanti pernikahan di-setting buat jadi semacam penaklukan gitu, biar buat harta warisan kayak zaman dahulu kala, atau itu mengganggu hidup lo, atau lo terpaksa… Kayaknya bukan itu yang gue inginkan.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
Kalau soal pesta mewah, emang aku nggak prefer ke situ, sih. Mungkin memang karena gue miskin aja kali ya, hahaha. Gue tuh sangat perhitungan gitu lho, kayak anjir ngapain gue ngeluarin duit segitu banyak cuma untuk nyeneng-nyenengin orang sekali dua kali gitu. Karena kalo konstruksi keluarga gue tuh memang keluarga Jawa, cuma kita memang udah lama tinggal di Jabodetabek gitu. Jadi keluargaku tuh bukan tipikal keluarga Sumatera yang kalau nikahin anaknya itu diukur, dihitung misalnya kalau mau kasih hadiah. Keluargaku enggak ada yang kayak gitu. Jadi nggak ada kewajiban buat bikin pesta mewah.
Kalau di keluargaku sendiri itu yang paling penting adalah semacam pernikahan dalam gitu, pernikahan agama lah kalau kata orang-orang. Terus sisanya mereka nggak terlalu ributin itu, sih. Menurut aku itu juga hal yang baik gitu. Kayak, yaudah lakuin aja sesuai yang dipengenin keluarga lo secara terbatas gitu. Kayak misalnya keluarga lo pengen nikah agama aja gitu, ya udah nanti akan gue lakuin juga. Masalah pestanya kayak gimana… karena mungkin temen gue juga cuma sedikit kali ya, hahaha. Ya mungkin nanti gue bisa adain kayak acara kecil minum-minum bareng temen, atau kayak makan-makan bareng temen, semalam aja gitu. Ya udah ngobrol-ngobrol santai aja gitu, nggak usah pesta, jadi kayak selametan. Dan itu terjadi di salah satu temen aku, dia itu nikahnya kayak gitu. Jadi ketika lagi sama temen, ya udah nongkrong aja gitu ngobrol-ngobrol. Sesudahnya tapi tetep, ketika dia akad nikah ya udah bikin acara kecil-kecilan aja bareng keluarga di kafe yang private gitu. Aku suka aja tuh konsep kayak gitu.
Selain mengenai wujud dari acara pernikahan, hal-hal apa yang perlu kita sorot ketika berbicara mengenai pernikahan di Indonesia?
Sepertinya aku pembaca Twitter yang baik ya, dan aku melihatnya banyak orang-orang yang ngerasa harus mapan secara finansial gitu, ya kalau mau nikah di Indonesia. Banyak yang mencoba untuk menabung, yang ternyata memang menabungnya tuh untuk pesta gitu, ya kan, untuk seserahan apapun itu. Ya kurasa rata-rata orang mempertimbangkan ke keuangan gitu, ya. Kalau yang aku simak di Twitter, ya.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Gak ada yang salah sih menurut aku. Tapi memang aku melihat orang-orang di lini masa itu memang fokusnya ke ekonomi, ya. Tapi menurutku ada yang lebih penting dari itu, ya. Misalnya kayak gimana caranya mereka berdialog dalam pernikahan itu, untuk membuat win-win solution.
Perjanjian prenup itu menurutku bagus banget ya, bahkan malah kalau perlu disertakan bareng pengecekan kesehatan karena banyak banget kan kejadian yang kayak kalau misalnya dia mandul itu nggak dianggap perempuan. Atau mungkin salah satu di antaranya memang punya IMS gitu, kan. Sebenarnya kalau orang memutuskan untuk menikah itu kan, harusnya sudah tau hal yang begitu dulu, apakah mungkin nanti akan mewariskan ke anaknya, atau mungkin memang mereka mau monogami atau open relationship. Jadi memang banyak yang harus diomongin sih di awal, terutama soal kesehatan, ya. Terus juga soal gimana berbagi harta, dan yang juga penting ya mungkin yang tersirat di dalam perjanjian itu adalah gimana cara berkomunikasi antar keluarga. Misalnya posisi mereka tuh kayak gimana. Aku merasa itu tuh penting banget, sih.
Kayaknya gue juga mending nikah kontrak deh, jadi misal nikah aja dua tahun habis itu kalau bosen udah, deh, hahaha. Daripada tiba-tiba lo cabut gitu. Karena gue juga suka hal yang sustain, sih, dan gue merasa memang pernikahan itu salah satu cara untuk ‘mengamankan’ hubungan.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Kalau itu ya tentu aku tidak setuju, ya. Aku paham kita hidup dalam budaya, dan mungkin aturan dalam budaya itu kadang dipahami sebagai sesuatu yang terlalu banal, gitu? Jadi kayak misalnya budaya yang mengharuskan bayar biaya ganti anak ke orang tuanya kalau mau menikahi anaknya. Jadi mungkin dulunya bikin peraturan seperti itu karena mereka dulu ya hidupnya di sekitar situ, dan mungkin juga untuk orang tua yang sudah tua gitu, ya, jadi biayanya itu digunakan untuk mereka supaya nggak perlu mengganggu otonom keluarga anaknya, gitu. mungkin untuk pelipur lara orang tuanya, ya.
Tapi entahlah, kalau sekarang itu bisa jadi dipahami sebagai sesuatu yang berbeda gitu, ya. Aku juga nggak yakin maknanya apakah sama seperti ketika mereka pertama kalinya melakukan adat itu. Jadi kalau aku nggak akan melakukan hal seperti itu sih, dan juga nggak akan merekomendasikan keluargaku untuk mengulang hal-hal seperti itu. Ya lakuin aja sebisanya, gitu. Kalau misalnya budaya itu menyusahkan ya kenapa harus dilakukan? Tapi kan memang ada ya, unsur-unsur keindahan dalam pernikahan adat, tuh. Misalnya kayak sanggulnya Jawa, atau kebaya nya Minang gitu bagus, ya… Ya lakuin aja apapun hal yang lo mampu kalau memang lo suka dan mau. Tapi kalau nanti ujungnya lo malah terlibat dalam perdebatan soal hal-hal negatif yang mungkin terkandung dalam beberapa adat itu–yang mana gue juga nggak yakin ya awalnya memang seperti itu kah, atau apakah mereka memang punya pamong adat yang paham sekali dengan hal-hal seperti itu–jadi ya udah, nggak perlu berlebihan, jadi ambil aja semampunya kalau soal adat itu.
Kelana Wisnu
Jurnalis
Bagaimana pernikahan yang ideal bagimu?
Oke, jadi sederhananya ketika misalnya berbicara tentang pernikahan aku nggak berpikir untuk menikah, belum sampai sekarang karena, ya banyak hal ya, dan mungkin sampai batas tertentu aku nggak percaya institusi pernikahan, ya. Tapi menurutku, pernikahan yang ideal itu mungkin bukan suatu ruang baru untuk melanggengkan, mewariskan trauma, kekerasan, atau bahkan bagaimana dunia ini dibayangkan dan distrukturkan lewat reproduksi, karena, kita kan kadang melihat keluarga itu sebagai suatu perpanjangan untuk ke sana. Jadi aku selalu melihat pernikahan itu bukan untuk kepentingan itu. Pernikahan yang ideal bagiku itu adalah ketika kita menikahi subjek yang lain atau orang lain yang kita cintai tanpa ada pertimbangan eksternal diluar dirinya, gitu.
Misal, kadang kita selalu melihat pernikahan itu kayak menikahi keluarganya juga gitu, makanya kemudian kemarin sempat trending mengenai nikah di KUA aja atau nikah yang tidak perlu menghabiskan banyak uang atau mempertimbangkan gengsi. Ya aku, kalo misalnya berpikir untuk nikah berarti akan mengimani dan mengamini cara kayak gitu, ya. Yang ‘ya udah’ gitu nggak perlu gembar-gembor karena aku ga nikahin keluarganya atau bukan bermaksud bikin suatu pesta pora gitu. Jadi kayak ada banyak pertimbangan hal-hal yang tidak terikat dengan warisan kultural. Karena warisan kultural itu kemudian menjadi perpanjangan atas hal-hal yang tidak pernah selesai, karena tidak pernah dipikirkan untuk bagaimana menyelesaikannya, gitu. Ya misalnya ya tadi, kenapa kok orang menikah itu adalah untuk reproduksi atau memperpanjang keturunan atau menimbun kekayaan? Jadi pernikahan ideal ya sebenarnya berasaskan–kalo pun ada gitu ya, cinta yang murni.
Dengan segala perkembangan mengenai hubungan dan koneksi manusia, apakah konsep “pernikahan” masih relevan untuk dikejar? Mengapa demikian?
Membangun keluarga itu mungkin bukan hal yang mudah ya, bagi Gen Z karena properti makin mahal, biaya sekolah makin mahal, semuanya makin mahal, dunia ini makin ga secure dan nggak aman juga. Jadi mungkin pilihan itu harus dihormati karena tidak semuanya melihat bahwa membesarkan anak atau membangun keluarga itu pilihan yang tepat di masa yang semua krisis itu bertumpuk dan saling tumpang tindih gitu, ya. itu semuanya jadi satu tumpah ruah dan itu mungkin menjadi masuk akal ketika misalnya seseorang berpikir tidak mau punya anak di masa yang penuh ketidakpastian gitu.
Pernikahan itu perjuangan kelas, ya, bagiku. Karena ada dua pilihan bagiku untuk menikah. Pertama, apakah aku akan merelakan calon pasanganku untuk bunuh diri kelas? Atau aku yang akan berusaha untuk naik kelas? Karena problemku selama ini adalah bukan soal beda agama atau keyakinan, tapi justru perbedaan kelas gitu, dan itu problemku dari dulu.
Kalau nanti aku nggak menikah, karena aku nggak mau membuat pasanganku bunuh diri kelas, karena dia harus mengikutiku. Dan kemudian aku sekarang ngejarnya bukan pernikahan, tapi bagaimana kemudian aku bisa ‘naik kelas’–tapi bukan berarti untuk menjadi businessman, kaya raya konglomerasi dan bagian dari oligarch ya, tapi setidaknya aku akan mengejar pernikahan itu ketika konsekuensinya adalah tidak membuat pasanganku untuk bunuh diri kelas.
Sempat ramai di media sosial, sepasang pengantin muda memutuskan untuk menikah secara sederhana di KUA. Hal tersebut memantik opini dari berbagai sisi. Bagaimana menurut Anda?
Iya aku sepakat, karena pernikahan itu menjadi sulit ketika dia dikerangkai dalam hubungan antara investasi dan balik modal. Tentu orang akan berpikir bahwa “oh menikah itu akan menghasilkan”, “oh gue butuh 80 juta kemudian harus balik modal”, kayak gitu. Jadi kasus menikah di KUA saja itu bisa membebaskan orang untuk tidak terikat dalam suatu sistem yang mungkin sudah tidak relevan untuk untuk hari ini gitu, karena terlalu mahal juga, gitu ya.
Selain mengenai wujud dari acara pernikahan, hal-hal apa yang perlu kita sorot ketika berbicara mengenai pernikahan di Indonesia?
Feodal.
Karena masih ada juga yang akhirnya dapat konsekuensi untuk membeli pasangan, baik itu garis adat matriarkal ataupun patriarkal, gitu. Jadi, akhirnya setiap orang menjadi komoditas, menjadi sesuatu yang harus dibeli gitu, ya.
Pengadaan “prenup” atau “perjanjian perkawinan” sudah semakin lumrah pertimbangkan sebelum melaju ke pelaminan. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Kalau melakukan mungkin aku nggak akan ya, karena aku tidak ingin melihat pernikahanku sebagai suatu hal yang transaksional. Dan kemudian ketika pasanganku pergi, ya berdasarkan komitmen aja. Jadi kalau salah satu memang tidak bisa menepati komitmen itu, ya itu jadi beban moralnya dia, gitu. Perlu atau tidak akhirnya diikat dalam suatu perjanjian bagiku, ya aku nggak akan melakukan hal itu juga lah.
Karena mungkin aku adalah bagian dari Generasi Z yang percaya pada hubungan tradisional, tetapi tidak mewarisi nilai-nilai tradisional yang membatasi. Karena kayak gitu ya, aku nggak ingin ada kesan jadi semacam barang belian, begitulah.
Pesta pernikahan di Indonesia lekat dengan unsur-unsur adat istiadat. Tidak hanya memakan lebih banyak modal untuk mewujudkannya, prosesi yang dilaksanakan kerap membawa nilai-nilai lawas yang masih diperdebatkan masyarakat modern (e.g. patriarki, hirarki, dsb.) Menurut Anda, apakah keberadaan unsur-unsur tersebut masih relevan dalam pernikahan saat ini?
Nggak relevan juga, ya. Kalau aku dihadapkan dengan situasi menikah harus pakai adat segala macam gitu, mungkin aku akan menolak dan mencari titik tengah. Karena aku tidak mau menempatkan calon istriku sebagai komoditas. Jadi aku mungkin akan memberikan pengertian penuh kenapa aku menolak itu, kalaupun aku sanggup. Kalaupun aku nggak sanggup, ya udah tidak perlu diadatkan gitu. Aku nggak pengen ada dalam sejarah pernikahan kami, ada suatu hal yang mencederai kompas moral atau kompas ideologis. Ya, intinya aku akan mencari jalan tengah dan mendiskusikannya agar pasangan aku agar tidak menempatkan pasanganku sebagai objek.